Saya baru tiba di kosan, dari sebuah kunjungan singkat yang kesekian
kalinya ke kota cantik di jauh situ. Dan kesan panasnya Cikarang semakin
bertambah saja di saat-saat seperti ini, heheu. Meski akhirnya saya menyadari
bahwa ternyata kota panas ini tak sebegitu inferior –seperti yang selama ini
saya pikirkan, dibanding kota dengan julukan Kota Kembang itu. Ya, akhir-akhir ini
saya mulai menyadari bahwa Kota Para Buruh ini memiliki pesonanya sendiri,
terutama untuk siapapun yang tertarik dengan cerita bertema kemanusiaan. Tapi sudah dulu, saya tak akan bicara
banyak tentang Cikarang dulu, sekarang saya bicara (lagi) tentang Bandung saja. Juga
rasanya sudah terlalu lama saya tak bercerita tentang kota ajaib itu.
***
Sabtu pagi, kisaran jam 9, dan seorang kawan baik sudah
menunggu kedatangan saya di sebuah warung kopi terbuka di pelataran terminal Leuwi
Panjang, Bandung, tempat kami biasa janji bertemu. Saling bertukar cerita sedikit, sambil menghirup segelas kopi manis di
awal paginya yang luar biasa, saya senang sekali. Juga cara menatap dari seorang ibu penjaja
kupat tahu yang mudah sekali tersenyum duduk di seberang kami. Haa, Bandung sedang
sumringah sekali pagi itu. Sayapun tak mau kalah. Mengajak kawan yang tadi berangkat,
kami membelah Bandung menuju selatan. Untuk mengunjungi mimpi kami yang masih jauh,
tapi percayalah, kami tak akan pernah mudah menyerah. :)
Mengurusi ini-itu di sebuah bangunan gubuk yang centrang
prenang, adalah sebuah kegiatan yang
menyenangkan –entah menurut kawan tersebut bagaimana, tapi setidaknya menurut
saya iya :D. Meski sebenarnya saya juga sedikit yakin bahwa kawan tersebut juga
menikmatinya, saya sudah lama mengenalnya, semoga saja benar, :). Hingga akhirnya jam makan siang tiba,
kami beranjak menuju rumah makan padang sederhana di pinggir jalan raya itu. Lahap kami nikmati
hidangannya, dengan kami yang tetap saja saling bercerita ini dan itu, tanpa ada topik yang spesifik.
Dan kali ini menuju sebuah kebun setengah-sewaan di kaki bukit biru itu. Di
tengah panasnya Kampung Pelukis dan anak-anak muda tengah menggambar di teras
rumah, saya lamunkan banyak hal. Dari cerita-cerita dahulu, lalu saat ini, juga
mungkin tentang mimpi-mimpi yang kadang saya pikir terlalu mewah untuk saya saat ini.
Hingga tak terasa kami sudah berada di bawah naungan saung bambu sederhana dan rimbunan
albazia yang menghijau. Rasanya damai sekali. Saat Franky Sahilatua mulai
dendangkan “Lelaki dan Telaga”nya yang harmonis, tiup angin yang bergesek di antara
dedaunan hijau julang-menjulang, juga cerita tak beralur dari seorang kawan. Mau apa lagi? Saya pikir saya hidup
dalam kebahagiaan yang tumpah ruah. Belum lagi sekarung kombinasi pupuk di pojok situ yang
baru saja saya beli tadi untuk memupuk ratusan batang albazia ini besok, saya
senyum-senyum.
Sorenya sudah masuk di pertengahan, dan motor matic warna hijau
itu melaju lagi. Menuju sebuah apartemen 18 lantai yang berdiri megah terlihat
di kejauhan. Salah satu ruangan dari apartemen itu adalah milik dari kawan yang ini. Rencananya sekarang dia akan
mengajak saya melihat apartemen barunya tersebut. Saatnya tiba, dan dua gelas kopi di
gelas kertas itu menyambut kami di ruang tamu apartemennya yang masih kosong
dan terang sekali. Semerbak bau lem kayu yang masih sedikit menyengat, lingkaran air
kolam renang di bawah sana, bebayang gugus pegunungan Bandung Timur yang memukau,
pemandangan city light penyambut malam, pelajaran teknik trading yang
kami diskusikan. Ah, saya senang sekali berada di tempat ini. :D Kamu tahu? Sebentar lagi,
kawan ini akan membawa keluarga kecilnya tinggal di apartemen ini. Ah, saya
doakan, Kawan, semoga kalian sekeluarga diberi kebahagian dalam jumlah yang
banyak di tempat ini. Saya doakan begitu dan semoganya cukup.
Malam itu kami berpisah di sebuah titik di tengah komplek perumahan besar tak jauh
dari apartemen yang tadi. Dan saya yang melanjutkan perjalanan sendiri menuju barat laut untuk ikut menginap di kos-kosan seorang kawan yang lain. Meski ternyata kawan tersebut tak ada di kosannya, saya duduk saja menghadap
jejer kuburan di depan kamar kosannya yang gelap dan terkunci. Saya diam saja, dan tak lama putuskan pergi dulu. Saya lapar, begitu :D. Lepas nikmati sepiring makanan khas
di warung makan tempat si gondrong ramah itu jadi kokinya, malam beranjak semakin
larut. Hingga di detik yang ajaib, seorang anak muda yang baru saja saya kenal
detik itu menawarkan diri agar malam ini saya menginap di kosannya saja. Ahahaa, saya bicara
dalam hati: “moment terbaik adalah sebuah kejadian di luar rencana”. :) Akhirnya saya
bermalam di situ malam itu. Hingga paginya datang, dan guyuran air dingin dalam
ember besar berwarna biru itu tunaikan mandi pagi saya yang singkat, saya pamit
pada anak muda asal Banten bernama Adit itu. Dia tersenyum dan katakan semoga nanti saya
bisa mengunjungi dia lagi, ngobrol-ngobrol lagi. Saya balas perkataannya yang manis dengan mendoakan agar
skripsi yang tengah disusunnya itu dilancarkan. Kami berpisah.
Hari ini adalah mengunjungi seorang kawan yang saya kenal dari
kisaran 11 tahun yang lewat. Seorang kawan yang saya pikir hebat sekali atas
konsistensinya yang menahun di pembinaan anak-anak jalanan kota Bandung. Tukar bicara,
opini dan kabar, kami berdialog layaknya kawan. Sesekali selipkan upaya mengakrabkan diri dengan si kecil Bumi Biru yang senang sekali makan semangka, serta Cisarua yang sepertinya sedang dalam mood yang sangat baik. Meski akhirnya Bumi Biru
tetap berkeras dengan ekspresi mukanya yang datar, atau bahkan menjerit sejadi-jadinya di sepanjang perjalanan,
saya pikir bukan masalah. Mungkin kami masih bisa lanjutkan untuk saling mengakrabkan diri kapan-kapan lagi. ;)
Di dalam bus menuju Cikarang, saya merasa sedikit letih. Teringat
tentang apa yang terjadi sepanjang kemarin dan hari ini, saya tahu. Bahwa
Bandung dengan segenap serba-serbinya yang terjadi dalam hitungan tak tentu itu
hanyalah sebuah canda-tawa. Dia tak pernah terlalu serius, bikin semakin menariklah
dia dalam bahasa-bahasa yang lain. :) Atau kini mendengar seorang kawan baik yang lain yang saat ini sudah pulang ke kampung halamannya di Sukabumi sana katakan lewat sebuah pesan singkat, bahwa dia merindukan suasana di Kota Kembang, saya senyum-senyum saja. Saya tak akan membalas pesannya itu. :D
Cikarang 2 November
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar