Jumat, 31 Mei 2013

Kompleksitas dan matematika sederhana

Kemarin-kemarin saya sempat berkomentar di blog seorang kawan dan melahirkan beberapa tanda tanya. Tentang perjalanan yang tumpang tindih, overlapping. Seperti melangkah di banyak jalan yang tak bersisian dalam satu waktu yang bersamaan. Bagaimana bisa?

Saya pikir, sebenarnya memang seperti itu. Dalam menjalani hari-hari, nyatanya kita memang menjalani banyak cerita berbeda di satu dimensi waktu. Di satu cerita kadang kita sedang menatap ujung suatu jalan. Sisi yang lain sedang khusyu nikmati langkah yang masih muda, tengah semangat. Saat itu juga sedang berada di persimpangan besar menuju banyak jalan yang lain. Dan banyak lagi. Tak jauh berbeda dengan jutaan bintang yang tengah bergerak dalam aturan semesta. Beberapa di antaranya bahkan memiliki bagian yang lebih kecil lagi yang juga bergerak dalam aturan. Kita sebut itu bentukan water ice di Mars, rumitnya dialog beberapa kawan di suatu forum mahasiswa di PKM UPI, atau bahkan komposisi menakjubkan pembentuk emas di satu planet asing di luar Bima Sakti, atau misteriusnya Alpha Centauri System di luar sana. Saya pikir apa yang terjadi di dalam kompleksitas pikiran kitapun lebih-kurang seperti itu. Layaknya sebuah miniatur semesta, kita berjalan.

Bila mengingat sedikit matematika SD yang pernah kita pelajari dulu tentang irisan dan gabungan dua himpunan, sepertinya mungkin mirip seperti itu, tapi dalam dimensi yang lebih rumit tentunya. Pikiran juga seperti itu. Juga semesta. Di tengah kompleksitas itu terdapat banyak irisan. Bayangkan saja banyak lingkaran sederhana yang bertebaran. Lingkaran-lingkaran itu saya sebut buah ide dan pelaksanaan, beririsan di satu bentuk-ruang yang saya sebut pusat. Pertanyaan yang lain, apa ada beberapa irisan lain selain irisan pusat ini? Saya pikir ada, dan banyak. Itu sebuah ide dan pelaksanaan yang pada intinya sama, seperti bertindak berdasarkan pengalaman. Terus apa bedanya dengan pusat? Saya pikir, pusat itu sebuah dasar yang solid, tidak “bergerak”. Sedang lingkaran yang lain hanya akan memasuki dan menyesuaikan pada pusat.

Dan kita akan sampai pada pertanyaan, lalu pusat itu apa? Saya akan sebut pusat itu adalah diri. Sedang dalam semesta, pusatnya apa? Saya sebut itu “hati” Tuhan, dimana diri-Nya menjadi tempat bernaung semua pusat serta kerumitan segenap dimensi irisan serta ruang-ruang kosong tak terhingga di luarnya.

...

Cikarang, 31 Mei 2013 

Selasa, 28 Mei 2013

Mengadaptasi

Hari ini saya pikir saya mulai mengerti satu hal yang menarik. :)

Kira-kira satu bulan yang lalu saya mengalami satu luka fisik. Waktu itu, terasa sakit memang. Tapi saya memutuskan untuk memberi pengobatan seadanya dulu, saya pikir mungkin bisa sembuh dengan sendirinya. Dan kemudian hari ini, saat rasa sakitnya seharusnya mencapai puncak, nyatanya saya merasa biasa saja. Lumayan sakit juga memang, tapi benar bukan masalah. Saya lewati biasa saja, tanpa ada sesuatu yang terlalu. Benar begitu.

Saya jadi ingat kisaran 8 tahun yang lewat, waktu masih menimba ilmu di Kampus Para Guru itu. Seorang guru pernah berujar, “Di saat satu organisme menerima cekaman (stress) dari lingkungan hingga di ambang batas toleransi biologinya, dan kemudian dia berhasil melewati fase kritisnya, maka rentang toleransi dari organisme tersebut akan membesar dengan sendirinya, dan organisme tersebut lanjutnya akan bertahan. Itu prinsip bertahan dari mahluk biologi. Sama halnya dengan kamu, Budi (nama samaran seorang kawan yang saat itu tengah bersedih karena cintanya ditolak oleh gadis pujaannya), jangan bersedih!” ujar dosen tersebut sambil tersenyum simpul (soalnya niatnya mau sambil ngeledekin si Budi juga, wahahaha). Saya suka sekali semua mata kuliah yang diajar oleh beliau. Karena selalu saja berhasil menghubungkan semua yang diajarkannya di kelas dengan kehidupan nyata kami waktu itu. Dan menghibur. Benar-benar seorang guru. :)

Dan bila melihat keadaan kita saat ini, saya pikir normal saja bila kita bersedih saat menerima suatu masalah. Kadang kita sampai merasa bahwa masalah itu terlalu besar dan sudah di luar kemampuan, hingga kita mau menyerah saja. Atau bertanya mengapa penyelesaian masalah ini tak datang saat ini juga saja? Tapi saya pikir mungkin begini: pemecahannya itu mungkin tak datang sekarang karena ada “sesuatu” yang ingin memberikan kita kesempatan untuk menjadi lebih kuat terlebih dahulu, untuk bekal hadapi masalah yang lebih besar nanti-nanti. Maka karenanya, jangan bersedih, Kawan. Jangan pernah mudah berkecil hati. :)

Didedikasikan untuk guru kami (Alm. Unang Sumarno), Terima kasih dengan segenap tulus, atas ilmu dan kenangannya. Salam hormat, dari saya.
Cikarang,  28 Mei 2013

Sabtu, 25 Mei 2013

Malam minggu Taman Pecenongan


Sabtu malam, bila sedang ada waktu, silahkan berkunjung ke sini. Ke sebuah taman memanjang di Jalan Kasuari-Kedasih Raya, Cikarang Baru. Tak ada nama pasti yang mendefinisikan tempat ini, karena memang hanya taman pemisah jalan biasa dengan lebar hampir 5 meter, memanjang hingga hampir setengah kilometer, dipenuhi puluhan jenis tanaman taman yang terawat baik dan teratur. Gampangnya, orang-orang menyebut taman ini sebagai Taman Pecenongan, sebuah nama yang diambil dari nama daerah ini saja. Di sepanjang kanan-kiri jalannya berjejer ramai ratusan pedagang kecil dengan gerobak sederhana, warung kaget, asongan, atau bangunan semi permanennya yang siap saling berlomba tawarkan jajanan sederhana, dengan harga yang sangat terjangkau.

Sedari lepas magrib tadi, taman ini mulai ramai. Jalanan pun mulai macet karena jumlah kendaraan yang parkir di sisi-sisi jalan terus meningkat. Begitu seterusnya hingga mencapai puncaknya saat sekitar pukul 8 malam. Ratusan atau mungkin mencapai ribuan pengunjung tumpah di sini. Kebanyakan adalah pasangan muda-mudi tengah kasmaran, tak sedikit juga mereka yang membawa keluarga rekreasi ke sini, atau kumpulan teman-teman sebaya mengobrol habiskan malam, suka-suka. Sekedar duduk-duduk di atas rumput hijau yang selalu segar atau beralas tikar sederhana yang disediakan pedagang, pesan makanan  dan minuman beraneka ragam, tinggal pilih.

Sayangnya, dan entah apa pastinya, malam minggu di taman cantik ini disebut punya stigma rendah. Disebutnya bahwa malam minggu di taman ini hanya akan dipenuhi oleh kaum kelas bawah, sebutannya beragam: orang kampung, buruh rendahan, atau bahasa yang lain. Ditambah pula dengan julukan “Taman Seribu Janji” yang disematkan pada taman ini menambah stigma yang lebih rendah lagi. Sederhananya begini: bila kamu merasa punya uang, kamu tidak akan pernah mau habiskan malam minggumu dengan mereka yang biasa ada dan duduk di sini dengan balitanya yang diterlentangkan di atas tikar sederhana di bawah langit, atau pakaian mereka yang tidak mahal serta bahasa daerah yang mereka gunakan menimbulkan kesan rendahan. Atau bila seseorang di kantor menceritakan bahwa dia melihat kamu dan wanitamu berjalan di sini saat malam minggu, maka kamu akan merasa direndahkan untuk kemudian langsung menjawab “ah cuma lewat doank kok, ngapain juga”. Atau karena terlalu bercampur dengan kebisingan motor yang menggerung buas dan kepul knalpot tua yang mengabu, belum lagi nyanyian pengamen setelan punk yang jauh dari kata enak didengar dan banyak sekali.

Malam ini saya berjalan lagi menyusuri taman ini, dari ujung hingga ujung. Melihat pelan-pelan ekspresi bahagia dari wajah-wajah itu, meski tatap merendahkan dari barisan mobil-mobil mewah yang kebetulan melintas di sana menilai buruk sekehendaknya. Senang rasanya. Ingatkan kembali bahwa kebahagian itu tidak mahal. Bukan dengan uangmu yang berlimpah, wanitamu yang cantik-molek, atau gengsimu yang penuh. Sekali-kali nanti berkunjunglah ke sini, kita duduk dengan yang lain, menikmati jajanannya di atas tikar kasar itu dan sinar malam. Tak perlu merasa kelas sosialmu jadi turun karenanya, karena memang sebenarnya tidak. :)
Cikarang, 25 Mei 2013

Jumat, 24 Mei 2013

Siapa aku? (2)

...

Aku pulang sekolah, di siang senin atau selasa itu. Aku masih ingat persis jam dinding bentuk garuda hitam di ruang tamu kami menunjukkan hari sudah masuk waktu dzuhur, tepatnya jam 12.55. Memang tadi aku pulang sedikit terlambat dari biasanya karena aku dan salah seorang kawan terdekatku waktu itu, Arnoldi, memilih pulang lewat sawah di belakang sekolah ketimbang lewat jalan aspal biasa. Di pesawahan itu, kami tinggal berjalan ke arah barat dan setelah 45 menit kami akan sampai. Di perjalanannya, setelan baju sekolahku kotor, terkena percikan lumpur sawah dan air irigasi. Atau penuh rumput gatal yang menempel di kaos kaki dan celana pendek merah seragam sekolah. Soal sepatu, jangan ditanya. Sepatu hitam seatas mata kaki ku itu jadi coklat, tebal berlumur lumpur.

Aku berjalan, menuju kamar mandi sederhana kami yang luas, dengan air sumurnya yang dingin dan segar. Tak lupa, aku keluarkan dari saku celanaku sebuah kantong plastik putih, yang tadi kutemukan terhanyut di saluran irigasi kecil di bawah pohon kelapa menjulang di pematang sawah tak jauh dari sekolah. Kantong plastik itu berisi buah Arben dan Cenenet yang kukumpulkan tadi di sepanjang perjalanan pulang. Memang salah satu tujuan kami pulang lewat sawah adalah mengumpulkan buah-buahan memerah nan manis itu. Aku dan kawan-kawanku sangat menyukai buah-buahan ini, untuk dimakan di siang panas sambil berjalan pulang. Buah-buahan ini kami dapatkan gratis, tapi mesti ditukar dengan pakaian sekolah yang menjadi kotor, tapi kami selalu senang melakukannya. 

Sekitar segenggam buah-buahan kukeluarkan dari kantong plastik itu. Kubilas semuanya dalam seember air jernih dari sumur, biar bersih semua sisa lumpur. Berjingkat, aku keluar sebentar ke seberang pintu kamar mandi, ke arah rak piring dari plastik setinggi tubuhku itu, ambil sebuah mangkok plastik kecil berwarna biru muda. Kusimpan seluruh buah menggoda itu di dalamnya, letakkan di atas meja makan dari kayu dibalut plastik motif bunga warna-warni itu. Sesaat kemudian kembali ke kamar mandi, teruskan mandi biar bersih semua badan. Setelahnya, menu makan siang, nasi yang sudah didinginkan di piring kaca dan sambal telor bulat di meja dapur ditemani seorang wanita tua yang meneduhkan, Zainab binti Samin, nenekku dari ibu. Sambil menatapi aku makan, diambilnya satu atau dua buah Arben tadi dan dimakannya dalam gembira. Kami bercengkerama.

...

Kamis, 23 Mei 2013

Mang Darman


Mang Darman urang Sadang Serang. Geus 7 taun dagang jeruk ditanggung. Teu tangtu dimana mangkalna, nu penting mah asal rame wae tempatna. Lamun kudu nyarita mah, nya tangtu cape. Nanggung jeruk unggal poe, indit isuk balik sore. Bari bati teu sapira, ngan nya kudu dikumaha, da ngan sakitu kanyataanana. Komo deui Mang Darman teh boga anak, nu masih di SD keneh. Kaperluana teh loba kacida, da geuning ayeuna mah sakola teh sagala duit. (Waduk!!). Ongkoh wajib belajar, nya wajib mah tinggal wajib, tapi ari keur nu sangsara mah angger weh sesek napas. 

Kungsi hiji waktu budakna Mang Darman, teu menang asup sakola, kulantaran 3 bulan can mayar SPP. Mang Darman bati ngahelas. Da rek dikumaha deui, puguh hirup ngan sakitu-kituna. Komo kapan dagang jeruk mah teu tangtu hayang beak satanggungan teh. Bisa sapoe, bisa sabulan. Nya ku sabab euweh deui jalan, kapaksa Mang Darman nginjem. Nginjemna ka saha deui mun lain ka tukang renten. Da geus puguh ari tatanggana mah sarua wae. Imahna nu ngan sagede kandang monyet teh suratna di borehkeun. Nya tong reuwas lamun waktu malikeun leuwihna ditangtukeun sakitu persenna, da geus puguh ari tukang renten mah ti baheula oge leuwih edan batan ucing garong, leuwih edan batan ucing garong! Karunya teuing Mang Darman. Euker mah hirup ka pencet, aya nu nambah ngagencet, uyuhan teu pejet oge. 

Ti saprak loba hutang, Mang Darman leuwih getol kana dagangna. Unggal poe udar-ider, susuganan jeruk beak, aya bati rada leuwih, rek dipake nyicil hutang. Dasar jalma mun keur sial, sagala ge matak oah. Keur nagog di hiji jalan, jeruk acan payuh-payuh acan. Kurunyung rombongan tibum, Mang Darman katewak tuluy tanggunganana di angkut kana truk. Mang Darman bati gogodeg, basa nampa kaputusan yen tanggungan jeng jerukna kudu di tebus sakitueun. (Wereu!). 4 poe ti harita Mang Darman niat rek nebus, da kabeneran aya keneh duit sesa panginjeuman ti ucing garong tea. Sing horeng gening, sing horeng ngan tinggal tanggunganana, jerukna teuing kamana, duka di legleug ku saha.

Hmm, Mang Darman tong kaget. Hirup mah heureuy jeung deudeuh. Mun keur seuri cape seuri. Mun keur ceurik cape ceurik. Tong kaget Mang Darman. Bangsa urang mah rea nu aneh. Ka handap ngagalaksak, ka luhur leletak. Tong pipilueun urang mah Mang Darman. Bae da dodoja mah biasa. Ceuk kolot-kolot urang tea mah, hirup pinuh dodoja teh lir ibarat leumpang nanjak. Engke mun geus nepi ka puncak, sok manggih pamandangan endah. Sugan weh atuh Mang Darman. Surat imah sugan katebus deui. Tanggungan mah nya tarimakeun weh Mang Darman. Da loba pisan jelema beuki jeruk teh. Tibum ge meureun beukieun kana jeruk mah, da  jelema eta oge. Atuh sugan isuk pageto, hirup urang jadi caang deui Mang Darman. Da urang mah ukur ikhtiar, hasil henteuna mah urang sanggakeun weh kanu Kagungan.

Sing sabar Mang Darman. Tong jadi dendam, tong jadi kiruh hate, bisi hirup beuki hese. Tong jadi kiruh hate, bisi hirup beuki hese!

Doel Soembang, di lagunya yang super nyata. Tanpa omong kosong, sedikitpun! 
- "Mang Darman"

Sabtu, 18 Mei 2013

Sungai dalam foto dan memori


Dimulailah dialog ini dengan pertanyaan sederhana yang tiba-tiba melintas saja, “bila kamu menemukan sebuah sungai biasa di salah satu perjalanan rohanimu, apa yang kamu lakukan?”. Pastinya saya akan mencoba mandi di sungai itu, bila mememungkinkan. Berenang cara anak kampung menikmati sungai di desa mereka. Sepertinya itu menyenangkan. :)


(Dan kontan saja, saat ini, ingatan saya terbang melewati waktu belasan tahun yang lewat, menuju satu kampung di kaki Bukit Basa, di jajaran pesawahan luas menguning dan saluran irigasi besar mengular yang di sepanjang sisi kanannya tumbuh tanaman kacang panjang menghijau, yang biasa kami (saya dan kawan-kawan sepermainan kala itu) makan sambil berjalan sepulang menikmati sore. Menyelami airnya yang jernih dan aromanya yang khas, serta pekik gembira kawan sebaya di tengah jelipak air ditimpa matahari sore. Saya masih ingat betul bagaimana rasanya. Senang sekali.)


“Hahaa, airnya dingin, seperti es”, katanya sambung dialog yang tadi. Hmmm, bagi saya tidak masalah, masuk ke dalamnya barang 30 detik sudah hebat, naik lagi dan pakai baju hangat, hangat lagi.
Disambungnya, “wah, itu bukan berenang, cuma tahan-tahanan dingin doank, ngapain juga?”. Saya tertawa, karena sebenarnya berenang dan menahan dingin bukan tujuannya. Merasakan airnya basahi seluruh tubuhmu, sempatkan berpikir sejenak, biar ingat! Lalu naik kalau memang sudah tak tahan lagi, Minum kopi hangat. :D


***
Saya selalu suka menikmati memori. Juga menciptakan memori yang baru saat ini. Saya pikir itu tidak terlalu jauh berbeda dengan melestarikan cerita rakyat turun temurun seperti legenda Empat Petulai di tanah Rejang, kesaktian Sangkuriang di Pasundan, atau heroiknya kisah Si Pitung di masyarakat Betawi. Semuanya hanya tentang mengambil hikmah dari sebuah cerita. Terserah legenda itu benar terjadi atau tidak, siapa peduli! Nikmati saja, belajar dari mereka.
Cikarang, 19 Mei 2012

Jumat, 17 Mei 2013

Jumat sore dan donat


Jumat lagi. Tahu apa yang saya pikirkan setiap jumat sore menjelang weekend? Itu adalah: "wah, nyatanya waktu berjalan cepat sekali". Dan saya sama sekali tidak berbohong kalau saya bilang “sepertinya saya jauh lebih suka weekday dari pada weekend!” Karena saat weekend, saya cuma menghabiskan hari di kosan, bangun-santai-makan-santai-tidur-makan-nonton-tidur, terlalu bosan kalau sendiri. Saya lebih senang hari kerja! Bukan karena saya gila kerja, tapi saya pikir saat weekday saya bisa bertemu dengan kawan-kawan, mengobrol, juga bekerja urusan kantor (khusus utk urusan kantor: dalam tahap suka yang sangat wajar, hahaa). Saya lebih sering bersimpulan bahwa saya sangat menikmati hari-hari saya di sini. Dan tanpa terlalu saya sadari juga, besok, tepat dua tahun saya bekerja di sini. 18 Mei  2011, dan hari ini 17 Mei 2013. Hahaa, saya suka ada di sini. Juga suka yang masih di tahap sangat wajar. :p

Sore ini, saya (dan kawan-kawan kantor yang lain) dikasih donat J*CO, pemberian dari satu kawan yang katanya diberikan sebagai bentuk ucapan perpisahan. Dia terakhir bekerja di sini hari ini, setelah kurang lebih 7 tahun. Walau sayangnya, saya tidak sempat bertemu langsung untuk ucapkan “semoga selalu keren, tetap senang, dan sampai ketemu lagi nanti-nanti”. Tapi semoga kesan yang dia sempat tinggalkan sebelumnya tetap ada dalam memori saya. Saya pikir itu bisa cukup. :)

Rasanya saya ingin cerita singkat tentang dia. Jujurnya begini: saya belum terlalu mengenalnya secara dekat. Terlibat di beberapa kali obrolan biasa, mencoba merasakan apa yang dia pikir, mengenalnya lewat cara bicara, gerak tubuh, dan yang lain. Saya selalu berpikir dia pribadi yang menarik, kawan bicara yang riang.

Sebenarnya ini sederhana. Sebagai bentuk rasa hormat kepada seorang kawan. Yang disampaikan lewat gaya bahasa seorang kawan juga. Dan tak lupa, terima kasih untuk donat coklatnya. Saya makan, dengan senang. :)
Cikarang, 16 Mei 2013

Kamis, 16 Mei 2013

n g a w u r


Beberapa kawan sering berkomentar kalo saya terlalu banyak bicara ngawur. Bahkan (mungkin) pacar saya sendiri sering berpikir kalo saya ngawur, haghaghag. Tapi memang benar, saya (secara sadar) sesekali (atau beberapa kali, :D) bicara acak tanpa arah seperti gerak brown di fisika. Tapi saya pikir itu bagus untuk perkembangan cara saya berpikir, improvisasi pemecahan masalah, pemecah “fokus yang keterlaluan” hingga bisa mengganggu fokus itu sendiri. Saya pikir begitu.

Tapi juga terkadang, saya ngga ngawur kok (walaupun terdengarnya begitu, :p). Saya kadang berpikir, orang-orang  sedang tidak sesuai dengan ritme berpikir saya saja. Dan memang kadang saya sedikit malas menjelaskan tahapan berpikirnya secara detail, sehingga saya putuskan untuk membiarkan mereka berpikir saya ngawur. Kalo kata The Beatles, “Let it be”, :D. Walau tidak jarang juga di tengah-tengah kumpulan orang yang beranggapan “wah, ngaco nih orang!”, ada juga orang yang berhasil menangkap maksud omongan saya. Biasanya setelah itu dia akan datangi saya untuk bicara lagi tentang hal yang sama di forum yang lebih kecil.

Saya sendiri juga beberapa kali bertemu dengan orang “sejenis”. It’s always so funny to talk with them. Ahahaa. Pendekatannya khas. Kadang terlihat terlalu santai, tapi pokok-pokok pikirannya seperti hujan, selang beberapa menit, langsung ngajak istirahat dan bilang kalo dia sudah pusing (padahal dia baru ngomong seriusnya 5 menit, hahaa).

Tapi memang pointnya, kita tidak perlu menganggap seseorang itu lebih baik dari kita atau tidak berdasarkan kesesuaian cara dan ritme berpikir kita dengan mereka. Saya pikir setiap orang punya pendekatan yang berbeda. Maka biarkan saja seperti itu. Lalu setelah itu kita bisa sama-sama bersantai minum kopi bareng lagi, tanpa harus selalu berpikir siapa yang lebih baik, siapa yang lebih nyambung. Karena yang selalu baik dan nyambung terus itu cuma operator gawat darurat kepolisian di film-film Hollywood.
Cikarang, 12 Mei 2012

Rabu, 15 Mei 2013

Amoeba Bio UPI 2003

Entah apa yang salah, rasanya baru malam ini saya sempat ngebuka (sadar) ada grup Amoeba BIO UPI 03 (Jurusan Pendidikan Biologi – UPI angkatan 2003) di f*ace*book, walaupun saya ternyata sudah ikut bergabung di grup ini dari September 2012. Saya baca ulang semua post berikut komen-komen yang ada dari awal hingga akhir, seolah mendengar satu arah kawan-kawan lama bercerita tentang perjalanan masing-masing.

Kisaran 1 tahun yang lewat juga beberapa kawan jadi bertanya karena akhirnya saya memutuskan untuk meninggalkan grup (saya lupa persisnya itu grup Amoeba atau BIO-C aja) di aplikasi w*hat*sapp. Dan juga entah jawaban (atau alasan) apa yang saya berikan waktu itu, saya juga lupa persisnya.

Beberapa kawan mungkin bersimpulan bahwa saya sombong atau tidak perduli atau apapun, mungkin itu bisa diterjemahkan dalam kalimat “Si (Adek/Kutil/Guntur) sombong banget”. Bahkan ada beberapa kawan juga yang terang-terangan bilang seperti itu. Dan seperti saat ini, saya akan tetap diam saja, senyum saja. Saya mungkin cuma menjawab dalam hati “Sombong? Apa yang mau dan bisa saya sombongkan? Juga sepertinya saya sama sekali tidak berbakat untuk jadi sombong”, heheu.

Saya pikir kalian tahu bahwa saya selalu senang mendengar kabar dari semua, apalagi kabar dari kawan-kawan lama. Tapi cara saya merespon mungkin sedikit berbeda, bukan dengan cara yang lebih mudah dilihat, tapi saya yakin tetap sama tulus. Dan saya harap itu bukan masalah. Saya berpikir akan menjadi lebih baik, untuk saya, untuk sekedar menyimpan memorinya dan bersikap sederhana saja, bukan dengan tampilan luar yang wah, rayu gombal, atau suka-duka yang memabukkan. Ini hanya masalah cara. ;)

Salam, Kawan. Salam Angkatan. :)
Cikarang, 15 Mei 2013

Selasa, 14 Mei 2013

Di Pojok Sore

Ini. Warung di ujung Jalan Industri Selatan 5 Kawasan Industri Jababeka 2 Cikarang. Saya sebut ini tempat paling menyenangkan di Cikarang. Ya, tempat bersama kawan-kawan habiskan sisa sore kami selepas pulang bekerja. Pesan saja segelas kopi hitam panas, itu artinya dua ribu rupiah, tambahlah sedikit yang lain lalu sorenya jadi sempurna. Sambil melihat giliran para penggiatnya berjalan entah menuju kemana, sebagian tergesa, sebagian tertawa, sebagian diam saja sambil berlalu hanyut sendiri. Menyelami udara sore pada jutaaan layang pikiran masing-masing. Lalu belajar memahami ini. Saya suka melihatnya. 

Dari sisi yang lain, tempat ini jadi sedikit berubah dari ingatan saya kisaran satu tahun yang lewat. Perginya beberapa kawan satu-persatu, berkurangnya kawan berbincang, yang sayangnya berkurangnynya banyak juga. Dalam konteks yang lebih sempit, saya pikir saya mengerti, bahwa mungkin, semua sedang mencoba beranjak lebih dewasa. Mulai melihat hal-hal yang lebih besar dari sekedar habiskan sore saling berbincang dalam tema yang terlalu kemana-mana. Sekarang mungkin inginnya (atau dipaksa) berpikir lebih mengerucut. Tapi kadang saya juga berpikir, bertahannya saya untuk tetap duduk disinipun juga tak terlalu jauh dari itu, juga mengerucut. Tentang melakukan apa yang saya suka, selepas sudahi sejenak kewajiban yang lain. Dan hanya itu saja.

Dari sini, (entah apa kata gantinya) belajar. Mencoba mendekat ke kehidupan yang super nyata. Tentang seberangan pikiran yang biasa terjadi di sana-sini. Yang kadang diselimuti oleh sore cerahnya yang menggema hingga ke ujung magrib, atau ditenggelamkan oleh garis-garis gerimis dan kabut tipis yang sesekali mampir di sini, seperti saat ini, sore menjelang magrib yang ini. :)

Cikarang, 14 Mei 2013