Kamis, 08 Januari 2015

Saya Tak Keberatan

Saya tak keberatan untuk melihat siapapun bersedih. Termasuk seorang gelandangan perempuan paruh baya yang selalu duduk terdiam di pinggir jalanan sepi sebuah perumahan, dengan kaki yang selalu terlipat dipeluk kedua tangannya yang kurus dan legam. Kadang saya akan berdiri menatapnya untuk beberapa lama, hingga akhirnya dia sadar sendiri, lantas membuang pandang. Untuk sekali-dua-kali, mungkin dia akan menganggap saya adalah seorang yang tak sengaja lewat dan menatap saja.

Saya tak keberatan untuk menyelam dalam pikirannya yang kusut-masai. Pada posisinya yang tak berubah tengadah menghadap matahari terbit. Kadang saya pandangi juga arah yang ditatapnya itu, tepat ke timur. Tak ada apa, selain sinar mentari putih-keemasan yang menyilaukan di balik rimbun bambu yang rapat-rapat. Sesekali pula saya biarkan dia mengetahui bahwa saya juga melihat apa yang dia dilihat, dan dalam hitungan detik yang beberapa, dia akan menatap lekat ke arah saya.

Saya tak keberatan bila dia tak tergerak untuk menyapa di hampir setiap paginya kami bertemu di jalan itu. Dia bisa katakan apa saja, dan sepertinya saya juga sama. Dan sebenarnya kami bisa saja berdialog sedikit lebih panjang habiskan pagi dalam hitungan jari. Saya akan mendengarkan. Dan bila dia sedang tak ingin bicara, maka dengan hati saya yang akan berbagi cerita. Tentu dia bisa ceritakan tentang rumah dalam ingatan, dan saya bisa ceritakan tentang kapal terbang yang berwarna-warni.

Saya tak keberatan untuk beradu pandangan di satu ketika dengan sorot matanya yang lemah. Atau mengakrabi suasana hatinya yang tak beralur, untuk memulai sebuah dialog abstrak yang mungkin tak berujung, tak berpangkal.
Selamat pagi, Jababeka.
Cikarang, 8 Januari 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar