![]() |
Cahaya merambat lurus di Babakan Siliwangi |
Pagi ini belum terlalu jauh dari pukul 8. Saat sendiri
mengendarai sebuah motor pinjaman dari seorang kawan baik yang saat ini tengah
berkumpul-gembira dengan keluarga besarnya di Sumedang sana. Dengan mimpi di timur
laut Bandung itu jadi tujuannya kini, saya melewati lagi jalan yang ini. Kendarai
motornya pelan-pelan, saya putuskan berhenti dulu sejenak di pinggir sebuah
jalanan besar dengan pepohonannya yang rimbun dan berjejer rapi sekali. Babakan
Siliwangi. Teringat di kisaran 6 tahun yang lewat, saat berjalan di jalan ini,
dengan barisan mimpi-mimpi tersakral jadi tujuan di Ganesha sana. Hela nafas, mengambil
beberapa gambar dengan pemandangannya yang saya ingat dengan sangat baik dan seperti tak
berubah sama sekali. Garis-garis cahaya itu.
Memang akan sedikit melodrama saat saya bicara mengenai
garis-garis cahaya ini, karena ingatan saya tentangnya masih terlalu jernih. Saat di
beberapa paginya yang tak terhitung, saya melintasi jalannya dengan perasaan-perasaan yang sedikit sulit untuk digambarkan. Dengan ransel kecil
berwarna hitam-oranye tersandang di belakang punggung, sebuah botol minum kemasan penuh
berisi air isi ulang, buku-buku kuliah, mimpi-mimpi yang tak terhitung, dan banyak lagi. Dan di
hari-harinya itu, saya biasa berjalan kaki dari kos-kosan yang sangat menyenangkan
di barat laut itu, turun jauh ke sini, hingga saatnya nanti sampai di Ganesha di titik sana. Jaraknya mungkin tak terlalu
jauh, mungkin hanya sekitar enam kilometer-an saja, itu biasa. Walau mungkin yang
menjadikannya sedikit dramatis adalah saat semua itu dijalani berikut rasa
lapar yang kadang membuat hati terasa sangat lemah, hujan raya yang menghadang
dan saya tak punya pilihan lain kecuali melanjutkan perjalanan, seorang kawan
yang menolak meminjamkan uang untuk ongkos pulang karena sedang hujan dan saya sedang letih, ah
banyak. Semuanya saya jalani di antara mimpi-mimpi yang meledak-ledak, mereka bermain-main
asik sekali dalam kepala. :)
Garis-garis cahaya ini adalah sebuah cerita. Dulu, saat paginya
tengah sangat bersahabat, saya akan berusaha menghilangkan penat dan letih dengan menghitung
jumlah garis cahaya yang merambat lurus di antara sela mahoni-mahoni raksasa ini.
Saya akan merasa gembira bila jumlah garis cahaya itu melebihi 20 hitungan dari satu
pohon yang sama. Saya selalu berpikir bahwa garis-garis ini adalah hujan
cahaya. Semakin banyak hujannya, saya pikir itu semakin bagus. Begitu saja, tak
terlalu rumit memang, tapi saya menyukainya. Dan kamu mungkin tak mengerti, :) Dan sebenarnya memang tak ada yang perlu dimengerti, kegembiraan yang sangat sederhana itu hanya berlaku
di dalam kepala saya saja. :)
Mungkin tak banyak kawan yang tahu bahwa di hari-hari itu,
saya berjalan kaki pulang-pergi, kadang pagi-siang-sore-malam. Karena jujur
saja, waktu itu saya merasa sedikit malu. Saya malu bila kawan-kawan tahu bahwa
saya tak punya uang. Entah bagaimana persisnya cara berpikir saya waktu itu, tapi
ya begitulah. Benar-benar sesuatu yang sering membuat saya tertawa sendiri bila
mengingatnya lagi. Walaupun sepertinya kawan-kawan memang sudah tahu keadaan
keuangan saya, tapi tetap saja, saya tetap tak mau terlalu memperlihatkannya. Ah,
mungkin sesederhana kata: “saya malu karena tak punya uang” saja. :D
Dan saat pagi yang ini datang lagi menghampiri, saya memilih
berhenti. Berkontemplasi sejenak pada alur cahayanya yang menghunus lurus pada
aspal jalan yang baik, saya mengerti. Bahwa dihantuinya lagi pada sebuah mimpi
yang tengah menunggu di depan sana, saya dibuatnya untuk selalu mengingat tentang sebuah
cerita rahasia yang mungkin tak layak lagi disebut sebagai rahasia. :)
Selamat pagi, Babakan Siliwangi, :)
Bandung, 19 April 2014
Bandung, 19 April 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar