Kamis, 26 Maret 2015

Kabar dari Bandung (6) : Malam dan Psikologi

Beberapa bulan terakhir saya lagi suka belajar ini: Social Psychology. Kadang-kadang saya catatkan di buku, cuma biar ga lupa. :D
Malam di timur Bandung sudah jauh. Bersama dua orang kawan yang baik sekali, mengobrol di bawah lindungan sebuah apartemen yang menurut saya bagus sekali. Kombinasi warna putih dan coklat muda dipadu kaca-kaca besar dan sebuah meja tinggi di tengah ruangan, juga deru angin bertiup pelan-pelan di antara jendela yang terbuka. Ah, saya sangat menyukai moment ini. Berbicara di sebuah tempat terbaik, bersama dua kawan terbaik. Dan sebenarnya saya tak pernah terlalu memusingkan saat ini kami berbicara tentang apa, bagi saya sama saja.  Malam ini juga sama. Saya hanya menikmati mendengar apapun yang mereka bicarakan, saya menikmati melihat mereka mendengarkan, saya menikmati merasakan apa yang mereka rasakan.

Malam ini saya temukan bahwa kami tengah bicara panjang lebar tentang tema Psikologi. Sebuah tema yang sama-sama kami sukai dengan cara kami yang masing-masing. Entah bagaimana obrolan kami akhirnya sampai di tema ini. Ah, tapi sepertinya tak ada satupun dari kami yang peduli tentang alasan itu. Hingga akhirnya kami terhanyutlah lebih jauh, kami tertawa lebih sederhana, kami saling berkomentar satu yang lain, kami mendengarkan bila waktunya belum tiba. Dan tak ada satu hal pun yang memburu kami untuk menuntaskan pembicaraan ini sampai selesai. Begitu.

***
Saya memperhatikan. Bahwa kami bertiga memiliki scope pengamatan yang berbeda tapi sama spesial dari tema ini. Debi Krisna, pendidikan dan ketertarikannya mengarah jelas pada psikologi olahraga. Dia banyak menghubungkan semua kasus yang kami bicarakan dengan aplikasi di lapangan olahraga. Psikologi atlit, suasana lapangan pertandingan, hingga angka-angka statistik psikologi olahraga yang dia temui di skripsi sarjana miliknya, juga hal-hal lain seputar itu. Menarik sekali, saat dia bercerita tentang beberapa interaksinya dengan dosen pembimbingnya itu dulu saat skripsinya sedang dikerjakan. Di luar itu, sebenarnya saya sudah sedikit-banyak tahu tentang pembimbingnya itu. Dia adalah salah satu akademis senior ternama di bidang psikologi olahraga nasional.

Haikal, saya pikir dia adalah orang yang melihat tema ini dengan scope paling luas di antara kami bertiga. Dia banyak bercerita tentang teori-teori yang dibacanya dari paper-paper psikologi. Kemudian mencoba menjelaskan pendapatnya mengenai hubungan teori-teori itu dengan berbagai fenomena lain. Sebut saja tentang belajar berenang, ilmu kebal, hipnotis, shalat istikharah, hingga para petapa dan Budha. Saya pikir Haikal memiliki ketertarikan lebih pada hal-hal praktis di lingkup ini. Bagus sekali.

Sedang saya, sepertinya saya lebih tertarik melihat psikologi dalam scope yang tak menentu, tak jelas arahnya. Terkadang saya senang untuk melihat psikologi dalam scope yang luas, kadang juga tidak. Mungkin saya menyukai semuanya, dan hal itu membuat buah pemikiran saya berserakan saja di lantai. Tapi saya tak masalah dengan itu, karena melihat sesuatu yang seperti tak berpola malah mempermudah saya dalam menemukan polanya. Sepertinya begitu. :D

***
Tak terasa, hari sudah menjelang pagi. Berbungkus-bungkus tembakau itu sudah kami tamatkan.  Sekarang, energi dari segelas kuku bima dingin dan seporsi besar nasi kanton hangat beserta martabak mie di awal malam yang tadi mulai memberikan efeknya: kami mengantuk. Selamat malam, Bandung. Sudah dulu buat hari ini. Nanti-nanti, lagi. :)

Bandung, 7 Maret 2015; Cikarang 26 Maret 2015

Rabu, 18 Maret 2015

Guru

Siang ini saya jadi teringat sebuah cerita di beberapa minggu yang lewat. Saat itu malam sudah tiba di pertengahan. Berdua dengan seorang kawan yang baik sekali, kami bertukar cerita di antara tiup angin Bandung utara. Ah, sebenarnya malam itu saya lebih banyak mendengarkan. Kawan tersebut sepertinya sedang ingin bercerita banyak hal. Ceritanya juga tentang apa saja, tak ada yang terlalu spesifik. Dan saya merasa sangat tertarik saat dia mulai bercerita tentang kesibukannya akhir-akhir ini: menjadi guru. Lebih tepatnya guru olahraga di sebuah SMP swasta di Sukabumi.

Mulailah dia bercerita dengan antusias tentang bagaimana ragam tingkah pola anak muridnya yang masih belasan tahun itu di suasana kelas. Kadang ceritanya lucu, kadang ceritanya biasa saja, kadang ceritanya membuat saya geleng-gelengkan kepala tak habis pikir. Terutama tentang bagaimana salah-satu muridnya itu bisa berbuat sekurang ajar dan seterang-terangan itu. Menunjukkan gesture melawan, mengucapkan kata yang tak pantas diucapkan pada seorang guru, hingga maki-makian lewat sebuah kertas ulangan. Saya dibuatnya terperangah. Saya tak habis pikir, bagaimana bisa seorang murid berbuat seperti itu.

Mau tak mau, saya jadi mengingat beberapa cerita tentang masa sekolah saya dulu. Sepertinya saya juga bukan seorang yang sangat disukai oleh guru-guru saya dulu. Mungkin beberapa tamparan dan bogem mentah yang pernah saya terima, cap gila dari seorang guru BP, juga lembaran kertas-kertas beratasnamakan Guntur Berlian di Buku Hitam sekolah adalah bukti yang tak terbantahkan. Tapi rasanya saya tak pernah berani menunjukkan gesture atau bahkan niat untuk terang-terangan melawan. Saya pikir dulu saya melakukan itu semua hanya agar bisa tertawa saja. Jangan tanyakan apakah saya berani melawan mereka atau tidak, karena tentu saja saya akan menjawab: tidak berani. Atau sepertinya akan lebih tepat bila saya menjawab: tidak mau. Saya bisa katakan seperti itu karena di umuran tersebut, rasanya tak ada satupun yang bisa membuat saya takut: saat itu saya sedang beranjak remaja. :)

Atau juga membaca penggal sebuah buku karangan salah satu orang yang saya kagumi. Buku itu berjudul: Dia adalah Dilanku. Salah satu babak di bukunya itu, sang pengarang menulis tentang dia yang berkelahi (dalam arti yang sebenar-benarnya) dengan seorang guru saat upacara bendera. Di babak yang lain, dia juga bercerita tentang gurunya itu menyerahkan dia (Dilan) pada kelompok berandalan sekolah lain untuk dipukuli beramai-ramai. Di bukunya, pengarang bercerita tentang bagaimana super-jahatnya sang guru. Pengarang buku itu bisa saja mengklaim bahwa itu adalah kisah nyata hidupnya. Tapi dengan segala hormat, saya katakan bahwa cerita di buku ini terlalu banyak bumbu. Dan pengarangnya, hmmm, saya pikir dia tak sebaik yang orang-orang pikir. :)

Saya adalah anak bungsu dari seorang guru kesenian di SDN 88 Curup, saya (setidaknya mencoba) menghormati semua guru yang saya temui, saya menimba ilmu di Kampus Para Guru, saya punya banyak sekali kawan berprofesi guru. Tapi bukan pula berarti saya mendewakan sosok guru. Saya punya banyak contoh tentang guru-guru yang tak baik, dan banyak. Tapi sepertinya itu tak mengubah pendapat saya bahwa: guru adalah orang-orang yang sangat pantas untuk dihormati. Terpujilah mereka. Diberkatilah para guru. :)
Cikarang, 18 Maret 2015 

Senin, 02 Maret 2015

Mimpi di Citra Indah (4)

Bukit Cempaka Y19/129, Citra Indah. Dan pagar batako di belakang itu, tempat kamu bisa temui barisan Albazia dan perbukitan kecil yang banyak berwarna hijau
Pagi yang tak terlalu cerah itu adalah hari yang ini. Memulainya dengan mandi pagi yang menyegarkan setelah semalam menonton film hasil download-an yang lumayan seru hingga lewat tengah malam. Dan sekarang sudah hampir jam 8 pagi, kami bersiap untuk berangkat menuju sebuah perumahan besar di arah barat sana. Jarak yang akan kami tempuh mungkin sekitar satu jam dengan menggunakan motor. Dan asik sekali pagi ini: cerah yang malu-malu, bersama seorang kawan baik yang tak henti-henti berhasil membuat saya tertawa, motor Yamaha Vega merah-hitam dengan gerungannya yang garang, juga perjalanan menuju rumah. Ya, ini adalah sebuah perjalanan menuju rumah. :)

Rumah ini masing-masing kami kredit di awal tahun 2014. Kami senang sekali waktu itu: merasa antusias karena akan memiliki rumah. Rumah kami ini memang berada di sebuah perumahan yang sangat besar, tapi rumah kami sendiri kecil-kecil, hahaa. Seperti yang sudah saya ceritakan di edisi sebelumnya, rumah yang saya beli ini adalah tipe 21. Rumah mungil, tapi saya suka. Sedang punya kawan yang tadi adalah tipe 38, rumahnya lebih besar dan lingkungannya pun jauh lebih nyaman dari punya saya. Tapi tenang saja, saya tetap berpikir bahwa rumah mungil saya ini jauh lebih bagus dan lebih mewah dari rumah siapapun se-perumahan ini, :))))))

Singkat kata, kami tiba. Mampir terlebih dahulu ke rumah kawan tersebut dan melihat-lihat dia yang tengah bersiap-siap membersihkan rumah barunya di ruang tengah rumah yang kotor berdebu dan kosong melompong (cerita serupa di tulisan "AP 20 No 1"). Kain pel, kawat nyamuk, sapu, ember, gunting, dan lain-lain dikeluarkannya dari tas berwarna merah dan khas sekali itu. Dan hujan yang tiba-tiba datang dengan derasnya mengguyur Citra Indah yang sudah mendung gelap sejak kami tiba tadi. Membuka obrolan yang tak jelas ke arah mana, kami berdialog seputar rumah masing-masing. Sebut saja: instalasi listrik, aliran air PAM, genangan air hujan di halaman belakang dan tak terserap, ah apa saja. Hingga akhirnya hujan mereda, kami memutuskan mencari makanan dulu.

Hal yang terkonyol dari perjalanan ini adalah tentang saya yang baru menyadari bahwa saya lupa membawa kunci rumah. Hingga akhirnya, kami berdua hanya melihat-lihat rumah saya dari luar saja. Tapi saya sudah cukup puas. Complaint-an yang saya ajukan sejak 3 bulan kemaren sudah selesai dikerjakan semua oleh para pemborong mitra Citra Indah. Memang tetap ada beberapa kekurangan minor dari bangunan rumah ini, tapi saya pikir saya tak mempermasalahkannya. Saya sudah sangat bahagia. Kemudian meminta bantuan teman yang tadi untuk ambilkan beberapa gambar dengan saya yang berpose sekeren mungkin di depan rumah dengan halaman yang masih semrawut oleh rumput-rumput liar juga hawa perumahan yang basah oleh sisa hujan yang tadi.

Makanan kami sudah tandas. Dan setelah mengantar kawan yang tadi kembali ke rumahnya untuk melanjutkan prosesi berih-bersih (baca: ngepel), saya kembali ke rumah saya bersama seorang local contractor kecil-kecilan bernama Mas Mun, seorang lelaki 40 tahunan asal Semarang dan sudah 4 tahun mengadu nasib di Citra Indah. Saya menanyakan banyak hal padanya, mulai dari biaya pemasangan tralis dan pagar hingga model-model besinya.  Dia menjelaskan antusias sambil mengajak saya berkeliling menunjukkan hasil kerjanya di rumah-rumah lain di dalam komplek Citra Indah. Saya katakan padanya tentang rencana pagar berikut pondasi dan tanggul bata merah yang saya inginkan, dia mendengarkan dalam seksama.

***
Dan begini: saat berdiri memandang tanah kosong berukuran 12x11 meter di atas pagar batako di belakang situ (cerita di edisi "Mimpi di Citra Indah (1)"), saya berimajinasi tentang bagaimana bentuk dan peruntukan rumah yang saya beli ini kelak. Dan percayalah, semua yang saya lakukan saat ini adalah sebuah langkah untuk melihat apa yang saya imajinasikan dulu agar bisa menjadi barang yang nyata di suatu hari nanti. Meski mungkin orang lain melihat apa yang saya impikan adalah terlalu kecil dan lambat, saya hanya akan tertawa. Mungkin saya akan katakan padanya bahwa: "impian saya besar, mungkin kamu hanya belum melihatnya dari sisi yang seharusnya" :D. Dan dimulainya kini dengan obrolan pagar dan pondasi keliling ber-budget ekstra minim yang saya obrolkan bersama Mas Mun tadi? Ya, sekarang dimulailah dulu dengan rencana pagar dan pondasinya saja. Sudah cukup. :)

Bogor Kabupaten, Citra Indah, 1 Maret 2015
*Foto oleh Frans Kurnia