Sabtu, 21 Juni 2014

Muhammad Haikal Sedayo (2)

Dan hari pertama di sekolah menengah umum itu mungkin adalah sebuah titik terpenting dari perjalanan saya saat beranjak remaja. Dalam rentang waktunya itu, saya mulai mengenal beberapa kawan terbaik dengan lebih dekat, yang ternyata bisa membuat saya melihat semua hal menjadi lebih berwarna dari kacamata seorang remaja. Mereka berhasil memperlihatkan banyak hal tentang dimensi-dimensi yang belum pernah saya kenal sebelumnya. Mulai dari cara berteman, cara bertindak seenaknya khas remaja, cara melihat dan mengagumi perempuan sebaya, cara menyukai sesuatu, dan masih banyak lagi. Hingga kini saya menyadari bahwa saya memiliki masa remaja bersama kawan-kawan terbaik yang menarik dan terasa indah sekali. :)

***
Ahaha, mungkin sebaiknya saya mulai saja dengan yang ini: tentang percintaan remaja milik kawan yang ini. Jujur saja, kadang saya berpikir bahwa Haikal sedikit bodoh dalam menjalani kisah cinta remajanya, lol. Kadang saya tak habis pikir sendiri, kenapa dia dengan mudahnya menelan bulat-bulat saran-saran percintaan yang saya berikan, padahal saya yakin sekali dia tahu bahwa saat itu saya tak pernah serius dengan semua saran-saran itu. Beberapa saran konyol yang selalu saja berujung petaka baginya. Dan dia akan marah sekali dan menyalahkan saya habis-habisan atas hasil-hasil buruk yang dia terima, selalu begitu. Tapi tenang saja, karena kami akan selalu berbaikan lagi seolah tak pernah terjadi apa-apa di selang hari berikutnya. :D

Ah, sudah dulu tentang percintaan, sekarang saya mau bercerita tentang yang lain. Adalah hal yang lumrah bila anak seumuran saya waktu itu, ingin belajar memainkan alat musik gitar. Saya belajar bermain gitar pertama kali ke Haikal –saat itu dia sudah lebih dulu bisa bermain gitar. Saya masih ingat persis, pertama kali dia mengajarkan saya kunci C –saat itu saya dan Eman (salah satu teman terbaik yang lain) sengaja datang ke rumahnya untuk belajar gitar, kemudian kami diajarkan kunci A-minor lalu kunci F. Lagu pertama yang kami pelajari darinya waktu itu adalah lagu Dua Sejoli milik grup band Dewa. Ahahaa, saya ingat sekali hari itu, saya susah sekali belajar menekan kunci F. Tekun sekali kami belajar pelan-pelan sore itu, dengan Haikal yang semangat sekali mengajari kami sambil terus saja bernyanyi tak henti-henti: “hapus air matamu yang menetes di pipimu...”. Heheu. Hingga nantinya kami bertiga akan membentuk sebuah band musik asal-asalan yang diberi nama: Njaboy Band. What a stupid name! :)))

Hmm, sekarang saya akan bercerita sedikit serius: tentang Haikal yang mulai menggilai dunia mistis. Semuanya bermula saat tahun pertama kami masuk di sekolah ini, saat Haikal bersama kawan-kawan baik yang lain mulai mengikuti ekstrakurikuler Satria Nusantara –sedang saya tidak. Sebuah ekstrakurikuler dengan seragam kebesaran berupa kaos singlet biru yang mengajarkan anggotanya mengenai cara mengolah tenaga dalam untuk memecahkan botol kaca, membuat bohlam tak bisa pecah walau dibantingkan ke lantai, membuat lawan tak bisa mendekat saat berkelahi, menembakkan tenaga dalam pada orang lain, dan lain-lain. Singkat kata, saya sebutkan bahwa ekstrakurikuler ini diperuntukkan untuk orang-orang sakti! Dan Haikal adalah orang yang paling sakti dari kumpulan ini, dia diangkat sebagai ketuanya. Hingga cerita-cerita itupun dimulailah. Cerita tentang Haikal yang mulai mendalami ilmu kebatinan dengan lebih serius –dari dulu saya selalu menyebutnya sebagai Dukun Cilik, ahahahaa. Berikutnya banyak cerita-cerita tak masuk akal dia lakukan, dan ajaibnya, dia berhasil membuat kami mengikuti hobi gila-nya tersebut. Kami mulai suka bermain jelangkung, mengundang jin masuk ke dalam tubuh, belajar ilmu pelet pengasihan (yang tak pernah terbukti berhasil, lol), menyelidiki kasus apapun dengan pendekatan gaib, ekspedisi mistis, hingga mempelajari ilmu kebal –ya, kami semua pernah merasakan kebal senjata tajam. Dan referensi wajib kami waktu itu adalah majalah Misteri. Majalah bodoh yang selalu kami dapatkan dengan meminjam diam-diam milik orang tua dari seorang kawan baik yang lain, atau dengan membeli sendiri dari uang jajan harian kami yang sangat pas-pasan. Dan sudah jelas: Haikal adalah ketua kami dalam urusan dunia gaib ini! Dia adalah yang tersakti dari kami semua! –Detail dari cerita-cerita bodoh ini akan saya ceritakan di tulisan yang lain, karena akan terlalu panjang bila harus dibahas di sini, :D

Masa remaja kami –saya, Haikal dan kawan-kawan baik yang lain, juga tak lepas dari cerita kekerasan khas ala remaja. Kami akan berkelahi dengan siapapun dan tentang apapun. Tak peduli itu masalah yang benar-benar prinsip atau hanya perkara remeh saja, tak peduli itu masalah ke kakak kelas atau adik kelas, tak peduli itu perkelahian satu lawan satu atau keroyokan, bahkan tak peduli itu adalah masalah kami atau bukan. Tapi satu hal yang bisa saya pastikan: bahwa kami tak pernah mencari masalah membabi-buta layaknya berandalan. Kami tak pernah memeras minta uang dengan ancaman ke siapapun, kami tak pernah mencari masalah pada pihak yang kami tahu mereka tak akan berani melawan, kami tak pernah melawan fisik pada orang tua dan guru, kami tak pernah melakukan hal “buruk” pada perempuan seperti yang biasa dilakukan oleh anak remaja laki-laki masa kini. Ya, saya pikir kami tak pernah jadi berandalan.

Hahaa, saya katakan begini: mungkin saya adalah salah satu orang yang paling banyak mengetahui cerita remaja dari si kidal ini. Saya yakin sekali tentang hal itu. Karena dulu dia sering menulis diari, dan saya sering sekali membacanya diam-diam, ahaha. Kadang saya membacanya di rumahnya saat dia sedang pergi, kadang saya membawa diarinya semalaman dan membacanya di rumah saya. Dan memang  perbuatan saya itu jelas salah sekali, tapi yah, namanya juga remaja –saya sama sekali tak merasa salah waktu itu, :D. Dan Haikal tak pernah tahu bahwa saya sering kali diam-diam membaca diarinya, hingga akhirnya saya mengakuinya sendiri saat kami sudah merantau ke tanah Priangan, tanah yang sangat asing bagi kami waktu itu. Tanah yang selanjutnya akan kami gunakan untuk memulai cerita-cerita pribadi/kami yang lain.

Yang meski dia selalu berkeras mengatakan bahwa dia adalah orang yang sangat ordinary (baca: normal, biasa), tapi sebenarnya dia adalah salah satu kawan terantik yang pernah saya temui, bahkan sampai detik ini. :D

Cikarang, 22 Juni 2014

Kamis, 19 Juni 2014

Sisi-sisi Bangun Ruang

“Sebenarnya saya pikir kita adalah sebuah bangun ruang, bukan bangun datar.”

***
Saya pikir kita bisa saja menyebut diri kita adalah sebuah titik. Dan titik adalah sebuah ruang, saya selalu mempercayai seperti itu. Sebuah titik adalah gabungan titik-titik yang sebenarnya membentuk sisi-sisi yang terhubung sekaligus menyatu –di dalam konsep biologi, inilah yang disebut individu. Sisi-sisi ini membentuk sebuah ruang.  Di dalam ruang tersebut adalah bentuk kosong. Dan di dalam ruang itulah kita ada. Dan lawan dari bangun ruang adalah ketiadaan. Sedang kosong bukanlah ketiadaan. Kosong merupakan tempat bersinggungannya dimensi ruang, waktu, dan kejadian.

Di dalam bangun ruang itu kita bermain. Menuju satu sisinya kemudian pergi lagi ke sisi yang lain. Dan permainan itu kita lakukan dalam dimensi waktu. Kita tak kan pernah ada di dua sisi di satu waktu yang sama. Bila dilihat dari luar, mungkin saja kita terlihat seperti berada di dua sisi yang berlainan di waktu yang sama. Padahal tidak. :) Mungkin kamu ingat saya pernah katakan bahwa kita adalah sebuah bola transparan yang di dalamnya terdapat liquid bergerak berwarna-warni? Ya, saya pikir benar miriplah seperti itu. Dan bangun datar? Bukan, saya pikir kita bukan bangun datar.

Tapi ngomong-ngomong, tulisan ini bukan bicara tentang dzat ketuhanan. Karena sepertinya dzat itu adalah sesuatu yang berbeda. Dia bukan tentang bangun ruang dan/atau ketiadaan, tapi dzat itu sepertinya melahap keduanya. Lagian, saya tak terlalu berminat bicara Tuhan melalui cara-cara seperti ini. :p

Saya juga bingung, sebenarnya ini saya lagi ngomongin apa, lol
Cikarang, 19 Juni 2014

Rabu, 18 Juni 2014

Malam di Penghujung Juli 2009

Cik Yan Lis dan Kartiniwati di 1983
Malam itu belum jauh dari tujuh hari setelah meninggalnya ibu. Suasana di rumah kami sepi, sanak-saudara sudah kembali ke rumahnya masing-masing. Dan lepas isya, setelah selesai salat berjamaah bersama kakak dan ayah di ruang tengah dari rumah kami yang rasanya senyap sekali, saya menuju kamar di sebelah depan. Saat itu sebenarnya saya berencana untuk langsung tidur saja, saya merasa letih sekali hari itu. Terlentang di atas kasur yang nyaman, menatap langit-langit putih dan tumpukan barang-barang yang memenuhi kamar, pikiran saya melayang. Melihat gelap dari ruang tengah yang lampunya sudah dimatikan setelah kami salat tadi, juga suara televisi dari ruangan belakang yang sayup. Saya tak kunjung bisa tertidur. Pikiran saya masih dipenuhi kenangan tentang ibu. Saya berpikir sendiri waktu itu: “biasanya di saat-saat seperti ini, ibu dan ayah tengah menonton tayangan apa saja. Tapi saat ini tidak, ibu sudah tak ada lagi”. Dan hal itu membuat saya sedikit gelisah.

Memutuskan beranjak dari kamar, saya duduk sendiri di ruangan tengah itu di antara sinar lampu temaram dari teras rumah. Memandangi deretan foto-foto besar yang terpajang, saya mulai merasa lebih tenang. Dari sana terdengar suara kakak yang tengah beraktivitas di kamarnya sendiri, saya mulai bertanya sendiri kiranya ayah dimana. Berjalan menuju ruang keluarga di belakang, saya temukan ayah tengah duduk sendiri menonton televisi. Saya tahu, sepertinya ayah juga tengah memikirkan hal yang tak jauh dari apa yang sedang saya pikirkan: tentang ibu. :)

Saya hampiri dia yang berusaha kuat untuk tetap terlihat ceria saat saya berjalan melintas. Duduk di seberangnya, saya mulai menanyakan hal-hal yang lain. Seperti biasa, ayah menjawab antusias dan senyum-senyum. Hingga saya berpikir suasananya sudah lebih baik sekarang, saya bertanya hal lain yang ternyata sedikit membuat ayah terkejut: “ayah, coba sekarang ceritakan tentang bagaimana ayah bertemu dengan ibu dulu?”. Dia terdiam sejenak, menenangkan diri, dan kemudian menjawab dengan senyum-senyum: “baiklah, karena kamu yang bertanya, maka sekarang ayah akan bercerita tentang itu”. Saya tertawa mendengarnya. 

Maka dimulailah ceritanya, beberapa penggal kisah yang menggelitik namun beralur jelas. Dia lancar sekali bercerita dengan penuh semangat dan rasa bangga. Pikirannya pasti tengah kembali ke sebuah babak di puluhan tahun yang lewat. Dengan melibatkan beberapa pemeran figuran yang lain, seperti kawan-kawannya dan anggota keluarga ibu yang lain, dan dengan dia yang berperan sebagai pemeran utama. Sambil kadang terbahak lepas, dia katakan pada saya dengan wajah serius: “dalam cerita ini, saya akan menyebutkan ibumu dengan sebutan: Kartini, karena saat itu saya tidak mengenalnya sebagai ibumu, tapi sebagai seorang gadis bernama Kartini”. Saya iyakan. :D Lanjut saya simak dengan baik ceritanya yang terasa nyata sekali, dengan ayah yang bahagia sekali saat itu. Saya bisa merasakannya.

Mungkin sudah lebih dari satu jam, dan ayah memutuskan untuk tidur dulu. Dia mengantuk, katanya begitu. Setelah iyakan, saya kembali ke kamar depan. Mengambil komputer lipat ini dan membawanya ke ruangan tengah lalu menyalakannya. Saya memutuskan untuk berusaha menuliskan kisah yang ayah ceritakan tadi. Tapi ternyata susah sekali. Susah sekali. Saya tahu, bahwa saya kesulitan untuk melibatkan soul kisah itu ke dalam tulisannya. Saya pikir mungkin cerita itu hanya bisa dituliskan oleh ayah sendiri. Ya, saya pikir begitu. Hingga akhirnya saya hanya menuliskan sebuah tulisan dari sudut pandang orang ketiga saja: tentang saya yang melihat ayah bercerita. Dan di satu titik yang tak jauh, ternyata saya tetap saja tak bisa melanjutkan menulis ceritanya. Kamu tahu, memang ada beberapa kisah yang, ternyata, tak benar bisa dituliskan. Saya hanya bisa menuliskannya seperti ini.

***
Berkisahlah sang pemujanya tentang cerita dahulu sejak pertama bertemu hingga kini. Nampak senang dalam ekspresi, bercahaya pula dari sinar wajah. Mungkin karena terbang terlalu asik dalam alunan memori. Yang terulangnya hanya terbatas pada ingatan akan suatu rentetan peristiwa yang melegenda, dan mustahil terlupa. Sehingga membayangkannya, mabuklah sang pemuja, larut terbawa buai ekstasi, mabuk madu.

Dalam derai angin malam yang biasa, tak banyak suasana yang berubah dengan waktu itu. Dan dimulai. Sebuah perkenalan hangat yang disambut suka-suka, begitu melekat di sini, di dalam ingatan dan ekspresi kekinian. Selanjutnya disambung dengan bermacam intrik, hikmah, permainan logika dan sebuah simpulan sederhana. Dan ditutupnya dengan deheman singkat saat sang cintanya pergi di ketenangan harapan juga senyum.

Sang pemuja mengerti bahwasanya cerita bersama itu ada akhirnya. Pemahamannya tentang itu sudah matang untuk dijadikan contoh dan petunjuk dalam bersikap. Sehingga menceritakan kisah-kisah paling romantis ini bukan sekedar menjadi pengisi waktu menghabiskan malam, tapi lebih dari itu,

***
Saya tahu, tulisan saya di atas memang seolah tak memiliki soul di dalamnya. Tapi saya sama sekali tak keberatan untuk mengunggahnya saat ini. Sebuah tulisan yang selalu mengingatkan saya bahwa kisah-kisah pribadi tak akan pernah bisa “dicuri” oleh siapapun, bahkan oleh anaknya sendiri sekalipun. :)

Cikarang, 18 Juni 2014

Senin, 16 Juni 2014

Salam Rindu Untuk Ayah

Bukan hal yang disengaja, saat malam ini mendengarkan lagi lagu yang manis sekali milik Ebiet G Ade berjudul “Titip Rindu Buat Ayah”. Saat ini, tetangga kos-kosan yang ini tengah memutarkan lagu itu perlahan dari kamarnya, saya terpaku mendengarkan. Sembari berselonjor di lorong depan kamar dan segelas kopi manis yang hangat, saya menyadari bahwa kadang saya sering sekali lupa pada ayah di rumah kami itu. Terbayang sosoknya tengah diam duduk memperhatikan seperti yang biasa dilakukannya di hari-hari yang juga biasa, sekarang saya tersenyum sendiri. Di hari-hari itu, saya akan dengan senang hati menyapa dan duduk di sekitarnya hanya untuk bertanya hal-hal yang sebenarnya saya sudah tahu jawabannya. Lalu kami berdialog yang panjang, banyaknya saya hanya akan mendengarkan dia bercerita. Saya tahu. Saya tahu, dia suka bercerita. Saya hanya perlu memulainya sedikit. :)

Saya simpulkan, ayah saya adalah seorang yang keras sekaligus lembut. Saya katakan seperti itu. Dia akan bersikap manis sekali terhadap (Almh) ibu dan kakak perempuan saya, malah terkesan takut dan tunduk sekali, saya serius, ahahaa. Tapi dia keras sekali terhadap saya. Dan tak perlu saya ceritakan bagaimana, tapi memang seperti itulah. Tapi bukan berarti kami berdua tak dekat. Kedekatan kami itu lebih seperti dua kawan yang tak terlalu intens bertukar sapa. Dia pasti menegur dengan keras saat saya berbuat salah, sedang bila tidak, maka dia akan lebih senang untuk tidak menyapa. Dia lebih memilih tak banyak berekspresi saat saya sedang berapi-api menceritakan keberhasilan yang saya dapatkan. Selalu begitu. Kadang saya merasa sebal sekaligus aneh sendiri karenanya, ahahaa. Dan hal itu pulalah yang menyebabkan saya yang lebih sering mendekatinya dibandingkan dia yang mendekati saya.

Satu hal yang mungkin paling saya sukai darinya adalah saat dia tengah duduk diam memperhatikan. Saat rumah kami sedang ramai sekali oleh saudara-saudara yang datang, dengan anak-anak kecil berlarian dan perempuan-perempuan kami yang sedang saling asik bercerita serta hilir mudik kakak-kakak sepupu di dalam rumah, dan dia akan duduk saja dengan tenang di atas kursi itu sambil memperhatikan semuanya. Kadang dia tersenyum-senyum sendiri melihat tingkah anak-anak kecil yang mudah sekali menjerit, kadang ikut berkomentar beberapa patah kata untuk kemudian berdiam lagi. Mungkin dia tak pernah menyadari bahwa saya sering memperhatikan dia yang tengah memperhatikan. Atau mungkin kadang dia juga sering memperhatikan saya yang sedang memperhatikan semua. Pusing ya? ahahaa. Tapi memang kadang seperti itulah interaksi kami.

Ah, sepertinya cerita saya ini sama sekali tak beralur. Heheu. Sebenarnya saat ini saya sedang rindu pada ayah saya saja, sesederhana itu. Semoga saja akhir bulan depan kami bisa bertemu, menjelang lebaran. Nanti saya akan mengajaknya berdua duduk di teras rumah, mengobrol apa saja, sambil melihat hilir-mudik kendaraan dan kenalan yang entah tengah menuju kemana saja. Persis seperti hari-hari kami kemarin.

Sampai ketemu, Yah. Sekarang kita santai-santai dulu aja. ;)
Cikarang, 16 Juni 2014

Jumat, 13 Juni 2014

Analisa Kepribadian Online - Five Labs

Malam ini saya melihat sebuah analisa psikologi yang ditawarkan di laman sosial media. Di situ disebut bahwa analisa ini dilakukan oleh Five Labs dari University of Pennsylvania, dengan menggunakan 5 aspek kepribadian: agreeableness, neuroticism, conscientiousness, extraversion dan openness, sebagai parameter analisanya. Selain itu, analisa yang mereka lakukan juga disebut didasarkan pada studi bahasa terhadap beberapa postingan yang pernah kita tulis di akun sosial media kita. 

Saya pikir ini menarik. Sedikit janggal memang bagaimana mereka bisa membaca kepribadian saya lewat postingan status-status saya yang lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia. Bagaimana bisa? Mungkin bisa saja mereka menjawab dengan mempelajari dan mengolah bahasa (atau lebih tepatnya: kata-kata) yang saya gunakan. Hmm, tapi bagaimana bisa mereka menerjemahkannya untuk orang-orang yang biasa menggunakan bahasa “alay” –yang bahkan saya orang Indonesia saja kadang tak mengerti orang tersebut tengah bicarakan apa (atau mungkin mereka tidak menyuplik bagian itu?), ahaha. Tapi ya sudahlah, biarkan, saya baca-baca saja. Dan mungkin karena saya memang memiliki ketertarikan lebih pada psikologi saja, jadi saya ikuti. Setidaknya saya jadi tahu bahwa, secara teori, 5 aspek tersebut bisa dijadikan sudut pandang dalam memahami kepribadian seseorang. :D

Agreeableness
Kecenderungan untuk lebih memilih  mengasihi dan bekerja sama dari pada bersifat curiga dan menentangkan diri kepada orang lain. Juga biasa dijadikan ukuran untuk melihat apakah seseorang tersebut bisa dipercaya, suka menolong dan termasuk tipe pemarah atau bukan.

Neurocitism
Kecenderungan untuk beradaptasi dengan baik terhadap pengalaman emosional yang tidak menyenangkan, seperti marah, cemas, depresi. Juga menunjukkan tingkat kestabilan emosional dan kontrol diri.

Conscientiousness
Kecenderungan untuk tergantung pada orang lain, disiplin pada diri sendiri, patuh, konsentrasi pada tujuan dan hidup dengan sangat terencana.

Extraversion
Enerjik, memiliki emosi positif yang melimpah, tegas, kemampuan bersosialisasi yang baik, dan menonjol di lingkungannya.

Openness
Mencerminkan kecerdasan intelektual, kreativitas dan aktualisasi diri. Juga menggambarkan seseorang tersebut imaginatif, mandiri serta kecenderungannya untuk kurang menyukai aktivitas yang bersifat rutin.

***
Dan ternyata hasil olahan mereka berdasarkan 3.070 kata yang pernah saya pakai di postingan adalah begini:

Hasil analasis kepribadian oleh Five Labs tentang saya, :D
Di antara kelima faktor kepribadian yang dijadikan parameter tersebut, saya disebut memiliki kecenderungan besar pada neuroticism, kemudian diikuti openness dan agreeableness. Selain itu, mereka menyebutkan bahwa saya lemah di parameter conscientiousness dan extraversion. :))

Hmm, saya lebih memilih tidak berkomentar. Mungkin mereka benar, mungkin juga tak terlalu benar. Biar saja. Begitu versi mereka. ;)

Untuk kawan-kawan yang ingin mencoba, silahkan kunjungi lamannya di: lab.five.com
Cikarang, 13 Juni 2014

Rabu, 11 Juni 2014

Di Pojok Sore (12) : Some Nights Intro

Sorenya hujan. Padahal tadi setengah 4, langit masih terang sekali. Bukan hujan besar memang, tapi cukuplah buat sorenya di sini sejuk, saya pikir pas sekali buat duduk-duduk melihat Cikarang sore di bawah Mahoni 3 tahunan, di antara guyur gerimisnya yang tanggung-tanggung.

Di pinggir jalanan besar ini sepi sekali, jauh dari biasa. Saat ini yang ada hanya saya sendiri. Tak ada kawan yang lain, pedagang-pedagang yang selalu murah senyum itupun sama. Kini menyeruput perlahan segelas kopi panas yang dibawa dari dalam kantor, saya biarkan Fun. bernyanyi dari balik earphone yang sepertinya tahan air ini. Dimulailah dari lagu pertamanya yang sepi instrumen, tak sadar saya ikut hanyut di dalamnya.

Dan saya tersadar, bahwa ternyata saya tak pernah benar mendengarkan lagu ini. Lagu yang mungkin sudah ratusan kali saya khatamkan, tapi nyatanya saya tak pernah benar teliti. Sebuah lagu yang selama ini hanya saya anggap sebagai sebuah pengantar (intro) untuk lagu-lagu berikut di albumnya itu, dan judulnya pun tertulis begitu: Some Nights Intro. Mungkin karena hal itu pulalah, saya jadi tak pernah terlalu tertarik untuk mendengarkannya baik-baik. Saya dengarkan sekarang, saya menyadari bahwa lirik dalam lagu ini bagus sekali. Bagus sekali. Takjub saya menyimaknya. :)

"Some Nights (Intro)" - Fun.

There are some nights I hold to every note I ever wrote
Some nights, I say, "Fuck it all!" Stare at the calendar
Waiting for catastrophes, imagining they'd scare me
Into changing whatever it is I am changing into...

And you have every right to be scared.

'Cause there are some nights I hold you close, pushing you to hold me
Or begging you to lock me up, never let me see the world
Some nights, I live in horror of people on the radio
Tea parties and Twitter, I've never been so bitter.

And you, why you wanna stay?
Oh my God! Have you listened to me lately?
Lately, I've been going crazy.

And you, why you wanna stay?
Oh my God! Have you listened to me lately?
Lately, I've been fucking crazy.

There are some nights I wait for someone to save us
But I never look inward, try not to look upward
And some nights I pray a sign is gonna come to me
But usually, I'm just trying to get some sleep.

Some nights!

***
Dan mungkin memang seperti yang berulang kali saya tuliskan sebelumnya: bahwa adalah sebuah pilihan yang bebas untuk mau dan sempat mengindrai segala sesuatu dengan teliti atau tidak. Pun sore ini, saat di sekitar tengah sepi, dan satu-satunya kawan adalah dia yang bernyanyi, saya tahu, bahwa saya tak sengaja melewatkan ini sebelumnya. Bukan sebuah kesalahan memang, tapi sebenarnya saya lebih memilih untuk berusaha mengindrai apapun sebaik mungkin, semampu saya saja. Dan bila nyatanya masih saja tetap terlewat, tentu juga bukan masalah. Karena hal itu pulalah yang akhirnya menegaskan bahwa saya hanya manusia, bukan malaikat. Saya pikir itu sebuah pertanda bagus. ;)

Cikarang, 11 Juni 2014

Kamis, 05 Juni 2014

Sebuah Hipotesis dari Pemahaman Partial tentang Psikologi

Selesai berolahraga bersama seorang kawan di kos-kosan kami yang sederhana, tiba-tiba saya terpikir untuk menunjukkan kepadanya beberapa trik sederhana. Beberapa trik yang sederhana sekali sepertinya, saya pikir begitu. Saya melakukan gerakan jungkir balik dengan bertopang pada sebuah tongkat besi yang kami biarkan melintang dua meter di atas lantai. Juga gerakan melompat menggapai besi tersebut dari jarak yang tak terlalu jauh. Selesai menunjukkan gerakannya, sambil senyum-senyum, saya berucap pada kawan tersebut: “coba kamu membuat gerakan seperti saya tadi”. Dia menjawab: “tidak! Saya pikir itu berbahaya, dan tak ada manfaatnya juga. Lagian sepertinya saya tidak yakin kalau saya bisa melakukannya”. Mendengar jawabannya itu, saya semakin tertarik. Saya ingin mengetahui apa yang dia pikirkan tentang semua ini. Hingga kami berdialog sedikit panjang tadi, saya suka sekali.

Saya katakan padanya bahwa saya sepenuhnya sadar, yang saya lakukan tadi memang sedikit berbahaya. Saya juga tahu bahwa hal itu juga tak memiliki manfaat apa-apa. Dan saya juga sama: sebenarnya saya tak terlalu yakin kalau saya bisa melakukannya atau tidak. Ya, begitu. Tapi saya mau melakukannya, itu saja :). Bukan tentang manfaat apa yang bisa saya dapat, bukan juga tentang saya yakin bisa melakukannya atau tidak. Sesederhana: saya hanya ingin melakukannya. 

Saya jadi teringat beberapa hal serupa di beberapa saat di waktu yang lewat. Seperti saat sedang memiliki uang 1,5 juta rupiah di total uang yang saya miliki di dompet dan tabungan, untuk bekal hidup sebulan. Saat itu, saya memilih untuk meminjamkan sebagian uangnya ke kawan yang sedang butuh pinjaman, sebagian saya beri-berikan saja ke kawan-kawan yang keliatannya sedang banyak uang, sebagian saya beri-berikan ke kawan yang sepertinya memang sedang butuh uang tapi tak berani meminjam karena hawatir tak bisa mengembalikannya tepat waktu. Hingga uang yang tersisa tinggal 150 ribu rupiah, dan saya hidup sedikit susah dan pas-pasan sebulan itu. Saat uang itu ternyata tak cukup untuk biaya hidup sebulan, saya memutuskan untuk meminjam uang ke kawan yang lain, dan nanti saat saya punya uang, saya akan mengembalikannya sesegera mungkin. :D

Atau yang lain lagi. Sore itu sedang hujan besar, dan saya memilih untuk memberikan ongkos pulang yang saya miliki ke seorang kawan pedagang lumpia di gerbang belakang kampus Ganesha. Dia sempat bertanya waktu itu: “ini uang apa?”. Saya jawab: “saya sedang banyak uang, biar kita bagi-bagi sekarang”. Lanjut dia terima, kami tertawa. Sebenarnya saat itu, saya jauh sekali dari banyak uang. Uang lima ribu yang saya berikan padanya tadi adalah total uang yang saya punya saat itu. Hingga akhirnya sore itu menunggu dulu hingga hujannya reda, dan di penghujung magribnya saya pulang berjalan kaki menuju kos-kosan di daerah Ledeng di atas sana.

***
Hmm, mungkin kadang sebagian orang menilai saya membahayakan diri sendiri untuk hal-hal yang tak bermanfaat, saya menyiksa diri sendiri, saya berpikir terlalu pendek, saya disebut kadang bertindak bodoh, dan banyak lagi yang lain. Saat beberapa kawan menyebutkan seperti itu, saya hanya tertawa-tawa saja. Saya tak terlalu berminat mendebatkan hal ini sebenarnya, heheu. Tapi saat mereka sedang bertanya terbuka, dengan senang hati saya akan menjelaskan. "Apa kamu tahu? Sebenarnya saya tak pernah terlalu berpikir untuk mendapatkan pahala. Saya juga sama sekali tak berminat disebut dermawan oleh siapapun. Saya melakukannya hanya karena saya mau saja, sepertinya begitu". :D

Saya tak bicara tentang menantang bahaya seperti para penggila adrenalin, saya tak bicara tentang mencoba cara hidup orang-orang suci, apalagi mencoba menyiksa diri. Kenapa disebut menyiksa diri bila nyatanya saya melakukan semua itu dengan senang hati. Saya gembira. Hmm, baiklah, sekarang saya beritahu tentang sebuah rahasia: “sebenarnya saya tak terlalu mengerti mengapa saya melakukan semua itu, karenanya saya hanya akan jawab ‘karena saya mau’ saja”. Hahaa. Tapi terkadang saya juga mengira-ngira sendiri kiranya kenapa saya melakukan hal-hal itu. Sejauh ini saya hanya berhipotesis bahwa mungkin saya hanya senang bermain di perbatasan interaksi dunia pikiran orang lain dan pikiran saya sendiri. Sebuah hipotesis yang saya susun berdasarkan ketertarikan saya pada serba-serbi psikologi, dimana saya mencoba mengenali diri saya sendiri lewat cerminan orang-orang yang saya temui dan batas-batas pikiran yang saya miliki.

Terima kasih untuk Haikal Sedayo untuk diskusi filsafat dan psikologi-nya sore itu. Diskusi yang saya tak tahu sudah benar atau belum, tapi menurut saya itu menarik. Dan saya tak keberatan bila nyatanya saya masih salah mengerti. :)
Cikarang, 5 Juni 2014

Minggu, 01 Juni 2014

Jayagiri: Sebuah Permulaan

Kami di depan warung gubug sederhana itu pagi tadi, setelah 7 tahun absen datang bersama
Sepertinya ini bermula di pertengahan 2007. Saat itu, saya berencana mengunjungi suatu tempat atas saran dari seorang dosen pembimbing yang baik. Sebuah saran untuk melakukan riset Tugas Akhir S1 yang akhirnya saya kerjakan sebaik mungkin, dan diberi judul: Kerapatan dan Distribusi Cacing Tanah Pontoscolex corethrurus Mull. di Hutan Jayagiri, Bandung –sebuah hutan seluas 150 hektar yang berbatasan dengan Cikole, Lembang, Cisarua dan hutan Tangkuban Parahu di sebelah, timur, selatan, barat dan utaranya. Sebuah hutan wisata dengan dominasi signifikan pohon pinus di berbagai sudutnya, juga beberapa kelompok eucalyptus dan pepohonan heterogen di beberapa titiknya yang lain. Dan untuk keperluan riset tersebut, saya mengelilingi hampir setiap sudut hutannya. Rasanya itu menyenangkan sekali, untuk berulang kali mendatanginya, mendata berbagai hal yang tak semuanya saya tahu apa manfaatnya, atau hanya sekedar melepas penat dari kegiatan kampus yang kadang menjemukan.

Bersama seorang kawan yang baik sekali, dari pagi buta hingga siangnya yang panas atau bahkan tengah hujan raya, adalah sebuah cerita besar dari kenangan pribadi saya tentang Jayagiri. Seorang kawan yang dulunya tak terlalu saya kenal dengan baik di sepanjang hari-hari yang saya lewati, baik itu di kelas, di kegiatan himpunan, ataupun yang lain. Tapi satu hal yang masih saya ingat benar: saat siang atau sore itu dimana saya meminta bantuannya untuk menemani mengerjakan riset Tugas Akhir di Jayagiri, dan dia mengangguk tanda setuju. Saya senang dan jadi bersemangat sekali saat itu. :) 

Bantuannya itu sepertinya tak akan pernah bisa saya lupakan, saya mengatakan yang sebenarnya. Bagaimana saya tidak berkata seperti itu, karena nyatanya membantu saya di riset ini berarti mendaki-turuni perbukitan dengan jurang dan tebing yang kadang terlalu terjal, semak belukar yang seolah belum pernah dilewati siapapun, sungai-sungai kecil yang sedikit misterius, jauh dari keramaian, berikut mengangkat tanah hasil samplingnya yang dalam satuan kilogram. Hmm, mungkin kamu tak akan percaya bila saya katakan bahwa dia tak pernah saya beri imbalan serupiahpun, atau bahkan ongkos dan makannya di perjalanan inipun kadang dia keluarkan dari uang sakunya sendiri. Satu-satunya hal yang dia dapatkan saat itu adalah rasa lelah. Kamu percaya? :) Ya, sebaiknya percaya saja, karena memang seperti itu kenyataannya. Dan sekarang bisa saya katakan seperti ini: “mungkin dia memang tak mendapatkan manfaat nyata apapun dari bantuannya saat itu, tapi sebenar-benarnya dia mendapatkan rasa hormat dan kekaguman yang besar sekali dari saya sebagai pribadi”. Dan rasanya saat itu saya mulai mengerti bahwa berbuat baik adalah suatu hal yang sangat mulia. Satu hal yang benar-benar mulia. :)

Dan pagi ini, di awal Juni yang baik sekali, kami berdua baru sempat mendatangi lagi tempat dimana kami dulu biasa niagakan pagi dengan segelas kopi di depan sebuah warung gubug sederhana sebelum mulai bekerja. Tapi kali ini tidak, kami hanya habiskan paginya dengan meminum kopi, menghisap tutut yang enak sekali, menyantap aneka gorengan di piring kaca, mendengarkan Dylan bernyanyi, dan obrolan khas kawan lama yang selalu saja berusaha saling menasehati di selang gelak tawa kami yang sekali-sekali. Itu saja. Hingga akhirnya hari mulai lebih siang dan pengunjung yang lain mulai berdatangan jadi lebih ramai, kami memutuskan pulang.

***
Saya sering kali ucapkan: bagi saya, bicara mengenai Jayagiri tanpa mengingat kawan yang ini adalah sebuah hal yang salah. Dan apakah kamu tahu, bahwa mengingat kebaikan dari kawan tersebutlah yang menjadi cerita mula dari keterpesonaan saya pada hutan yang selalu saja terlihat cantik dari sudut manapun ini. Jayagiri.

Terima kasih yang banyak sekali untuk Dicky Rachmansyah. Juga untuk Lusfikar Sheba. Semoga selalu sehat, Kawan-kawan. Saya doakan. :)
Lembang, 1 Juni 2014
*Foto oleh salah seorang pengunjung yang saya lupa tanyakan namanya