![]() |
Cik Yan Lis dan Kartiniwati di 1983 |
Malam itu belum jauh dari tujuh hari setelah meninggalnya
ibu. Suasana di rumah kami sepi, sanak-saudara sudah kembali ke rumahnya
masing-masing. Dan lepas isya, setelah selesai salat berjamaah bersama kakak
dan ayah di ruang tengah dari rumah kami yang rasanya senyap sekali, saya menuju
kamar di sebelah depan. Saat itu sebenarnya saya berencana untuk langsung tidur
saja, saya merasa letih sekali hari itu. Terlentang di atas kasur yang nyaman,
menatap langit-langit putih dan tumpukan barang-barang yang memenuhi kamar,
pikiran saya melayang. Melihat gelap dari ruang tengah yang lampunya sudah
dimatikan setelah kami salat tadi, juga suara televisi dari ruangan belakang
yang sayup. Saya tak kunjung bisa tertidur. Pikiran saya masih dipenuhi
kenangan tentang ibu. Saya berpikir sendiri waktu itu: “biasanya di saat-saat seperti ini, ibu dan ayah tengah menonton
tayangan apa saja. Tapi saat ini tidak, ibu sudah tak ada lagi”. Dan hal
itu membuat saya sedikit gelisah.
Memutuskan beranjak dari kamar, saya duduk sendiri di
ruangan tengah itu di antara sinar lampu temaram dari teras rumah. Memandangi deretan
foto-foto besar yang terpajang, saya mulai merasa lebih tenang. Dari sana
terdengar suara kakak yang tengah beraktivitas di kamarnya sendiri, saya mulai
bertanya sendiri kiranya ayah dimana. Berjalan menuju ruang keluarga di belakang,
saya temukan ayah tengah duduk sendiri menonton televisi. Saya tahu, sepertinya
ayah juga tengah memikirkan hal yang tak jauh dari apa yang sedang saya
pikirkan: tentang ibu. :)
Saya hampiri dia yang berusaha kuat untuk tetap terlihat
ceria saat saya berjalan melintas. Duduk di seberangnya, saya mulai menanyakan
hal-hal yang lain. Seperti biasa, ayah menjawab antusias dan senyum-senyum. Hingga
saya berpikir suasananya sudah lebih baik sekarang, saya bertanya hal lain yang
ternyata sedikit membuat ayah terkejut: “ayah,
coba sekarang ceritakan tentang bagaimana ayah bertemu dengan ibu dulu?”. Dia
terdiam sejenak, menenangkan diri, dan kemudian menjawab dengan senyum-senyum: “baiklah, karena kamu yang bertanya, maka
sekarang ayah akan bercerita tentang itu”. Saya tertawa mendengarnya.
Maka dimulailah ceritanya, beberapa penggal kisah yang menggelitik
namun beralur jelas. Dia lancar sekali bercerita dengan penuh semangat dan rasa
bangga. Pikirannya pasti tengah kembali ke sebuah babak di puluhan tahun yang
lewat. Dengan melibatkan beberapa pemeran figuran yang lain, seperti
kawan-kawannya dan anggota keluarga ibu yang lain, dan dengan dia yang berperan
sebagai pemeran utama. Sambil kadang terbahak lepas, dia katakan pada saya
dengan wajah serius: “dalam cerita ini, saya
akan menyebutkan ibumu dengan sebutan: Kartini, karena saat itu saya tidak
mengenalnya sebagai ibumu, tapi sebagai seorang gadis bernama Kartini”. Saya
iyakan. :D Lanjut saya simak dengan baik ceritanya yang terasa nyata sekali, dengan
ayah yang bahagia sekali saat itu. Saya bisa merasakannya.
Mungkin sudah lebih dari satu jam, dan ayah memutuskan
untuk tidur dulu. Dia mengantuk, katanya begitu. Setelah iyakan, saya kembali
ke kamar depan. Mengambil komputer lipat ini dan membawanya ke ruangan tengah lalu
menyalakannya. Saya memutuskan untuk berusaha menuliskan kisah yang ayah ceritakan
tadi. Tapi ternyata susah sekali. Susah sekali. Saya tahu, bahwa saya kesulitan
untuk melibatkan soul kisah itu ke
dalam tulisannya. Saya pikir mungkin cerita itu hanya bisa dituliskan oleh ayah
sendiri. Ya, saya pikir begitu. Hingga akhirnya saya hanya menuliskan sebuah
tulisan dari sudut pandang orang ketiga saja: tentang saya yang melihat ayah
bercerita. Dan di satu titik yang tak jauh, ternyata saya tetap saja tak bisa melanjutkan
menulis ceritanya. Kamu tahu, memang ada beberapa kisah yang, ternyata, tak
benar bisa dituliskan. Saya hanya bisa menuliskannya seperti ini.
***
Berkisahlah sang pemujanya tentang cerita dahulu sejak
pertama bertemu hingga kini. Nampak senang dalam ekspresi, bercahaya pula dari sinar
wajah. Mungkin karena terbang terlalu asik dalam alunan memori. Yang
terulangnya hanya terbatas pada ingatan akan suatu rentetan peristiwa yang
melegenda, dan mustahil terlupa. Sehingga membayangkannya, mabuklah sang
pemuja, larut terbawa buai ekstasi, mabuk madu.
Dalam derai angin malam yang biasa, tak banyak suasana
yang berubah dengan waktu itu. Dan dimulai. Sebuah perkenalan hangat yang
disambut suka-suka, begitu melekat di sini, di dalam ingatan dan ekspresi
kekinian. Selanjutnya disambung dengan bermacam intrik, hikmah, permainan
logika dan sebuah simpulan sederhana. Dan ditutupnya dengan deheman singkat
saat sang cintanya pergi di ketenangan harapan juga senyum.
Sang pemuja mengerti bahwasanya cerita bersama itu ada
akhirnya. Pemahamannya tentang itu sudah matang untuk dijadikan contoh dan
petunjuk dalam bersikap. Sehingga menceritakan kisah-kisah paling romantis ini
bukan sekedar menjadi pengisi waktu menghabiskan malam, tapi lebih dari itu,
***
Saya tahu, tulisan saya di atas memang seolah tak memiliki soul di dalamnya. Tapi saya sama
sekali tak keberatan untuk mengunggahnya saat ini. Sebuah tulisan yang selalu mengingatkan
saya bahwa kisah-kisah pribadi tak akan pernah bisa “dicuri” oleh siapapun,
bahkan oleh anaknya sendiri sekalipun. :)
Cikarang, 18 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar