Sewu Kuto - Didi Kempot
Sewo kuto uwis tak liwati/ sewu ati tak takoni/ nanging kabeh podo ra ngerteni/ lungomu neng endi.
Pirang tahun anggon kunggoleki/ seprene durung biso nemoni.
Wis tak cobo nglaliake/ jenengmu soko atiku/ sak tenane aku ora ngapusi/ isih tresno sliramu.
Umpamane kowe uwis mulyo/ lilo aku lilo/ yo mung siji dadi panyuwunku/ aku pengen ketemu.
Wis tak cobo nglaliake/ jenengmu soko atiku/ sak tenane aku ora ngapusi/ isih tresno sliramu.
Umpamane kowe uwis mulyo/ lilo aku lilo/ yo mung siji dadi panyuwunku/ aku pengen ketemu.
Senajan sak kedeping moto/ tak nggo tombo kangen jeroning dodo.
Senajan wektu mung sedelo/ tak
nggo tombo kangen jeroning dodo.
Terjemahan bebas:
Seribu kota telah kulewati/ seribu
hati telah kujalani/ tapi tak ada seorangpun yang tahu/ dimana dirimu.
Bertahun-tahun kumencari/ meski
hingga kini belum kutemui.
Telah kucoba melupakan/ namamu dari
hatiku/ meski sebenarnya aku tak kan kupungkiri/ aku masih mencintaimu.
Bila nyatanya kini kau sudah bahagia/ aku rela/ tapi
hanya satu pintaku/ aku ingin bertemu.
Walaupun hanya sekejap mata/ itu akan jadi pengobat rindu
dalam dadaku.
Walaupun hanya sebentar saja/ itu akan jadi pengobat
rindu dalam dadaku.
***
Entahlah bagaimana tepatnya. Tapi bila saya mendengar
sebuah cerita cinta yang dibalut dalam nuansa lokal, maka saya seperti bisa lebih
merasakan kedalaman kisahnya. Itu bisa saja diungkapkan dalam bahasa daerah, atau
bisa juga dengan tata-cara yang khas bersifat turun-temurun khas suatu daerah tertentu, atau dengan
berjalan di suatu daerah yang kental dengan budaya-budaya yang arif. Ah,
entahlah. Tapi entah bagaimana, saya seperti lebih bisa merasakan nuansa romantisnya, terasanya sangat jujur, menggambarkan siapa mereka adanya dengan keunikan yang sungguh-sungguh asik.
Juga dengan lagu ini. Setelah beberapa minggu kemarin menanyakan arti kata-per-kata
lagunya pada seorang kawan yang fasih berbahasa jawa, saya
coba meresapi ungkapan-ungkapannya. Saya pikir ini luar biasa. Saya merasa sangat
hidup saat mendengarnya. Benar-benar sangat hidup. Meski sebagian dari kawan-kawan
mungkin tak kan mengerti tentang apa yang saya katakan ini. Heheu. Tapi benar itulah
yang saya rasakan. Saya ungkapkan di sini: saya bukannya anti dengan lagu-lagu cinta yang
diungkapkan dengan bahasa umum. Beberapa di antaranya malah ada yang sangat
saya sukai. Tapi menurut saya lagu-lagu seperti ini khas sekali. Khas sekali.
Ya. Beberapa orang mungkin akan menganggap berbicara bahasa
daerah, apalagi tentang cinta, adalah suatu yang terasa kampungan. Terlalu gengsi bila
harus seperti itu. Beberapa akan lebih merasa gagah dan megah bila
mengungkapkan pikir-cinta-nya dalam bahasa Indonesia, bahasa gaul elo-gue yang
keren, atau bahasa Inggris. Bagi sebagian orang hal itu bisa membawa kesan
modern dalam penyampaiannya. Ya, saya tak menganggap itu masalah juga sebenarnya, biar
saja. Toh setiap orang berbeda ya. Maka saya akan menghormatinya dengan sungguh-sungguh. Tapi
jujur saja, saya sering merasa sedikit “sedih” bila ada sebagian kawan yang
menganggap menggunakan bahasa daerahnya adalah sesuatu yang rendah, takut dianggap orang
kampung. Hmmm. Tapi, ya, biar saja. pilihan untuk merasa seperti itu adalah milik mereka
sepenuhnya.
Berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun,
berbelas-puluh tahun, saya tetap berpikir dan merasa sepenuh sadar bahwa saya adalah seorang anak kampung.
Saya sama sekali tak pernah mempermasalahkan itu. Saat dulu tinggal di kota kecil di salah satu sudut
Bengkulu itu, maka saya berusaha menggunakan bahasa dan tata kramanya sebaik
mungkin. Saat tinggal di Kota Kembang itu pun saya berusaha sungguh-sungguh untuk menggunakan bahasa
dan tata-krama kotanya. Pun saat singgah di tanah Jawa, saya berusaha sebaiknya
melakukan hal yang sama. Tak jauh beda, saat berada di forum resmi internasional,
saya akan mencoba bersikap selayaknya. Tanpa harus merasa lupa tentang siapa
saya sebenarnya, dari mana saya berasal, dimana saya dibesarkan dan belajar
hidup. Saya tetap bangga dengan itu.
Hah. Paragraf di atas seperti melebar kemana-mana ya? Heheu.
Tapi saya pikir hal itulah yang mendasari bagaimana saya bisa meresapi kisah-kisah
bernuansa lokal, terutama kisah sesakral cerita cinta. Bagi saya itu jujur,
romantis, dan patut dihargai lebih baik dan banyak. :)
Terima kasih buat Mbak Puji Rahayu buat bantuan terjemahannya, Matur suwun. :)
Cikarang, 28
Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar