Selasa, 28 Januari 2014

Kisah Lokal dan Cerita Lainnya

Sewu Kuto - Didi Kempot

Sewo kuto uwis tak liwati/ sewu ati tak takoni/ nanging kabeh podo ra ngerteni/ lungomu neng endi.
Pirang tahun anggon kunggoleki/ seprene durung biso nemoni.
Wis tak cobo nglaliake/ jenengmu soko atiku/ sak tenane aku ora ngapusi/ isih tresno sliramu.

Umpamane kowe uwis mulyo/ lilo aku lilo/ yo mung siji dadi panyuwunku/ aku pengen ketemu.
Senajan sak kedeping moto/ tak nggo tombo kangen jeroning dodo.
Senajan wektu mung sedelo/ tak nggo tombo kangen jeroning dodo.

Terjemahan bebas:

Seribu kota telah kulewati/ seribu hati telah kujalani/ tapi tak ada seorangpun yang tahu/ dimana dirimu.
Bertahun-tahun kumencari/ meski hingga kini belum kutemui.
Telah kucoba melupakan/ namamu dari hatiku/ meski sebenarnya aku tak kan kupungkiri/ aku masih mencintaimu.
Bila nyatanya kini kau sudah bahagia/ aku rela/ tapi hanya satu pintaku/ aku ingin bertemu.
Walaupun hanya sekejap mata/ itu akan jadi pengobat rindu dalam dadaku.
Walaupun hanya sebentar saja/ itu akan jadi pengobat rindu dalam dadaku.

***
Entahlah bagaimana tepatnya. Tapi bila saya mendengar sebuah cerita cinta yang dibalut dalam nuansa lokal, maka saya seperti bisa lebih merasakan kedalaman kisahnya. Itu bisa saja diungkapkan dalam bahasa daerah, atau bisa juga dengan tata-cara yang khas bersifat turun-temurun khas suatu daerah tertentu, atau dengan berjalan di suatu daerah yang kental dengan budaya-budaya yang arif. Ah, entahlah. Tapi entah bagaimana, saya seperti lebih bisa merasakan nuansa romantisnya, terasanya sangat jujur, menggambarkan siapa mereka adanya dengan keunikan yang sungguh-sungguh asik.

Juga dengan lagu ini. Setelah beberapa minggu kemarin menanyakan arti kata-per-kata lagunya pada seorang kawan yang fasih berbahasa jawa, saya coba meresapi ungkapan-ungkapannya. Saya pikir ini luar biasa. Saya merasa sangat hidup saat mendengarnya. Benar-benar sangat hidup. Meski sebagian dari kawan-kawan mungkin tak kan mengerti tentang apa yang saya katakan ini. Heheu. Tapi benar itulah yang saya rasakan. Saya ungkapkan di sini: saya bukannya anti dengan lagu-lagu cinta yang diungkapkan dengan bahasa umum. Beberapa di antaranya malah ada yang sangat saya sukai. Tapi menurut saya lagu-lagu seperti ini khas sekali. Khas sekali.

Ya. Beberapa orang mungkin akan menganggap berbicara bahasa daerah, apalagi tentang cinta, adalah suatu yang terasa kampungan. Terlalu gengsi bila harus seperti itu. Beberapa akan lebih merasa gagah dan megah bila mengungkapkan pikir-cinta-nya dalam bahasa Indonesia, bahasa gaul elo-gue yang keren, atau bahasa Inggris. Bagi sebagian orang hal itu bisa membawa kesan modern dalam penyampaiannya. Ya, saya tak menganggap itu masalah juga sebenarnya, biar saja. Toh setiap orang berbeda ya. Maka saya akan menghormatinya dengan sungguh-sungguh. Tapi jujur saja, saya sering merasa sedikit “sedih” bila ada sebagian kawan yang menganggap menggunakan bahasa daerahnya adalah sesuatu yang rendah, takut dianggap orang kampung. Hmmm. Tapi, ya, biar saja. pilihan untuk merasa seperti itu adalah milik mereka sepenuhnya.

Berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun, berbelas-puluh tahun, saya tetap berpikir dan merasa sepenuh sadar bahwa saya adalah seorang anak kampung. Saya sama sekali tak pernah mempermasalahkan itu. Saat dulu tinggal di kota kecil di salah satu sudut Bengkulu itu, maka saya berusaha menggunakan bahasa dan tata kramanya sebaik mungkin. Saat tinggal di Kota Kembang itu pun saya berusaha sungguh-sungguh untuk menggunakan bahasa dan tata-krama kotanya. Pun saat singgah di tanah Jawa, saya berusaha sebaiknya melakukan hal yang sama. Tak jauh beda, saat berada di forum resmi internasional, saya akan mencoba bersikap selayaknya. Tanpa harus merasa lupa tentang siapa saya sebenarnya, dari mana saya berasal, dimana saya dibesarkan dan belajar hidup. Saya tetap bangga dengan itu.

Hah. Paragraf di atas seperti melebar kemana-mana ya? Heheu. Tapi saya pikir hal itulah yang mendasari bagaimana saya bisa meresapi kisah-kisah bernuansa lokal, terutama kisah sesakral cerita cinta. Bagi saya itu jujur, romantis, dan patut dihargai lebih baik dan banyak. :)

Terima kasih buat Mbak Puji Rahayu buat bantuan terjemahannya, Matur suwun. :)
Cikarang, 28 Januari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar