Kami keturunan langsung
Abbas bin Lakam. Buah pernikahannya dengan seorang wanita yang selalu kami
panggil dengan sebutan Maktu, Zainab binti Samin. Darinya lahir empat orang
anak, 1 laki-laki tertua bernama Syahbudin Abbas, dan 3 perempuan bernama
Nurhayati, Asmarawati dan Kartiniwati. Dari keempatnya lahir 10 cucu laki-laki dan perempuan. Bila diurutkan dari yang tertua hingga yang termuda,
mereka adalah: Neti Agustina, Neli Oktavianti, Dedi Gustiansyah, Deni
Hardiansyah, Lusi Yeniarti, Yudi Irawan, Luki Daniansyah, Liska Berlian, Feri
Syahputra, dan Guntur Berlian. Ya, saya yang terkecil di antara mereka. :)
Saya senyum sendiri. Mengingat lagi kami semua masih sangat kecil waktu itu. Di setiap akhir pekan, kami akan berkumpul di
rumah tua pinggir jalan dengan pekarangannya yang luas, ditumbuhi berbagai
macam tumbuh-tumbuhan yang ditata apik. Di setiap sabtu siang, tepat saat
tayangan Ramayana tampil rutin di stasiun TVRI kala itu, mobil merah itu akan memulai perjalanannya.
Suatu perjalanan yang akan mengumpulkan keturunan Abbas bin Lakam di rumah tua
yang selalu hangat itu. Hingga akhirnya kami semua berkumpul, memulai tawa dan
keramaian rumah yang tak pernah asing.
Sepanjang akhir minggu
itu kami benar bersenang-senang. Berlarian tak kenal waktu. Kadang berkelahi,
kadang bercerita, kadang suara raung tangis yang memecah suasana, kadang marah
nenek yang sekali-kali, ah banyak sekali. Banyak sekali! Sekali-kali, di minggu
paginya dengan mobil merah itu, kami berjalan-jalan. Kadang ke suatu pemandian
air panas di ujung timur kota, kadang menuju Danau buatan di timur jauhnya
lagi, atau kemana saja. Atau bila tidak, kami hanya habiskan waktu suka-suka di
rumah itu untuk sekedar habiskan waktu berkubang di kolam ikan berukuran 6 x 6
meter itu, memanjat dua batang jambu biji yang tertata rapi, atau melihat ternak bebek petelur
yang banyak, ayam kampung yang sehat-sehat, angsa besar yang kadang menakutkan, di
pekarangan belakang rumah. Kami tak pernah merasa kurang apapun saat itu. Kami merasa
senang dan bahagia saja. Kami tak butuh yang lain lagi. Begitu akhir minggu kami
dalam waktu yang sangat panjang dan berulang.
Tapi nyatanya waktu
memang berjalan. Berganti kini, para cicit keturunan Abbas bin Lakam ramaikan
rumah tua itu meski tak penah genap sekali dalam setahun saja. Berikut kami para
cucu-cucunya yang juga sepertinya kadang terlalu sibuk atau malas untuk berkumpul
di situ lagi. Entah kenapa. Tapi mungkin kesibukan dan tuntutan hidup yang lain
memaksa untuk tak bisa persis sama seperti dulu. Sedang rumah tua itu tetap di
situ. Menunggu kami berkunjung lagi, ceria lagi. Hangatkan rumah yang pernah
saksikan kehangatan keluarga besar kami yang semoganya bisa tetap baik sampai
nanti-nanti. Membagikan cerita-cerita serupa ini pada keturunan kami yang
selanjutnya. Hingga akhirnya mereka selalu tahu siapa mereka sebenarnya, lewat jutaan cerita yang pernah terbentuk di situ, di rumah tua yang itu.
Cikarang, 25 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar