Rabu, 28 Januari 2015

Dua Kilometer

Malam sudah jauh, dan saya baru melangkah pulang dari komplek perkantoran kami yang besar. Saya senang-senang saja untuk pulang selarut ini mengerjakan pekerjaan yang saya sukai. Beberapa kawan berkomentar dengan candaan bahwa saya bekerja hingga malam untuk mendapatkan reward yang pantas, atau untuk dipuji oleh atasan. Ahahaa, biasanya saya hanya akan tertawa mendengarnya. Tak pernah sekalipun saya membantah komentarnya, malah biasanya saya ikut mengiyakan. Meski sepenuhnya yakin, mereka pasti tahu bahwa saya kurang tertarik dengan hal-hal seperti itu. 

Sekarang memutuskan duduk sejenak bersama dua orang pedagang keliling yang masih mengais rezeki di depan pagar kantor kami, saya buka dialog. Semenit-dua-menit, di antara gerimis yang turun panjang sekali, dan renungan ini datang. Saya jadi tertawa sendiri menyadari bahwa sekarang saya tengah sedikit kecewa karena kawan yang rencananya akan saya tumpangi malam ini ke arah pulang, ternyata sudah pulang duluan. Tersirat cepat, saya menyadari bahwa sekarang saya menjadi manja sekali. Ah, bodohnya, :p. Lepas tertawa-tawa sendiri, akhirnya saya memutuskan untuk pulang berjalan kaki. Saya pikir ini adalah sebuah ide yang bagus, untuk berjalan di bawah gerimis malam yang sepi menuju tempat beristirahat. Jaraknya juga tak jauh, mungkin hanya dua kilometer-an saja. Dan di antara langkah-langkah kaki yang pendek dan genangan air yang tersebar di sepanjang jalan, saya jadi teringat saat dimana saya pertama kali menginjakkan kaki di kota ini.

***
April pertengahan, 2011.

Pagi ini saya ditelpon oleh seseorang dari bagian HRD Dexa Medica. Dia mengabarkan bahwa tiga hari lagi saya diminta untuk interview dengan calon user di salah satu anak perusahaan Dexa Medica di Jababeka, Cikarang. Dia juga menambahkan bahwa user tersebut adalah calon atasan saya di posisi yang saya lamar kemarin-kemarin. Tentu saja saya antusias sekali mendengarnya. Dan setelah telpon itu ditutup, ternyata semangat saya menjadi sedikit redup karena menyadari uang yang saya miliki saat ini sangat-sangat-lah tipis. Kenyataannya adalah saya bahkan tak punya ongkos untuk pergi ke Jababeka, heheu. Bertanya-tanya sebentar ke beberapa kenalan yang mengetahui rute perjalanan ke tempat itu, saya hitung setidaknya saya perlu uang Rp 100.000 agar bisa menemui calon atasan saya tersebut.

Singkat kata, akhirnya saya mendapatkan uang pinjaman. Saya merasa beruntung untuk memiliki banyak kawan dan kenalan. Meski ternyata uang pinjaman itu kurang Rp 10.000 dari yang saya harapkan. Itu adalah jumlah semua uang yang dimiliki oleh kawan tersebut. Saya masih ingat sekali, saat itu saya katakan padanya: “tenang saja, dengan uang 90 ribu ini, nantinya saya akan menjadi orang kaya”. Dia aminkan, lanjut disambut dengan tawa kami yang lepas sekali. Ah, what an amazing moment. :)

Dan tibalah hari itu. Pagi-pagi, saya sudah berangkat dari kos-kosan. Naiki bus Damri yang jelek sekali, menuju terminal Leuwi Panjang di barat jauh. Ongkos Rp 1.500 kontan saya bayarkan pada kernet Damri yang tangkas menagih ke seluruh penumpang yang ada di dalamnya. Hingga setibanya di terminal, saya segera berburu bis jurusan Bandung-Jababeka. Nah, ongkos bis ini menurut saya mahal sekali, Rp 35.000. Uang pinjaman saya kemarin akan tersedot banyak di bis ini. Sedikit berat saya serahkan uangnya, hingga dua jam berikutnya saya tiba di sebuah jalanan besar bernama Niaga Raya, Jababeka.

Turun dari bus itu, seorang tukang ojek menghampiri saya yang sedang berdiri bebas di bawah lindung mahoni raksasa. Untungnya, ojek tersebut tahu persis lokasi DLBS, anak perusahan Dexa Medica yang akan saya datangi hari ini. Dan di sepanjang perjalanan di atas motor bebek itu, saya berusaha berkonsentrasi mengingat jalan mana saja yang saya lewati. Saya harus mengingat jalannya, karena di jalan pulangnya nanti, saya akan berjalan kaki ke pool bis ini lagi. Budget saya tak cukup bila harus membayar lagi jasa ojek sebesar Rp 3.000 ini. :p

Tiba di kantor itu, saya bertemu seorang kawan sekelas saya di kampus dulu yang juga tengah melamar di posisi yang sama. Saat itu dia tengah duduk-duduk manis di atas sofa biru pudar di lobby kantor. Kami mengobrol pendek dulu sambil menunggu antrian interview-nya. Kabarnya, hari itu akan ada 3 orang pelamar yang  di-interview oleh user tersebut. Saat itu saya mendapat giliran terakhir. Hingga akhirnya giliran saya tiba, saya menemui si user –dia  adalah gadis muda dengan terusan batik coklat muda yang saya ceritakan di tulisan “Rabu Pertama” di Mei 2014 di blog ini. Selang satu jam, akhirnya interview itupun selesai.

Perjalanan kembali ke pool bis itu adalah sesuatu yang mungkin tak akan pernah bisa saya lupakan. Pasalnya saya berjanji pada kawan sekelas tadi untuk pulang bersama ke Bandung menggunakan bis jam 12. Saat itu saya terlalu malu untuk mengatakan bahwa saya tak punya uang untuk ongkos ojek. Jadi saya katakan pada kawan tersebut untuk pergi duluan ke pool bis, dan saya akan menyusul. Lepas dia pergi dengan ojeknya dan hilang dari pandangan, sesegera mungkin saya berlari. Saat itu sudah jam 11.30 lebih, saya hawatir saya tak bisa tiba tepat waktu bila tidak berlari. Lepaskan sepatu, saya berlari di atas trotoar di sepanjang jalan menuju tempat kami janji bertemu. Cikarang adalah tempat yang sangat panas. Dan bisa dibayangkan, di tepat tengah harinya yang cerah, saya berlari sejauh 2 km tanpa alas kaki dikejar waktu. Dan bila kamu tak terbayang, saya beritahu saja: itu melelahkan sekali. :D

Dengan keringat bersimbah dan sengal napas yang tak teratur, saya tiba di pool bis-nya. Kemeja yang saya kenakan ini sudah basah seperti cucian yang baru akan dijemur, heheu. Lalu menemui kawan yang tadi, kami bicarakan hasil interview tadi di sepanjang jalan menuju Bandung. Kami saling mendoakan agar sama-sama diterima di posisi itu.

Bandung adalah kota sejuta cerita. Dia saksikan perjalanan pulang saya menuju kos-kosan di utara sana, dan sisa uang pinjaman yang akhirnya ludes saya belanjakan di tukang nasi keliling dalam terminal. Dan detik itu adalah makanan pertama yang saya telan hari ini. Di pelataran terminal itu saya merasa lega, saya sudah selesaikan interview-nya. Satu hal lagi: saya lega, saya sudah sampai di rumah. :)

Cikarang, 23.30, 28 Januari 2015

Senin, 26 Januari 2015

Panglipur Kalbu

Sabtu malam, dan saya terbangun dari sebuah tidur malam yang ternyata singkat sekali. Melirik ke arah jam dinding berwarna coklat buram yang tergantung di sisi selatan kos-kosan sempit di antara warna hijau tosca yang memenuhi dinding, saya segera tahu bahwa malam itu bahkan belum sampai di pertengahan. Sebenarnya saya sedang sedikit kesal, karena saya tak pernah suka bila harus terbangun karena bunyi-bunyian yang berisik. Saat itu, radio combo kecil berwarna silver itu tengah mengeluarkan suara yang menurut saya sangat mengganggu. Saya tahu, siaran radio itu pasti tadinya tengah didengarkan oleh kakak sepupu yang saat ini sudah jatuh terlelap di sebelah kasur yang masih terbilang baru.

Saya belum tergerak untuk mematikan radionya, mungkin karena masih terlalu mengantuk. Dan radio itu tetap saja dengan obrolan dua orang yang bahasanya tak saya pahami. Tapi setidaknya saya bisa tahu, bahwa mereka berdua tengah berdialog dalam bahasa sunda :p. Malam itu adalah di pertengahan tahun 2003. Saya baru 1-2 bulan itu tiba di bumi parahyangan. Hingga tak aneh bila saya belum terlalu mengerti bahasanya.

Mungkin sudah genap 15 menit saya masih tak kunjung bisa lanjut tertidur. Di antara dengkur kakak sepupu yang tengah pulas, dan obrolan bahasa sunda yang membingungkan. Melihat langit-langit, kini suara obrolan di radio ini semakin jelas. Saya mendengarkan. Sesekali jeda iklan di siarannya, akhirnya saya tahu bahwa stasiun radio yang tengah bercakap-cakap tak jelas ini adalah Radio Mora. 88.5 FM, ah saya masih ingat benar, :D. Sesekali diselingi tembang-tembang sunda yang sama tak dapat dipahami, saya semakin khusyu mendengarkan. Hmmm, apakah kamu tahu? Bahwa yang membuat saya tetap mendengarkan dialog aneh itu adalah karena gelak tawa mereka yang riang. Ya. Saya mendengarkan mereka karena mereka suka tertawa. Tawa yang menggelikan, dan bukan tawa dibuat-buat yang biasa terdengar di stasiun radio yang lain. Dan entah dengan jalur berpikir yang bagaimana, saat itu saya bersimpulan bahwa bahasa sunda adalah bahasa humor. :)

Dan semenjak malam itu, setiap sabtu malam saya akan menunggu obrolan mereka terdengar di channel 88.5 FM. Sedikit demi sedikit saya mulai memahami satu-per-satu kosakata sunda yang mereka ucapkan. Di beberapa bagian yang saya pahami, terkadang saya juga mulai ikut tertawa. Juga untuk selanjutnya tahu bahwa mereka berdua bernama Kang Udung dan Kang Wildan. Saya sangat menyukai cara mereka berbicara, dan bahasa sunda itu juga. Menurut saya gabungannya lucu sekali. Untuk mendengarkan dialog mereka dengan para pendengar lain yang tengah menelpon, atau untuk mendengarkan dongeng dadakan asal-asalan karangan mereka sendiri, atau mendengar mereka nyanyikan lagu “Di Alun-Alun” secara acapella atau tembang “Entog Balik” yang beringas, juga menyimak selingan lagu-lagu sunda yang kadang romantis kadang gembira, atau mendengar mereka berbicara tentang realita dengan tak terlalu serius, ah banyak. Dan saya menyukai hampir semuanya. Bahkan tembang sunda favorit saya berjudul “Jayagiri” itupun pertama kali saya dengarkan di acara ini. :)

Nama acara itu adalah Panglipur Kalbu. Bila diartikan secara kasar, mungkin artinya adalah penghibur hati. Ah, bagus ya? :) Saat itu mereka siaran setiap sabtu malam dari jam 10 malam hingga 4 subuh. Terkadang saya begadang sepanjang malam hanya untuk mendengarkan mereka. Dan bila mendengar kosakata bahasa sunda yang tak saya mengerti, maka saya akan mencatatnya di selembar kertas, untuk kemudian saya diskusikan bersama kawan-kawan yang lain kiranya kata-kata tersebut maknanya apa dan bisa diaplikasikan untuk konteks apa saja. Begitu cara saya mengenal bahasa dan kebudayaan Sunda secara umum. Dan semakin banyak saya mendengar-memperhatikan, akhirnya saya tahu, bahwa humor adalah jiwa dari kebudayaan ajaib ini. Setidaknya menurut saya seperti itu. :D

