Sabtu, 19 April 2014

Sebuah Cerita Rahasia dan Garis Cahaya di Babakan Siliwangi

Cahaya merambat lurus di Babakan Siliwangi
Pagi ini belum terlalu jauh dari pukul 8. Saat sendiri mengendarai sebuah motor pinjaman dari seorang kawan baik yang saat ini tengah berkumpul-gembira dengan keluarga besarnya di Sumedang sana. Dengan mimpi di timur laut Bandung itu jadi tujuannya kini, saya melewati lagi jalan yang ini. Kendarai motornya pelan-pelan, saya putuskan berhenti dulu sejenak di pinggir sebuah jalanan besar dengan pepohonannya yang rimbun dan berjejer rapi sekali. Babakan Siliwangi. Teringat di kisaran 6 tahun yang lewat, saat berjalan di jalan ini, dengan barisan mimpi-mimpi tersakral jadi tujuan di Ganesha sana. Hela nafas, mengambil beberapa gambar dengan pemandangannya yang saya ingat dengan sangat baik dan seperti tak berubah sama sekali. Garis-garis cahaya itu.

Memang akan sedikit melodrama saat saya bicara mengenai garis-garis cahaya ini, karena ingatan saya tentangnya masih terlalu jernih. Saat di beberapa paginya yang tak terhitung, saya melintasi jalannya dengan perasaan-perasaan yang sedikit sulit untuk digambarkan. Dengan ransel kecil berwarna hitam-oranye tersandang di belakang punggung, sebuah botol minum kemasan penuh berisi air isi ulang, buku-buku kuliah, mimpi-mimpi yang tak terhitung, dan banyak lagi. Dan di hari-harinya itu, saya biasa berjalan kaki dari kos-kosan yang sangat menyenangkan di barat laut itu, turun jauh ke sini, hingga saatnya nanti sampai di Ganesha di titik sana. Jaraknya mungkin tak terlalu jauh, mungkin hanya sekitar enam kilometer-an saja, itu biasa. Walau mungkin yang menjadikannya sedikit dramatis adalah saat semua itu dijalani berikut rasa lapar yang kadang membuat hati terasa sangat lemah, hujan raya yang menghadang dan saya tak punya pilihan lain kecuali melanjutkan perjalanan, seorang kawan yang menolak meminjamkan uang untuk ongkos pulang karena sedang hujan dan saya sedang letih, ah banyak. Semuanya saya jalani di antara mimpi-mimpi yang meledak-ledak, mereka bermain-main asik sekali dalam kepala. :)

Garis-garis cahaya ini adalah sebuah cerita. Dulu, saat paginya tengah sangat bersahabat, saya akan berusaha menghilangkan penat dan letih dengan menghitung jumlah garis cahaya yang merambat lurus di antara sela mahoni-mahoni raksasa ini. Saya akan merasa gembira bila jumlah garis cahaya itu melebihi 20 hitungan dari satu pohon yang sama. Saya selalu berpikir bahwa garis-garis ini adalah hujan cahaya. Semakin banyak hujannya, saya pikir itu semakin bagus. Begitu saja, tak terlalu rumit memang, tapi saya menyukainya. Dan kamu mungkin tak mengerti, :) Dan sebenarnya memang tak ada yang perlu dimengerti, kegembiraan yang sangat sederhana itu hanya berlaku di dalam kepala saya saja. :)

Mungkin tak banyak kawan yang tahu bahwa di hari-hari itu, saya berjalan kaki pulang-pergi, kadang pagi-siang-sore-malam. Karena jujur saja, waktu itu saya merasa sedikit malu. Saya malu bila kawan-kawan tahu bahwa saya tak punya uang. Entah bagaimana persisnya cara berpikir saya waktu itu, tapi ya begitulah. Benar-benar sesuatu yang sering membuat saya tertawa sendiri bila mengingatnya lagi. Walaupun sepertinya kawan-kawan memang sudah tahu keadaan keuangan saya, tapi tetap saja, saya tetap tak mau terlalu memperlihatkannya. Ah, mungkin sesederhana kata: “saya malu karena tak punya uang” saja. :D

Dan saat pagi yang ini datang lagi menghampiri, saya memilih berhenti. Berkontemplasi sejenak pada alur cahayanya yang menghunus lurus pada aspal jalan yang baik, saya mengerti. Bahwa dihantuinya lagi pada sebuah mimpi yang tengah menunggu di depan sana, saya dibuatnya untuk selalu mengingat tentang sebuah cerita rahasia yang mungkin tak layak lagi disebut sebagai rahasia. :)

Selamat pagi, Babakan Siliwangi, :)
Bandung, 19 April 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar