Senin, 13 Maret 2017

Perdebatan Media Sosial

Jadi teringat. Beberapa hari atau minggu yang lewat, secara tak sengaja, saya berada di antara beberapa orang kawan yang sedang bergerombol membicarakan tentang seberapa sebalnya mereka terhadap posting-postingan kawan-kawannya di media sosial yang selalu bersifat rasial dan merasa paling paham agama, saling mengkafirkan satu sama lain. Belum lagi ditambah dengan sebaran berita-berita hoax yang dengan semangat mereka sebarkan tanpa berpikir. “Mungkin biar dinilai oleh orang lain sebagai sosok pintar dan kritis kali ya, padahal ….” ujarnya bertambah nyinyir bercampur rasa puas dan emosi. Yang singkat kata, setelah saling berdebat beberapa kali di media sosial, akhirnya beberapa dari kawan tersebut memilih untuk saling meng-unfriend. “Biar aja, berkurang satu-dua-tiga-empat kawan di media sosial juga ga masalah” ujar salah satu dari kawan tersebut berkomentar pedas dan tegas. Terdengar pula aminan dari beberapa kawan yang lain tanda setuju. Lalu disambung lagi, membahas lagi, tak ada habisnya, sahut-sahutan saling menimpali.

Saya masih asik saja menonton televisi, sama sekali belum (atau tidak) tergoda mengomentari obrolan-obrolan itu. Saya pikir bahasan mereka kurang menarik, jadi saya memilih diam saja, atau sesekali mengalihkan bahasan ke hal-hal berbau humor yang lain, yang sayangnya tak mereka tanggapi sama sekali. Sepertinya mereka menganggap bahasan humor saya tadi itu kurang menarik mungkin, hahaa. Ternyata memang ketertarikan setiap orang itu berbeda ya.  Dan memang ada orang-orang tertentu yang lebih suka berdebat sumpah-serapah. Saya masih tertawa, walau tak digubris sama-sekali. Bukan masalah, saya sudah cukup berbahagia dengan cerita humor saya sendiri.

Hingga di satu detik, saya ditanya: “emang lu ga ada temen di media sosial yang kaya gitu?”. Saya jawab singkat: “ga ada kayanya”. “Ah masa? Ada kok temen lu yang kaya gitu, gw sering baca”, sanggahnya cepat sambil memancing. Saya tertawa terbahak-bahak dan membuat mereka sedikit bingung perihal apa yang saya tertawakan. “Jadi gini, kemampuan berpikir gw tuh jauh berada di atas kalian-kalian dan mereka-mereka yang kalian ceritain dari tadi. Gw pikir level pikiran kalian dan mereka yang kalian obrolkan dari tadi itu juga sama aja. Makanya gw ga mau berdebat, karena bukan level gw. Tapi coba tebak, ternyata gw masih mau temenan sama kalian, terserah kalian mau ngomong hal yang gw setujui atau ngga, mau kalian pintar atau bodoh, kaya atau miskin. Kalian tetap temen gw!” saya jawab dengan penuh rasa puas, kemenangan, bahagia, dan tawa panjang ala Mak Lampir. Sebagai balasan, respon cibiran langsung saya terima. Saya lanjut tertawa sendiri. Sambil dalam hati berkomentar: “Ah, terkonfirmasi sudah. Pikiran gw emang lebih maju dari kalian. Sorry to say”. DAN AKU ADALAH MAK LAMPIR! ;)))))

Cikarang, 13 Maret 2017

Sabtu, 11 Maret 2017

Di Minggu Pagi

Pagi yang menyenangkan di awal bulan Maret yang ini. Di kisaran jam 10 pagi yang cerah dan angin yang bertiup lembut-lembut lewat sebuah jendela kaca besar dengan tirai gulung yang terangkat setengah di belakang pintu rumah. Juga tumpukan bantal sofa berwarna coklat muda di sebelah meja tamu, taplak kecil yang licin dengan warna senada, dan sebuah novel Agatha Christie berjudul “Murders on the Orient Express” yang tergeletak rapi di atasnya. Pagi ini, selepas mandi pagi dan segelas es kopi buatan sendiri, saya membaca buku itu sambil terlentang santai di atas sofa ukuran medium. Berhenti sejenak, layangkan pandang contemplative melalui jendela yang berdiri tenang dengan latar belakang mobil dan motor yang sudah dicuci bersih di sehari sebelumnya, saya benar-benar berpikir bahwa ini adalah hari yang indah.

Tiup angin pagi dari pekarangan kembali menyapa saya untuk berhenti sejenak dari kisah pembunuhan berencana yang diceritakan di bab ke-5 dari buku itu. Saya pikir lebih baik saya tuliskan saja apa yang saya pikirkan. Bukan tentang sebuah pemikiran rumit yang biasa menghantui saya di saat-saat tertentu, tapi hanya tentang pemikiran sederhana tentang bersyukur. Untuk melihat istri yang saat ini tengah hamil muda dan jatuh tertidur di ruang istirahat kami di belakang sana, atau aroma masakan yang sedang disiapkan oleh ibu mertua yang baik sekali, tentang ayah yang saat ini sepertinya sedang mendaftar di perpustakaan daerah di kota kecil di Bengkulu sana, atau juga kakak perempuan yang sedang menikmati hari-hari mereka di Serang sana. Saya jadi teringat tentang penggal percakapan di sebuah film yang kami (saya dan istri) tonton kemarin malam, yaitu tentang surga itu ada di sini juga, di dunia tempat kita hidup saat ini. Ah, mungkin memang benar seperti itu, siapa yang tahu.

Berjalan menuju pekarangan rumah sejenak dengan langkah-langkah ringan, untuk sekedar melihat birunya langit Jakarta di pagi ini serta mendengarkan dialog pedagang sayur keliling dengan seorang tetangga di depan sana, juga segerombolan kucing milik tetangga yang suka buang air di pekarangan rumah kami -sepertinya kucing-kucing ini sedang rapat mingguan, atau tentang pekerjaan kantor yang tengah saya jalani di 6 tahun terakhir ini, saya tersenyum sendiri. Untuk kemudian kembali ke dalam rumah, menuju kamar istirahat, dan memperhatikan istri yang sepertinya tengah bermimpi dalam lelapnya yang setenang air. Atau menatap kembali layar monitor di komputer lipat tentang bahasan perkembangan embrio dari sudut biologi molekuler yang tengah saya pelajari di awal pagi yang tadi. Setelahnya, hampiri ibu mertua yang masih saja sibuk dengan mencampur bumbu-bumbu dapur yang beraneka ragam. Memandang lingkaran tangga besi melingkar di atas pot-pot tanaman di taman belakang rumah ditimpa cahaya matahari dan riak air kolam kecil kami yang sederhana tempat 5 ekor ikan koi berenang sebebas mungkin. Menenangkan sekali.

Perjalanan hidup adalah sebuah misteri. Di dalamnya berisi kecamuk, ketenangan, kejutan, dan apa saja yang mungkin terjadi. Lingkaran-lingkaran waktu, ruang, dan kejadian yang bersinggungan dalam interaksi sederhana sehari-hari, dan sujud yang sekali-kali. Layangkan pandang sekali lagi menuju jendela yang masih diam tak bergerak, saya pikir hidup adalah tentang menikmati keadaan. Bersenang-senanglah semesta, dengan jalan yang kalian inginkan, tanpa paksaan.

Pasar Minggu, 12 Maret 2017