Minggu, 20 September 2015

Juju : Warung Peneduh

Warung yang sudah rata. Teh Rini layani pembeli, Mang Ojan memilah kayu.
Saya tidak tahu siapa nama aslinya, tapi saya biasa memanggilnya dengan sebutan Mang Ojan. Seorang pedagang makanan semacam warteg sederhana di terusan Jalan Industri Selatan 5. Sehari-hari, dia dan istrinya, Teh Rini, berjualan di bangunan warung semi-permanen itu menjajakan makanan-minuman murah terbaik, ditambah guyonan khasnya yang selalu berhasil membuat saya dan pengunjung yang lain tertawa lepas atau termenung di pagi-paginya yang biasa. Dan Mang Ojan sangat menyukai obrolan politik, sedang saya tidak. Jadi kami akan bergantian saja: kadang dia bercerita dan saya mendengarkan, atau sebaliknya. Hingga nantinya matahari akan beranjak lebih tinggi, dan kami berpisah untuk bertemu lagi di keesokan hari.

Pria sederhana ini memiliki dua orang anak: Ayu, putri pertamanya yang saat ini duduk di bangku SMA kelas 2, dan Dimas, putra kebanggaan mereka yang 13 Desember ini akan genap berusia 2 tahun. Saya sangat menyukai si Dimas ini, pria kecil bermuka bulat dan kulit kuning langsat. Hobinya adalah mandi di jam 8 kurang 15 menit di tengah warung dalam bak plastik bayi warna hijau pudar. Selepas mandi, dia akan didandani setampan mungkin oleh ibunya, lalu meminta ayahnya untuk menuntun-temaninya berjalan kaki di aspal depan warung. Gembira sekali mereka di pagi-pagi itu. Dan saya bisa memandangi pemandangan itu hingga waktu yang lama, hanya mencoba merasakan apa yang mereka rasakan.

Dan saya jadi teringat salah satu babak cerita kami di setahun yang lewat. Saat itu Dimas baru berusia 1-2 bulan. Karena keterbatasan yang mereka miliki, Dimas jadi harus selalu dibawa ikut ke warung, karena tak ada yang bisa menjaganya lagi di rumah. Saya protes ke Mang Ojan, karena itu artinya Dimas akan banyak terpapar asap rokok dari para pengunjung warung. Mang Ojan bersama istrinya mencoba menjelaskan singkat, tapi saya tetap tak bisa terima. Saya kesal sekali. Saya sempat berhenti ke warung Mang Ojang selama beberapa bulan sebagai bentuk protes. Hingga akhirnya saya datang kembali dengan pikiran yang sedikit lebih terbuka, dan keadaan menjadi biasa, kami tertawa lagi. :)

Saya mengenal warung berikut para penggiatnya ini semenjak 2011, saat saya pertama tiba bekerja di kantor biru di persimpangan itu. Dulu saya mengenal warung ini dengan sebutan Warung Juju. Meskipun ternyata sang pemilik warung sendiri tidak tahu mengapa mereka disebut Warung Juju. Saya cuma tertawa saja mendengar Mang Ojan mengisahkan kebingungannya. Sebuah cerita yang menghangatkan pagi kami kala itu. Hingga selang beberapa menit kemudian, kami sudah beralih ke topik pembicaraan yang lain. Seperti itu saja kami di hampir setiap pagi yang ada dan datang silih berganti.

***
21 September 2015. Hari sudah menuju musim hujan yang sepertinya tak akan lama lagi. Dan berita yang kurang menggembirakan ini datang menghampiri. Warung berukuran 3x6 meter ini kini sudah rata dengan tanah. Sedari awal Mang Ojan dan keluarga memang sepenuhnya sadar, bahwa warung ini adalah sebuah bangunan liar. Akan tiba waktunya, warung peneduh ini akan dibongkar oleh pengelola Jababeka. Tapi saya sendiri tak menyangka akan secepat ini. Saya terkaget karena kenyataannya, terhitung mulai pagi ini, saya tak akan pernah melihat warung itu lagi. Dan saat ini, melihat Teh Rini tengah melayani pelanggannya di atas sebuah meja panjang bobrok yang diletakkan di atas pembatas jalan, dan Mang Ojan yang tengah merapi-rapikan reruntuhan warung, mengumpulkan apa saja yang kira-kira masih bisa terpakai, saya merasa sepi.

Saya pesankan segelas kopi panas, duduk di atas papan panjang yang melintang bawah mahoni dan terik mentari pagi. Tak langsung bertanya pada mereka, saya diam saja dulu melihat sekitar. Hingga setengah jam berselang, saya bertanya singkat satu-satu tentang penertiban kawasan ini. Saya mendengarkan. Tentang bangunan yang dibongkar hari Sabtu kemarin, tentang kayu bekas berjumlah satu truk lebih, tentang Dimas yang menghabiskan susu satu kaleng dalam 4 hari, tentang Ayu yang dua tahun lagi akan kuliah, tentang tim security kawasan yang gemar mengancam dan sesekali memeras, tentang masakan yang tak habis, tentang rencana berjualan di gerobak dan tenda sederhana yang sedang dibuat oleh Mang Ojan di rumahnya di Poncol sana, atau yang lain. Saya tak berani berkomentar banyak, saya hanya sesekali iyakan pelan. Meski satu hal yang membuat saya merasa sedikit lega: Mang Ojan tetap penuh guyonan, Teh Rini tetap senang bercerita dan berharap, Ayu tetap akan masuk sekolah jam 9 ini, Dimas tengah santai-santai di rumah bersama neneknya. Saya pikir mereka akan bertahan di tengah situasi yang akan sedikit lebih berat dari sebelumnya. :)

Cikarang, 21 September 2015