Mungkin kita pernah mendengar nama Kang Ibing, Darso, Doel Sumbang, Sule, atau seniman tanah Sunda yang lain. Atau membaca kisah tokoh rekaan seperti Si Kabayan yang menarik. Atau obrolan dua seniman itu di sepanjang malam Panglipur Kalbu. Tentu saja mereka tak melulu bicara tentang sesuatu yang konyol dan tak bermakna, bahkan saya pikir banyaknya mereka malah bicara tentang hal-hal sensitif. Tapi menurut saya, hebatnya, mereka bisa membawakannya dengan bumbu keceriaan dan tawa. Saya pikir cara berdialog seperti itu baik sekali. Dimana otot-otot tak perlu kejang saat mengemukakan apa yang dipikirkan, dan dada tak perlu berdegup kencang tak teratur seperti getaran speaker sember yang dipaksakan tetap bergetar.

***
Dan kawan, mungkin yang dibutuhkan hanyalah mengutarakan buah pikir dengan sedikit bumbu humor, juga dengarkan apapun yang tiba di telinga dengan khidmat dan rasa hormat yang tak tegang. Atau bila sedang mau, mungkin sesekali tambahkan pula tawa yang tulus di antaranya. Dan bila nyatanya kamu menolak untuk bisa seperti itu, maka sebenarnya itu juga bukan masalah. Lakukan saja apa yang kamu sukai. :D

Sebuah tribute untuk Kang Wildan Nasution yang lepas usia di 19 Januari lalu. Hatur nuhun dan pileuleuyan, Kang. :)
Cikarang, 26 Januari 2015

Kamis, 15 Januari 2015

Debi Krisna (1)

Ada seorang kawan yang sangat menarik. Saya mengenalnya di 2008, di sebuah rumah kos-kosan di sebuah kampung yang sering sekali saya ceritakan: Cilimus. Kalau tak salah ingat, pertama kali saya melihatnya adalah di awal sebuah sore di bulan Juli tahun itu. Saat itu dia tengah menunaikan solat ashar di dalam kamar kos-kosan yang baru, saya melihatnya dari lorong berlantai jingga menuju kamar mandi di ujungnya. Saya semangat sekali waktu itu, karena dia akan menjadi tetangga kamar saya yang baru, menggantikan seorang kawan baik yang lain, yang belum lama itu pulang ke kampung halamannya setelah meraih gelar sarjananya.

Sore itu, saya berusaha beramah-tamah. Saya datangi kamar itu, untuk kemudian mengobrol sebentar dengan sepasang bapak-ibu yang sedang duduk di depan pintu kamarnya yang tertutup. Mereka adalah orang tua dari anak itu, dan hari itu mereka datang ke Bandung untuk mengantar anak bungsunya yang baru mau masuk kuliah. Memperkenalkan diri, mengobrol sambil tertawa sebentar, dan anak itu dipanggil keluar oleh ayahnya untuk berkenalan. Detik berikutnya, muncul sesosok anak muda berkulit hitam berkepala gundul dari balik pintu kos-kosan yang sebelumnya hampir tertutup sempurna. Dengan senyumnya yang terkembang jelas, anak itu memperkenalkan diri: “Dejen, A” ucapnya lugas. Dan di detik itu, percayalah, saya merasakan bahwa nantinya dia akan menjadi salah satu kawan terbaik yang pernah saya temui. :)

Nama lengkapnya adalah Debi Krisna Irawan. Dia besar di sebuah kota kecamatan di Sukabumi, bernama Warung Kiara. Semenjak 2008, dia masuk kuliah di Universitas Pendidikan Indonesia, Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan. Sebuah fakultas yang dikenal di kota Bandung dengan keberingasan mahasiswa-mahasiswanya, dan disegani. Setiap mahasiswa di fakultas ini memiliki spesialisasi cabang olahraga masing-masing, dan banyaknya mereka adalah atlit-atlit dari kota asalnya. Spesialisasi cabang olahraga dari Dejen adalah Bola Voli. Lebih spesifik lagi, dia berposisi sebagai seorang toser di permainan itu. Saya senang sekali mendengar setiap dia bercerita tentang permainan itu. Bahkan dari cerita-ceritanya itu, saya baru mengetahui bahwa ternyata peraturan di permainan ini jauh lebih rumit dari yang saya ketahui sebelumnya.

Hah. Mungkin terlalu banyak yang bisa saya ceritakan tentang dia. Dan rasanya itu tidak mungkin bisa tamat di satu penggal tulisan pendek ini. Saya akan menuliskan cerita tentangnya di beberapa seri tulisan yang lain. Untuk sekarang, anggaplah tulisan ini hanyalah sebuah pembuka tentang kawan yang lebih sering saya anggap adik itu. :) Tapi begini, sebagai pengantar untuk seri-seri berikutnya, saya akan deskripsikan sedikit opini saya tentang sosok hitam berkepala gundul dari balik pintu itu.

Kamu tahu, saya mengobrol dengan banyak orang, tentang apapun dan siapapun. Dari obrolan-obrolan tersebut saya merasa senang untuk bisa menganalisa sifat, kecenderungan, pola-pikir, atau hal-hal yang tak berguna sekalipun. Secara kasar, saya suka mengelompokkan kawan bicara tersebut ke dalam dua tipe: tipe pencerita dan tipe pendengar. Beruntungnya, di beberapa kesempatan, saya juga bertemu dengan orang-orang yang saya sebut “pencilan”. Yaitu orang-orang yang memiliki kemampuan bercerita dan mendengar sama baiknya. Dan Dejen, dalam konteks ini, saya pikir dia adalah yang terbaik dari para “pencilan” yang pernah saya temui. :)

Salam, Kawan. Sampai ketemu lagi. Nanti kita lomba minum es kuku bima malam-malam lagi. :D
Cikarang, 15 Januari 2015

Jumat, 09 Januari 2015

Cermin dan Interaksi

Adalah sebuah rasa yang menyenangkan. Saat di penghujung sore yang ini, kamu menemui sebuah gambaran yang mencerminkan siapa rupanya dirimu saat ini, merasakan bahwa sepertinya ada bagian dari dirimu yang bergeser, jadi tak terlalu sama dengan masa lalu. Ah, menarik. Entah itu ternyata ke arah yang lebih baik, entah malah sebaliknya, kupikir sebenarnya intinya bukan itu. Tapi percaya saja, bahwa ini adalah hal yang baik. Membuatmu lebih banyak berdiskusi dengan dirimu sendiri, untuk lebih saling mengenal satu sama lain. Dan mungkin orang lainpun pernah merasakannya juga dalam bentuk yang berbeda, tapi kurasa kamu tetap saja beruntung. Kurasa begitu. Karena kamu tak harus melulu menjadi spesial terlebih dahulu untuk bisa disebut beruntung. :D

Yang bila dibagi dalam bentuk kotak-kotak kosong, maka pikiran manusia dapat dibagi sama rata menjadi triliunan kotak-kotak, atau bahkan lebih banyak lagi. Aku bisa sebutkan bahwa kotak-kotak tersebut tersimpan tak rapi dalam dimensi ruang-waktu-kejadian. Kotak-kotak itu bisa kamu ambil, bongkar, baca kembali, lalu tutup lagi. Mungkin kamu akan kesulitan untuk merapikannya kembali, baik itu untuk rapi di dalam kotak, atau untuk rapi dalam dimensi tadi. Kamu hanya akan meninggalkannya centang prenang, heheu.

Dan saat dimana nanti kamu memasukkan kotak yang baru berikut isinya yang sama baru, mungkin memori atau nalurimu akan menemukan sebuah kotak lama berisi sesuatu yang mirip-mirip dengan kotak barumu tadi. Tak ayal, kamu akan membuka-bongkar keduanya, lalu banding-membanding, dan menemukan sebuah opini baru yang unik. Bisa saja opini barumu itu berisi kesal, bisa juga bahagia, atau malah bisa biasa saja. Tapi menurutku, sebenarnya kamu sudah beruntung. Beruntung untuk bisa mempertemukan dua kotak baru-lama itu.

***
Sebuah seri lanjutan dari dialog ini adalah seorang office boy yang tengah membersihkan meja-meja dengan telaten. Dengan suara gesekan alas sepatu karetnya yang beradu dengan lantai putih, dan wajah bersemangat di suasana hening yang tak begitu lama. Saat ini saya sedang sendiri di ruangan besar ini, untuk sekedar menuliskan hal-hal yang membuat saya merasa bahagia di sore yang tadi. Lanjut saya tanyakan singkat padanya yang tengah sigap mengelap ini dan itu. Dia menjawab antusias. Hingga saya tawarkan untuk memberinya selamat jabat tangan yang entah untuk apa. Dia mengikuti. Kami tertawa.

***
Dan apakah kamu tahu? Bahwa persinggungan batas dimensi antar individu –seperti dialog bersama office boy tadi, adalah sebuah puncak dari keberadaan individu itu sendiri. Dan apakah kamu tahu? Bahwa dalam persinggungan dua kotak-kotak baru-lama yang tadi adalah puncak dari keberadaan buah pikiran dari setiap kotak yang tersimpan awut-awutan. Hmm, ya mungkin hampir samalah seperti itu.
DLBS, Cikarang, 9 Januari 2015

Kamis, 08 Januari 2015

Saya Tak Keberatan

Saya tak keberatan untuk melihat siapapun bersedih. Termasuk seorang gelandangan perempuan paruh baya yang selalu duduk terdiam di pinggir jalanan sepi sebuah perumahan, dengan kaki yang selalu terlipat dipeluk kedua tangannya yang kurus dan legam. Kadang saya akan berdiri menatapnya untuk beberapa lama, hingga akhirnya dia sadar sendiri, lantas membuang pandang. Untuk sekali-dua-kali, mungkin dia akan menganggap saya adalah seorang yang tak sengaja lewat dan menatap saja.

Saya tak keberatan untuk menyelam dalam pikirannya yang kusut-masai. Pada posisinya yang tak berubah tengadah menghadap matahari terbit. Kadang saya pandangi juga arah yang ditatapnya itu, tepat ke timur. Tak ada apa, selain sinar mentari putih-keemasan yang menyilaukan di balik rimbun bambu yang rapat-rapat. Sesekali pula saya biarkan dia mengetahui bahwa saya juga melihat apa yang dia dilihat, dan dalam hitungan detik yang beberapa, dia akan menatap lekat ke arah saya.

Saya tak keberatan bila dia tak tergerak untuk menyapa di hampir setiap paginya kami bertemu di jalan itu. Dia bisa katakan apa saja, dan sepertinya saya juga sama. Dan sebenarnya kami bisa saja berdialog sedikit lebih panjang habiskan pagi dalam hitungan jari. Saya akan mendengarkan. Dan bila dia sedang tak ingin bicara, maka dengan hati saya yang akan berbagi cerita. Tentu dia bisa ceritakan tentang rumah dalam ingatan, dan saya bisa ceritakan tentang kapal terbang yang berwarna-warni.

Saya tak keberatan untuk beradu pandangan di satu ketika dengan sorot matanya yang lemah. Atau mengakrabi suasana hatinya yang tak beralur, untuk memulai sebuah dialog abstrak yang mungkin tak berujung, tak berpangkal.
Selamat pagi, Jababeka.
Cikarang, 8 Januari 2014.