Minggu, 25 Agustus 2013

Rumah Tua

Kami keturunan langsung Abbas bin Lakam. Buah pernikahannya dengan seorang wanita yang selalu kami panggil dengan sebutan Maktu, Zainab binti Samin. Darinya lahir empat orang anak, 1 laki-laki tertua bernama Syahbudin Abbas, dan 3 perempuan bernama Nurhayati, Asmarawati dan Kartiniwati. Dari keempatnya lahir 10 cucu laki-laki dan perempuan. Bila diurutkan dari yang tertua hingga yang termuda, mereka adalah: Neti Agustina, Neli Oktavianti, Dedi Gustiansyah, Deni Hardiansyah, Lusi Yeniarti, Yudi Irawan, Luki Daniansyah, Liska Berlian, Feri Syahputra, dan Guntur Berlian. Ya, saya yang terkecil di antara mereka. :)

Saya senyum sendiri. Mengingat lagi kami semua masih sangat kecil waktu itu. Di setiap akhir pekan, kami akan berkumpul di rumah tua pinggir jalan dengan pekarangannya yang luas, ditumbuhi berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang ditata apik. Di setiap sabtu siang, tepat saat tayangan Ramayana tampil rutin di stasiun TVRI kala itu, mobil merah itu akan memulai perjalanannya. Suatu perjalanan yang akan mengumpulkan keturunan Abbas bin Lakam di rumah tua yang selalu hangat itu. Hingga akhirnya kami semua berkumpul, memulai tawa dan keramaian rumah yang tak pernah asing.

Sepanjang akhir minggu itu kami benar bersenang-senang. Berlarian tak kenal waktu. Kadang berkelahi, kadang bercerita, kadang suara raung tangis yang memecah suasana, kadang marah nenek yang sekali-kali, ah banyak sekali. Banyak sekali! Sekali-kali, di minggu paginya dengan mobil merah itu, kami berjalan-jalan. Kadang ke suatu pemandian air panas di ujung timur kota, kadang menuju Danau buatan di timur jauhnya lagi, atau kemana saja. Atau bila tidak, kami hanya habiskan waktu suka-suka di rumah itu untuk sekedar habiskan waktu berkubang di kolam ikan berukuran 6 x 6 meter itu, memanjat dua batang jambu biji yang tertata rapi, atau melihat ternak bebek petelur yang banyak, ayam kampung yang sehat-sehat, angsa besar yang kadang menakutkan, di pekarangan belakang rumah. Kami tak pernah merasa kurang apapun saat itu. Kami merasa senang dan bahagia saja. Kami tak butuh yang lain lagi. Begitu akhir minggu kami dalam waktu yang sangat panjang dan berulang.

Tapi nyatanya waktu memang berjalan. Berganti kini, para cicit keturunan Abbas bin Lakam ramaikan rumah tua itu meski tak penah genap sekali dalam setahun saja. Berikut kami para cucu-cucunya yang juga sepertinya kadang terlalu sibuk atau malas untuk berkumpul di situ lagi. Entah kenapa. Tapi mungkin kesibukan dan tuntutan hidup yang lain memaksa untuk tak bisa persis sama seperti dulu. Sedang rumah tua itu tetap di situ. Menunggu kami berkunjung lagi, ceria lagi. Hangatkan rumah yang pernah saksikan kehangatan keluarga besar kami yang semoganya bisa tetap baik sampai nanti-nanti. Membagikan cerita-cerita serupa ini pada keturunan kami yang selanjutnya. Hingga akhirnya mereka selalu tahu siapa mereka sebenarnya, lewat jutaan cerita yang pernah terbentuk di situ, di rumah tua yang itu.

Cikarang, 25 Agustus 2013

Sabtu, 24 Agustus 2013

Dedaun Bungur

3 bungur peneduh berjajar di Taman Pecenongan, tempat yang asik buat mengamati
Setelah menyantap semangkok penuh soto kudus dan telor dadarnya yang meriah, saya berjalan pulang. Dengan menenteng satu botol teh kemasan dingin tadi, berjalan pelan-pelan mencari jalan-jalan teduh, belindung dari panasnya siang Cikarang di awal musim kemarau yang ini. Ah, panas sekali. Menyebrang kini, memasuki sebuah areal taman pemisah jalan yang luas. Rumputnya masih hijau, juga beragam tanaman yang lainpun tak jauh berbeda. Mungkin belum terlalu terpengaruh musim kemarau yang baru saja datang. Dan pikiran saya masih menjelajah entah kemana. Mungkin hanya sebatas tengah menahan suhu panas saja di antara kernyit dahi yang semakin dalam.

Memilih teduh, saya berjalan sedikit jauh. Melewati rindang tiga bungur yang berjejer. Saya berhenti sejenak. Menghirup sejuk dan pemandangan dari sini. Segar sekali. Saya berhenti dulu. Kemudian memutuskan duduk di bawahnya menghadap timur, dengan aliran sungai di hadapan beriak pelan-pelan entah menuju kemana. Mereguk beberapa tegukan teh yang tadi, juga gilir angin dan bias matahari di sela dedaunan bungur di atas sana, saya melihat jauh-jauh. Seperti memulai suatu kontemplasi singkat dalam pejam mata yang sekali-kali. Memandang jutaan potret realita yang pernah terjadi sebelumnya, melihat cerita yang ini di sini. Semuanya seolah berjalan dalam ketika. Dengan mesin pemutarnya yang seperti tengah di puncak sibuknya kini, saya mulai bertanya tentang banyak hal. Saya mulai bertanya tentang semuanya.

Adalah sebuah kerumitan dan kesederhanaan di semua cerita. Mereka tak pernah saling unggul sebenarnya, tapi saya pikir, pikiran sajalah yang memaksa-bentuknya menjadi satu-satu, seolah terlepas, padahal tidak. Seperti memisahkan angin-angin dari udara. Seperti daun-daun bungur yang memilah panas matahari dari lurus cahayanya yang akhirnya tetap saja sampai ke bawah.
Cikarang, 25 Agustus 2013

Ke Bulan

Menarik sekali! Mendengarkannya lagi saya senyum-senyum sendiri. Saya pikir bahasanya kental gambarkan kecerdasan dan keluwesan yang menarik sekali. Saat seorang gadis ditanya: “bila kamu akan pindah ke bulan, kiranya barang apa saja yang akan kamu bawa?”. Lalu dia menjawab: “hmm, sepertinya saya tak akan membawa banyak barang bawaan. Tapi pastinya saya akan membawa kain samping juga kebaya. Nanti di sana, beri saya tiga ketukan Jaipongan, dan budaya Sunda pun tak akan pernah hilang, meski saya pindah ke bulan”. Begitu dia menjawab. :)

Nining Meida dalam lagunya "Ka Bulan"
Cikarang, 24 Agustus 2013

Jumat, 23 Agustus 2013

Hari Merdeka (17 Agustus 1945)

Tujuh belas Agustus tahun empat lima/
Itulah hari kemerdekaan kita/ 
Hari merdeka nusa dan bangsa/
Hari lahirnya bangsa Indonesia/
MERDEKA!

Sekali merdeka tetap merdeka/
Selama hayat masih di kandung badan!

Kita tetap setia tetap sedia/
Mempertahankan Indonesia/
Kita tetap setia tetap sedia/
Membela negara kita!

***
Itu menjadi sangat aneh saat lagu ini dinyanyikannya sembunyi-sembunyi, seperti pagi ini. Saya bertanya di dalam hati, kenapa harus seperti itu? Tidakkah ingin menyanyikannya dengan segenap bangga, suara yang lantang? Yang sama ironi, saat di tengah malam 17 Agustus kemarin menemukan sebuah bus pariwisata menabrak tiang bambu bendera Merah-Putih di pertigaan Jalan Ciwaruga yang mulai sepi. Sampai merunduklah bendera kami karenanya. Ah, malu saya!
Cikarang, 23 Agustus 2013

Kamis, 22 Agustus 2013

Bohong

Mendengar seorang kawan bercerita malam ini. Tentang sedikit kebohongan kemarin-kemarin yang akhirnya membawanya ke kekompleksan masalahnya kini. Berpikir untuk mencoba mengatasi masalahnya dengan kebohongan yang lain lagi. Ah tapi saya pikir buat apa? Saya pikir bicara jujur jauh lebih melegakan. Meski siapapun tak akan ada yang senang mengetahui jika kamu sudah berbohong sebelumnya, tapi saya pikir juga itu bukanlah sebuah masalah. Bahwa di saat yang tepat, semua orang akan belajar menerima kenyataan pada akhirnya. Terserah itu senang, terserah itu tidak, tapi sepertinya seperti itulah hidup. Dan saya sepertinya juga yakin bahwa mengetahui kebenaran yang terburuk sekalipun merupakan sebuah sensasi yang jauh melegakan dibanding dininabobokan oleh lapis kebohongan yang merayu. Bukan begitu?

Saya bukan seorang malaikat. Saya juga pernah berbohong, ke siapapun. Biar saya terlihat hebat kadang, biar saya terlihat menyenangkan kadang. Tapi saya pikir sesering itu pulalah saya berusaha berkata jujur. Berusaha hidup di kenyataan yang lebih melegakan, meski seringnya susah, tapi sepertinya itu lebih layak dilakukan dari yang lain. Dan bila nyatanya sejauh ini saya masih terlalu sering gagal untuk bisa seperti itu, ah biarkan saja dulu, biarkan saya belajar dulu. Bahwa seperti yang sering saya ucapkan sebelum-sebelumnya, saya bukan malaikat.
Cikarang, 23 Agustus 2013

Rabu, 21 Agustus 2013

Lutung Kasarung

Di hampir tengah malam ini, saya mendengar penggal cerita yang saya yakin itu hanya sebagiannya saja. Saya sebut demikian. Sepenuhnya yakin, begitu panjang proses berpikir, tak akan sebegitu mudah diangkat jadi penggal cerita begitu saja. Akan terlalu banyak detail yang mungkin terlewat, tapi saya pikir tidak masalah. Sama seperti waktu cerita Lutung Kasarung ini menyapa saya malam ini, hingga lenyapkan seketika rasa kantuk yang tadinya seolah tak tertahan. Saya meraba-raba kini. Menerka apa kiranya kisah penuhnya. Meski tak perlu pulalah saya bertanya membabi-buta, cukuplah coba merasa dan menelaah, tapi tak kan asal-asalan. Meskipun nanti nyatanya saya salah, tapi saya pikir bukan masalah.

Sepertinya memang benar bahwa hidup adalah tentang menjalaninya, lalu mencoba memahami apa-apa yang telah terlewat. Tak wajiblah selalu benar dalam melangkah, karena nyatanya kita tak akan mungkin bisa seperti itu. Tak akan pernah bisa seperti itu! Tapi mencoba menjadi orang yang baik dan tetap merasa senang, selalu saja akan berarti menjalani kehidupan itu sendiri. :)

Didedikasikan untuk seorang kawan baik atas penggal ceritanya yang asyik
Cikarang, 20 Agustus 2013

Selasa, 20 Agustus 2013

Nafsiah Mboi

Saya jadi teringat. Tadi pagi hingga siangnya kantor kami tengah hajatan. Sebuah perayaan kecil untuk merayakan keberhasilan jerih-payah kami. Di dalamnya, kami mengundang Ibu Mentri Kesehatan Republik Indonesia, Ibu Nafsiah Mboi, berikut jajarannya dan yang lain. Acaranya senang. Tak terlalu lama memang, tapi kami senang. Dimulainya dengan mendengar bapak kami memberi sambutan yang tak panjang, juga yang lain. Saya dengarkan hati-hati dan antusias. Teringat juga saat video profile kantor kami itu diputar, saya perhatikan, tak bosan-bosan. Padahal video ini sudah saya saksikan puluhan kali sudah. Tapi saya selalu senang untuk melihatnya lagi.

Tibanya Ibu Naf berikan sambutan, naik ke podium kecil itu. Saya perhatikan seorang Ibu yang mudah tersenyum. Dengan bahasa yang santai, meski tak terlalu lancar, dia menatap kami. Saya menerka sepertinya Ibu Naf tengah coba mengimbangi kami. Saya tersenyum untuk itu. :) Di penghujungnya, Ibu Naf meminta untuk berfoto bersama kami. Ucapnya begini: “saya ingin berfoto bersama mereka, para peneliti-peneliti muda ini. Yang berseragam putih-biru ini toh?”. Disambut gemuruh yang hadir. Kami mungkin sekitar 30-an orang tadi, dan dengan senang dan sumringah, kami maju, disambut uluran tangannya mengajak kami bersalaman satu persatu. Dan Ibu Naf duduk di tengah, kami di sekitar. Beberapa kali jepretan, maka jadilah. Kami semua senang.

Setelah acara selesai, di satu moment yang tak disengaja, saya bertemu dengan bapak kami. Disalamnya saya erat, kemudian bertanya: “are you happy?”. Saya menjawab: “ya, saya senang, Pak. Saya sangat senang”. Dijawabnya lagi: “saya juga” dan dia tersenyum, berlanjut pergi, saya memperhatikan. Dan hingga sore yang inipun hampir habis, tak habis-habisnya pula saya mendengar semua kami masih bicarakan ini, hingga mimpi-mimpi yang lain buat yang nanti.

***
Saya senyum sendiri kini, teringat satu kalimat yang diucapkan Ibu Naf tadi: “bila nanti kalian merasa letih dan ingin sudah saja, maka ingat saja, bahwa Ibu Naf dengan baju merahnya pernah berpesan untuk tidak mudah menyerah.”. Disambut tepuk-tangan kami yang meriah, kami saling larut dalam merah yang merona. :)
Cikarang, 20 Agustus 2013

Menghardik

Pernahkan bertemu dengan seorang yang sangat suka menghardik orang lain? Mereka berkomentar: bego, tolol, anjing, atau kata-kata lain dengan sentimen merendahkan, entah untuk apa. Terkadang menertawakan dengan jijik logika orang lain. Ah. Biasa dia berkomentar apa saja. Ditujukannya juga untuk siapa saja. Kadang pejabat, kadang kelompok tertentu, bahkan mungkin kadang orang-orang yang ditemuinya sehari-hari. Meski kadang hanya diucapkannya di dalam hati, kadang diopinikannya di media sosial, kadang dimana saja. Tapi ah saya pikir sama saja.

Mungkin kadang hanya cara berekspresi saja mungkin ya? Mungkin tak selalu bermaksud untuk merendahkan orang lain juga. Beralasan bahwa mereka memang pantas untuk mendapatkan komentar seperti itu. Saya berpikir keras kini. Saya pikir bila komentar seperti itu diucapkannya sesekali, saya mungkin bisa paham. Tapi bila sudah terlalu sering, kadang saya jadi bertanya sendiri juga. Ah, saya pikir aneh saja. Kadang saya tak habis pikir malah. Serius.

Saya tak berniat menyerang siapapun atas ini. Tapi benar saya tak paham. Mungkin orang-orang tertentu bisa dengan senang dan lepas saja berbuat seperti itu.
Cikarang, 20 Agustus 2013

Senin, 19 Agustus 2013

Malam di Perjalanan

Teringat di beberapa malam yang lewat. Saat berdua menyusuri panjangnya jalanan Cimahi-Ledeng. Berjalan kaki kami, menapaki jalanan yang ramai dengan kendaraan kesana-kemari serta gemuruh klaksonnya yang meriah. Lalu berbelok sejenak melewati suatu blok perumahan yang tenang-tenang. Kemudian bertemu lagi jalanan luas yang gelap dan sepi, meretas jalanan undak tanah di bawah rimbunan bambu yang gulita. Terkadang terlalu gelap malah, lalu nyalakan sebentar penerang dari handphone itu, hanya biar terlihatlah gelombang tanah yang berjarak, biar tak tersandung nanti, jatuh, lalu tersungkur. Semoga janganlah sampai seperti itu. Kami meniti dalam hati-hati, kewaspadaan sehari-hari. Di sepanjangnya, kami berdialog. Bercerita apa saja. Tapi umumnya mendengar kawan tersebut bercerita. Saya dengarkan. Kadang memberi komentar sedikit, kadang iyakan saja. Biar lebih tenang dia bercerita, ungkapkan apapun yang dia mau. Suasananya begitu.

Di depan sebuah warung modern itu, kami berhenti. Lepas lelah sejenak, duduk di terasnya yang benderang. Sedang angin Ciwaruga seperti sebelumnya lemparkan pesonanya dalam genit yang menggoda. Menyapa sekujur tubuh dari muka sampai semua. Kami lanjutkan lagi diskusi tadi. Diskusi yang memang tak kan pernah bisa berujung sepertinya, saya tetap mendengarkan. Komentar satu-satu bukanlah apa-apa. Silang pendapat, kadang sedikit emosi, ah itu biasa. Kami bertukar pikir, kami tak pernah saling memaksa. Karena memang terkadang menyamakan keyakinan bukanlah tujuan yang terlalu bijak sepertinya. Kami jalani saja, berikut malamnya yang semakin meninggi, hampir ke puncaknya kini.

Dan akhirnya, sebuah bangunan Taman Kanak-Kanak di pelataran masjid itu menjadi muaranya. Serupanya air-air gunung yang bermuara di lautan bebas, kami berbaring di terasnya. Mencoba mengartikan kembali diskusi tadi-tadi serba pribadi kini. Sadar bahwa kami tak pernah benar saling tahu apa yang terpikirkan masing-masingnya. Saya tersenyum saja akhirnya. Saya merasa cukup. Entah dengannya, semoga iya. Meski mungkin akan menjadi sedikit lebih rumit dari caranya memandang, tapi biarkan, itu hanya soal cara memandang. Toh, perjalanan ini bukanlah untuk mencari apa yang seharusnya. Tapi untuk menjalani sebuah cerita sederhana pembawa tidur kami yang tak kunjung datang hingga dini hari. Dan lepas lamun sarat nilai yang menyatu sempurna pada dingin malam Geger Kalong yang selalu saja bijaksana mengajak mengaji dalam teliti dan kerendahan hati.
Bersama Gelar Taufiq Kusumawardhana
Cikarang, 19 Agustus 2013

Minggu, 18 Agustus 2013

Bandung di Atas Damri

Di atas Damri bertulis jurusan Dago-Leuwi Panjang itu akhirnya saya beranjak dari sini, Jalan Dipati Ukur, Bandung. Sengaja saya memilih duduk di baris bangku sisi kanan dekat jendela ini. Tujuannya sederhana, biar lebih lepas melihat jalan-jalan terlewat, biar perjalanannya tak bosan. Hingga saat bus mulai berjalan, dan penumpangnya yang semakin penuh. Bus mulai merangkak pelan, menyusuri jalanan pelan-pelan. Ah cocok sekali saja pastinya, untuk orang-orang yang tak tengah dikejar waktu, ingin melihat hari membelah Bandung.

Bus masuklah di Jalan ini. Namanya  Jalan Ir. Juanda. Sebuah nama yang diambil dari seorang pahlawan nasional asal Jawa Barat, Ir. Rd. Juanda Kartawijaya. Daerah ini juga dikenal sebutan Dago, Jalan Dago, Jalan Juanda, sama saja. Sebuah jalan memanjang dari utara jauh hingga ke bertemu Jalan Merdeka di bawah sana. Sudah sejak lama jalan ini menjadi ikon kota Bandung atas aktivitas malam minggunya yang semarak. Saat muda-mudi ramai berkumpul habiskan malam dengan jajanan jalanannya yang khas, acara-acara live radio, anak-anak SMA laki-perempuan dengan dandanan kelas atas mengamen senang-senang di sepanjang jalan, juga serakan bapak-ibu penjaja bunga segar di lampu-lampu merah, dan banyak lagi. Sayangnya saat ini saya tak akan bercerita khusus tentang malam minggu di sini. Bukan itu fokusnya. Tapi meski begitu, mau tak mau, semua dimensi itu akan kontan melintas saja saat nama Jalan Dago disebut, atau sekedar diingat.

Sore ini, saat langit Bandung tengah malu-malu. Sepertinya mendung, gelap sebentar, lalu terang lagi, sedang mendungnya tetap saja. Melintas di bawah Pasupati yang romantis itu, terlihat aman Dago diramaikan oleh beberapa anak-anak laki-perempuan umuran SMP-SMA berlatih skateboard di sekitar taman. Saya berpikir: “ah sore ini semua sedang senang sepertinya :)”, sedang bus ini tetap menjauh, melanjutkan ceritanya sediri. Lagi yang lain, kali ini Gampoeng Atjeh, Dago Plaza, apotik di simpang jalan itu, ah warna-warni! Kuning-hijau-merah-biru. Dago warna-warni. Senang sekali.

Masih asyik sendiri menikmati senang sepanjang lintasan Damri, saya berpikir lagi: “ah, saya mau yang lebih! Ingin yang lebih lagi, biar lebih senang, apa saja!”.  Nyatanya tak lama kemudian di awal Jalan Otista, sebuah singkatan umum yang mengacu ke nama pahlawan Oto Iskandar Dinata, naiklah dua pengamen jalanan berpenampilan tak meyakinkan, dengan tato abstrak di lengan kanannya yang kurus juga topi lusuh hitam itu. Satu dari mereka membawa ukulele, semacam gitar kecil yang umum dipake pengamen jalanan kota ini, sedang satu lagi memegang djembe sederhana ukuran medium. Mereka mulailah saat itu, berduet. Tegang tiap senar yang benar, juga ketukan djembe yang pas. Lumayan bagus juga saya pikir. Vokal dari salah satu mereka lumayan berwarna. Ah, saya suka, sangat suka malah. Untuk ukuran pengamen jalanan, saya nilai duet mereka bagus. Segera saja saya merekam nyanyian mereka di handphone yang sedang saya pegang (file attached below --> Pengamen Damri Bandung.wav). Dan setelah 10 menit bernyanyi, mereka berhenti. Saya ikut berikan sejumlah sejumlah uang yang sangat pantas mereka terima atas nyanyian dan suasana yang dibentuknya. Menerimanya, terlihat wajah mereka sangat gembira. Saya yakin wajah itu adalah saya. :)

Selepas mereka turun di perempatan itu, saya berpikir. Kiranya Bandung menjawab “keinginan lebih untuk menikmati sore” saya yang tadi. Saya tersenyum sendiri. Saya berpikir saya sedikit gila untuk bisa berpikir seperti itu. Hahaa. Sebenarnya begini, saya hanya berpikir bahwa terkadang saya merasakan sesuatu yang susah didefiniskan, atau bahkan sekedar diklasifikasikan sebagai sebuah kebetulan saja, sesuatu yang menambah sisi mistis kota ini di hadapan saya. Membuatnya lebih menarik. Saya senang-senang saja.
Salam, Bandung! :)
Bandung, 18 Agustus 2013

Jumat, 16 Agustus 2013

Berkawan Siapa Saja

Bercerita seorang kawan, dulu ayahnya sering memberi nasihat: “pandai-pandai mencari kawan, Nak. Jangan terbawa ke hal-hal yang tidak baik, ingat siapa kita, lihatlah bapak, lihat dirimu, inilah kita.”. Lanjut kawan tersebut sambung bicara: “ya, saya baru mengerti bahwa itu benar, itu memang benar!”. Dengan wajah seriusnya yang masih saya ingat persis itu, saya mendengarkan saja. Lalu saya tersenyum pelan-pelan, saya iyakan.

Juga teringat seorang kawan yang lain di cerita yang lewat. Katanya: "saya berkawan dengan siapa saja, saya tak akan memilih-milih kawan.". Katanya begitu dalam semangat. Untuk kemudian saya berkomentar: “ah saya pikir mungkin kita memang harus memilih-milih dalam berkawan, Sodara. Jangan mudah terbawa ke hal-hal buruk yang mereka ajak atau ucapkan. Bahwa mengetahui siapa kita adalah pedomannya.”.

Saya merasa seperti de javu saja saat sore ini kawan tersebut bicara seperti itu di sela reguk kopinya yang sudah habis setengah. Saya pikir mungkin memang seperti itulah yang seharusnya. Terlepas dalam konteks apapun, mungkin memang seperti itulah sebaiknya. Tak perlulah berpikir akan sedikit kawan karenanya, karena nyatanya saya tetap punya (sangat) banyak kawan, meski saya sangat pemilih.
Hatur nuhun ka Kang Asep Aripin buat ceritanya
Cikarang, 16 Agustus 2013

Smartphrases

Saya tertawa saja, mendengar beberapa orang berkomentar yang garis besarnya: ah kayanya kalimatnya biasa aja. :D

Oia, saya belum cerita. Tadi saya membuat sebuah status di jejaring sosial, penggalannya begini: "'Dikotretkeun dina hate ti dituna, diguratkeun tina rasa ti dituna!'. Smartphrase.". Kira-kira terjemahan bebasnya: “'Dikotretkan di hati dari asalnya, diguratkan dari rasa dari mulanya!'. Ungkapan yang cerdas.”. Ya, saya pikir ungkapan ini benar-benar cerdas. Sama seperti waktu seorang kawan menulis di blognya “Suasana mulai seperti ikan salmon. Mudik. Kembali ke udik.”. Atau yang lain “tenanglah sayang, tersenyumlah. Dia yang kita tunggu akan segera tiba”. Yang saya maksud cerdas di sini adalah kemampuan kalimatnya dalam mengungkapkan bentuk emosi yang abstrak, tapi kemudian bisa dimengerti oleh orang lain melalui proses merasa dan telaah, juga disampaikan dalam pengucapan yang bernada dan terasa. Itu!

Kembali lagi, bila beberapa orang berkomentar semacam “ah kayanya kalimatnya biasa aja”, saya tertawa, biarkan saja. Meski dalam hati, saya tak benar yakin mereka juga bisa menyusun sendiri kalimat serupa. :p
Cikarang, 16 Agustus 2013

Rabu, 14 Agustus 2013

Kawan di Sepenggal Malam

Seperti ini. Saat seorang kawan yang kau ajak bercengkrama di beberapa penggal malam habiskan waktu sebelumnya pergi begitu saja. Tak ada kata-kata pengantar yang terucap untuk tinggalkan suasana ini. Mungkin hanya lupa saja pikirmu menghibur diri :). Lalu jujur saja kau sedikit berkecil hati karenanya? Ya, itu normal saja sepertinya. Karena untukmu, berbicara bersama tak sesederhana itu. Bagimu senang saat itu, berarti kitalah saat ini. Dan kau akan mencoba mencarinya besok-lusa. Harapanmu semoga nanti bertemu, untuk ucapkan: “semoga berjumpa lagi, bisa bicara lagi nanti-nanti”. Dan kalaupun tidak, semoga cukuplah bagimu untuk ingat yang sudah terbentuk, dan kau tetap berharap nanti dipertemukan lagi di waktu yang lain, cerita yang sama.

Bagimu seperti itulah kawan. Seperti itulah kau bersikap layanyaknya kawan di sehari-hari. Kau tak berpikir soal gengsi. Ah, apa juga yang mau kau gengsikan, bukan? Sesederhana kau menikmati harimu bersama yang lain. Tak perlu berpikir untung-rugi, atau hal aneh yang lain. Cukup senanglah kau waktu menyebut dia sebagai kawan dari waktu yang lewat. Tetap juga kawan saat tak lagi benar bersama kini dan nanti.
Cikarang, 14 Agustus 2013

Baris Doa Pengingat

Di bawah Mahoni ini lagi siang ini. Mendengar seorang kawan bercerita tentang seorang yang lain. Tapi sayangnya ceritanya tak akan saya tulis sejelas biasa. Karena sepertinya terlalu sensitif. Juga saya pikir tak terlalu perlu untuk diangkat terlalu gamblang jadi bahan bacaan sore-sore, seperti sekarang. Yang penting akhirnya bisa menangkap sarinya, untuk kemudian bisa disusun menjadi sebuah doa pengingat di penghujung ibadah nanti-nanti.

“Ya Tuhan, terima kasih atas segala nikmat yang sudah diberi. Atas nikmat hidup dan rasa senang yang baik. Tambahkan kami rezeki berikut rasa syukur yang selalu melimpah dan menenangkan. Juga anugerahkan rasa cukup kami atasnya, atas nikmat hidup juga rasa senang yang baik, rezeki-rezeki yang baik.” :)
Cikarang, 14 Agustus 2013

Sabtu, 10 Agustus 2013

Purnawarman Seberang Jalan

Malam di Jalan Purnawarman, Bandung.
Malam yang panjang-panjang. Melihat-lihat barang yang saya suka di mall elektronik itu, Bandung Elektronik Center. Tak akhirnya membeli, saya putuskan pulang saja. Waktu sudah pukul 20.30. Langit di luar cerah, dingin khas kota ini. Tarik nafas tiup sebentar. Saya melihat Bandung. Jalan Purnawarman sebegitu biasa. Saya berjalan turun pelan-pelan. Beranjak ke seberang jalan, dengan Tubagus Ismail sebagai tujuan malam ini. Sebuah rumah dari seorang kawan yang baru saja akan saya kenal, lewat seorang kawan yang lain. Dan di bawah baris Mahoni raksasa itu, saya melihat sekali ke belakang. Terlihat sebuah pemandangan yang saya ingat betul. Itu 10 tahun yang lewat. Ah, tak terasa memang. Nyatanya itu sudah lewat selama itu. Tapi ingatan saya masih sejelas aslinya.

Sore itu, Juni 2003. Dengan diantar oleh kakak sepupu dengan menggunakan angkutan perkotaan berwarna biru muda bertulis Caringin-Sadang Serang, akhirnya saya berkumpul di satu titik di Gramedia Jalan Merdeka Bandung. Di situ, saya sudah ditunggu oleh beberapa kawan satu SMA dari Curup. Kami semua baru tiba di Bandung 2-3 hari sebelumnya. Kami begitu tertarik untuk menjelajahi kota ini. Dan dimulainya dari saat itu saja. Lanjutnya kami belanja mata, melihat-lihat aneka barang-barang yang menarik. Sedang seorang kawan akhirnya menuju BEC membeli sebuah handphone baru, Nokia 2100 berwarna biru. Saya masih ingat, kawan tersebut terlihat sangat gembira dengan handphone barunya itu. :) Selepasnya, kisaran jam 5 sore, kami berjalan ke seberang jalan. Kami mampir di gerobak batagor pinggir jalan itu, beberapa memesan, lalu memakannya di atas kursi-kursi plastik atas trotoar dalam gembira, sambil melihat ke pemandangan Bandung dari sudut itu. Satu pemandangan yang sama dengan yang saya lihat malam ini. :)

Meski tak lapar, akhirnya saya berhenti malam ini, hampiri satu gerobak pinggir jalannya, Bapak pedagang baso tahu itu. Saya pesan satu porsi. Menyantapnya di atas kursi plastik pada kerlip terang, sambil melihat detail kejadian 10 tahun yang lewat dari sudut ini. Mengingat bagaimana saya berpikir waktu itu. Mengingat bagaimana saya berpikir saat ini. Mungkin saya mampu berpikir lebih mapan saat ini. Tapi saya sepertinya bisa berpikir lebih murni waktu itu. Diiring segenap perjalanan yang pernah dilalui, saya menyadari bahwa waktu memang guru yang super-menarik. Diprosesnya seseorang dari mapan menjadi murni, pun diajarnyanya seseorang dari murni menjadi mapan. Berpikir mana yang baik? Lalu menjawab, “ah tak perlu seperti itu juga”. Bahwanya hidup bukan untuk menentukan mana yang lebih dari yang lain. Biarkan dia berjalan seiring ajar, lalu akhir ceritanya mencerminkan siapa saya. Mencerminkan bagaimana saya yang sebaiknya.
Bandung, 10 Agustus 2013

Kamis, 08 Agustus 2013

Bicaralah Dengan Emosi

Berbicaralah dengan emosi. Karena dengan begitu kau akan merasa  hidup. Sesederhana melihat gugusan gunung-gemunung ini dengan tatapan yang serba khas di atas jalanan layang di titik ini. Dilingkupinya sendu dari angin-angin yang lewat, disayanginya lembah dari hiruk-pikuk misteri dari balik gunung. Lalu awan-awan mendungnya yang datang, kau biarkanlah dalam emosi. Basahi genap tubuhmu merayu juga pikiran yang menari. Dan kau merasa nyata.

Berbicaralah dengan emosi. Tak perlu terlalu panjang kau tetapkan arah bicara. Tunjukkan nada-nada yang lugas, yang tak harus selalu bikin kau senang. Karena hidup bukan melulu tentang merasa senang, tapi lebih komplekslah dari itu. Seperti udara malam di perumahan ini yang sama-sama saja. Dengan yang lain saat kau bermain api di puncak Sanggara yang agung. Di antara hujan lebat yang menghajar garang, kau tak pernah takut.

Berbicaralah dengan emosi. Hingga bicaramu terasa bukan lanturan kosong yang miskin nilai. Karena nyatanya semua yang terus ada tak pernah dibagi dalam bicara ataupun tidak. Atau cara penyampaian yang serius juga canda-canda. Atau tentang lamanya yang sama-sama. Tapi seperti bibir yang terasa ada dengan kecup mesra. Kau pun tahu. Bisa memilahnya dari rasa, bisa pisahkannya dari genapan rangkai ungkapan.

Bicaralah dengan emosi. Biar tiup angin terasa nyata. Biar rinai hujan terasa basah.
Bandung, 9 Agustus 2013.

Rabu, 07 Agustus 2013

Malam Takbiran

Malam di sini. Jalan Panday, Cimahi. Tempat saya menghabiskan malam takbiran Ramadhan kali ini. Di rumah seorang kawan yang tengah sibuk menyelesaikan tugas menulis untuk tugas akhir seorang yang lain. Katanya, besok tulisan itu harus selesai. Saya tidak terlalu tahu pastinya. Tapi sepertinya tentang uang juga. Besok lebaran kan ya? :)

Di awal malamnya dihabiskan mendengar cerita-cerita sunda yang menggelikan. Kami tertawa. Senang mendengar tokoh sunda tersebut berkisah tentang apa saja. Kami dengarkan. Diselingi makan malam lagi, kami dengarkan lagi. Berikut gelas kopi yang sudah habis dua, ceritanya berlanjut.

Pergilah sebentar menuju warung modern itu, sekedar membeli kopi dan persediaan malam ini. Sepintas di beberapa masjid besar, dan anak-anak juga dewasa melingkar di tengahnya menyanyikan puja-puji. Juga pemandangan sekeliling Kota Tentara ini di antara hiruk pikuk takbir yang teralun di pengeras suara masjid di sana-sini. Melihat pula kumpulan muda-mudi warna-warni berkumpul meminum alkohol dalam semarak. Aromanya santar, siapapun pasti tahu. Dan kami lewat saja.

Menjadi bertanya, apakah malam takbiran itu? Sebenarnya saya belum terlalu mengerti. Tapi saya senang-senang saja lewatinya. Beberapa definisikan sesederhana malam di jutaan takbir menyebar di udara hingga matahari datang besok, dan hari kemenangan itu tiba. Akan berduyun-duyunlah menuju masjid dan tanah lapang yang wangi-wangi. Sebagian orang menang. Entah apa yang menang. Mungkin sesederhana memenangkan rasa gembira di antara yang lain.

Uang, dengarkan dongeng, makan malam yang semangat, muda-mudi berpesta jalanan, gema takbir-puja-puji. Saya pikir itulah malam takbiran. Yang meski tak tersebut, lamunan yang hingga jauh menuju rumah merah jambu yang sepi di jauh sana, di antara lampu penerang jalannya yang redup-redup di depan sana.
Cimahi, 7 Agustus 2013

Selasa, 06 Agustus 2013

A. Bareto Simalango

2006, Danau Ujan Mas. Saat jalan-jalan bertiga dengan pacarnya, yang sekarang jadi istrinya :)
Saya punya kawan masa kecil. Nama lengkapnya Tito Apiko Bareto Simalango. Saya punya panggilan sendiri untuknya, Kuang. Tapi sepertinya lebih baik saya tidak menjelaskan asal-muasal nama panggilan itu, hal lucu tapi sebenarnya kurang bijak. :) Saya mengenalnya setelah di suatu bulan di tahun 1994 dia dan keluarganya menjadi salah satu tetangga baru kami. Ayahnya dari suku Batak, tepatnya daerah Samosir, dan Ibu dari suku Rejang, asli dari daerah Lebong. Semua orang di daerah kami akhirnya mengenalnya dengan panggilan Bang Tito. Bocah kecil dengan perawakan gendut kulit kuning, tiga tahi lalat di pipi berjajar hampir membentuk diagonal sempurna, rambut ikal hitam legam, ekspresi tawa yang khas, dan penggembira. Dia tengah duduk di kelas 2 SD saat itu, sedang saya kelas 4 SD. Hingga akhirnya kami tetap saling mengenal hingga hari ini. Bila dihitung, saya sudah mengenalnya hampir 20 tahun hari ini.
Cerita masa kecil kami adalah cerita anak-anak. Tingkah-polah anak laki-laki yang terbiasa. Kami tertawa senang, kami menangis sekerasnya, kami tetap coba berlari saat ketakutan mengejar dan rasa lelah, kami berdiam meliat gerak layangan di barisan awan di atas rumput hijau dan Albasia raksasa, kami mencuri dan senang saat tak ada yang tahu, kami berbuat baik sekemampuan kami, ah banyak sekali. Banyak sekali. :)
Cerita beranjak remaja kami adalah cerita itu. Saya mengetahui banyak hal tentang dia. Seperti juga sebaliknya. Meski saat saat itu, kami tidak terlalu dekat. Tapi jangan artikan itu sebagai jauh. Tidak. Kami tetap saling berkunjung hampir setiap hari, tapi memang tidak setiap saat, seperti masa kecil kami dulu. :)
Cerita beranjak dewasa kami begitu. Semenjak lepas SMA saya merantau ke tanah Sunda. Dan pasti kami jadi sangat jarang bertemu, atau saling berkirim pesan singkat. Hanya saat saya pulang lebaran atau libur panjang semester genap saja kami bertemu. Apalagi saat dia dan keluarganya akhirnya pindah ke Lebong, tanah leluhur ibunya. Hingga tak setiap tahun juga kami bisa bertemu. Tapi kami tak pernah mempermasalahkan itu. Kami mulai mengerti bahwa berkawan bukanlah tentang dekat dalam jarak, tapi lebih dari itu. Kami senang untuk bisa mengerti.
Dan saat ini, saat Ramadhan berada di penghujungan, saya mengingatnya lagi. Menanyakan kabarnya dan buah hatinya yang semoganya selalu sehat dan senang. Ucapkan selamat lebaran seperti setiap tahun semenjak saling mengenal hingga kini. Berucap semoga rezekinya tetap mengalir baik, tak kurang apapun. Begitu saja. :)
Selamat Rayo, Wang. :)
Cikarang, 7 Agustus 2013

Senin, 05 Agustus 2013

Gambar, Tulisan, Cerita

Saya masih tak habis pikir. Sebelumnya saya sudah memuji gambar ini dengan komentar: “epic!”. Sekarang setelah lebih dari 6 jam berikutnya, saya merasa belum cukup. Tapi di lain sisi, saya juga mulai merasa gambar ini seperti ada yang kurang. Melihat lebih lama, akhirnya saya mulai tahu dan menerka.
Melihat lagi. 9 anak ini dalam satu bingkai yang ini. Seolah ingatkan lagi bahwa tak ada yang lebih baik dari senyum dan tawa yang gembira. Rasanya kental sekali. Hingga tak letih-letihnya saya berucap kagum pada gambar ini. Memangdanginya lagi, memperhatikan satu-satu, apa saja. Hingga saya akhirnya mulai merasa bahwa saya melewatkan satu hal yang biasanya malah menjadi bagian yang paling saya sukai.
Saya sering mendengar, bahwa selembar gambar mewakili jutaan kata. Saya pikir itu benar. Satu gambar memang bisa bercerita banyak realita juga ke-kompleks-sederhana-an ceritanya. Tapi saya pikir, gambar tak selalu berhasil bercerita tentang ke-pikir-rasa-an pengangkat gambarnya. Apa yang dipikirkannya saat itu. Apa yang yang dirasakannya saat itu. Seolah mengurangi sisi mistis dan sebagian jiwa dari cerita itu sendiri.
Saya selalu senang mendengarkan seseorang bercerita. Tentang apa saja. Dan yang selalu menjadi salah satu bagian favorit saya adalah untuk bertanya, “lalu menurutmu bagaimana? Ceritakan apa yang kamu pikirkan :)” Dan saya akan dengan senang hati menyimak jawabannya. Walau kadang tak selalu sepakat, tapi saya benar suka mendengarnya.
Ya, begitu. Saya pikir gambar menakjubkan ini juga begitu. Seperti saya jadi lebih mengernal jiwanya bila bisa mengetahui apapun dari pengangkatnya. Bisa itu cerita langsung, itu dari tulisan, itu dari diam-tawanya, apa saja. Biarkan saya menyelam dalam lautan gambar yang diangkatnya. Yang saya pikir, akan menjadi sangat menarik bila titik zoom-in ceritanya adalah dia, pengangkat gambarnya. :)
*Gambar diangkat oleh Haikal Sedayo. Bagus sekali, Om. Coba ditambahkan tulisannya sedikit, apa yang terpikir tentang gambar ini waktu itu. :)
Cikarang, 5 Agustus 2013

Minggu, 04 Agustus 2013

Tangkuban, Burangrang.

Rasanya sudah ratusan kali saya melewati ruas jalan ini. Dari Bandung ke barat, dari barat ke Bandung. Seperti juga sore ini, saat saya pergi lagi dari kota ini. Di sepanjang jalannya, yang ada cuma lamunan atau kantuk yang serasa tak tertahan, juga Owl City yang bernyanyi lewat pasangan ear-phone di kanan-kiri. Melintas sejauh ini, melihat tegak Tangkuban Parahu dari jauh dan sudah lewat. Sekarang berganti punggung Burangrang yang tersedia. Saya selalu berpikir, kenapa gunung yang ini pandai sekali membolak-balikkan hati? 

Dua hari yang lalu, saat melihat punggung ini di kiri jalan, rasanya senang sekali. Seakan diberi tahu bahwa sebentar lagi akan masuki kota itu, Bandung. Terus begitu, hingga Tangkuban perlihatkan megahnya dari jauh. “Selamat datang di Bandung!” begitu kira-kiranya Tangkuban berkata, hahaa. Sedang kini, melihat punggung ini berarti saya pergi lagi. Meski dalam hati saya berucap sendiri, “ah, bukan masalah, nanti juga saya bisa ke sini lagi”.

Saya pikir, dalam perjalanan ini, Tangkuban memang selalu seperti lebih menyenangkan. Tapi Burangrang seperti mengajarkan tentang kenyataan. Saya tak akan pernah memilih salah satu dari keduanya. :)

Di perjalanan Bandung-Cikarang
Purbaleunyi, 4 Agustus 2013

Anak Api dan Kamera

Kumandang azan magrib rasanya belum terlalu sepi, saat tadi saya berjalan selepas turun dari bis itu. Untuk sampai lagi di kota industri ini. Angin lembut, dan gelap yang masih tanggung-tanggung. Juga ransel ini yang sedikit terlalu berat dari kapasitas yang seharusnya. Saya berjalan pelan-pelan.

Jalanan ini sepi sekali. Mungkin kebanyakan sivitas regularnya sudah liburan, menyambut hari raya. Di antara itu, seorang pengemis bapak-bapak tua menyodorkan tangannya sambil meminta pelan. Di dekatnya, sekitar 3 meter ke depan, saya tertegun melihat 2 anak perempuan kecil bermain api unggun di atas trotoar, samping jalan raya. Umur anak-anak ini pasti tak lebih dari 6 tahunan. Matanya besar dan jernih. Memandang lurus ke arah saya yang tengah berdiri memperhatikan. Dikibaskannya lagi sehelai karton pengemas telur itu menuju api, dibantu angin-angin, api semakin gembira. Dua-tiga detik berikutnya, keduanya palingkan wajah. Sepertinya lebih tertarik melihat lenggok api unggun menari di udara menjelang malam ini. Saya berjalan pelan-pelan, meninggalkan. Tapi mereka tak benar pergi.

Saya berpikir, mungkin ada baiknya saya mencoba hobi baru. Fotografi. Saya ingin menangkap mata besar dan jernih mereka tadi dalam suatu ketika. Alasannya sederhana. Saya ingin mengombinasikan tulisan-tulisan ini dengan gambar-gambar nyata. Bila nanti ada rejekinya, saya ingin bisa membeli sebuah kamera profesional yang bagus, tapi tak perlu mahal. :D Saya senang melihat kamera-kamera itu. Beberapa kawan sudah lebih dulu punya hobi seperti itu, saya lihat mereka sering menentengnya kemana-mana. Saya suka. :) Semoga nanti benar ada rejekinya.
Cikarang, 4 Agustus 2013