Minggu, 14 Januari 2018

Langit Jingga - Sebuah Perkenalan


Dan ini adalah hujan pertama di beberapa minggu belakangan, Nak. Hampir sepanjang sore, meski tak sekaligus airnya tumpah, dan udara di sekitar rumah kita menjadi lebih basah dari biasanya. Mungkin kau bertanya: "bagaimana bisa, Ayah?"

Segelas penuh susu yang sudah disiapkan ibumu tadi sudah tandas, tenggelam dalam reguk panjang dan tatap matamu menghajar langit-langit kamar kita yang tenang. Sambil gumamkan dua lolongan panjang yang belum kupahami artinya, kau tetap saja bersemangat di sela gelak tawa yang singkat-singkat. Kiranya kini kau tengah belajar tertawa, Nak? Ah, bagus sekali. Yang disambutlah tawamu itu dalam peluk erat aku dan ibumu yang ikut tertawa. Kiranya kau tahu, Nak, aku bahagia sekali saat ini.

Dan hujan-hujan yang turun di halaman rumah kita di luar sana akhirnya datang menyapa. Bahwa baik sekali, jika seandainya berdua kita bisa membalas sapaannya dalam dendangan yang kuserukan pelan di telingamu. “Itu hujan, Nak. Air dari langit. Seperti namamu juga. Darinya datang dan kembali jutaan berkah dari Tuhan yang Maha Agung. Hingga nanti akhirnya kau sadari, bahwa kita berdua sebenarnya dipertemukan olehnya. Nah sekarang, kau kuperkenalkan dulu padanya, jangan takut.” Dan benar saja. Tepat setelah derai tumpahannya dari genting itu menyentuh jemarimu dengan deras, matamu mengerjap cepat. Kurasa sensasi yang kau rasakan tadi adalah takut, Nak, mungkin. Tapi tak apa, ada aku di sini, dan kau sama sekali tak perlu merasa takut.

Nah setelah ini, kau akan mengenalnya sendiri lebih mendalam, Nak. Untuk mengetahui bahwa rasa takut itu bermula dari ketidak-tahuan. Atau bahkan, kau akan mengenalnya lebih baik dariku. Kudoakan saja semoga benar seperti itu. Yang selama kau mengenali apa atau siapa dia, dan kau akan menjelma jadi seorang yang lebih besar dariku, lebih besar dari siapapun. Serupa tatapanmu yang kini menembus cahaya putih suram di mega-mega menjelang malam yang akhirnya datang, dan suara penyeru Tuhanmu yang menggema di sudut langit. Sang Barat sudah datang.

Jakarta, Januari 2018

Kamis, 04 Januari 2018

Gurindam Dua Belas, Pasal Keempat


Kau sudah tiga bulan sekarang, Nak. Sedang pikiranku sudah melayang terlampau jauh. Tentang apakah nanti aku kan punya waktu untuk mengajarimu membaca Kitab Suci dan mencoba memaknainya, atau bertukar pikiran sejenak tentang bijaksananya Gurindam Dua Belas dari tanah leluhur kita di ujung sana. Ah.

***

Bismillahirrahmanirrahim,

(Pasal Keempat)

Hati itu kerajaan di dalam tubuh
Jikalau zalim segala anggotapun rubuh
Apabila dengki sudah bertanah
Datanglah dari padanya beberapa anak panah

Mengumpat dan memuji hendaklah pikir
Di situlah banyak orang yang tergelincir
Pekerjaan marah jangan dibela
Nanti hilang akal di kepala

Jika sedikitpun berbuat bohong
Boleh diumpamakan mulutnya itu pekung
Tanda orang yang amat celaka
Aib dirinya tiada ia sangka

Bakhil jangan diberi singgah
Itulah perampok yang amat gagah
Barang siapa yang sudah besar
Janganlah kelakuannya berbuat kasar

Barang siapa perkataan kotor
Mulutnya itu umpama ketor
Dimana tahu salah diri
Jika tidak orang lain berperi
Jakarta, Januari 2018