Rabu, 18 Juni 2014

Malam di Penghujung Juli 2009

Cik Yan Lis dan Kartiniwati di 1983
Malam itu belum jauh dari tujuh hari setelah meninggalnya ibu. Suasana di rumah kami sepi, sanak-saudara sudah kembali ke rumahnya masing-masing. Dan lepas isya, setelah selesai salat berjamaah bersama kakak dan ayah di ruang tengah dari rumah kami yang rasanya senyap sekali, saya menuju kamar di sebelah depan. Saat itu sebenarnya saya berencana untuk langsung tidur saja, saya merasa letih sekali hari itu. Terlentang di atas kasur yang nyaman, menatap langit-langit putih dan tumpukan barang-barang yang memenuhi kamar, pikiran saya melayang. Melihat gelap dari ruang tengah yang lampunya sudah dimatikan setelah kami salat tadi, juga suara televisi dari ruangan belakang yang sayup. Saya tak kunjung bisa tertidur. Pikiran saya masih dipenuhi kenangan tentang ibu. Saya berpikir sendiri waktu itu: “biasanya di saat-saat seperti ini, ibu dan ayah tengah menonton tayangan apa saja. Tapi saat ini tidak, ibu sudah tak ada lagi”. Dan hal itu membuat saya sedikit gelisah.

Memutuskan beranjak dari kamar, saya duduk sendiri di ruangan tengah itu di antara sinar lampu temaram dari teras rumah. Memandangi deretan foto-foto besar yang terpajang, saya mulai merasa lebih tenang. Dari sana terdengar suara kakak yang tengah beraktivitas di kamarnya sendiri, saya mulai bertanya sendiri kiranya ayah dimana. Berjalan menuju ruang keluarga di belakang, saya temukan ayah tengah duduk sendiri menonton televisi. Saya tahu, sepertinya ayah juga tengah memikirkan hal yang tak jauh dari apa yang sedang saya pikirkan: tentang ibu. :)

Saya hampiri dia yang berusaha kuat untuk tetap terlihat ceria saat saya berjalan melintas. Duduk di seberangnya, saya mulai menanyakan hal-hal yang lain. Seperti biasa, ayah menjawab antusias dan senyum-senyum. Hingga saya berpikir suasananya sudah lebih baik sekarang, saya bertanya hal lain yang ternyata sedikit membuat ayah terkejut: “ayah, coba sekarang ceritakan tentang bagaimana ayah bertemu dengan ibu dulu?”. Dia terdiam sejenak, menenangkan diri, dan kemudian menjawab dengan senyum-senyum: “baiklah, karena kamu yang bertanya, maka sekarang ayah akan bercerita tentang itu”. Saya tertawa mendengarnya. 

Maka dimulailah ceritanya, beberapa penggal kisah yang menggelitik namun beralur jelas. Dia lancar sekali bercerita dengan penuh semangat dan rasa bangga. Pikirannya pasti tengah kembali ke sebuah babak di puluhan tahun yang lewat. Dengan melibatkan beberapa pemeran figuran yang lain, seperti kawan-kawannya dan anggota keluarga ibu yang lain, dan dengan dia yang berperan sebagai pemeran utama. Sambil kadang terbahak lepas, dia katakan pada saya dengan wajah serius: “dalam cerita ini, saya akan menyebutkan ibumu dengan sebutan: Kartini, karena saat itu saya tidak mengenalnya sebagai ibumu, tapi sebagai seorang gadis bernama Kartini”. Saya iyakan. :D Lanjut saya simak dengan baik ceritanya yang terasa nyata sekali, dengan ayah yang bahagia sekali saat itu. Saya bisa merasakannya.

Mungkin sudah lebih dari satu jam, dan ayah memutuskan untuk tidur dulu. Dia mengantuk, katanya begitu. Setelah iyakan, saya kembali ke kamar depan. Mengambil komputer lipat ini dan membawanya ke ruangan tengah lalu menyalakannya. Saya memutuskan untuk berusaha menuliskan kisah yang ayah ceritakan tadi. Tapi ternyata susah sekali. Susah sekali. Saya tahu, bahwa saya kesulitan untuk melibatkan soul kisah itu ke dalam tulisannya. Saya pikir mungkin cerita itu hanya bisa dituliskan oleh ayah sendiri. Ya, saya pikir begitu. Hingga akhirnya saya hanya menuliskan sebuah tulisan dari sudut pandang orang ketiga saja: tentang saya yang melihat ayah bercerita. Dan di satu titik yang tak jauh, ternyata saya tetap saja tak bisa melanjutkan menulis ceritanya. Kamu tahu, memang ada beberapa kisah yang, ternyata, tak benar bisa dituliskan. Saya hanya bisa menuliskannya seperti ini.

***
Berkisahlah sang pemujanya tentang cerita dahulu sejak pertama bertemu hingga kini. Nampak senang dalam ekspresi, bercahaya pula dari sinar wajah. Mungkin karena terbang terlalu asik dalam alunan memori. Yang terulangnya hanya terbatas pada ingatan akan suatu rentetan peristiwa yang melegenda, dan mustahil terlupa. Sehingga membayangkannya, mabuklah sang pemuja, larut terbawa buai ekstasi, mabuk madu.

Dalam derai angin malam yang biasa, tak banyak suasana yang berubah dengan waktu itu. Dan dimulai. Sebuah perkenalan hangat yang disambut suka-suka, begitu melekat di sini, di dalam ingatan dan ekspresi kekinian. Selanjutnya disambung dengan bermacam intrik, hikmah, permainan logika dan sebuah simpulan sederhana. Dan ditutupnya dengan deheman singkat saat sang cintanya pergi di ketenangan harapan juga senyum.

Sang pemuja mengerti bahwasanya cerita bersama itu ada akhirnya. Pemahamannya tentang itu sudah matang untuk dijadikan contoh dan petunjuk dalam bersikap. Sehingga menceritakan kisah-kisah paling romantis ini bukan sekedar menjadi pengisi waktu menghabiskan malam, tapi lebih dari itu,

***
Saya tahu, tulisan saya di atas memang seolah tak memiliki soul di dalamnya. Tapi saya sama sekali tak keberatan untuk mengunggahnya saat ini. Sebuah tulisan yang selalu mengingatkan saya bahwa kisah-kisah pribadi tak akan pernah bisa “dicuri” oleh siapapun, bahkan oleh anaknya sendiri sekalipun. :)

Cikarang, 18 Juni 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar