Senin, 17 November 2014

Cik Yan Lis (5) : Catur

Ayah saya yang bertopi baret coklat itu. :D
Dari foto ini keliatan kayanya ayah sedang dalam posisi terdesak. Juga cerita tentang dia yang rela hutang ke warung untuk membelikan lawan mainnya ini sebungkus rokok agar dia mau bermain melawan ayah lagi dan lagi. Kata ayah, lawan mainnya ini selalu ingin dipanggil “Sitompul”, padahal dia orang Jawa. :)))))) 
Belum lama saya duduk di kursi ini menghadap tiupan AC yang menyejukkan, dan telpon genggam saya berdering pelan. Melihat di layar itu, saya langsung tahu bahwa yang menelpon adalah ayah. Segera keluar dari ruangan, menuju salah satu ruangan lab yang kosong di sisi selatan, saya angkat telponnya. Ini sangat perlu, karena saya akan berbicara dengan volume suara yang tinggi. Saya dan ayah biasa bicara seperti itu. :D

Dan tak ada hal yang benar penting yang kami bicarakan. Hanya pertanyaan singkat tentang makanan di kantor siang ini, kemudian dilanjut tentang obrolan bertema catur. Awalnya ayah bertanya bagaimana permainan catur saya saat ini. Saya jawab: “akhir-akhir ini saya tak terlalu sering bermain catur”. Dia menyambung tangkas: “sebaiknya kamu lebih sering bermain catur. Temukan orang-orang yang bisa mengalahkanmu dengan mudah, kamu belajarlah yang banyak. Kamu kalah yang banyak, berusaha menang”. Saya menyimak saja sambil sesekali tertawa, dengan ayah yang semakin bersemangat atas cerita caturnya. Berkisah tentang permainan itu yang dulu sering kali membuatnya gelisah. Tentang dia yang sesekali jadi susah tidur karena selalu kalah menghadapi salah seorang lawan mainnya, sampai bermimpi bermain catur saat tidur. Saya tertawa mendengar dia bercerita seperti itu. Terutama di bagian catur yang membuat kepalanya menjadi panas dan ingin segera mandi untuk mendinginkan kepalanya secara paksa. Ahahaa.

Catur adalah permainan mengatur emosi. Dan kekalahan adalah guru terbaik untuk belajar mengendalikannya. Karena catur adalah tentang belajar dari kekalahan. Kamu ingat itu baik-baik

Saya tahu, ayah tak pernah terlalu menganggap serius permainan ini. Saya juga sama. Kami sama-sama tahu ini hanyalah sebuah permainan, tak pernah lebih dari itu. Saya pikir, kalah dan menang bukanlah sesuatu yang terlalu menarik. Dan saat ayah menelpon siang ini, saya pikir nasihatnya tentang permainan catur ini seolah menemukan momentnya. Meski, ahahahaa, rasanya sedikit berlebihan juga jika dia menelepon hanya untuk menyarankan saya memperbanyak bermain catur, lantas kalah terus-terusan. :)))))

Dan bakal terlalu drama bila saya tuliskan juga kalo tadi ayah bilang: di permainan ini, kamu ga akan pernah menang, kalo kamu ga berani melawan, :p
Curup-Cikarang, 17 November 2014

Selasa, 11 November 2014

Di Pojok Sore (17) : Hujan dan Dinamika Umum Para Pekerja

Musim hujan tiba. Dan kemarin malam, bersama beberapa orang kawan yang baik sekali, kami berteduh dari derasnya serbuan hujan di permulaan musim pada naungan sebuah warung yang cukup luas di pojok jalanan itu. Seperti biasa, kami akan memainkan permainan itu sambil tertawa riang bersama-sama. Di antara hujannya yang semakin deras, saya lihat jalanan di depan sana mulai terendam banjir yang tak seberapa. Melihat air yang menggenang di muka jalan, saya melirik kompleks perkantoran yang besar itu dari jauh. Ah, cantik sekali kantor kami terlihat dari sini. Dengan cahaya kebiruannya bergerak yang lurus, kini berbagai pertanyaan mulai datang kunjungi saya di sebuah kursi papan memanjang menghadap beberapa kawan.

Saat ini, di pertengahan November 2014. Menuju 4 tahun saya bekerja di kantor biru itu. Dan bekerja di lingkungan yang sangat nyaman ini adalah sebuah nikmat yang sepatutnya disyukuri dengan sederhana. Saya suka tempat ini. Saya suka kawan-kawan di sini, saya suka cara atasan-atasan saya bersikap, saya suka cara bekerja kami di kantor ini.

Dan genangan air di muka jalan itu beriak deras saat dilewati sebuah kendaraan yang melaju tak seberapa cepat. Dan di antara rintik hujan yang mulai mereda, juga tawa kawan-kawan di meja panjang ini, saya diam sejenak. Mengingat beberapa cerita yang lewat, saat saya bekerja di satu tempat yang lain. Saya pikir, saya bisa merasa betah dimanapun saya berada, termasuk di sini. Dermakan waktu senin hingga jumat, jam 8 pagi hingga jam 5 sore, pulang dan pergi sehari-hari dari dan menuju ke tempat yang menyenangkan.

Dan bekerja lalu mendapatkan penghasilan yang layak adalah sebuah dimensi yang sedikit rumit sekaligus sederhana, percayalah memang seperti itu. Saya tumbuh, semuanya juga. Saya bisa bertanya tentang pertumbuhan yang dibicarakan para elit, saya bisa bertanya tentang pertumbuhan yang ada di kepala saya sebagai sebuah ide. Sebagai konsekuensinya, sebuah kecocokan mungkin bisa tercapai, tapi bila tidak, maka siapapun tak bisa memaksa. Dan dialog, kabarnya, merupakan salah satu alternatif yang baik sekali. Dan sepertinya saya setuju. Selebihnya dari itu tentu terserah saja, silahkan ditimbang sebaiknya.

Nah, jadi sekarang saya katakan begini. Meski tak semua, sebagian besar dari kita adalah manusia merdeka. Karena bila mau, bahkan membangkang pada Tuhan pun kita bisa. Sedangkan apakah kita mau melakukannya atau tidak? Oh ini jelas pertanyaan yang berbeda. :D

Mungkin kamu berkomentar yang saya tuliskan dari atas sampai bawah ini ga nyambung semua, ahahahaa. Biarin aja, jangan serius-serius, ntar cape. :))))
Cikarang, 11 November 2014

Senin, 03 November 2014

Malam di Jagakarsa

Malam sudah lebih jauh. Tiup angin Jakarta selatanpun sedang sepi. Saya melangkah di antara pejalan kaki yang tinggal satu persatu. Melirik jam tangan yang tak henti berdetak dan waktu yang sudah menunjuk pukul 11 malam. Juga gerobak penjaja nasi goreng yang masih sibuk saja sendiri. Sekali saya hampiri dan bertanya kiranya dia tengah memasak panganan tersebut untuk siapa, si abang hanya tertawa sambil tawarkan dagangannya tersebut kepada saya. Singkat menjawab, saya katakan bahwa saya hanya akan menemani dia sejenak saja sambil merokok bersama-sama. Dia mulai tanyakan banyak hal, mulai tadi tujuan saya hendak kemana, sampai siapa yang lebih baik antara Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi. Hingga sebatang rokok itupun akhirnya habis, dan saya pamit untuk melanjutkan perjalanan lagi.

Tujuan saya malam itu tak seberapa jauh lagi dari sini. hanya tinggal menyusuri Jalan Pasir 1, selang belasan rumah maka saya sampailah. Mengetuk pintunya beberapa kali, dan seorang anak muda muncul di balik pintu sambil tersenyum menyapa ramah. Dari dia saya tahu, bahwa ternyata kawan yang akan saya kunjungi malam itu sedang tak ada di rumah kos-kosannya yang penuh dengan tumpukan tas-tas yang banyak dan seolah mau meledak. Meski dengan ramahnya, anak muda tersebut mempersilahkan saya masuk, dan kami mulai bercerita di antara tumpukan tas-tas yang mencapai atap rumah, juga reguk teh yang terlalu panas untuk diminum beberapa teguk sekaligus.

Obrolan tersebut dimulai dengan dia yang bertanya tentang pembagian tipe-tipe wanita. Tentu saja saya terkaget diberi pertanyaan serupa itu di awal-awal seperti ini. Sambil senyum-senyum-bingung, saya katakan padanya bahwa saya tak terlalu paham tentang hal itu. Dia tertawa, lalu diuraikannya pendapat pribadinya dengan tangkas, dan ditutupnya dengan meminta pendapat saya tentang uraiannya tadi. Saya terbahak-bahak, dan katakan bahwa saya setuju-setuju saja dengan apa yang dia ucapkan tadi. Dia mengangguk-angguk, sesekali mengusap dagu, lalu tersenyum lagi. Dan kami mulailah bercerita tentang banyak hal lain.

Seperti biasa, saya akan membiarkan lawan-bicara berkisah dulu sepuas hatinya. Dengan sesekali merespon dengan pertanyaan-pertanyaan yang mudah, dia semakin bersemangat. Dalam hati saya bicara sendiri: “anak ini senang sekali berdialog”, itu kesan yang saya tangkap saat itu, heheu. Hingga akhirnya dia bicara sendiri sedikit lebih jauh, mengalir dan mendalam. Saya dibuatnya tertegun beberapa saat, bingung, sekaligus antusias yang intens. Saat dia mulai bicara tentang perasaan bahagianya saat berdialog dengan siapapun –bahkan pada orang lain yang tak dikenal sekalipun. Atau tentang mimpi-mimpinya yang ajaib, atau dia yang berkisah tentang realita kehidupan yang berjalan di sebuah komplek perumahan kota Bandung sambil bersusah-payah mendorong gerobak jerigen air yang dijualnya. Atau dia yang merasa bahwa dia perlu memahami banyak hal dan tak pernah puas tentang apapun, atau dia yang sering dianggap tak normal oleh kawan-kawannya karena sering bertanya/bercerita tentang hal yang susah dimengerti –bahkan oleh dirinya sendiri. Atau tentang dia yang menurutnya lumayan pandai bermain kartu, atau dia yang senang sekali mengesankan bahwa lawan bicaranya lebih tahu segalanya dibanding dia. Atau bahkan dia yang merasa bahwa dia mampu membaca masa depan! Ya, dia merasa bahwa dia bisa membaca masa depan! Ahahaha.

Banyaknya saya hanya mendengarkan. Sesekali tertawa terbahak, atau diam saja menyimak. Mereguk teh panas itu dari atas sebuah nampan plastik yang penuh dengan tumpahan air, saya tersenyum menatapnya. Namanya Rio. Umurnya mungkin sekitar 6-7 tahunan di bawah saya. Dia berasal dari kota yang sama dengan saya, Curup. Lahir dan besar di lingkungan pesawahan luas yang diselingi pepohonan kelapa julang-menjulang, dan banyak lagi. Saya tatap sekali lagi anak muda yang mudah sekali tertawa itu. Berkata dalam hati, saya ucapkan bahwa saat ini adalah sebuah moment ajaib :). Saya merasa seperti tengah bercermin di hadapannya, seolah melihat diri saya sendiri dari semua cerita yang diceritakannya tanpa batasan. Saya takjub. Dan saya tahu, tak banyak orang yang bisa mengalami pengalaman seperti yang saya alami malam ini. Saya bersyukur sekali. :)

Dan malam di Jagakarsa sudah semakin jauh dari dini hari, kami memutuskan untuk tidur dulu. Saya katakan padanya di penutup dialog itu, bahwa sebaiknya kami berdua tak terlalu sering bertemu. Saat dia bertanya “kenapa?”, saya membalas dengan tawa yang panjang.

Selamat malam, Jalan Pasir!
Jagakarsa, 25 Oktober 2014

Minggu, 02 November 2014

Kabar dari Bandung (5)

Saya baru tiba di kosan, dari sebuah kunjungan singkat yang kesekian kalinya ke kota cantik di jauh situ. Dan kesan panasnya Cikarang semakin bertambah saja di saat-saat seperti ini, heheu. Meski akhirnya saya menyadari bahwa ternyata kota panas ini tak sebegitu inferior –seperti yang selama ini saya pikirkan, dibanding kota dengan julukan Kota Kembang itu. Ya, akhir-akhir ini saya mulai menyadari bahwa Kota Para Buruh ini memiliki pesonanya sendiri, terutama untuk siapapun yang tertarik dengan cerita bertema kemanusiaan. Tapi sudah dulu, saya tak akan bicara banyak tentang Cikarang dulu, sekarang saya bicara (lagi) tentang Bandung saja. Juga rasanya sudah terlalu lama saya tak bercerita tentang kota ajaib itu.

***
Sabtu pagi, kisaran jam 9, dan seorang kawan baik sudah menunggu kedatangan saya di sebuah warung kopi terbuka di pelataran terminal Leuwi Panjang, Bandung, tempat kami biasa janji bertemu. Saling bertukar cerita sedikit, sambil menghirup segelas kopi manis di awal paginya yang luar biasa, saya senang sekali. Juga cara menatap dari seorang ibu penjaja kupat tahu yang mudah sekali tersenyum duduk di seberang kami. Haa, Bandung sedang sumringah sekali pagi itu. Sayapun tak mau kalah. Mengajak kawan yang tadi berangkat, kami membelah Bandung menuju selatan. Untuk mengunjungi mimpi kami yang masih jauh, tapi percayalah, kami tak akan pernah mudah menyerah. :)

Mengurusi ini-itu di sebuah bangunan gubuk yang centrang prenang, adalah sebuah kegiatan yang menyenangkan –entah menurut kawan tersebut bagaimana, tapi setidaknya menurut saya iya :D. Meski sebenarnya saya juga sedikit yakin bahwa kawan tersebut juga menikmatinya, saya sudah lama mengenalnya, semoga saja benar, :). Hingga akhirnya jam makan siang tiba, kami beranjak menuju rumah makan padang sederhana di pinggir jalan raya itu. Lahap kami nikmati hidangannya, dengan kami yang tetap saja saling bercerita ini dan itu, tanpa ada topik yang spesifik.

Dan kali ini menuju sebuah kebun setengah-sewaan di kaki bukit biru itu. Di tengah panasnya Kampung Pelukis dan anak-anak muda tengah menggambar di teras rumah, saya lamunkan banyak hal. Dari cerita-cerita dahulu, lalu saat ini, juga mungkin tentang mimpi-mimpi yang kadang saya pikir terlalu mewah untuk saya saat ini. Hingga tak terasa kami sudah berada di bawah naungan saung bambu sederhana dan rimbunan albazia yang menghijau. Rasanya damai sekali. Saat Franky Sahilatua mulai dendangkan “Lelaki dan Telaga”nya yang harmonis, tiup angin yang bergesek di antara dedaunan hijau julang-menjulang, juga cerita tak beralur dari seorang kawan. Mau apa lagi? Saya pikir saya hidup dalam kebahagiaan yang tumpah ruah. Belum lagi sekarung kombinasi pupuk di pojok situ yang baru saja saya beli tadi untuk memupuk ratusan batang albazia ini besok, saya senyum-senyum.

Sorenya sudah masuk di pertengahan, dan motor matic warna hijau itu melaju lagi. Menuju sebuah apartemen 18 lantai yang berdiri megah terlihat di kejauhan. Salah satu ruangan dari apartemen itu adalah milik dari kawan yang ini. Rencananya sekarang dia akan mengajak saya melihat apartemen barunya tersebut. Saatnya tiba, dan dua gelas kopi di gelas kertas itu menyambut kami di ruang tamu apartemennya yang masih kosong dan terang sekali. Semerbak bau lem kayu yang masih sedikit menyengat, lingkaran air kolam renang di bawah sana, bebayang gugus pegunungan Bandung Timur yang memukau, pemandangan city light penyambut malam, pelajaran teknik trading yang kami diskusikan. Ah, saya senang sekali berada di tempat ini. :D Kamu tahu? Sebentar lagi, kawan ini akan membawa keluarga kecilnya tinggal di apartemen ini. Ah, saya doakan, Kawan, semoga kalian sekeluarga diberi kebahagian dalam jumlah yang banyak di tempat ini. Saya doakan begitu dan semoganya cukup.

Malam itu kami berpisah di sebuah titik di tengah komplek perumahan besar tak jauh dari apartemen yang tadi. Dan saya yang melanjutkan perjalanan sendiri menuju barat laut untuk ikut menginap di kos-kosan seorang kawan yang lain. Meski ternyata kawan tersebut tak ada di kosannya, saya duduk saja menghadap jejer kuburan di depan kamar kosannya yang gelap dan terkunci. Saya diam saja, dan tak lama putuskan pergi dulu. Saya lapar, begitu :D. Lepas nikmati sepiring makanan khas di warung makan tempat si gondrong ramah itu jadi kokinya, malam beranjak semakin larut. Hingga di detik yang ajaib, seorang anak muda yang baru saja saya kenal detik itu menawarkan diri agar malam ini saya menginap di kosannya saja. Ahahaa, saya bicara dalam hati: “moment terbaik adalah sebuah kejadian di luar rencana”. :) Akhirnya saya bermalam di situ malam itu. Hingga paginya datang, dan guyuran air dingin dalam ember besar berwarna biru itu tunaikan mandi pagi saya yang singkat, saya pamit pada anak muda asal Banten bernama Adit itu. Dia tersenyum dan katakan semoga nanti saya bisa mengunjungi dia lagi, ngobrol-ngobrol lagi. Saya balas perkataannya yang manis dengan mendoakan agar skripsi yang tengah disusunnya itu dilancarkan. Kami berpisah.

Hari ini adalah mengunjungi seorang kawan yang saya kenal dari kisaran 11 tahun yang lewat. Seorang kawan yang saya pikir hebat sekali atas konsistensinya yang menahun di pembinaan anak-anak jalanan kota Bandung. Tukar bicara, opini dan kabar, kami berdialog layaknya kawan. Sesekali selipkan upaya mengakrabkan diri dengan si kecil Bumi Biru yang senang sekali makan semangka, serta Cisarua yang sepertinya sedang dalam mood yang sangat baik. Meski akhirnya Bumi Biru tetap berkeras dengan ekspresi mukanya yang datar, atau bahkan menjerit sejadi-jadinya di sepanjang perjalanan, saya pikir bukan masalah. Mungkin kami masih bisa lanjutkan untuk saling mengakrabkan diri kapan-kapan lagi. ;)

Di dalam bus menuju Cikarang, saya merasa sedikit letih. Teringat tentang apa yang terjadi sepanjang kemarin dan hari ini, saya tahu. Bahwa Bandung dengan segenap serba-serbinya yang terjadi dalam hitungan tak tentu itu hanyalah sebuah canda-tawa. Dia tak pernah terlalu serius, bikin semakin menariklah dia dalam bahasa-bahasa yang lain. :) Atau kini mendengar seorang kawan baik yang lain yang saat ini sudah pulang ke kampung halamannya di Sukabumi sana katakan lewat sebuah pesan singkat, bahwa dia merindukan suasana di Kota Kembang, saya senyum-senyum saja. Saya tak akan membalas pesannya itu. :D
Cikarang 2 November 2014