Senin, 16 November 2015

Hujan, hujan

Musim hujan tiba, dan sore-sore cerah itu baru akan datang untuk waktu yang lebih lama. Dan lewat jendela besar ini lagi, saya berdiri menatap gumpalan awan gelap menggantung di atas lampu-lampu pembatas jalan yang diam. Atau seperti riuhnya jatuhan buah kersen di depan sebuah warung yang biasa kami gunakan untuk berteduh di pojokan situ, atau ikan-ikan Gambusia affinis yang mulai ramai di sela-sela selokan besar dan memakan habis jentik-jentik nyamuk. Angin-angin mulai lebih garang, meniup dahan mahoni hingga melengkung jauh serupa busur panah yang siap ditembakkan. Juga ingatan tentang kawan-kawan masa kecil dulu yang selalu saja identik dengan tarian hujan dan pekiknya yang membahana. 

Saya ingat. Dulu, saat musim hujan datang, dan saya akan lebih banyak duduk di balik jendela merah dengan kacanya yang kusam. Dan dari dalam rumah itu, semua kehangatan berasal. Dari aroma pindang ikan yang hangat dan menyeruak pekat dari dapur dan ibu di dalamnya, atau dari alunan Quran dari kakak perempuan yang tengah diajarkan mengaji oleh ayah, atau dari dengkur kakak sepupu laki-laki yang sedang tak ingin bermain hujan. Di balik kaca itu, di balik gulungan selimut di sekitar kepala dan dada, saya melihat aliran hujan yang mengalir dari lengkungan seng yang berubah coklat oleh karat, dan jatuh di bawah tampungan ember bekas cat yang selalu saja akan dipakai untuk menyirami bunga-bunga milik kami di depan rumah. Dan saat ember itu tak kuat lagi menampungnya, maka mengalirlah airnya menuju selokan kecil di depan sana, selokan dengan airnya yang bahkan lebih jernih dari air minum orang kota.

Sebagai anak kampung, saat itu saya tak terlalu punya banyak hayalan tentang tempat-tempat. Saya tak banyak berpikir tentang salju di Jepang, atau susahnya air di Afrika sana, karena saya tak banyak tahu tentang Jepang dan Afrika. Yang saya tahu, tumpahan hujan sore ini akan mengantarkan airnya ke hamparan sawah-sawah di belakang rumah. Darinya kemudian penduduk di kota kami makan, lalu mengucap syukur bersama-sama saat panen raya tiba. Dan anak-anak yang berlarian di sepanjang pematang, jatuh terjerembab, pulang dan menangis di pelukan ibunya, lalu menyeraplah lagi menuju sumur-sumur rumah. Dan begitulah putaran air di kampung saya dulu. Tak terlalu bingung dengan pemberitaan di tivi-tivi, tentang kota-kota yang banjir sekali-kali.

Kadang saya terbayang, tentang seorang walikota yang baik dan jenaka di Kota Kembang sana. Tentang dia yang bercerita akan kekhawatirannya di setiap kali hujan raya melintasi kota, apakah sistem pengairan milik mereka akan cukup perkasa menahan debit air yang besar di hari itu. Atau tentang hujan yang sore ini gugup basahi sisi luar jendela besar, dan batalkan lewatnya rombongan buruh yang rencananya akan berpawai berkeliling menuntut perbaikan. Dan saya tahu, hujan di sini ternyata jauh lebih rumit dari di kampung kami. Hujan di sini tak melulu berarti waktumu bersama keluarga menjadi lebih lama. Atau malah, herannya, terkadang bisa sebaliknya.

Di balik jendela merah itu dulu saya berpikir, bahwa kota adalah sebuah negri impian, dimana di dalamnya dipenuhi dengan semua kemudahan dan kejayaan yang serba nyaman. Dan di balik jendela besar ini kini saya berpikir,tentang perbedaan hidup di kampung dan di kota ternyata tak benar ada. Pada akhirnya semuanya adalah sama, atau setidaknya, tak se-berbeda itu juga. :)

Cikarang, 16 November 2015