Senin, 26 Desember 2016

Maafushi dan Seorang Kawan

Selepas melihat pari dan bayi hiu, bertiga mengabadikannya lewat self-timer di bawah sinar bulan.

Pagi belum terlalu jauh, saat lantunan musik itu bermain perlahan dari pasangan earphone yang sudah dua bulan belakangan ini rusak sebelah. Barisan nada-nada ceria bernuansa country mengalir deras, dengan Andy Grammer, sang penyanyi, bersorak gembira sambil bercerita tentang perkawanan dalam lagunya. Yang tiba-tiba, saya teringat satu cerita yang saya jalani di beberapa minggu yang lewat. Saat bertemu dengan seorang kawan baru di sebuah pulau kecil nan indah di daerah Laut India sana.

***
Sabtu, 12 Desember 2016

Dan kesempatan untuk mengunjungi pulau dan negara ini adalah sebuah keajaiban. Dengan tiupan angin lautnya yang dermawan menggoyang-goyangkan barisan kelapa pinggir pantai yang tumbuh tinggi julang-menjulang, serta langit biru dan mataharinya yang terik dan beranjak meninggi perlahan bersama kerang-kerang yang terbawa ombak ke bibir pantai, atau tentang denting piring beradu sendok dan garpu dari ruang makan di sebelah lobby hotel. Di pagi menjelang siang ini, kami –saya dan istri, akan meninggalkan pulau indah bernama Maafusi ini setelah empat hari yang luar biasa. Sambil menunggu waktu keberangkatan yang tinggal hitungan menit, saya duduk sendiri berkontemplasi memandang laut dan segerombolan kawanan burung gagak dari atas kursi plastik di halaman hotelnya yang teduh berpasir. Hingga akhirnya seorang kawan, salah satu pegawai hotel yang baru saja saya kenal di beberapa hari belakangan, datang mendekati dan mengajak saya bersalaman, dengan ekspresi wajah yang terlihat kurang ceria. “Hei, don’t you ever forget about me and our walk in the beach last night”, ujarnya singkat dengan bahasa yang tercampur-campur. Saya tersenyum.

Namanya Rafik, sosok menyenangkan asal Bangladesh, yang sudah beberapa tahun ini mengadu nasib di hotel tempat kami menginap. Beberapa hari ini, saya dan istri memang biasa mengobrol dengannya di sela-sela waktu liburan kami yang singkat. Dan saya akan selalu bisa katakan: bertukar cerita dengan Rafik adalah salah satu hal yang paling menyenangkan dari pulau ini. :) Dua malam sebelumnya, Rafik sudah menawarkan diri untuk menemani saya dan istri berjalan-jalan menyusuri pantai di sisi lain pulau ini selepas waktu isya untuk melihat ikan pari dan bayi hiu di pinggir perairan pantai yang dangkal. Dan malam itu, sesuai janjinya, Rafik menjemput saya dan istri di lobby hotel sambil memegang sebuah senter kecil di genggaman tangan kanannya. Bertiga, kami membelah jalanan pasir Pulau Maafushi menuju pantai di sisi lain pulau yang sedari kemarin dia ceritakan.

Dan setibanya di tempat tujuan, dengan semangat Rafik menunjuk setiap hewan laut yang ada di pantai jernih, “Look, that’s a manta!”, atau “that’s a baby shark, hush you two, be quiet!”, dengan saya dan istri yang berteriak kegirangan penuh antusias melihat sinar senter yang bergerak cepat di permukaan air dangkal. Hingga saat kami merasa sedikit lelah, dan memutuskan untuk duduk sejenak di dermaga kecil yang menjorok ke arah laut. Mulai saling bertukar cerita tentang apapun yang saat itu tengah terpikir, kami niagakan malamnya dengan gembira. Tentang apa saja, diiring tiupan angin lautnya yang kuat, sinar bulan dan bintang kejora di jauh sana, atau di antara terang lampu para penyelam malam yang baru pulang.

Angin malam dan seorang kawan memang selalu mengajarkan banyak hal. Dan di sinilah saya duduk saat ini, di antara lambaian nyiur kelapa di atas sana dan pasir putih mengkilap di bawahnya, menjelang pulang. Untuk mencoba mengingat lagi semua kejadian yang terjadi di rentang waktu yang tak panjang. Beberapa saat saya terdiam memandang matanya sedalam-dalam sembari mencerna kembali kalimat yang diucapkannya di awal tadi. Kilasan semua obrolan kami di empat hari terakhir ini seperti terbuka ulang dengan kecepatan tinggi. Saya pikir kami sudah berkawan dengan sederhana. Dan itu hal yang baik. Sebaik saat saya coba menjawab “I am kind of person who never forget every friend I met in my life. Maybe it’s a bit too hard to believe, but you can give me a chance to prove it, and I’ll prove it to you”. Rafik tertawa. Dan saya pikir itu cukup. :) Seperti juga sesaat sebelum kami bersalaman untuk berpisah, dan Rafik mengucapkan satu kata dari bahasa Maldive (yang sayangnya saya lupa kata tersebut apa). Saat saya kebingungan dan bertanya artinya apa, dia menjawab: “it’s a Maldivian word that means ‘friend’”. Sekarang ganti saya yang tertawa lepas dan mengucap terima kasih yang banyak.

Para awak kapal cepat yang akan membawa kami pergi dari pulau ini pun sudah memanggil. Beberapa kawan pegawai hotel yang lain berjalan mengantarkan kami menuju dermaga untuk berangkat. Rafik tak ikut mengantar, tapi untuk saya itu sama sekali bukan masalah. Dan satu hal yang tak perlu dipertanyakan lagi adalah: kami sedang berkawan dengan sederhana.

Farewell, friend. Till we meet again somewhere. ;)
Jakarta, 26 Desember 2016