Selasa, 23 Desember 2014

Menuju Bogor

Foto tidak simetris lorong kereta yang tak ramai
Perjalanannya akhirnya membawa saya ke tempat ini: sebuah kursi penumpang kereta api yang ramah. Melirik sekilas ke arah bawah tempat ransel hijau yang tak bersih itu tergeletak di antara kedua kaki yang tertekuk dan kursi kereta yang nyaman-nyaman, saya diam saja. Untuk kemudian mengeluarkan sebuah telepon genggam yang masih terhitung baru, melihat jam yang tertulis di layarnya, dan saya tahu: saat ini sudah hampir setengah 10 malam. Lanjutnya saya bertanya sendiri tentang ini dan itu, berdialog pribadi pada kereta malam jurusan Jakarta Kota – Bogor. Haa, saya dari mana saja. Tertawa sendiri di dalam hati, saya katakan: “kereta ini nyaman sekali, bersih, tak gaduh. Saya suka sekali”.

Dan ada banyak alasan mengapa saya menyukai kereta ini. Di antara decit rel beradu besi pemutar, dan obrolan samar dari tiga orang penumpang lain duduk di hadapan tengah asik obrolkan hingar bingar Jakarta. Mereka adalah pasangan bapak-ibu paruh baya dan anak gadisnya yang mungkin seumuran saya. Mereka bahagia sekali atas perjalanan mereka hari ini, sekarang menuju pulang. Senyum-senyum, saya sampaikan doa di dalam hati, agar mereka tetap bahagia besok dan lusa. Sedang untuk saya, ah, mereka tak perlu membalas hal yang sama. Saya sudah cukup senang mendengarkan obrolan mereka yang riuh dan teratur.

Kereta berhenti sejenak di stasiun Depok, saya memutuskan untuk berpindah kursi ke lebih belakang. Agar kini berhadapan dengan seorang bapak berpostur tinggi-besar 40 tahunan yang gelisah di antara kakinya yang disilangkan. Kumisnya yang tebal melintang di atas bibir, juga topi merah tua yang berulang kali dilepas-pakaikan. Hentakan kaki kanan-kiri beralas sepatu kets coklat tua itu hasilkan irama yang tak harmonis. Saya perhatikan pelan-pelan, hingga tatapan kami tak sengaja bertemu. Dia merasa tak nyaman. Mungkin saja dia terganggu dengan tatapan saya yang menemui lamunannya di antara tiup angin dingin yang lolos dari balik pintu.

Dari arah depan, seorang wanita berseragam merah maju memegang serokan sampah lipat berwarna mencolok. Membersihkan sini-situ, dengan apik ayunkan sapunya yang terbiasa. Juga dua orang petugas keamanan yang berjalan menyusuri lorong sambil tertawa. Tiupkan nafas panjang-panjang, juga penumpang yang datang dan pergi silih berganti. Untuk lanjutnya teringat dua kakak sepupu yang tengah menunggu kedatangan saya di rumah dalam komplek besar itu. Di awalnya tadi, salah satu dari mereka katakan bahwa Bogor gerimis dan supaya saya berhati-hati di jalan pulang. Ah, saya ingin sekali bertemu mereka lagi, sudah hampir 12 jam kami belum bertemu.

Malam sudah semakin jauh, dan harmoni album "Hardwell Presents Revealed Volume 5" ini tetap saja bermain di penghujung kabel yang mirip sekali dengan tali sepatu. Sedang Bogor sudah semakin dekat dengan gerbong. Berujar sendiri saya beropini: mungkin baiknya kontemplasi ini saya hentikan dulu di detik berikut. Untuk katakan bahwa perjalanan di atas kereta ini adalah sebuah mesin waktu yang tak canggih. Bergerak dia dalam alunan, berjalan saya satu-persatu.

Jakarta-Bogor, 20 Desember 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar