Jumat, 31 Januari 2014

Malam Di Leuwi Panjang

Tepat di depan warung nasi padang ini
Tiba saatnya malam itu, di beberapa malam yang lewat. Saat tengah mengunjungi lagi terminal itu di malam yang sedikit larut. Ingatan saya kembali ke kisaran 10 tahun yang lewat. Itu di suatu malam di pertengahan tahun 2004. Mungkin Juni.

***
Sore itu saya menerima kabar dari seorang bibi di Palembang. Singkatnya bicara bahwa sore itu dia dan seorang anak perempuannya yang manis serta 3 orang anggota keluarga yang lain, akan tiba di kota ini. Kalau tak salah ingat, mereka naik pesawat dari Kota Pempek sore itu dan akan mendarat di kisaran pukul 3 sore di Cengkareng. Rencana awalnya, mereka akan menuju Bandung dengan menggunakan kereta dari Jakarta. Mendengar berita tersebut, saya iyakan, dan saya berjanji akan menjemput mereka di stasiun kereta Bandung sore itu.

Masih di sore yang sama, sambil menunggu sore di kamar kos-kosan di daerah Bandung utara itu, seorang kawan baik datang berkunjung. Seperti biasa, kawan tersebut datang hanya untuk bersilaturahmi saja. Saya katakan kepadanya tentang berita kedatangan bibi yang tadi, dan kami segera bersepakat bahwa dia akan menemani saya menjemput kedatangan bibi. Hingga saatnya tiba, kami berdua berangkat menuju stasiun kereta itu dengan menumpang angkutan kota berwarna coklat muda bertulis Lembang – St. Hall itu. Jam sudah menunjukkan kisaran pukul 6 sore waktu kami tiba di stasiun itu. Duduk-duduk mengobrol, kami menikmati sorenya sambil tertawa yang riang.

Langit mulai lebih gelap, saat saya menerima kabar lanjutan dari si bibi. Dia mengabarkan bahwa saat itu ternyata mereka masih di Jakarta, dan rencana berubah, mereka akan menuju Bandung dengan menggunakan bus. Itu berarti bahwa lokasi penjemputanpun berubah. Kami akan menjemput bibi di terminal bus Leuwi Panjang. Waktu itu kami berdua masih belum terlalu kenal rute di Bandung. Itu wajar, kami baru hampir genap setahun tinggal di kota ini. Tahun pertama itupun terlalu banyak diisi oleh acara kampus yang padat, kami belum sempat menjelajahi kota ini lebih jauh. Meski akhirnya, kamipun bisa tiba di terminal itu, di kisaran pukul 8 malam.

Malam sudah larut, itu mungkin kisaran pukul 11 malam. Kabar dari bibi yang saya terima sekitar sejam yang lewat tadipun tidak terlalu jelas, dan kami mulai merasa letih. Terminal itupun sudah semakin sepi , hanya dipenuhi oleh para pedagang, sivitas umum terminalnya serta preman-preman terminal yang kami pikir sangat ramah. Letih berlanjut, dan kami memutuskan untuk tidur di terminal saja. Kami terlentang di atas kursi kayu panjang di depan warung nasi padang yang sudah tutup di awal-awal tadi. Kami terlelap. Hingga di kisaran jam 1 atau 2 dini harinya, bibi akhirnya tiba dan kami semua menuju Bandung Utara lagi.

***
Saya jadi tersenyum sekarang. Mengingat kami pernah menghabiskan malam di terminal itu. Siapapun boleh menyebut bahwa terminal adalah salah satu tempat terangker di sebuah kota. Tempat para preman-preman jalanan biasa meniagakan waktu berbuat semaunya. Tapi saya pikir kami tak punya masalah di sini, kami meniagakan obrolan dengan mereka selayaknya seorang yang tengah berkunjung. Kami berusaha santun, kami hanya berusaha menjalankan apa yang selalu ayah saya ingatkan sebelum saya merantau ke tanah ini dulu, “bahwa dimana bumi sedang kau pijak, di situlah langitnyapun harus kau junjung!”.

M. Haikal Sedayo, semoganya kau masih ingat penggal cerita ini, ;)
Bandung, 31 Januari 2014

Selasa, 28 Januari 2014

Kisah Lokal dan Cerita Lainnya

Sewu Kuto - Didi Kempot

Sewo kuto uwis tak liwati/ sewu ati tak takoni/ nanging kabeh podo ra ngerteni/ lungomu neng endi.
Pirang tahun anggon kunggoleki/ seprene durung biso nemoni.
Wis tak cobo nglaliake/ jenengmu soko atiku/ sak tenane aku ora ngapusi/ isih tresno sliramu.

Umpamane kowe uwis mulyo/ lilo aku lilo/ yo mung siji dadi panyuwunku/ aku pengen ketemu.
Senajan sak kedeping moto/ tak nggo tombo kangen jeroning dodo.
Senajan wektu mung sedelo/ tak nggo tombo kangen jeroning dodo.

Terjemahan bebas:

Seribu kota telah kulewati/ seribu hati telah kujalani/ tapi tak ada seorangpun yang tahu/ dimana dirimu.
Bertahun-tahun kumencari/ meski hingga kini belum kutemui.
Telah kucoba melupakan/ namamu dari hatiku/ meski sebenarnya aku tak kan kupungkiri/ aku masih mencintaimu.
Bila nyatanya kini kau sudah bahagia/ aku rela/ tapi hanya satu pintaku/ aku ingin bertemu.
Walaupun hanya sekejap mata/ itu akan jadi pengobat rindu dalam dadaku.
Walaupun hanya sebentar saja/ itu akan jadi pengobat rindu dalam dadaku.

***
Entahlah bagaimana tepatnya. Tapi bila saya mendengar sebuah cerita cinta yang dibalut dalam nuansa lokal, maka saya seperti bisa lebih merasakan kedalaman kisahnya. Itu bisa saja diungkapkan dalam bahasa daerah, atau bisa juga dengan tata-cara yang khas bersifat turun-temurun khas suatu daerah tertentu, atau dengan berjalan di suatu daerah yang kental dengan budaya-budaya yang arif. Ah, entahlah. Tapi entah bagaimana, saya seperti lebih bisa merasakan nuansa romantisnya, terasanya sangat jujur, menggambarkan siapa mereka adanya dengan keunikan yang sungguh-sungguh asik.

Juga dengan lagu ini. Setelah beberapa minggu kemarin menanyakan arti kata-per-kata lagunya pada seorang kawan yang fasih berbahasa jawa, saya coba meresapi ungkapan-ungkapannya. Saya pikir ini luar biasa. Saya merasa sangat hidup saat mendengarnya. Benar-benar sangat hidup. Meski sebagian dari kawan-kawan mungkin tak kan mengerti tentang apa yang saya katakan ini. Heheu. Tapi benar itulah yang saya rasakan. Saya ungkapkan di sini: saya bukannya anti dengan lagu-lagu cinta yang diungkapkan dengan bahasa umum. Beberapa di antaranya malah ada yang sangat saya sukai. Tapi menurut saya lagu-lagu seperti ini khas sekali. Khas sekali.

Ya. Beberapa orang mungkin akan menganggap berbicara bahasa daerah, apalagi tentang cinta, adalah suatu yang terasa kampungan. Terlalu gengsi bila harus seperti itu. Beberapa akan lebih merasa gagah dan megah bila mengungkapkan pikir-cinta-nya dalam bahasa Indonesia, bahasa gaul elo-gue yang keren, atau bahasa Inggris. Bagi sebagian orang hal itu bisa membawa kesan modern dalam penyampaiannya. Ya, saya tak menganggap itu masalah juga sebenarnya, biar saja. Toh setiap orang berbeda ya. Maka saya akan menghormatinya dengan sungguh-sungguh. Tapi jujur saja, saya sering merasa sedikit “sedih” bila ada sebagian kawan yang menganggap menggunakan bahasa daerahnya adalah sesuatu yang rendah, takut dianggap orang kampung. Hmmm. Tapi, ya, biar saja. pilihan untuk merasa seperti itu adalah milik mereka sepenuhnya.

Berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun, berbelas-puluh tahun, saya tetap berpikir dan merasa sepenuh sadar bahwa saya adalah seorang anak kampung. Saya sama sekali tak pernah mempermasalahkan itu. Saat dulu tinggal di kota kecil di salah satu sudut Bengkulu itu, maka saya berusaha menggunakan bahasa dan tata kramanya sebaik mungkin. Saat tinggal di Kota Kembang itu pun saya berusaha sungguh-sungguh untuk menggunakan bahasa dan tata-krama kotanya. Pun saat singgah di tanah Jawa, saya berusaha sebaiknya melakukan hal yang sama. Tak jauh beda, saat berada di forum resmi internasional, saya akan mencoba bersikap selayaknya. Tanpa harus merasa lupa tentang siapa saya sebenarnya, dari mana saya berasal, dimana saya dibesarkan dan belajar hidup. Saya tetap bangga dengan itu.

Hah. Paragraf di atas seperti melebar kemana-mana ya? Heheu. Tapi saya pikir hal itulah yang mendasari bagaimana saya bisa meresapi kisah-kisah bernuansa lokal, terutama kisah sesakral cerita cinta. Bagi saya itu jujur, romantis, dan patut dihargai lebih baik dan banyak. :)

Terima kasih buat Mbak Puji Rahayu buat bantuan terjemahannya, Matur suwun. :)
Cikarang, 28 Januari 2014

Senin, 27 Januari 2014

Penggal Cerita Kawan Lama

Konsekuensi instan dari menyapa seorang kawan lama adalah kembalinya cerita-cerita dulu sejernih itu adalah kemarin. Dan seperti itu juga yang sedang saya alami sore ini. Jelas saya senang karenanya. Seolah dibawa kembali ke beberapa babak di masa lalu. Sejenak menjadi saya yang lebih muda. Dan sepertinya kita sepakat bila saya ucapkan seperti ini: “tak ada yang lebih menyenangkan dari menjadi muda dan melakukan apa yang diinginkan”. Seperti titik hujan yang jatuh pada permukaan apapun, lalu mengalirnya juga kemana saja. Asik ya. :D

Lalu kawan tersebut bercerita. Atau mungkin lebih tepatnya bertanya. Kalimatnya mungkin kurang-lebih begini: “kiranya apa kamu masih seperti yang dulu?” Saya tertawa asik mendengar pertanyaannya. Saya tahu, pertanyaannya itu mengacu pada tindak-tanduk saya dulu-dulu. Mungkin ada beberapa di antaranya yang dia suka, tapi sepertinya banyaknya dia tak suka, hahaa. Saya masih ingat benar saat di percakapan terakhir kami dulu, dan dia meminta saya untuk bersikap lebih dewasa. Sepertinya, secara umum di ingatannya saya adalah seorang yang menyebalkan di berbagai sudut pandang, heheu, entahlah. Tapi saya yakinkan satu hal padanya tadi, bahwa saya masih seorang yang sama seperti dulu. Dia merespon dengan tanggapan yang tak terlalu antusias – bila tak boleh saya sebutkan bahwa dia sedikit kesal mendengarnya, :D. Saya balas saja dengan tawa yang panjang.

Hei kawan, saya yakin kamu pasti tahu. Bahwa saya tak pernah terlalu sepakat dengan ungkapan yang mengatakan: “Nyatanya kita selalu hidup di saat ini. Kita tak pernah hidup di masa depan, apalagi di masa lalu”. Untuk saya, saya meyakini bahwa saya adalah seorang yang hidup di dalam ingatan, sekarang dan masa depan. Saya tak merasa menyesal untuk apapun, tapi sepertinya saya sadar sekarang bahwa saya pernah berbuat kesalahan di waktu-waktu sebelumnya.

Ah, mungkin baiknya nanti-nanti kita minum kopi sama-sama lagi saja, Kawan. Kita tak perlu membahas hal-hal yang terlalu serius terlalu lama. Saya sebenarnya tak terlalu betah membahas hal-hal serupa itu. Sepertinya kamu juga tahu persis soal itu, :D

Kawan yang ini memang antik sekali. Sudahlah, jangan kesal terlalu lama. :D
Cikarang, 27 Januari 2014

Minggu, 26 Januari 2014

Tripod dan Garis Cahaya

Rasanya ini bermula dari suatu sore di kebun itu. Saat seperti biasa, berdua dengan seorang kawan baik tengah berbincang tentang apa saja. Entah bagaimana alur pastinya, waktu itu kami lantas membahas tentang satu tema spesifik: slow speed shooting. Hingga kawan tersebut akhirnya berjanji akan memberi pinjaman tripod miliknya yang katanya sekarang sudah jarang terpakai, takut mubadzir, begitu katanya. Selang beberapa lama, mungkin sebulan berikutnya, dia menepati janjinya. Dengan gayanya yang santai, dia menunjukkan singkat bagaimana cara menggunakan alat tersebut, juga cerita pendek mengenai aplikasi penggunaannya. Dalam seksama, saya mendengarkan. Saya benar baru pertama kali itu mengoperasikan alat tersebut. “Silahkan belajar”, begitu dia berujar waktu itu. Saya iyakan dengan anggukan.

Tepat malam harinya, tak sengaja saya menjumpai pergelaran pasar malam yang tengah dipanggungkan di salah satu lapangan di komplek KPAD, Geger Kalong. Segera terpikir, saya keluarkan tripod dari dalam ransel hijau itu. Selang beberapa waktu, mengambil gambar dari sisi belakang pagar bagian luar lapangan yang paling memungkinkan, arah pada sebuah komedi putar yang tengah gembira berputar penuh lampu-lampu, saya menembak beberapa kali.  Tak mudah ternyata. Tapi saya puas-puas saja. Saya benar tak merasa harus langsung bisa. Saya menikmati puluhan kegagalan tembakannya.
Pasar malam di lapangan KPAD, Geger Kalong, Bandung.
Lagi. Malam ini. Saat tengah berpikir untuk membeli sajian bakmi jawa di pinggir jalan raya itu. Dengan menenteng tripod dan kamera putih berlensa standar itu, saya berjalan pelan. Menentukan titik tembak, memasang peralatan, menyalakan tembakau, menguji beberapa kali. Hasilnya masih tak terlalu bagus ternyata. Kadang terlalu gelap, kadang terlalu terang, garis sinar yang terlalu tebal, terhalang gerobak baso yang melintas melawan arah, macam-macam. Saya pikir itu seru. Hingga 45 menit berlalu, saya putuskan selesai dulu.
Jalan Raya Pecenongan, Jababeka 2, Cikarang
Kamu tahu? Bahwa yang saya kerjakan ini hanyalah rentetan senda-gurau. Saya benar bersyukur bila hasilnya bagus. Tapi sama sekali tak keberatan bila ternyata hasilnya tidak. Karena sebenarnya saya hanya tengah bersenang-senang saja di tengah suasana malam dan garis-garis cahaya. Itu saja.
Cikarang, 26 Januari 2014