Saya tak keberatan untuk melihat siapapun bersedih. Termasuk
seorang gelandangan perempuan paruh baya yang selalu duduk terdiam di pinggir jalanan
sepi sebuah perumahan, dengan kaki yang selalu terlipat dipeluk kedua tangannya
yang kurus dan legam. Kadang saya akan berdiri menatapnya untuk beberapa lama,
hingga akhirnya dia sadar sendiri, lantas membuang pandang. Untuk
sekali-dua-kali, mungkin dia akan menganggap saya adalah seorang yang tak
sengaja lewat dan menatap saja.
Saya tak keberatan untuk menyelam dalam pikirannya yang
kusut-masai. Pada posisinya yang tak berubah tengadah menghadap matahari terbit.
Kadang saya pandangi juga arah yang ditatapnya itu, tepat ke timur. Tak ada
apa, selain sinar mentari putih-keemasan yang menyilaukan di balik rimbun bambu yang rapat-rapat.
Sesekali pula saya biarkan dia mengetahui bahwa saya juga melihat apa yang dia dilihat, dan dalam hitungan detik yang beberapa, dia akan menatap lekat ke
arah saya.
Saya tak keberatan bila dia tak tergerak untuk menyapa di hampir
setiap paginya kami bertemu di jalan itu. Dia bisa katakan apa saja, dan
sepertinya saya juga sama. Dan sebenarnya kami bisa saja berdialog sedikit
lebih panjang habiskan pagi dalam hitungan jari. Saya akan mendengarkan. Dan
bila dia sedang tak ingin bicara, maka dengan hati saya yang akan berbagi
cerita. Tentu dia bisa ceritakan tentang rumah dalam ingatan, dan saya bisa ceritakan
tentang kapal terbang yang berwarna-warni.
Saya tak keberatan untuk beradu pandangan di satu ketika
dengan sorot matanya yang lemah. Atau mengakrabi suasana hatinya yang tak
beralur, untuk memulai sebuah dialog abstrak yang mungkin tak berujung, tak
berpangkal.
Selamat pagi, Jababeka.
Cikarang, 8 Januari 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar