Minggu, 25 Agustus 2013

Rumah Tua

Kami keturunan langsung Abbas bin Lakam. Buah pernikahannya dengan seorang wanita yang selalu kami panggil dengan sebutan Maktu, Zainab binti Samin. Darinya lahir empat orang anak, 1 laki-laki tertua bernama Syahbudin Abbas, dan 3 perempuan bernama Nurhayati, Asmarawati dan Kartiniwati. Dari keempatnya lahir 10 cucu laki-laki dan perempuan. Bila diurutkan dari yang tertua hingga yang termuda, mereka adalah: Neti Agustina, Neli Oktavianti, Dedi Gustiansyah, Deni Hardiansyah, Lusi Yeniarti, Yudi Irawan, Luki Daniansyah, Liska Berlian, Feri Syahputra, dan Guntur Berlian. Ya, saya yang terkecil di antara mereka. :)

Saya senyum sendiri. Mengingat lagi kami semua masih sangat kecil waktu itu. Di setiap akhir pekan, kami akan berkumpul di rumah tua pinggir jalan dengan pekarangannya yang luas, ditumbuhi berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang ditata apik. Di setiap sabtu siang, tepat saat tayangan Ramayana tampil rutin di stasiun TVRI kala itu, mobil merah itu akan memulai perjalanannya. Suatu perjalanan yang akan mengumpulkan keturunan Abbas bin Lakam di rumah tua yang selalu hangat itu. Hingga akhirnya kami semua berkumpul, memulai tawa dan keramaian rumah yang tak pernah asing.

Sepanjang akhir minggu itu kami benar bersenang-senang. Berlarian tak kenal waktu. Kadang berkelahi, kadang bercerita, kadang suara raung tangis yang memecah suasana, kadang marah nenek yang sekali-kali, ah banyak sekali. Banyak sekali! Sekali-kali, di minggu paginya dengan mobil merah itu, kami berjalan-jalan. Kadang ke suatu pemandian air panas di ujung timur kota, kadang menuju Danau buatan di timur jauhnya lagi, atau kemana saja. Atau bila tidak, kami hanya habiskan waktu suka-suka di rumah itu untuk sekedar habiskan waktu berkubang di kolam ikan berukuran 6 x 6 meter itu, memanjat dua batang jambu biji yang tertata rapi, atau melihat ternak bebek petelur yang banyak, ayam kampung yang sehat-sehat, angsa besar yang kadang menakutkan, di pekarangan belakang rumah. Kami tak pernah merasa kurang apapun saat itu. Kami merasa senang dan bahagia saja. Kami tak butuh yang lain lagi. Begitu akhir minggu kami dalam waktu yang sangat panjang dan berulang.

Tapi nyatanya waktu memang berjalan. Berganti kini, para cicit keturunan Abbas bin Lakam ramaikan rumah tua itu meski tak penah genap sekali dalam setahun saja. Berikut kami para cucu-cucunya yang juga sepertinya kadang terlalu sibuk atau malas untuk berkumpul di situ lagi. Entah kenapa. Tapi mungkin kesibukan dan tuntutan hidup yang lain memaksa untuk tak bisa persis sama seperti dulu. Sedang rumah tua itu tetap di situ. Menunggu kami berkunjung lagi, ceria lagi. Hangatkan rumah yang pernah saksikan kehangatan keluarga besar kami yang semoganya bisa tetap baik sampai nanti-nanti. Membagikan cerita-cerita serupa ini pada keturunan kami yang selanjutnya. Hingga akhirnya mereka selalu tahu siapa mereka sebenarnya, lewat jutaan cerita yang pernah terbentuk di situ, di rumah tua yang itu.

Cikarang, 25 Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar