Senin, 03 November 2014

Malam di Jagakarsa

Malam sudah lebih jauh. Tiup angin Jakarta selatanpun sedang sepi. Saya melangkah di antara pejalan kaki yang tinggal satu persatu. Melirik jam tangan yang tak henti berdetak dan waktu yang sudah menunjuk pukul 11 malam. Juga gerobak penjaja nasi goreng yang masih sibuk saja sendiri. Sekali saya hampiri dan bertanya kiranya dia tengah memasak panganan tersebut untuk siapa, si abang hanya tertawa sambil tawarkan dagangannya tersebut kepada saya. Singkat menjawab, saya katakan bahwa saya hanya akan menemani dia sejenak saja sambil merokok bersama-sama. Dia mulai tanyakan banyak hal, mulai tadi tujuan saya hendak kemana, sampai siapa yang lebih baik antara Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi. Hingga sebatang rokok itupun akhirnya habis, dan saya pamit untuk melanjutkan perjalanan lagi.

Tujuan saya malam itu tak seberapa jauh lagi dari sini. hanya tinggal menyusuri Jalan Pasir 1, selang belasan rumah maka saya sampailah. Mengetuk pintunya beberapa kali, dan seorang anak muda muncul di balik pintu sambil tersenyum menyapa ramah. Dari dia saya tahu, bahwa ternyata kawan yang akan saya kunjungi malam itu sedang tak ada di rumah kos-kosannya yang penuh dengan tumpukan tas-tas yang banyak dan seolah mau meledak. Meski dengan ramahnya, anak muda tersebut mempersilahkan saya masuk, dan kami mulai bercerita di antara tumpukan tas-tas yang mencapai atap rumah, juga reguk teh yang terlalu panas untuk diminum beberapa teguk sekaligus.

Obrolan tersebut dimulai dengan dia yang bertanya tentang pembagian tipe-tipe wanita. Tentu saja saya terkaget diberi pertanyaan serupa itu di awal-awal seperti ini. Sambil senyum-senyum-bingung, saya katakan padanya bahwa saya tak terlalu paham tentang hal itu. Dia tertawa, lalu diuraikannya pendapat pribadinya dengan tangkas, dan ditutupnya dengan meminta pendapat saya tentang uraiannya tadi. Saya terbahak-bahak, dan katakan bahwa saya setuju-setuju saja dengan apa yang dia ucapkan tadi. Dia mengangguk-angguk, sesekali mengusap dagu, lalu tersenyum lagi. Dan kami mulailah bercerita tentang banyak hal lain.

Seperti biasa, saya akan membiarkan lawan-bicara berkisah dulu sepuas hatinya. Dengan sesekali merespon dengan pertanyaan-pertanyaan yang mudah, dia semakin bersemangat. Dalam hati saya bicara sendiri: “anak ini senang sekali berdialog”, itu kesan yang saya tangkap saat itu, heheu. Hingga akhirnya dia bicara sendiri sedikit lebih jauh, mengalir dan mendalam. Saya dibuatnya tertegun beberapa saat, bingung, sekaligus antusias yang intens. Saat dia mulai bicara tentang perasaan bahagianya saat berdialog dengan siapapun –bahkan pada orang lain yang tak dikenal sekalipun. Atau tentang mimpi-mimpinya yang ajaib, atau dia yang berkisah tentang realita kehidupan yang berjalan di sebuah komplek perumahan kota Bandung sambil bersusah-payah mendorong gerobak jerigen air yang dijualnya. Atau dia yang merasa bahwa dia perlu memahami banyak hal dan tak pernah puas tentang apapun, atau dia yang sering dianggap tak normal oleh kawan-kawannya karena sering bertanya/bercerita tentang hal yang susah dimengerti –bahkan oleh dirinya sendiri. Atau tentang dia yang menurutnya lumayan pandai bermain kartu, atau dia yang senang sekali mengesankan bahwa lawan bicaranya lebih tahu segalanya dibanding dia. Atau bahkan dia yang merasa bahwa dia mampu membaca masa depan! Ya, dia merasa bahwa dia bisa membaca masa depan! Ahahaha.

Banyaknya saya hanya mendengarkan. Sesekali tertawa terbahak, atau diam saja menyimak. Mereguk teh panas itu dari atas sebuah nampan plastik yang penuh dengan tumpahan air, saya tersenyum menatapnya. Namanya Rio. Umurnya mungkin sekitar 6-7 tahunan di bawah saya. Dia berasal dari kota yang sama dengan saya, Curup. Lahir dan besar di lingkungan pesawahan luas yang diselingi pepohonan kelapa julang-menjulang, dan banyak lagi. Saya tatap sekali lagi anak muda yang mudah sekali tertawa itu. Berkata dalam hati, saya ucapkan bahwa saat ini adalah sebuah moment ajaib :). Saya merasa seperti tengah bercermin di hadapannya, seolah melihat diri saya sendiri dari semua cerita yang diceritakannya tanpa batasan. Saya takjub. Dan saya tahu, tak banyak orang yang bisa mengalami pengalaman seperti yang saya alami malam ini. Saya bersyukur sekali. :)

Dan malam di Jagakarsa sudah semakin jauh dari dini hari, kami memutuskan untuk tidur dulu. Saya katakan padanya di penutup dialog itu, bahwa sebaiknya kami berdua tak terlalu sering bertemu. Saat dia bertanya “kenapa?”, saya membalas dengan tawa yang panjang.

Selamat malam, Jalan Pasir!
Jagakarsa, 25 Oktober 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar