Selasa, 29 April 2014

Thinking Poet

Thinking poet
Saya jadi mengingat ini. Sebuah kejadian sederhana di kamar kos-kosan yang sempit tapi selalu membuat betah itu. Sebuah bangunan dua lantai yang menghadap ke selatan, dengan Tangkuban Parahu dan Burangrang berdiri gagah di belakangnya. Tempat di mana saya pernah menulis ratusan sajak (itupun bila tulisan-tulisan sederhana itu pantas disebut sajak), yang dibuat dengan pergolakan hati dan pemikiran yang tak sedikit. Dan saya selalu menyukai kegiatan itu: menulis sajak. :)

Malam itu, di September 2009, seorang kawan baik tengah datang berkunjung. Sedari sampainya tadi, dia sibuk sekali mengutak-atik kamera barunya yang belum genap berumur sebulan –saya tahu persis karena saya ikut mengantar saat dia membeli benda ajaib itu. Dia menembak sana-sini di berbagai sudut dari kamar kecil itu. Bahkan saat saya sedang shalat, dia tak lepas juga. Dan beberapa gambarnya malam itu masih saya simpan di antaranya, termasuk yang ini. Saya masih ingat persis, saat itu saya baru selesai shalat isya. Dia membuat beberapa tembakan saat saya masih duduk di atas sajadah kuning pemberian ibu. Dia bilang waktu itu, “ini bagus!”. Dan dengan wajah bangga, dia memperlihatkan gambarnya. Saya iyakan, kami tertawa gembira.

Dan beberapa hari setelah malam itu, akun sosial-media saya menerima sebuah tag beberapa foto darinya, dan lagi, salah satunya adalah yang ini. Dengan caption Thinking poet”, saya tertawa menerimanya, saya suka sekali.

Saat itu saya tak benar tahu dia menemukan kata di caption itu dari mana. Tapi seingat saya, itu adalah sebuah kata yang disematkan pada seorang penyair luar. Setelah mencari informasinya di internet, akhirnya saya berhasil menemukan beberapa. Itu adalah Ron Cretchley, seorang penyair yang tak terlalu saya kenal, tapi saya pikir karyanya bagus. Salah satunya adalah yang ini, sebuah karya yang ditulisnya di tahun 1994:

The Search

I hear you
In surf sounds:
Addressing; now digressing;
And in wind-crazed ocean's roar.
Always I hear your voice in things adored.

I see you
Dew bejewelled on gossamer;
Mighty in galaxies, bursting;
A fire-raiser in sunset skies;
A dancer in a young child's eyes.

Taste you
On poet's tongues;
Through a painter's brush I touch you;
Feel you through the singer and the song
In this your work-shop world where I belong.

I reach for you
Through trees' uplifted limbs;
Seek you in silent peaks
Where sun-streaks play.
You come to me as silently I pray.

Dim the world's way:
Through astronomer's glass;
Microscope;
History's toll;
Papyrus scroll;
Tablets of stone;

Philosopher's tome.
But clear the path you show me, coming home.


26.4.94

***
Dan mungkin saya terlalu percaya diri saat mencoba menyandingkan karya saya dengan milik almarhum penyair ini. Tapi sebenarnya bukan itu esensinya, heheu. Saya menghormati kawan tersebut untuk foto dan captionnya yang membanggakan. Saya ucapkan terima kasih yang banyak untuknya. :)

Dan ini adalah salah tulisan yang saya tulis di kamar itu, :)

Roman Persinggahan
Ada cerita lain dari romantisme senja
Dengan membelah taman bunga warna-warni yang terhampar
Tapi bukan dengan gulali merah muda, juga bukan dengan tusukan busur yang berbicara dengan bahasanya

Apa cerita ini adalah suaka nilai-nilai lepas norma?
Juga bukan!
Karena nyanyiannya adalah anggukan,
Karena perjalanannya adalah sorot mata

Datang dan segarkan lintas nadi-nadi ini dengan suara-suara yang terartikan
Mau berdehem, tidak, terserah saja
Dan hanyutlah kau dalam aroma bunga malam yang rahasia
Menjauhi dasar matahari, menyelami sinar-sinar bulan pinggir jalan

Berdansa dalam nuansa pegunungan rimbun-segar memang bukanlah hal yang mudah, tapi keindahan yang mutlak saja
Menikmatinya dalam wacana, dan memahaminya degan nada
Suaka nilai dalam perjalanan yang ternyata biasa-biasa saja
Dalam jemaah waktu yang sedang melemaskan tegang di tikar-tikar dahan hutan
Serta kerlip bintang yang dipakai sebagai bahasa pembuka
Di sendu nan romantisnya dialog yang tak berujung-tak berpangkal

Ledeng, 2008

***
Saya katakan, bahwa saya bukanlah seorang penyair besar dengan karya-karya yang memukau. Saya hanya menyukai menulis sesuatu yang "sepertinya ini juga termasuk sajak", heheu. Dan satu yang terpenting adalah karena saya menyukainya. :)

Cikarang, 29 April 2014
*Foto oleh Haikal Sedayo

Sabtu, 26 April 2014

Tentang Sebuah Pola

Diiring beberapa lagu dari album Greatest Hits of Stevie Wonder serta sahut-sahutan gembira dari burung dan ayam di depan sana, pagi ini saya menulis. Dan sebenarnya saat ini saya sedang tak terlalu mood menulis, tapi saya coba sedikit paksakan dulu saja. Ah, saya pikir sedikit memaksa sekali-kali bukan merupakan hal yang terlalu buruk juga. Jadi biar saya menuliskan apa yang ingin saya tuliskan.

Mungkin dimulai saja dari obrolan bersama seorang kawan di malam yang tadi. Saat saya mengajaknya memikirkan apa yang sedang saya pikirkan seharian ini, kemarin-kemarin atau akhir-akhir ini. Meski sepertinya dia juga tak terlalu paham tentang apa yang saya bicarakan, tapi sepertinya dia berusaha membetah-betahkan diri mendengarkan. Saya tahu itu, heheu. Dan di antara batuk-batuknya yang sering sekali, dan pertanyaan-pertanyaan memutar yang saya ajukan, dia coba berkomentar sekenanya. Berulang kali saya katakan padanya: “kamu pasti tahu bahwa saya memang suka menanyakan banyak hal. Dan untuk yang ini, mungkin kamu tak akan mudah mengerti seperti biasanya, karena jujur saja, saya sendiripun kadang juga tak terlalu mengerti”. Lanjut kami menertawakannya bersama di antara regukan kopi yang mulai dingin.

Kami tahu bahwa kadang sebuah pertanyaan tak pernah bisa disederhanakan ke dalam baris-baris kata yang singkat dan selalu mudah dipahami oleh siapapun. Seperti pertanyaan “apakah kamu pernah gelisah menjalani hari-harimu? Berpikir tentang apa yang kamu lakukan dulu saat masih kanak-kanak, remaja, saat ini atau nanti, dan di saat itu pula kamu memperhatikan siapa orang tuamu dan melihat siapa kamu saat ini detik ini di bayang-bayang? Atau saat mengingat kembali obrolan bersama seorang kawan di awal suatu malam di halaman kantor di bawah payung besar yang sendiri-sendiri dan kalian duduk-duduk menunggu hujan reda. Atau seorang kawan di Bandung utara itu yang Juni ini akan pindah ke kota asalnya lantas merasa seorang kawan akhirnya pergi? Atau rutinitas kantor yang entah nanti akan membawamu kemana, dan apa kamu benar menginginkannya?”. Dan saat kawan yang tadi berkomentar tentang sebuah pola yang bersifat pribadi, saya sepertinya mendapat sebuah tambahan pemahaman dari sudut pandang yang lain. Ya, saya pikir dia benar!

Ah, saya tahu, bahwa menghubungkan jutaan fragmen ingatan, realita dan harapan bukanlah sesuatu yang sederhana. Dan saat kamu sudah mencapai suatu puncak dari sebuah fasa, maka sebaiknya kamu tak berada di fasa itu lagi. Meski kita semua tahu, bahwa perpindahan fasa tak selalu berarti kamu telah mencapai puncak dari fasa sebelumnya. Saya pikir ini seperti tanaman-tanaman yang sering kami rawat dulu di rumah merah jambu itu. Ya, mungkin mirip sekali seperti itu. Ini sebuah paradok. :)

Selalu melegakan setelah menceritakan apa saja yang kamu inginkan. Ah, mungkin sesederhana setiap orang butuh kawan bercerita saja ya. :D
Cikarang, 27 April 2014

Jumat, 25 April 2014

Ngacapruk (3)

Malam ini saya memperhatikan sebuah cuplikan rekaman dua calon presiden RI 2014 dengan menggunakan bahasa Inggris yang diunggah di sebuah jejaring sosial. Saya selesaikan rekamannya sampai habis, lalu membaca beberapa komentar dari pengguna lain di sosial media tersebut, saya jadi berpikir sendiri. Ah, sebenarnya saya malas mengomentarinya. Hingga akhirnya saya terpancing juga, dan saya putuskan untuk memberi komentar sendiri di wall saya saja. Awalnya di situ saya ceritakan saja bahwa saya masih gagal paham kenapa orang-orang menilai bagus atau tidaknya capres di negri ini berdasarkan kemampuannya dalam berbahasa Inggris. Dan saya tunggu kawan-kawan untuk merespon posting tersebut beberapa saat. Beberapa ternyata benar berkomentar serius, beberapa tidak. Walau sayangnya, jawaban-jawaban tersebut tak lantas membuat saya menjadi paham. Saya tetap saja bingung kenapa orang-orang bisa berpikir seperti itu. Lanjutnya saya membuat beberapa posting baru (masih) di laman tersebut. Yah, mungkin sesederhana karena memang pikiran setiap orang memang beda-beda kali ya? :D

***
21.47
Nah, apalagi yang ini: “ngga banget deh ngeliet capres ngomong bahasa Inggris pake logat jawa medok”. Saya ngangguk-ngangguk aja, sambil dalam hati nanya sendiri: “omg, emang apanya yang ga banget ya?” *semakinbingung

21.53
Ini yang baru: “urusan presiden kan juga ada urusan sama luar negri, dan bahasa internasional tuh bahasa Inggris”. Nah, yang ini mungkin perlu dikomentarin kayanya. “Hoo, ya, ya. Pinter banget lu”. Terus dia pasti bahagia banget saya komenin kaya gitu. Sipp! :D

21.57
Ada yang nanya kayanya lumayan sewot: “emang menurut lu kenapa capres ga perlu lancar banget bahasa Inggris?”. Saya tanya balik: “emang bahasa Inggris tuh yang kaya gimana ya?”. Suasana hening, kawan yang itu ga ngebalas lagi. :))

22.02
Ato yang ini: “biar keren, Bro! :))”. Nah kalo yang ini masuk akal, saya suka. Wahahaa. Terus lanjut saya tanya: “lu udah ngerokok belum malam ini? Kita ngerokok aja yuk. Tapi gw minta ya, gw lagi ga punya duit”. Dia langsung jawab: “oke”. Asik ini mah. :D

22.04
Gw cuma mau capres yang bisa bahasa isyarat!”. Gampang ngeresponnya kalo yang ini mah: “punya lagu dangdut baru ga lu? Bagi gw lah”.

22.08
Ada yang lebih serius: “presiden itu mewakili saya dan ratusan juta rakyat Indonesia. dia harus salah satu dari yang terbaik dari kita semua!”. Nah kalo yang ini, saya pikir kayanya lebih baik ga usah direspon.

22.13
Yah, wis ah, cape ngomongin capres. Mending lanjutin baca novel pembunuhan Agatha Christie lagi aja. Lagi seru-serunya. Miss Marple lagi diskusi tentang berbagai skenario pembunuhan terhadap Helen Spenlove Kennedy 18 tahun yang lalu.

Saya sama sekali tidak mendukung salah satu capres tertentu. Kamu bisa yakin tentang itu. :) Dan ini tidak dibuat untuk menyerang siapapun, termasuk kawan-kawan yang sudah berbaik hati berkomentar. :)
Cikarang, 25 April 2014

Senin, 21 April 2014

Kartini

Kamu tahu? Ibu saya bernama Kartini. Nama lengkapnya Kartiniwati binti Abbas. Dan kenalan-kenalannya biasa menyebutnya dengan panggilan singkat: Kar. Dia adalah seorang gadis –saya lebih suka mengingatnya sebagai seorang gadis (cerita serupa bisa dilihat di blog ini dalam tulisan Pelukan Sore) – ramah yang penuh senyum. Wajahnya oval sedikit sendu, hidung kecil-mancung dan manis sekali saat tertawa. Kulitnya kuning dengan rambut lurus-hitam dan postur tubuh yang tak terlalu tinggi, mungkin sekitar 160 cm. Hampir semua kenalan lamanya menceritakan dia sebagai pribadi dengan pesona yang berlimpah. Sedari dulu, dia selalu memiliki banyak kawan buah dari keluwesannya dalam bersikap dan penampilannya yang menarik.

Sedikit cerita, saya mendengar sedikit darinya langsung, bahwa dulu saat masih muda, dia pernah beberapa lama menjadi model di sebuah studio foto, namanya Salon Photo. Sebuah studio yang terhitung besar dan lumayan terkenal di daerah itu saat itu –atau mungkin masih sampai sekarang. Saya yakini cerita itu benar, berdasarkan cerita ayah dan beberapa bukti foto yang dicetak di studio tersebut. Disebutkannya bahwa dulu foto ibu sering dipajang di barisan terdepan dari studio tersebut. Ah senang dan bangga sekali saya mendengarnya. Hingga sekarang, beberapa foto-foto dengan berbagai gaya klasik tersebut masih tersimpan rapi di album foto milik keluarga kami.

Senyumnya yang terkembang lepas adalah bagian favorit yang paling saya ingat, baik itu dari foto-foto saat dia masih muda sampai rekaman video dan gambar dirinya sebelum dia akhirnya pergi di pertengahan 2009. Ah, menyenangkan sekali mengingat senyumnya itu di antara baris memori dan tatap-kecup-peluknya di teras rumah. Rasanya hangat, nyaman dan lembut sekali. Satu-satunya tempat dimana saya bisa merasa sangat terlindungi dari apa dan siapapun. Saya masih mengingat rasa itu dengan sangat persis, bahkan hingga detik ini saat saya menuliskan beberapa potong paragraf sederhana ini sekalipun.

***
Dan hari ini, Hari Kartini, saat hampir semua orang di ranah sosial tengah ramai membahas sosok Kartini sebagai seorang pahlawan nasional, saya senyum-senyum saja. Bagi saya, Hari Kartini memiliki kesan yang sedikit pribadi dan emosional. Karena di harinya ini, saya mengingat Kartini dengan makna yang lebih spesifik. Itu tentang rasa kasih, sorot mata, dan kelembutan yang sama sekali tak rumit. Sesuatu yang tak bisa habis diterjemahkan hanya dengan melihat saja, tapi lebih jauh dari itu, mesti dirasakan. Hingga akhirnya berusaha menerjemahkannya dengan lebih jujur sekaligus menyenangkan. Bahwa dalam konteks yang terbesar dan tersempit sekalipun, Kartini selalu melambangkan makna perlindungan yang benar-benar nyata. Bahwa sosok wanita lah yang sebenarnya menjadi tempat berlindung, bahkan bagi laki-laki terkuat di muka bumi sekalipun. Saya yakin sekali seperti itu.

Selamat Hari Kartini!
Cikarang, 21 April 2014

Sabtu, 19 April 2014

Sebuah Cerita Rahasia dan Garis Cahaya di Babakan Siliwangi

Cahaya merambat lurus di Babakan Siliwangi
Pagi ini belum terlalu jauh dari pukul 8. Saat sendiri mengendarai sebuah motor pinjaman dari seorang kawan baik yang saat ini tengah berkumpul-gembira dengan keluarga besarnya di Sumedang sana. Dengan mimpi di timur laut Bandung itu jadi tujuannya kini, saya melewati lagi jalan yang ini. Kendarai motornya pelan-pelan, saya putuskan berhenti dulu sejenak di pinggir sebuah jalanan besar dengan pepohonannya yang rimbun dan berjejer rapi sekali. Babakan Siliwangi. Teringat di kisaran 6 tahun yang lewat, saat berjalan di jalan ini, dengan barisan mimpi-mimpi tersakral jadi tujuan di Ganesha sana. Hela nafas, mengambil beberapa gambar dengan pemandangannya yang saya ingat dengan sangat baik dan seperti tak berubah sama sekali. Garis-garis cahaya itu.

Memang akan sedikit melodrama saat saya bicara mengenai garis-garis cahaya ini, karena ingatan saya tentangnya masih terlalu jernih. Saat di beberapa paginya yang tak terhitung, saya melintasi jalannya dengan perasaan-perasaan yang sedikit sulit untuk digambarkan. Dengan ransel kecil berwarna hitam-oranye tersandang di belakang punggung, sebuah botol minum kemasan penuh berisi air isi ulang, buku-buku kuliah, mimpi-mimpi yang tak terhitung, dan banyak lagi. Dan di hari-harinya itu, saya biasa berjalan kaki dari kos-kosan yang sangat menyenangkan di barat laut itu, turun jauh ke sini, hingga saatnya nanti sampai di Ganesha di titik sana. Jaraknya mungkin tak terlalu jauh, mungkin hanya sekitar enam kilometer-an saja, itu biasa. Walau mungkin yang menjadikannya sedikit dramatis adalah saat semua itu dijalani berikut rasa lapar yang kadang membuat hati terasa sangat lemah, hujan raya yang menghadang dan saya tak punya pilihan lain kecuali melanjutkan perjalanan, seorang kawan yang menolak meminjamkan uang untuk ongkos pulang karena sedang hujan dan saya sedang letih, ah banyak. Semuanya saya jalani di antara mimpi-mimpi yang meledak-ledak, mereka bermain-main asik sekali dalam kepala. :)

Garis-garis cahaya ini adalah sebuah cerita. Dulu, saat paginya tengah sangat bersahabat, saya akan berusaha menghilangkan penat dan letih dengan menghitung jumlah garis cahaya yang merambat lurus di antara sela mahoni-mahoni raksasa ini. Saya akan merasa gembira bila jumlah garis cahaya itu melebihi 20 hitungan dari satu pohon yang sama. Saya selalu berpikir bahwa garis-garis ini adalah hujan cahaya. Semakin banyak hujannya, saya pikir itu semakin bagus. Begitu saja, tak terlalu rumit memang, tapi saya menyukainya. Dan kamu mungkin tak mengerti, :) Dan sebenarnya memang tak ada yang perlu dimengerti, kegembiraan yang sangat sederhana itu hanya berlaku di dalam kepala saya saja. :)

Mungkin tak banyak kawan yang tahu bahwa di hari-hari itu, saya berjalan kaki pulang-pergi, kadang pagi-siang-sore-malam. Karena jujur saja, waktu itu saya merasa sedikit malu. Saya malu bila kawan-kawan tahu bahwa saya tak punya uang. Entah bagaimana persisnya cara berpikir saya waktu itu, tapi ya begitulah. Benar-benar sesuatu yang sering membuat saya tertawa sendiri bila mengingatnya lagi. Walaupun sepertinya kawan-kawan memang sudah tahu keadaan keuangan saya, tapi tetap saja, saya tetap tak mau terlalu memperlihatkannya. Ah, mungkin sesederhana kata: “saya malu karena tak punya uang” saja. :D

Dan saat pagi yang ini datang lagi menghampiri, saya memilih berhenti. Berkontemplasi sejenak pada alur cahayanya yang menghunus lurus pada aspal jalan yang baik, saya mengerti. Bahwa dihantuinya lagi pada sebuah mimpi yang tengah menunggu di depan sana, saya dibuatnya untuk selalu mengingat tentang sebuah cerita rahasia yang mungkin tak layak lagi disebut sebagai rahasia. :)

Selamat pagi, Babakan Siliwangi, :)
Bandung, 19 April 2014