Rabu, 09 Desember 2015

Sepeda, Berkawan dan Silaturahmi

Simprug Garden, Jababeka 2, Cikarang
Terbangun di sebuah sore di hari libur pemilihan kepala daerah yang saya sendiri tak ikut berpartisipasi di dalamnya. Bukan apa-apa, saya cuma sedang malas saja datang ke bilik suara. Dan siapapun yang terpilih nanti, saya percaya dia adalah yang terbaik di antara semua kontestan lainnya. Dan kalaupun ternyata salah, juga tidak masalah. Biar saja. Tentunya para calon kepala daerah itu sudah tahu pasti apa yang menjadi konsekuensi dari pencalonan mereka. Ah, tapi saya tak akan banyak membahas tentang hal itu sekarang. Saya sedang ingin bercerita tentang kegiatan saya sebangun dari tidur siang tadi. Melihat jam di dinding tengah berputar pelan di antara pukul 4 sore, dan sebatang tembakau yang baru habis setengahnya, saya pikir mungkin baiknya sore ini saya mengunjungi rumah dua orang kawan baik di arah barat sana. Mungkin nantinya mereka sedang tak ada di rumah, tapi saya pikir biar saja. Syukur bila bertemu, syukur juga kalo ternyata tidak. :p

Oia mungkin saya belum cerita, sudah seminggu terakhir ini saya pulang-pergi kantor naik sepeda. Sebuah sepeda fixed-gear milik si cantik dari Pasar Minggu itu. Dan dengan beberapa modifikasi dan tambahan aksesoris minor, juga beberapa peralatan bersepeda yang membuat saya terlihat seperti pesepeda profesional, sepeda yang diberi nama Hippy ini terlihat eye-catchy di jalanan. Saya suka sekali sepeda ini, dia terlihat eksentrik di tengah seliweran mobil dan motor yang bergerak seperti robot di jalanan Cikarang. Dan perjalanan saya sore ini pun tentu saja saya lakukan bersama si Hippy yang baru saja mandi dan diberi pelumas tadi pagi. Sepertinya Hippy memang sudah punya firasat bahwa sore ini performanya akan diuji.

Ditemani irama The Black Keys, Hardwell, dan Jamie Cullum dari balik buff bermotif bendera Inggris dan earphone coklat, Hippy meluncur di jalanan besar Niaga raya. Memulai perjalanannya menuju Kawasan Industri Jababeka 1 di barat daya sana, dengan kecepatan yang hanya 20 km/jam saja, saya melihat apapun kegiatan sivitas Kota Buruh ini di hari libur. Ya, saya memang tak akan langsung menuju rumah kawan-kawan tersebut, saya ingin berkeliling-keliling dulu sambil melepaskan pikiran. Atau melewati komplek kantor dan warung di pojokan itu saat tiba putaran roda Hippy sudah kembali ke kawasan Jababeka 2. Tak ada kenalan yang tengah duduk-duduk di tempat itu, mungkin karena ini adalah hari libur, dan mereka mungkin sedang menghabiskan waktu di tempat-tempat yang lain. Dan itu bagus untuk mereka. Sedang untuk saya? Saya selalu merasa bagus dimanapun saya berada. :D

Tak terasa sudah mendekati satu jam saya berkendara di atas sepeda yang bannya berwarna-warni ini. Saya mutuskan mulai menuju komplek perumahan (yang menurut saya) mewah itu, untuk mengunjungi dua kawan baik yang sudah saya rencanakan sedari awal tadi. Setibanya, ternyata mereka berdua sedang ada di rumahnya masing-masing. Saya senang-senang saja. Atau berpura-berpura mengatakan pada mereka bahwa saya kebetulan saja lewat di dekat sini dan akhirnya memutuskan mampir dulu ke rumah mereka untuk sekedar meminta segelas air minum. Tapi rasanya mereka juga sudah tahu bahwa saya memang sengaja datang ke rumah mereka, untuk sekedar bersilaturahmi mengunjungi mereka dan keluarganya di satu tempat yang mereka sebut rumah. :)

***
Di waktu senggang, saya sering bercerita pada semua kawan yang saya jumpai, agar nanti kami bisa selalu saling mengunjungi. Entah itu saat kami masih sering bertemu, entah itu saat kami sudah berpisah jauh. Hanya agar tali silaturahmi itu tetap tersambung. Tapi bukan pula berarti saya mengecilkan arti bersilaturahmi lewat media maya, karena saya pikir, bertemu langsung, terutama di rumah, memiliki aura dan rasa yang berbeda. Meski memang, hal itu membutuhkan lebih banyak usaha dan waktu (konon, alasan waktu ini adalah yang terberat), saya selalu mengatakan: “sesempatnya aja, di saat kamu sedang sempat, ada waktu, dan sedang ingin”. Dan bila ternyata memang tak ada, juga tak masalah. Karena berkawan bukanlah semata tentang pertemuan fisik dan kata-kata, tapi tentang perasaan. :)

Cikarang, 9 Desember 2015
*Foto oleh Frans Kurnia

Senin, 16 November 2015

Hujan, hujan

Musim hujan tiba, dan sore-sore cerah itu baru akan datang untuk waktu yang lebih lama. Dan lewat jendela besar ini lagi, saya berdiri menatap gumpalan awan gelap menggantung di atas lampu-lampu pembatas jalan yang diam. Atau seperti riuhnya jatuhan buah kersen di depan sebuah warung yang biasa kami gunakan untuk berteduh di pojokan situ, atau ikan-ikan Gambusia affinis yang mulai ramai di sela-sela selokan besar dan memakan habis jentik-jentik nyamuk. Angin-angin mulai lebih garang, meniup dahan mahoni hingga melengkung jauh serupa busur panah yang siap ditembakkan. Juga ingatan tentang kawan-kawan masa kecil dulu yang selalu saja identik dengan tarian hujan dan pekiknya yang membahana. 

Saya ingat. Dulu, saat musim hujan datang, dan saya akan lebih banyak duduk di balik jendela merah dengan kacanya yang kusam. Dan dari dalam rumah itu, semua kehangatan berasal. Dari aroma pindang ikan yang hangat dan menyeruak pekat dari dapur dan ibu di dalamnya, atau dari alunan Quran dari kakak perempuan yang tengah diajarkan mengaji oleh ayah, atau dari dengkur kakak sepupu laki-laki yang sedang tak ingin bermain hujan. Di balik kaca itu, di balik gulungan selimut di sekitar kepala dan dada, saya melihat aliran hujan yang mengalir dari lengkungan seng yang berubah coklat oleh karat, dan jatuh di bawah tampungan ember bekas cat yang selalu saja akan dipakai untuk menyirami bunga-bunga milik kami di depan rumah. Dan saat ember itu tak kuat lagi menampungnya, maka mengalirlah airnya menuju selokan kecil di depan sana, selokan dengan airnya yang bahkan lebih jernih dari air minum orang kota.

Sebagai anak kampung, saat itu saya tak terlalu punya banyak hayalan tentang tempat-tempat. Saya tak banyak berpikir tentang salju di Jepang, atau susahnya air di Afrika sana, karena saya tak banyak tahu tentang Jepang dan Afrika. Yang saya tahu, tumpahan hujan sore ini akan mengantarkan airnya ke hamparan sawah-sawah di belakang rumah. Darinya kemudian penduduk di kota kami makan, lalu mengucap syukur bersama-sama saat panen raya tiba. Dan anak-anak yang berlarian di sepanjang pematang, jatuh terjerembab, pulang dan menangis di pelukan ibunya, lalu menyeraplah lagi menuju sumur-sumur rumah. Dan begitulah putaran air di kampung saya dulu. Tak terlalu bingung dengan pemberitaan di tivi-tivi, tentang kota-kota yang banjir sekali-kali.

Kadang saya terbayang, tentang seorang walikota yang baik dan jenaka di Kota Kembang sana. Tentang dia yang bercerita akan kekhawatirannya di setiap kali hujan raya melintasi kota, apakah sistem pengairan milik mereka akan cukup perkasa menahan debit air yang besar di hari itu. Atau tentang hujan yang sore ini gugup basahi sisi luar jendela besar, dan batalkan lewatnya rombongan buruh yang rencananya akan berpawai berkeliling menuntut perbaikan. Dan saya tahu, hujan di sini ternyata jauh lebih rumit dari di kampung kami. Hujan di sini tak melulu berarti waktumu bersama keluarga menjadi lebih lama. Atau malah, herannya, terkadang bisa sebaliknya.

Di balik jendela merah itu dulu saya berpikir, bahwa kota adalah sebuah negri impian, dimana di dalamnya dipenuhi dengan semua kemudahan dan kejayaan yang serba nyaman. Dan di balik jendela besar ini kini saya berpikir,tentang perbedaan hidup di kampung dan di kota ternyata tak benar ada. Pada akhirnya semuanya adalah sama, atau setidaknya, tak se-berbeda itu juga. :)

Cikarang, 16 November 2015

Jumat, 30 Oktober 2015

Menuju Wawancara

Tepat setelah makan siang. Saya berjalan menuju lobi kantor, untuk selanjutnya menunggu kawan-kawan yang lain dan rencana menunaikan ibadah Salat Jumat bersama di masjid pinggir jalan besar di timur sana. Dan selang semenit kemudian, di pojok ruang yang didominasi warna putih-biru dan tak terlalu lebar itu, saya duduk di atas sofa biru, sekedar melihat-lihat. Lobinya sepi, hanya ada seorang resepsionis kantor yang tengah sibuk dengan telponnya, serta sebuah wajah asing yang saat ini sedang duduk dalam gelisah. Diam-diam saya memperhatikan. Percaya saja, entah bagaimana saya bisa merasakan kegelisahannya di udara –atau mungkin sebenarnya lewat ekspresi wajahnya. Duduk barang beberapa menit, ternyata dia sedang menunggu giliran wawancara dengan calon atasannya di ruangan tepat di seberang kami duduk sekarang. Satu kandidat yang lain, yang ternyata juga adalah kenalannya, sedang diwawancara di dalam sana. Saya tanyakan beberapa hal padanya, dijawabnya bahwa dia melamar ke kantor ini untuk posisi X, sebuah posisi yang dulunya diisi oleh kawan yang saat ini sudah berpindah tempat kerja ke Jakarta sana. Tak lupa, saya sampaikan agar dia tenang-tenang saja nanti di dalam sana, dan jangan lupa agar tetap tersenyum. Heheu.

Kandidat yang lain tadi keluar dari ruang wawancara bersama calon atasan sekaligus pewawancaranya. Dan ternyata, mereka berdua diminta untuk nanti datang lagi setelah Salat Jumat. Mereka iyakan. Saya berpura-pura pergi menjauh, tapi sebenarnya tetap mencoba mendengarkan. Saya dengarkan rencana mereka untuk keluar dan mencari tempat salat Jumat dulu. Dan mereka berjalan ke luar ke arah parkiran kantor kami yang agak jauh di belakang sana. Saya ikuti mereka dari belakang, dari jarak yang tak begitu jauh. Bukan apa-apa, saya suka mengamati mereka. Dan memandang mereka yang berjalan beriringan dengan seragam hitam-putih serta ransel besar yang masing-masing mereka kenakan. Saya jadi mengerti mengapa sedari tadi saya tertarik menyimaki apapun yang mereka lakukan. Kamu tahu, dia dan temannya itu, mengingatkan saya pada saat dimana saya pertama kali menginjakkan kaki di kantor ini. :)

Tentu saja, di tulisan kali ini saya tak akan bercerita lagi tentang apa yang terjadi di hari pertama saya datang ke sini, karena sudah saya ceritakan sebelumnya di tulisan berjudul: “Dua kilometer”, di Januari yang lalu. Saat ini, saya hanya ingin mengingat ulang hari itu berikut detail yang terjadi. Ah, bukan buat apa-apa, hanya agar saya tak lupa. Suatu hal yang seringkali saya lakukan hanya untuk membuat saya tetap mengenali siapa saya. Hah, mungkin kamu tak mengerti tentang apa yang saya bicarakan, tapi biar saja, kita tak harus melulu saling mengerti. Gitu kan ya? :D

***
13.04. Saya kembali ke lobi ini lagi. Melirik sekilas, dan mereka berdua yang sedang berusaha duduk semanis mungkin di sofa itu. Memang tak berniat untuk menghampiri mereka lagi, saya langsung masuk ke dalam, lalu duduk di sini. Meski mungkin mereka tak akan pernah menyadari, bahwa sampai detik inipun, saya masih berpikir tentang mereka. Dan berharap semoga mereka berdua diberikan rasa bahagia dan keluasan rezeki oleh Tuhan, entah itu di kantor ini, entah itu di jalan yang lain.

Selamat Jumat Siang, Kota Buruh. Salam-salam.
Cikarang, 30 Oktober 2015

Minggu, 11 Oktober 2015

ORIKULA BIOLOGINENSIS

Bumi Perkemahan Gambung, 10 Oktober 2011. Camp Biocita dan Alumni HMBF FPMIPA UPI
Selalu menyenangkan bisa berkenalan dengan kawan-kawan baru, melihat wajah-wajah baru. Dan di sinilah kami dua hari terakhir ini: di sebuah acara orientasi mahasiswa baru jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA UPI 2015. Kalau tak salah jumlah pesertanya 200-an orang. Termasuk mahasiswa baru, panitia, senior, alumni dan para dosen. Ah, menyenangkan sekali. Bukan saja untuk melihat dan mengenal para mahasiswa baru, tapi juga adik-adik kelas saya dulu. Terutama mereka yang baru masuk kampus setelah angkatan 2007. Banyak sekali wajah-wajah baru di situ.

Saya ajukan jabat tangan ke sebanyak mungkin orang yang saya temui. Mencoba mengenal mereka satu-per-satu lebih jauh lewat cerita dan interaksi sederhana. Kami bernyanyi bergantian, berkisah tentang apapun lalu tertawa, atau berdiam juga bersama. Beberapa masih terlihat malu-malu, beberapa terlihat sangat lincah, beberapa berusaha se-biasa saja. Saya ikuti saja. Toh, perkawanan umumnya memang memerlukan waktu kan ya, heheu.

Saat sempat, saya mencoba menularkan sebuah konsep kepada para panitia, senior dan alumni yang lain agar mahasiswa baru di acara ini jangan menjadi pihak yang tertekan terus-terusan. Di beberapa kesempatan, saya ceritakan bahwa saat berinteraksi singkat dengan para mahasiswa baru, saya merasa mereka bahkan tak terlalu “berani” melihat saya. Mereka hanya akan menjawab pertanyaan saya seperlunya sambil tersenyum yang agak dipaksakan, lalu berusaha secepat mungkin untuk pergi. Saya rasa, mereka tak merasa nyaman. Dan tentu, saya bisa memaklumi itu. Saya pikir, bila mahasiswa baru ini lebih dibiarkan sedikit menjadi diri mereka sendiri, maka acara ini akan jauh lebih menyenangkan. Akan lebih banyak tawa dan kebahagiaan yang dilahirkan. Saya yakin sekali.

Dan bukan pula berarti saya menginginkan kata “senioritas-junioritas” dihilangkan. Dan bukan pula saya menginginkan agar acara-acara seperti ini bebas dari kata-kata bentakan dari para senior. Rasanya kamu pasti tahu, bahwa saya menyukai ide pembagian senior-junior. Dan bentakan-bentakan senior, saya nilai, adalah sebuah bumbu yang krusial di acara seperti ini. Dan saya setuju itu, saya pikir itu menyenangkan baik dari sisi senior maupun junior. Meski banyak sekali kawan-kawan di luar sana yang tidak menyukai konsep junior-senior dan bentakan di masa orientasi, tapi saya pikir di sini saya sedikit berseberangan dengan mereka, heheu. Sedangkan ide yang saya maksudkan tadi adalah: masalah porsi. Porsi dimana senior tak melulu bertindak seperti bos, dan junior tak melulu merasa tertekan. Itu saja. Dan membentak, saya pikir bukan masalah. Kebanyakan orang terlalu asik melihat “bentakan” dari sisi negatifnya saja, dan saya pikir mereka berpikir terlalu partial. Ah, biar saja, toh berkawan bukan berarti harus melulu saling setuju kan ya? :p

Saya juga pernah menjadi junior seperti para mahasiswa baru yang saya lihat di tempat ini. Dibentak sana-sini oleh senior, disalahkan ini dan itu. Kesalahan saya dicari-cari lalu dieksploitasi, dan lain-lain. Saya masih mengingat hampir semua bagian dari masa-masa itu. Dan saya pikir masa-masa itu adalah salah satu moment terbaik saya berinteraksi dengan para senior. Jujur, bila memungkinkan, saya malah ingin mengulangi lagi moment itu. Heheu.

Dan di bawah bayang api unggun yang menyala perlahan, lamunan ini saya lepaskan. Menatap gelap di perbukitan sekeliling Bumi Perkemahan Gambung dan ribuan bintang yang berkedip-kedip di antara seduhan kopi hangat dalam gelas plastik. Atau mendengar nyanyian riang dari para panitia beserta kawan-kawannya di sebelah sana. Juga gemerincik aliran sungai beradu bebatuan sungai di bawah situ, beserta barisan tenda-tenda kecil yang sudah terlihat gelap, saya layangkan harap. Agar berbahagialah mereka menikmati hari-hari ini. Agar bergembiralah mereka menyambut memori orientasi perkuliahan yang akan segera melekat di ingatan mereka sampai jauh hari nanti.

Gambung, Ciwidey, 9-11 Oktober 2015

Minggu, 20 September 2015

Juju : Warung Peneduh

Warung yang sudah rata. Teh Rini layani pembeli, Mang Ojan memilah kayu.
Saya tidak tahu siapa nama aslinya, tapi saya biasa memanggilnya dengan sebutan Mang Ojan. Seorang pedagang makanan semacam warteg sederhana di terusan Jalan Industri Selatan 5. Sehari-hari, dia dan istrinya, Teh Rini, berjualan di bangunan warung semi-permanen itu menjajakan makanan-minuman murah terbaik, ditambah guyonan khasnya yang selalu berhasil membuat saya dan pengunjung yang lain tertawa lepas atau termenung di pagi-paginya yang biasa. Dan Mang Ojan sangat menyukai obrolan politik, sedang saya tidak. Jadi kami akan bergantian saja: kadang dia bercerita dan saya mendengarkan, atau sebaliknya. Hingga nantinya matahari akan beranjak lebih tinggi, dan kami berpisah untuk bertemu lagi di keesokan hari.

Pria sederhana ini memiliki dua orang anak: Ayu, putri pertamanya yang saat ini duduk di bangku SMA kelas 2, dan Dimas, putra kebanggaan mereka yang 13 Desember ini akan genap berusia 2 tahun. Saya sangat menyukai si Dimas ini, pria kecil bermuka bulat dan kulit kuning langsat. Hobinya adalah mandi di jam 8 kurang 15 menit di tengah warung dalam bak plastik bayi warna hijau pudar. Selepas mandi, dia akan didandani setampan mungkin oleh ibunya, lalu meminta ayahnya untuk menuntun-temaninya berjalan kaki di aspal depan warung. Gembira sekali mereka di pagi-pagi itu. Dan saya bisa memandangi pemandangan itu hingga waktu yang lama, hanya mencoba merasakan apa yang mereka rasakan.

Dan saya jadi teringat salah satu babak cerita kami di setahun yang lewat. Saat itu Dimas baru berusia 1-2 bulan. Karena keterbatasan yang mereka miliki, Dimas jadi harus selalu dibawa ikut ke warung, karena tak ada yang bisa menjaganya lagi di rumah. Saya protes ke Mang Ojan, karena itu artinya Dimas akan banyak terpapar asap rokok dari para pengunjung warung. Mang Ojan bersama istrinya mencoba menjelaskan singkat, tapi saya tetap tak bisa terima. Saya kesal sekali. Saya sempat berhenti ke warung Mang Ojang selama beberapa bulan sebagai bentuk protes. Hingga akhirnya saya datang kembali dengan pikiran yang sedikit lebih terbuka, dan keadaan menjadi biasa, kami tertawa lagi. :)

Saya mengenal warung berikut para penggiatnya ini semenjak 2011, saat saya pertama tiba bekerja di kantor biru di persimpangan itu. Dulu saya mengenal warung ini dengan sebutan Warung Juju. Meskipun ternyata sang pemilik warung sendiri tidak tahu mengapa mereka disebut Warung Juju. Saya cuma tertawa saja mendengar Mang Ojan mengisahkan kebingungannya. Sebuah cerita yang menghangatkan pagi kami kala itu. Hingga selang beberapa menit kemudian, kami sudah beralih ke topik pembicaraan yang lain. Seperti itu saja kami di hampir setiap pagi yang ada dan datang silih berganti.

***
21 September 2015. Hari sudah menuju musim hujan yang sepertinya tak akan lama lagi. Dan berita yang kurang menggembirakan ini datang menghampiri. Warung berukuran 3x6 meter ini kini sudah rata dengan tanah. Sedari awal Mang Ojan dan keluarga memang sepenuhnya sadar, bahwa warung ini adalah sebuah bangunan liar. Akan tiba waktunya, warung peneduh ini akan dibongkar oleh pengelola Jababeka. Tapi saya sendiri tak menyangka akan secepat ini. Saya terkaget karena kenyataannya, terhitung mulai pagi ini, saya tak akan pernah melihat warung itu lagi. Dan saat ini, melihat Teh Rini tengah melayani pelanggannya di atas sebuah meja panjang bobrok yang diletakkan di atas pembatas jalan, dan Mang Ojan yang tengah merapi-rapikan reruntuhan warung, mengumpulkan apa saja yang kira-kira masih bisa terpakai, saya merasa sepi.

Saya pesankan segelas kopi panas, duduk di atas papan panjang yang melintang bawah mahoni dan terik mentari pagi. Tak langsung bertanya pada mereka, saya diam saja dulu melihat sekitar. Hingga setengah jam berselang, saya bertanya singkat satu-satu tentang penertiban kawasan ini. Saya mendengarkan. Tentang bangunan yang dibongkar hari Sabtu kemarin, tentang kayu bekas berjumlah satu truk lebih, tentang Dimas yang menghabiskan susu satu kaleng dalam 4 hari, tentang Ayu yang dua tahun lagi akan kuliah, tentang tim security kawasan yang gemar mengancam dan sesekali memeras, tentang masakan yang tak habis, tentang rencana berjualan di gerobak dan tenda sederhana yang sedang dibuat oleh Mang Ojan di rumahnya di Poncol sana, atau yang lain. Saya tak berani berkomentar banyak, saya hanya sesekali iyakan pelan. Meski satu hal yang membuat saya merasa sedikit lega: Mang Ojan tetap penuh guyonan, Teh Rini tetap senang bercerita dan berharap, Ayu tetap akan masuk sekolah jam 9 ini, Dimas tengah santai-santai di rumah bersama neneknya. Saya pikir mereka akan bertahan di tengah situasi yang akan sedikit lebih berat dari sebelumnya. :)

Cikarang, 21 September 2015

Jumat, 28 Agustus 2015

Kontemplasi

Sore yang menyenangkan. Saat diskusi soft skills yang kami lakukan bersama-sama kawan-kawan kantor tadi sempat singgah sebentar di satu bagian yang tak terencanakan, yaitu saat si presenter bertanya tentang satu kata yang saya tuliskan di lembar isian yang dia sediakan: kontemplasi. Sepertinya hampir semua peserta diskusi yang terdiri dari 20 peserta itu tak ada yang tahu arti dari kata kontemplasi. Saya jawab singkat: “semacam merenung”. Dan beberapa jam kemudian, tiba-tiba saya terpikir untuk menuliskan sedikit penjabarannya di blog yang sudah hampir satu bulan terakhir ini tak pernah saya perbarui. :)

***
Oxford Dictionary menuliskan contemplation sebagai: religius meditation, a form in which a person seeks a direct experience of the divine. Asal katanya adalah contemplate, yang bermakna: look at thoughtfully. Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kontemplasi sebagai: renungan dengan kebulatan pikiran atau perhatian penuh.

Hmm, sepertinya saya belum bisa menjelaskannya dengan gamblang. Tapi mungkin beberapa contoh berikut bisa membantu:

Apa yang kamu pikirkan saat duduk seorang diri di tepi sebuah pantai menghadap lautan lepas? Duduklah kamu lebih lama, kemudian rentetan pertanyaan akan muncul di benakmu sendiri, semisal: “mengapa laut sebegitu diam dari kejauhan?”, “Siapakah orang bodoh yang mulai mempertanyakan laut sebegitu diam pada dirinya sendiri?”, “Mengapa si bodoh itu mulai menghubungkan laut dan perasaannya yang kini tengah campur-aduk?”, “Mengapa si bodoh itu mulai melihat dirinya sendiri di kejauhan?”. Atau sebuah jawaban untuk seseorang yang bertanya “mengapa kamu suka naik gunung?”, lalu dijawabnya: “mungkin agar bisa melihat sesuatu dengan lebih luas”.

Dan mungkin aplikasi termudah dari kata ini adalah saat orang menunjuk karya-karya Bob Dylan dan Alexi Murdoch sebagai contoh terbaik untuk disebut sebagai lagu-lagu kontemplatif (contemplative songs). Atau saat Ebiet G. Ade menulis:

Aku menunggu hujan turunlah, aku mengharap badai datanglah, gemuruhnya akan melumatkan semua, kupu-kupu kertas!” – Kupu-kupu Kertas, Ebiet G Ade (1995).

Cikarang, 28 Agustus 2015

Selasa, 04 Agustus 2015

Malam di Jababeka (3) : Cukur Rambut

Perjalanan pulang di atas motor matic biru bersama seorang kawan sepermainan ini adalah sebuah cerita yang lain. Sedari pagi, saya sudah berniat untuk mencukur rambut sebelum nantinya pulang lagi menuju kos-kosan putih di dekat sungai besar yang kini tak pernah lagi meluap ke jalan kampung di ujung situ. Dan saya selalu menyukai kegiatan ini: mencukur rambut. Saya menyukai dialog pendek-pendek yang selalu saja terjadi di antara kegiatannya itu. Sedangkan lokasi cukur rambutnya bisa dimana saja, selama harganya murah. Sekedar informasi tak penting, seumur hidup saya belum pernah mau membayar biaya lebih dari 20 ribu untuk bercukur, hahaa. Dan bila memungkinkan, saya lebih memilih untuk mengunjungi tempat  bercukur yang  belum pernah saya datangi sebelumnya. :p

Dan tibalah saya di tempat ini. Sebuah ruko kecil di depan komplek bangunan pasar tradisional yang tergusur. Di sana, satu orang pengantri lain yang tersisa sudah cukup untuk saya agar rela menunggu. Di saat-saat seperti ini, mungkin kebanyakan orang akan lebih banyak berpikir tentang bagaimana model rambut yang ingin mereka sampaikan ke tukang cukurnya nanti. Sedang saya sepertinya jarang seperti itu. Saya lebih suka duduk-duduk saja mengingat lagi semua hal yang saya kerjakan hari itu. Entah bagaimana, saya pikir melepaskan lamunan di tempat cukur rambut memiliki sensasi sendiri: mendengar desing gunting beradu rambut yang gemerincing. Haa, saya suka suara itu. Menenangkan.

Kini si pencukur rambut sudah mempersilahkan saya naik ke kursi yang menjadi lahannya mencari nafkah itu. Sigap, saya naik pelan-pelan. Dikalungkannya selembar kain berwarna merah muda melingkari sekeliling bahu, tentunya agar baju yang saya kenakan saat ini terlindung dari potongan-potongan rambut. Dan bagian berikutnya adalah dimana dialog kami ini akan dimulai dengan pertanyaan yang selalu saja sama: “mau digimanain rambutnya?”. Saya akan selalu tersenyum mesem-mesem mendengar pertanyaan itu, karena saya jarang sekali meminta model rambut tertentu. Saya lebih suka agar si pencukur rambut berekspresi saja sesukanya. Karena saya tak pernah terlalu ambil pusing tentang gaya rambut. Bagi saya sama saja, saya tak akan berubah. :D Meski seringnya, pernyataan-pernyataan saya itu malah membuat si pencukur rambut menjadi bingung sendiri. Dan ini adalah bagian yang paling saya sukai.

Dia: “Mau dibuat model apa rambutnya mas?
Saya: “Terserah Mas aja. Yang penting menurut si Mas nya bagus dan cocok, cukup.
Dia: “Loh, terus gimana?
Saya: “Tinggal dipotong aja. Pokoknya saya bisa jadi lebih ganteng dari sekarang.
Dia: “Hmmm.." (sambil melihat-lihat ke arah rambut saya dengan lebih teliti)
Saya: “Oke, tolong bikin rambut saya jadi lebih pendek, tapi jangan terlalu pendek, dan bos saya di kantor ga akan berpikir model rambut saya terlihat ga pantas banget untuk pekerja kantoran. Itu aja.
Dia: “Siap!

Bagian yang lebih asik adalah bila saya bertemu dengan pencukur yang lebih serius. Yaitu saat dia mulai bertanya apakah atasan saya laki-laki atau perempuan, apakah atasan saya seorang yang kaku atau tidak, dan berbagai pertanyaan membayangkan yang lain. Saya senang mendengar seseorang menganalisa sesuatu, dan saya akan mengenalnya lebih baik. Hmm, saya tidak memiliki tujuan tertentu untuk mengenal orang-orang tertentu. Karena saat ini saya bertemu dengannya, maka saya ingin mulai mengenalnya. Begitu saja.

Dan jadilah sekarang model rambut yang saya miliki seperti ini: mohawk pendek dengan sedikit ekor kuda di belakangnya. Dan saat dia bertanya apakah saya menyukai model rambutnya, tentu saja saya akan menjawab: saya suka. Dan saat dia tersenyum girang mendengar jawaban tersebut, saya akan tertawa.

***
Kadang saya berpikir bahwa sesekali menyerahkan beberapa penggal cerita hidup yang saya jalani kepada orang lain atau sekedar mengalirkannya begitu saja adalah selingan yang bermakna fundamental. Terkadang saya setuju oleh alirannya, terkadang juga tidak. Tapi sepertinya itu bukanlah sebuah masalah. Saya tak ingin mengatur semua hal untuk jadi sempurna. ;)

Cikarang, 4 Agustus 2015

Minggu, 28 Juni 2015

Malam di Jababeka (2)

Laju bus Agra Mas jurusan Tangerang-Cikarang ini akhirnya berhenti di sebuah pelataran terminal yang sudah tak lagi ramai. Melirik sebentar, ah, pantas saja, ternyata sekarang sudah jam 11 malam. Turun perlahan meniti tangga bisnya satu-persatu, untuk kemudian teringat untuk mengabari dulu perempuan cantik yang saya kunjungi seharian ini bahwa saya sudah sampai di Cikarang, meskipun saya yakin sekali bahwa saat ini dia sudah jatuh tertidur, :). Mengetik pesannya pelan-pelan di telepon genggam, sambil menyalakan sebatang rokok yang tinggal satu-satunya, tiba-tiba seorang tukang ojeg datang menghampiri menawarkan jasa untuk antarkan kemanapun saya pulang malam ini. Tersenyum sebentar, saya katakan agar dia antarkan saya ke Jalan Kedasih di Pecenongan dengan selembar uang 20 ribu rupiah ini sebagai imbalannya. Dijawabnya singkat tanda setuju.

Saya baru saja duduk, kami masih di pelataran terminal, dan tukang ojeg ini berteriak penuh suka-cita pada kawan-kawannya bahwa akhirnya dia mendapatkan seorang pelanggan. Disambutlah teriakan itu dengan tepuk tangan meriah dan ucapan selamat dari kawan-kawannya di pangkalan ojeg itu. Saya tertawa melihatnya. Hingga tak lama berselang, tukang ojek ini bercerita singkat tentang dia yang belum mendapatkan pelanggan lagi sedari lepas isya tadi. Saya ucapkan selamat padanya sebaik mungkin. Saya bisa rasakan bahwa dia senang atas ucapan selamat itu, heheu. Dan sepertinya saya juga ikut gembira melihatnya.

Ternyata cerita kami berlanjut. Saya tak terlalu tahu ada angin apa kiranya hingga tiba-tiba dia berkata: “zaman semakin canggih, selingkuh juga semakin canggih!”. Bingung harus berkomentar apa, saya sambungkan sedikit: “kenapa bisa kaya gitu, Mang?”. Dan mulailah dia bercerita panjang lebar di atas motor bebek yang dipacu dengan kecepatan sedang. Dia lanjut berkisah bahwa tadi siang dia mengantarkan seorang wanita 40 tahunan yang baru tiba di Cikarang dari Cicalengka Bandung. Dia katakan bahwa wanita tersebut akan mengunjungi seorang kenalannya di daerah Cikarang, kenalan yang baru dikenalnya dari jejaring Facebook. Entah bagaimana si tukang ojek ini merasa yakin sekali bahwa si perempuan tersebut datang untuk mengunjungi selingkuhan barunya. “Sebenarnya gampang A, orang yang terlalu berlebihan ngejaga handphone-nya bahkan dari keluarga terdekatnya tuh patut dicurigai. Apalagi kalau dia punya banyak banget nomer hp. Dia ngebela-belain pulang menempuh waktu 1 jam perjalanan cuma buat ngambil hp-nya yang ketinggalan di rumah. Ah, patut dicurigai”. Saya jadi tertawa panjang gembira di atas motor, sambil katakan: “coba sekarang cari warung kopi yang buka, Mang. Kita ngopi dulu, ngobrol-ngobrol. Bayaran ojeg ini juga ntar saya lebihin”. Dia sepakat.

Dan tibalah kami di sebuah penjaja kopi pinggir jalan di dekat kos-kosan saya. Pesankan 2 gelas kopi hitam, kami lanjutkan pembicaraan tadi. Sembari merekam wajah dan ekspresinya sebisa mungkin, saya mulai bertanya banyak hal. Tentang kampung belakang terminal bernama Kali Jeruk tempat dia lahir, tumbuh, dan beranak pinak hingga hari ini, tentang kisah 22 tahun pengalaman mengojeknya selama ini, tentang Cikarang dan Jababeka dalam kesannya yang pribadi. Saya senang sekali saat dia berkisah tentang dia yang dulu sering mencari kayu tiong –kayu kecil dengan daun berbentuk hati, untuk digunakan sebagai kayu bakar hingga ke daerah Jababeka (lebih tepatnya dia menunjuk daerah depan hotel mewah Grand Zuri Jababeka). Dia sebutkan dulu kayu itu banyak sekali dan tumbuh liar di daerah Jababeka. Hmmm, saya mengira-mengira mungkin yang dimaksudnya itu adalah tumbuhan Bauhinia purpurea. Atau cerita yang lain bahwa sebelum tahun 1992, di Jababeka belum banyak berdiri pabrik-pabrik, dan orang-orang masih buang hajat di empang-empang yang tak mengalir. Atau tentang perumahan Kedasih yang merupakan perumahan pertama yang ada di daerah sini. Dan melihat saya yang menyimak-nyimak saja, di satu titik cerita, dia katakan bahwa dia sedikit ragu tentang apa yang dia katakan sedari tadi, dan dia hanya menyampaikan sebatas pengetahuannya saja. Mendengar pernyataan tersebut, tentu saja saya jadi tertawa. Saya katakan sebaik mungkin padanya: “ah terserah aja mau bener atau ngga, Mang. Walaupun salah juga, ga akan saya laporin ke polisi”. Kami tertawa bersama.

Dan 20 menit adalah waktu yang kami habiskan untuk segelas kopinya. Hingga merasa cukup, saya katakan bahwa sekarang saya harus pulang dulu. Dia sepakat. Menyerahkan beberapa lembar uang sebagai ongkos perjalanan tadi, saya ucapkan semoga rejekinya semakin dimudahkan oleh Tuhan. Dengan senyum lebar mengembang jelas dibawah kumis kasarnya yang pendek dan tubuh gempalnya yang lincah, ditempelkannya uang tadi di keningnya sambil berucap: “Hatur nuhun A”. Kami berpisah.

***
Adalah beberapa sisi yang tak asing dan menyenangkan di balik semua obrolan-obrolan yang mungkin tak bertujuan. Mungkin saja itu mengajakmu untuk lebih tuluslah dalam berlaku, atau mungkin saja itu hanya untuk mengurangi waktu istirahatmu di malam-malam seperti ini, heheu. Ah kawan, mungkin ada baiknya bila kamu tak melulu berhitung tentang laba dan rugi, manfaat dan mudharat, baik dan buruk, di setiap hal yang kau lakukan dalam hidupmu yang singkat ini. :)

Cikarang, dini hari, 29 Juni 2015.

Rabu, 24 Juni 2015

Malam di Jababeka (1)

Beberapa kenalan sekaligus kawan sehari-hari. Mereka bergembira. Saya juga. :D
Sebenarnya malam masih di awal-awal. Rembulan hampir setengah itu juga baru seperempat saja dari kepala. Dan kami berempat memutuskan untuk menyudahi dulu permainan yang kami mainkan sedari lepas magrib tadi. Saat ini kawan-kawan tersebut sudah lanjut memutuskan pulang ke rumahnya masing-masing untuk menemui keluarga dan kerabat lainnya, setelah lelah seharian bekerja di dalam komplek kantor kami yang biasa. Sedang saya tidak. Saya lebih memilih untuk berdiam dulu sedikit lebih lama di tempat ini. Untuk duduk di atas bangku kayu reot yang sudah tak layak lagi untuk diduduki. Dan di sinilah saya saat ini. Menghirup nafas malam yang panjang, sendokan es kelapa muda yang terkemas rapi di dalam gelas plastik yang besar, di antara derai tawa beberapa kenalan lain yang melanjutkan lagi permainan kami tadi. Kamu tahu, ini adalah beberapa alasan sederhana mengapa saya memutuskan untuk tak pulang dulu: untuk menyaksikan mereka yang bermain dalam tawa selepas lelah bekerja seharian di jalanan.

Hampir setiap sore saya bertemu dengan keempat kenalan ini: seorang pedagang siomay keliling, seorang pedagang minuman dengan gerobak teh botol dan payung besar yang sepertinya tahan segala bentuk cuaca, juga dua orang tukang ojeg yang senang tapi tak sering merokok. Lama saya perhatikan mereka dalam derai tawanya yang riang. Dan saya senang sekali untuk bisa tenggelam di suasana ini. Saya pikir suasana ini menenangkan. Untuk meresapi mereka yang tengah jatuh tenggelam dalam gelak tawa kawan-kawan sepermainannya yang menyatu dengan sinar bulan. Serta diiring lantunan lagu Wayang Sunda yang terlantun sember dari sebuah telpon genggam milik si pedagang minuman, berlombalah dengan degup drum yang dipukul riuh-rendah dalam irama dari dalam komplek kantor kami di dalam sana.

Sesekali saya mencoba ikut dalam obrolannya. Menanyakan sekali-kali bagaimana kabar keluarga mereka di rumah, dan sedang apa kiranya mereka di jam-jam ini. Saya katakan bahwa mereka beruntung untuk memiliki apa yang mereka miliki saat ini. Salah satu dari mereka menjawab sambil tertawa: “hidup orang kecil memang kaya gini, Mas Guntur. Hiburan kami juga sederhana”.  Saya tertawa panjang mendengar jawaban itu, lalu katakan: “sebenarnya sama saja, Mang. Kita semua punya pekerjaan yang kita jalani, malam ini kita berjalan di bawah bulan yang sama, selepas ini kita berjalan pulang menuju keluarga yang menunggu. Gitu kan ya?”. Kami hanya tertawa saja setelahnya, tanpa isyarat setuju, tanpa isyarat apapun, beberapa lagi diam. Begitu saja.

***
Kamu tahu, dialog multi dimensi seperti ini adalah sebuah miniatur kehidupan. Di dalamnya terdapat sebuah singgungan garis-garis melengkung yang menciptakan kehidupan itu sendiri dari awalnya. Bukan hanya dari penjelasan para filsuf terkenal dari zaman Adam hingga sekarang. Dan terang bulan hampir separuh dalam sudut itu, lantun lagu-laguan yang tak jernih dan terdengar jauh, serta hempasan kartu domino yang menghantam lipatan kardus air mineral di bawah bayang lindung mahoni adalah sebuah penjelmaan nyata dari gesekan hukum fisik dan mitologi. Jangan mencari terlalu jauh. :)

Cikarang, awal Ramadhan, 24 Juni 2015

Kamis, 04 Juni 2015

Mr. Tambourine Man

Sebenarnya saya sedang tak terlalu enak badan. Kepala saya sedang sedikit berat semenjak pulang selepas magrib tadi. Bersiap tidur selepas mandi malam yang singkat, saya tak kunjung bisa tertidur. Dan entah dari mana, alunan lagu Bob Dylan “Mr Tambourine Man” berputar-putar di dalam kepala yang terasa berat. Ah, saya jadi ingin bernyanyi dulu. Merekam beberapa baitnya singkat di telpon genggam yang entah untuk apa. Mungkin memang bukan untuk apa-apa, heheu. Sebenarnya saya hanya menyukai lagu ini. Saya pikir lagunya bagus. Tentang sebuah renungan panjang di satu malam yang tak gembira. Bagus sekali, Dylan. Jernih. :)

***
Mr Tambourine Man – Bob Dylan

Hey, Mr. Tambourine Man, play a song for me
I’m not sleepy and there is no place I’m going to
Hey, Mr. Tambourine Man, play a song for me
In the jingle jangle morning I’ll come following you

Though I know that evening’s empire has returned into sand
Vanished from my hand
Left me blindly stand here to stand but still not sleeping
My weariness amazes me; I’m branded on my feet
And I have no one to meet
And the ancient empty street’s too dead for dreaming

Take me on a trip upon your magic swirling ship
My senses have been stripped; my hands can’t feel to grip
My toes too numb to step, wait only for my boots heels to be wandering
I’m ready to go anywhere, I’m ready to fade
Into my own parade, cast your dancing spell my way I promise to go under it

Though you might hear laughing, spinning, swinging, madly across the sun
It’s not aimed to anyone; it’s just escaping on the run
And but for the sky there are no fences facing
And if you hear vague traces of skipping reels of rhyme
To your tambourine in time, it’s just ragged clown behind
I wouldn’t pay it any mind, it’s just a shadow you’re seeing that he’s chasing

Then take me disappearing to the smoke rings of my mind
Down the foggy ruins of time, far past the frozen leaves
The haunted, frightened trees, out to the windy beach
Far from the twisted reach of crazy sorrow
Yes, to dance beneath the diamond sky with one hand waving free
Silhouetted by the sea, circled by the circus sands
With all memory and fate, driven deep beneath the waves
Let me forget about today until tomorrow

Cikarang, 4 Juni 2015

Selasa, 26 Mei 2015

Pedang, Keris, Gada

Saya pikir semua orang memiliki beberapa sosok yang paling mempengaruhi pola pikirnya saat ini. Orang-orang tersebut dapat menginspirasi lewat tindakan, bicara, atau apapun. Mereka bisa mempengaruhi semuanya, sebut saja: sudut pandang, lama berpikir, bahkan cara bicara. Dan sosok tersebut bisa siapa saja: kawan sepermainan, kekasih, kolega, musuh masa kecil, orang tua, saudara sedarah, ah siapa saja. Mereka tak melulu berkonotasi positif. Bisa saja orang tersebut adalah sosok yang tak kita sukai. Sadar ataupun tidak, sebegitu kuat mereka mengakar, hingga akhirnya mempengaruhilah sampai lebih jauh.

Saya juga sama. Saya mengenal beberapa sosok yang sangat mempengaruhi. Di luar anggota keluarga, rasanya saya bisa menyebutkan dua nama. Dan untungnya, mereka berdua adalah dua kawan terdekat yang saya kenal dengan baik juga.

***
Namanya adalah Haikal. Saya mengenalnya di belasan tahun silam. Lebih tepatnya di tahun 1998. Seorang kawan sekelas yang ternyata sangat menyenangkan. Saya melihat dia berkembang dari seorang remaja tanggung penuh ide-ide ekstrim dan rasa humor yang natural, saya melihat dia berkembang dari seorang mahasiswa dengan idealisme tinggi dan kadang menyebalkan, saya melihat dia berkembang menjadi seorang suami dan bapak yang asik bagi istri dan anaknya, saya melihat dia terhanyut dalam diskusi malamnya yang panjang dan sepi.

Gelar Taufiq. 2005 itu saya mengenalnya di sebuah desa kecamatan di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Seorang pemuda berkulit kuning-terang berambut gondrong-lurus dan kacamata hitam bulat khas rock n roll di atas sebuah motor pinjaman yang menggerung. Gayanya nyentrik, tingkah lakunya kadang menyebalkan, tapi dia adalah kawan yang baik. Kecenderungan hidupnya adalah menolong, dan dia tidak terlalu menyukai uang. Dan saat ini dia banyak terlibat di kegiatan-kegiatan alam dan karya sastra. Sesuatu yang selalu berhasil membuatnya merasa tenang sekaligus gelisah di dalamnya.

Saya pikir, mereka berdua memiliki banyak kemiripan –tentunya itu hanyalah kemiripan pola. Saya nilai, mereka adalah orang-orang yang memiliki potensi laten dalam pemikirannya. Interaksi mereka pada sekitar juga bersifat laten. Bila berbicara pada orang lain, maka orang lain tersebut bisa saja menjadi sangat positif, atau malah menjadi sangat negatif, atau tak berefek sama-sekali. Hmm, saya pikir mereka berdua adalah tipe kepribadian ekstrimis. Dan mungkin mereka akan menyangkal pernyataan saya ini, hahaa, tapi saya pikir memang seperti itulah mereka.

Dan mengenal mereka adalah beberapa dari banyak hal yang paling saya syukuri. Awalnya saya mencoba mencontoh mereka. Hingga akhirnya tak lama kemudian, saya temukan bahwa saya berbeda dari mereka. Seiring waktu, saya bisa membedakan kepribadian mereka berdua. Saya suka menganalogikan kepribadian mereka serupa sebuah senjata yang sama-sama memiliki dua sisi tajam. Haikal itu serupa pedang, dia membelah pemikiran lawan bicaranya dan mengakibatkan hal yang bersifat fatal dan luas. Sedang Gelar serupa keris, dia menghujam di satu titik dan mengakibat hal yang bersifat fatal dan mendalam.

Saya lebih banyak berbeda dari mereka berdua. Saya pikir saya tak memiliki kemampuan untuk melukai seperti yang bisa mereka timbulkan. Sepertinya pemikiran saya lebih bersahabat. Walaupun, kami bertiga tentu saja sama-sama bisa disebut seperti senjata, saya tahu itu. Dan mungkin saya akan lebih mirip seperti sebuah gada. Saya pikir saya seringnya tak berbahaya, bahkan saat diletakkan di tengah kerumunan anak SD sekalipun. :)

Karena berkaca adalah bagaimana cara mata dan otak menerjemahkan gambaran pantul cahaya, dimana akhirnya kamu melihat raut wajah sendiri. :)
Cikarang, 25 Mei 2015

Rabu, 20 Mei 2015

Takut

Potongan gambar Cambuk Zikir yang saya beli di Jogjakarta di 2007 silam. Saat melihatnya di toko pengrajin kayu itu, saya terpikir tentang keberanian yang tak melulu berarti keras. Lantas saya beli, 35 ribu rupiah. :)
Seorang kawan tiba-tiba saja menunjukkan kesan yang membuat saya mengernyitkan dahi dalam-dalam. Di antara obrolan kami yang pendek-pendek, saya menangkap bahwa dia merasa takut pada seseorang yang posisinya lebih tinggi dibandingkan dirinya. Selain saat itu, kawan tersebut memang pernah beberapa kali bercerita bahwa atasannya sedikit mudah marah. Kabarnya marahnya tersebut adalah yang meledak-ledak. Sejauh itu, biasanya saya hanya akan mengangguk-angguk saja mendengarkan, atau sesekali tertawa pendek. Tapi untuk yang ini, saya pikir kawan tersebut sudah melewati batas. Saya coba katakan padanya: “Jangan takut, Kawan! Bahkan pada matahari dan malam hari pun tak perlu kamu takuti. Apalagi pada orang yang (cuma) merasa memiliki kuasa atas dirimu. Sebenarnya dia tak lebih hanya sekedar penjahat Power Ranger!”. Saya katakan itu tentu di antara tawa yang panjang. Tapi sepenuhnya yakin, kawan tersebut pasti tahu, bahwa saya sedang serius.

***
Rasanya semua orang, termasuk saya, sepakat bahwa rasa takut adalah sebuah anugrah. Karena hanya di saat itulah insting terbaikmu akan keluar secara natural. Ajaib memang. Tapi sepertinya semua orangpun akan sepakat, bahwa di saat yang sama, insting terburuk pun dapat terekspresi menjadi sebuah tembakan meleset dari para penembak pemula. Dan untuk itu, saya pikir menjadi takut adalah sebuah kesempatan yang kurang menarik untuk dipakai di hal-hal yang tak genting. Sedang untuk hal yang di luar itu, saya pikir saya lebih memilih untuk tidak merasa takut. Karena saya sama-sekali tak memerlukan insting terbaik di setiap saat. Saya hanya perlu mengasahnya sedikit-demi-sedikit lewat dimensi kejadian sehari-hari.

Atau mungkin saya jadi teringat saat Iwan Fals nyanyikan lagu “Serenada”-nya yang terkenal itu: “kenapa harus takut pada matahari/ kepalkan tangan dan halau setiap panasnya/ kenapa harus takut pada malam hari/ nyalakan api dalam hati usir segala kelamnya”. Ungkapan yang bagus sekali kan ya? Hahaa. Saya pikir memang begitu. Rasanya saya tak bisa lebih sepakat lagi dari ini.

Atau mungkin saya jadi teringat saat lelaki paruh baya dari rumah merah jambu itu berkata di satu hari kami yang biasa. “Jangan merasa takut pada seseorang tanpa didasari rasa segan dan hormat, karena bila tidak, maka itu adalah sebuah penyakit. Sembuhkan!”. Tentunya saat itu dia berbicara dalam bahasa daerah kami. Tapi begitulah kira-kira bila terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

***
Dan saya merasa beruntung, untuk bisa berusaha tidak merasa takut. Dan saya merasa beruntung, untuk banyak mengenal beberapa sosok yang saya segani dan saya hormati di sepanjang perjalanan saya hingga detik ini. Dan saya pikir, kami berinteraksi dengan sangat sehat. Kami tahu bahwa kami tak saling tunduk, juga tahu bahwa kami tak saling berkuasa satu sama lain. Dan saat ini saya tidak sedang ber-teori. Saya mencoba memraktekkannya di kehidupan sehari-hari, dan saya pikir ini asik sekali. Rasanya hubungan kami sehat sekali, saat kami tak merasakan tekanan untuk saling mengingatkan saat salah satu dari kami melakukan kesalahan. Ini menyenangkan.

Hmmm, dan saya pikir ada satu lagi: Saat kamu merasa takut pada seseorang, maka seseorang tersebut (entah bagaimana) akan dapat merasakan rasa takutmu itu. Dan percayalah, seseorang tersebut akan lepas kendali semakin pongah, dengan rasa kuasa-takut yang kalian ciptakan bersama-sama. Yakinlah hal tersebut tak baik untuk siapapun, terlebih untukmu sendiri. Lantas kini, berhentilah bertingkah seperti itu!!!

Untuk seorang kawan yang identitasnya tak mungkin saya sebutkan. Salam Bang Napi!
Cikarang, 20 Mei 2015
*Foto oleh Haikal Sedayo

Rabu, 22 April 2015

Di Pinggir Sebuah Jalan

Percakapan seminggu kemarin bersama gadis muda dengan terusan batik coklat muda di kantor kami itu membuat saya mengingat sebuah cerita yang lain di kisaran 6 tahun yang silam. Sebuah cerita sederhana yang selalu berhasil membuat saya bersimpulan bahwa hidup itu tak pernah bisa dibedakan menjadi “hitam dan putih”. Mungkin beberapa orang akan berpendapat sebaliknya, atau setidaknya di beberapa dimensi kejadian, mereka berpendapat bahwa hidup akan ditentukan sebagai “hitam dan putih”. Tapi menurut saya sepertinya tidak. Bagi saya, di semua kejadian, hidup bukanlah “hitam dan putih”. Saya pikir: hidup itu berwarna-warni. :)

***
Juni 2009. 
Kegelisahan saya hampir mencapai titik puncak. Pasalnya, tenggat akhir pembayaran uang semester perkuliahan akan segera tiba. Uang yang saya miliki untuk melunasi biaya semesteran ternyata masih kurang dari jumlah 6,7 juta: angka biaya semester kuliah magister yang saya jalani semenjak setahun terakhir ini. Beberapa kali kilasan ide untuk berhenti kuliah datang menghampiri. Dan sekuat itu pula saya berusaha menguatkan diri untuk tetap bertahan. Saya sadar, itu adalah semester terakhir sebelum akhirnya nanti saya bisa memperoleh gelar Master. Hmm, sisa kekurangannya itu juga mungkin tak terlalu banyak, sekitar 1.5 juta –meski saya tak ingat berapa persisnya.

Ide untuk meminjam uang ke beberapa kenalan juga sudah saya pikirkan. Tapi seperti yang pernah saya ceritakan di tulisan-tulisan sebelumnya: bahwa orang-orang yang benar-benar membutuhkan biasanya memiliki kecenderungan lebih susah untuk meminta tolong dibandingkan dengan orang-orang yang tidak terlalu membutuhkan. Hingga akhirnya, saat itu saya memutuskan untuk bertahan saja dulu dalam kesenyapan di malam-malam terpanjang Bandung Utara.

Percayalah, untuk urusan seperti ini, saya tak terlalu suka mendiskusikannya dengan siapapun. Tapi entah bagaimana, malam itu saya bisa bercerita dengan seorang kawan yang baru saya kenal di 6 bulan terakhir di persimpangan besar Cipaganti. Sebenarnya saya belum terlalu mengenalnya. Yang saya tahu, dia adalah seorang mahasiswa putus sekolah asal kota Bandung. Pekerjaannya serabutan. Mulai dari menjual eceran casing handphone hingga loading paket ekspedisi. Dan malam itu dia tengah ikut menginap di kos-kosan saya. Kami mengobrol hingga jauh larut malam. Termasuk pula bercerita tentang kurangnya uang semester yang tengah saya alami. Dia tak banyak berkomentar malam itu. Dan saya juga memang tak mengharapkan komentar apa-apa. Malam itu saya hanya sedang ingin bercerita.

Selang beberapa hari, atau mungkin 1 minggu, di sebuah siang menjelang sore, dia menghubungi saya. Dia katakan saat itu bahwa dia sedang ada di wartel (warung telpon) di daerah belakang mall Bandung Indah Plaza, dan dia ingin agar saya datang menjemputnya untuk sebuah urusan penting. Saya bersegera berangkat. Hingga selang satu jam kemudian, kami bertemu di sebuah wartel tiga pintu di pinggir jalan raya. Saya temui dia yang tengah asik tertawa bersama seorang kawannya yang lain. Saya hampiri, dan tak lama kemudian kami berdua pergi.

Dia mengajak saya menuju pinggir jalan untuk mencari angkutan umum. Dia katakan bahwa sekarang dia mau pulang ke rumah. Saya sempat bingung dan bertanya waktu itu, kenapa dia inginkan saya datang dan untuk urusan penting apa? Dia tak pernah menjawab tegas. Hingga akhirnya di pinggir jalan itu, dia menyerahkan sebuah amplop putih tebal yang digulung-gulung. “Pakai saja uang ini untuk bayar semesteran”. Dengan rasa penasaran yang penuh, saya tanyakan dari mana dia mendapatkan uang itu. Singkat dia menjawab: “saya mencuri uang di toko ******* tadi malam”. Terkaget, saya tenggelam dalam tawanya yang hambar. Sesaat kemudian dia pergi bersama sebuah angkutan umum, mikrolet putih yang penuh.

***
Kami hanya pernah bertemu sekali setelah sore itu, sekitar 1-2 bulan berikutnya. Saat bertemu, saya tak menyinggung apapun tentang yang dia lakukan, hanya katakan bahwa uangnya sudah saya gunakan untuk membayar semesteran. Dia tertawa pendek sambil katakan :”bagus, bagus”, lalu mengalihkan pembicaraannye ke topik yang lain: tentang rencananya pergi bekerja sebagai TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di Jepang. Saya senang hari itu melihat dia bercerita antusias dan penuh keyakinan tentang rencana ke Jepang itu. Dan hingga hari ini, saya masih selalu berusaha mengingat dia di seusai solat yang sekali-sekali saya lakukan.

Sampai ketemu lagi, Kawan. Semoga kamu tak perlu mencuri lagi sampai kapanpun. :)
Cikarang, 22 April 2015

Minggu, 19 April 2015

Gerimis di Plastik Biru

Lepas menuntaskan obrolan singkat bersama seorang kawan baik lewat jejaring maya di kisaran satu jam yang lewat, saya jadi gelisah sendiri. Sambil merendam satu ember penuh cucian kotor semingguan kemarin, dilanjut menyemir sepatu kantor dan lantai kamar yang disapu seadanya, tapi tetap saja: saya mencoba mengingat obrolannya diam-diam. Atau beberapa obrolan lain bersamanya di sebulan yang lewat juga saya pikir sama saja. Hanya membuat saya semakin sadar bahwa saya sudah terlalu banyak berbicara tentang hal yang tak sebaiknya saya bicarakan. Dan saya pikir tak semua pertanyaan yang ada pantas dijawab. Bahkan saat seseorang tersebut terus bertanya sekalipun. Tapi sekarang ya saya berusaha tenang-tenang saja, karena itu semua tak lebih hanyalah sebuah cerita sudah terlewat.

Sesap tembakau mungkin sudah masuk di hitungan kedua, dan jarum jam di dinding putih itu juga terus saja tidak terganggu. Sedang gerimis panjang di Jababeka tetap bersuara pelan-pelan di plastik biru. Dan saya pikir begitulah semua cerita: untuk membuat sebuah keputusan yang syukur bila benar, dan tak masalah bila ternyata salah. :)

Didedikasikan untuk seorang kawan baik yang tengah gelisah menuju sebuah hari besar dalam hidupnya. Saya ucapkan sebaik-baik: jangan takut.  ;)
Cikarang, 19 April 2015

Kamis, 26 Maret 2015

Kabar dari Bandung (6) : Malam dan Psikologi

Beberapa bulan terakhir saya lagi suka belajar ini: Social Psychology. Kadang-kadang saya catatkan di buku, cuma biar ga lupa. :D
Malam di timur Bandung sudah jauh. Bersama dua orang kawan yang baik sekali, mengobrol di bawah lindungan sebuah apartemen yang menurut saya bagus sekali. Kombinasi warna putih dan coklat muda dipadu kaca-kaca besar dan sebuah meja tinggi di tengah ruangan, juga deru angin bertiup pelan-pelan di antara jendela yang terbuka. Ah, saya sangat menyukai moment ini. Berbicara di sebuah tempat terbaik, bersama dua kawan terbaik. Dan sebenarnya saya tak pernah terlalu memusingkan saat ini kami berbicara tentang apa, bagi saya sama saja.  Malam ini juga sama. Saya hanya menikmati mendengar apapun yang mereka bicarakan, saya menikmati melihat mereka mendengarkan, saya menikmati merasakan apa yang mereka rasakan.

Malam ini saya temukan bahwa kami tengah bicara panjang lebar tentang tema Psikologi. Sebuah tema yang sama-sama kami sukai dengan cara kami yang masing-masing. Entah bagaimana obrolan kami akhirnya sampai di tema ini. Ah, tapi sepertinya tak ada satupun dari kami yang peduli tentang alasan itu. Hingga akhirnya kami terhanyutlah lebih jauh, kami tertawa lebih sederhana, kami saling berkomentar satu yang lain, kami mendengarkan bila waktunya belum tiba. Dan tak ada satu hal pun yang memburu kami untuk menuntaskan pembicaraan ini sampai selesai. Begitu.

***
Saya memperhatikan. Bahwa kami bertiga memiliki scope pengamatan yang berbeda tapi sama spesial dari tema ini. Debi Krisna, pendidikan dan ketertarikannya mengarah jelas pada psikologi olahraga. Dia banyak menghubungkan semua kasus yang kami bicarakan dengan aplikasi di lapangan olahraga. Psikologi atlit, suasana lapangan pertandingan, hingga angka-angka statistik psikologi olahraga yang dia temui di skripsi sarjana miliknya, juga hal-hal lain seputar itu. Menarik sekali, saat dia bercerita tentang beberapa interaksinya dengan dosen pembimbingnya itu dulu saat skripsinya sedang dikerjakan. Di luar itu, sebenarnya saya sudah sedikit-banyak tahu tentang pembimbingnya itu. Dia adalah salah satu akademis senior ternama di bidang psikologi olahraga nasional.

Haikal, saya pikir dia adalah orang yang melihat tema ini dengan scope paling luas di antara kami bertiga. Dia banyak bercerita tentang teori-teori yang dibacanya dari paper-paper psikologi. Kemudian mencoba menjelaskan pendapatnya mengenai hubungan teori-teori itu dengan berbagai fenomena lain. Sebut saja tentang belajar berenang, ilmu kebal, hipnotis, shalat istikharah, hingga para petapa dan Budha. Saya pikir Haikal memiliki ketertarikan lebih pada hal-hal praktis di lingkup ini. Bagus sekali.

Sedang saya, sepertinya saya lebih tertarik melihat psikologi dalam scope yang tak menentu, tak jelas arahnya. Terkadang saya senang untuk melihat psikologi dalam scope yang luas, kadang juga tidak. Mungkin saya menyukai semuanya, dan hal itu membuat buah pemikiran saya berserakan saja di lantai. Tapi saya tak masalah dengan itu, karena melihat sesuatu yang seperti tak berpola malah mempermudah saya dalam menemukan polanya. Sepertinya begitu. :D

***
Tak terasa, hari sudah menjelang pagi. Berbungkus-bungkus tembakau itu sudah kami tamatkan.  Sekarang, energi dari segelas kuku bima dingin dan seporsi besar nasi kanton hangat beserta martabak mie di awal malam yang tadi mulai memberikan efeknya: kami mengantuk. Selamat malam, Bandung. Sudah dulu buat hari ini. Nanti-nanti, lagi. :)

Bandung, 7 Maret 2015; Cikarang 26 Maret 2015

Rabu, 18 Maret 2015

Guru

Siang ini saya jadi teringat sebuah cerita di beberapa minggu yang lewat. Saat itu malam sudah tiba di pertengahan. Berdua dengan seorang kawan yang baik sekali, kami bertukar cerita di antara tiup angin Bandung utara. Ah, sebenarnya malam itu saya lebih banyak mendengarkan. Kawan tersebut sepertinya sedang ingin bercerita banyak hal. Ceritanya juga tentang apa saja, tak ada yang terlalu spesifik. Dan saya merasa sangat tertarik saat dia mulai bercerita tentang kesibukannya akhir-akhir ini: menjadi guru. Lebih tepatnya guru olahraga di sebuah SMP swasta di Sukabumi.

Mulailah dia bercerita dengan antusias tentang bagaimana ragam tingkah pola anak muridnya yang masih belasan tahun itu di suasana kelas. Kadang ceritanya lucu, kadang ceritanya biasa saja, kadang ceritanya membuat saya geleng-gelengkan kepala tak habis pikir. Terutama tentang bagaimana salah-satu muridnya itu bisa berbuat sekurang ajar dan seterang-terangan itu. Menunjukkan gesture melawan, mengucapkan kata yang tak pantas diucapkan pada seorang guru, hingga maki-makian lewat sebuah kertas ulangan. Saya dibuatnya terperangah. Saya tak habis pikir, bagaimana bisa seorang murid berbuat seperti itu.

Mau tak mau, saya jadi mengingat beberapa cerita tentang masa sekolah saya dulu. Sepertinya saya juga bukan seorang yang sangat disukai oleh guru-guru saya dulu. Mungkin beberapa tamparan dan bogem mentah yang pernah saya terima, cap gila dari seorang guru BP, juga lembaran kertas-kertas beratasnamakan Guntur Berlian di Buku Hitam sekolah adalah bukti yang tak terbantahkan. Tapi rasanya saya tak pernah berani menunjukkan gesture atau bahkan niat untuk terang-terangan melawan. Saya pikir dulu saya melakukan itu semua hanya agar bisa tertawa saja. Jangan tanyakan apakah saya berani melawan mereka atau tidak, karena tentu saja saya akan menjawab: tidak berani. Atau sepertinya akan lebih tepat bila saya menjawab: tidak mau. Saya bisa katakan seperti itu karena di umuran tersebut, rasanya tak ada satupun yang bisa membuat saya takut: saat itu saya sedang beranjak remaja. :)

Atau juga membaca penggal sebuah buku karangan salah satu orang yang saya kagumi. Buku itu berjudul: Dia adalah Dilanku. Salah satu babak di bukunya itu, sang pengarang menulis tentang dia yang berkelahi (dalam arti yang sebenar-benarnya) dengan seorang guru saat upacara bendera. Di babak yang lain, dia juga bercerita tentang gurunya itu menyerahkan dia (Dilan) pada kelompok berandalan sekolah lain untuk dipukuli beramai-ramai. Di bukunya, pengarang bercerita tentang bagaimana super-jahatnya sang guru. Pengarang buku itu bisa saja mengklaim bahwa itu adalah kisah nyata hidupnya. Tapi dengan segala hormat, saya katakan bahwa cerita di buku ini terlalu banyak bumbu. Dan pengarangnya, hmmm, saya pikir dia tak sebaik yang orang-orang pikir. :)

Saya adalah anak bungsu dari seorang guru kesenian di SDN 88 Curup, saya (setidaknya mencoba) menghormati semua guru yang saya temui, saya menimba ilmu di Kampus Para Guru, saya punya banyak sekali kawan berprofesi guru. Tapi bukan pula berarti saya mendewakan sosok guru. Saya punya banyak contoh tentang guru-guru yang tak baik, dan banyak. Tapi sepertinya itu tak mengubah pendapat saya bahwa: guru adalah orang-orang yang sangat pantas untuk dihormati. Terpujilah mereka. Diberkatilah para guru. :)
Cikarang, 18 Maret 2015 

Senin, 02 Maret 2015

Mimpi di Citra Indah (4)

Bukit Cempaka Y19/129, Citra Indah. Dan pagar batako di belakang itu, tempat kamu bisa temui barisan Albazia dan perbukitan kecil yang banyak berwarna hijau
Pagi yang tak terlalu cerah itu adalah hari yang ini. Memulainya dengan mandi pagi yang menyegarkan setelah semalam menonton film hasil download-an yang lumayan seru hingga lewat tengah malam. Dan sekarang sudah hampir jam 8 pagi, kami bersiap untuk berangkat menuju sebuah perumahan besar di arah barat sana. Jarak yang akan kami tempuh mungkin sekitar satu jam dengan menggunakan motor. Dan asik sekali pagi ini: cerah yang malu-malu, bersama seorang kawan baik yang tak henti-henti berhasil membuat saya tertawa, motor Yamaha Vega merah-hitam dengan gerungannya yang garang, juga perjalanan menuju rumah. Ya, ini adalah sebuah perjalanan menuju rumah. :)

Rumah ini masing-masing kami kredit di awal tahun 2014. Kami senang sekali waktu itu: merasa antusias karena akan memiliki rumah. Rumah kami ini memang berada di sebuah perumahan yang sangat besar, tapi rumah kami sendiri kecil-kecil, hahaa. Seperti yang sudah saya ceritakan di edisi sebelumnya, rumah yang saya beli ini adalah tipe 21. Rumah mungil, tapi saya suka. Sedang punya kawan yang tadi adalah tipe 38, rumahnya lebih besar dan lingkungannya pun jauh lebih nyaman dari punya saya. Tapi tenang saja, saya tetap berpikir bahwa rumah mungil saya ini jauh lebih bagus dan lebih mewah dari rumah siapapun se-perumahan ini, :))))))

Singkat kata, kami tiba. Mampir terlebih dahulu ke rumah kawan tersebut dan melihat-lihat dia yang tengah bersiap-siap membersihkan rumah barunya di ruang tengah rumah yang kotor berdebu dan kosong melompong (cerita serupa di tulisan "AP 20 No 1"). Kain pel, kawat nyamuk, sapu, ember, gunting, dan lain-lain dikeluarkannya dari tas berwarna merah dan khas sekali itu. Dan hujan yang tiba-tiba datang dengan derasnya mengguyur Citra Indah yang sudah mendung gelap sejak kami tiba tadi. Membuka obrolan yang tak jelas ke arah mana, kami berdialog seputar rumah masing-masing. Sebut saja: instalasi listrik, aliran air PAM, genangan air hujan di halaman belakang dan tak terserap, ah apa saja. Hingga akhirnya hujan mereda, kami memutuskan mencari makanan dulu.

Hal yang terkonyol dari perjalanan ini adalah tentang saya yang baru menyadari bahwa saya lupa membawa kunci rumah. Hingga akhirnya, kami berdua hanya melihat-lihat rumah saya dari luar saja. Tapi saya sudah cukup puas. Complaint-an yang saya ajukan sejak 3 bulan kemaren sudah selesai dikerjakan semua oleh para pemborong mitra Citra Indah. Memang tetap ada beberapa kekurangan minor dari bangunan rumah ini, tapi saya pikir saya tak mempermasalahkannya. Saya sudah sangat bahagia. Kemudian meminta bantuan teman yang tadi untuk ambilkan beberapa gambar dengan saya yang berpose sekeren mungkin di depan rumah dengan halaman yang masih semrawut oleh rumput-rumput liar juga hawa perumahan yang basah oleh sisa hujan yang tadi.

Makanan kami sudah tandas. Dan setelah mengantar kawan yang tadi kembali ke rumahnya untuk melanjutkan prosesi berih-bersih (baca: ngepel), saya kembali ke rumah saya bersama seorang local contractor kecil-kecilan bernama Mas Mun, seorang lelaki 40 tahunan asal Semarang dan sudah 4 tahun mengadu nasib di Citra Indah. Saya menanyakan banyak hal padanya, mulai dari biaya pemasangan tralis dan pagar hingga model-model besinya.  Dia menjelaskan antusias sambil mengajak saya berkeliling menunjukkan hasil kerjanya di rumah-rumah lain di dalam komplek Citra Indah. Saya katakan padanya tentang rencana pagar berikut pondasi dan tanggul bata merah yang saya inginkan, dia mendengarkan dalam seksama.

***
Dan begini: saat berdiri memandang tanah kosong berukuran 12x11 meter di atas pagar batako di belakang situ (cerita di edisi "Mimpi di Citra Indah (1)"), saya berimajinasi tentang bagaimana bentuk dan peruntukan rumah yang saya beli ini kelak. Dan percayalah, semua yang saya lakukan saat ini adalah sebuah langkah untuk melihat apa yang saya imajinasikan dulu agar bisa menjadi barang yang nyata di suatu hari nanti. Meski mungkin orang lain melihat apa yang saya impikan adalah terlalu kecil dan lambat, saya hanya akan tertawa. Mungkin saya akan katakan padanya bahwa: "impian saya besar, mungkin kamu hanya belum melihatnya dari sisi yang seharusnya" :D. Dan dimulainya kini dengan obrolan pagar dan pondasi keliling ber-budget ekstra minim yang saya obrolkan bersama Mas Mun tadi? Ya, sekarang dimulailah dulu dengan rencana pagar dan pondasinya saja. Sudah cukup. :)

Bogor Kabupaten, Citra Indah, 1 Maret 2015
*Foto oleh Frans Kurnia

Jumat, 27 Februari 2015

Hari Bulan Tahun

Dari sebuah obrolan yang singkat-singkat di dunia maya, ternyata kamu bisa menghela nafas dalam-dalam, tanda hatimu tengah dihantam sesuatu. Terbanglah menuju jutaan kilas peristiwa di waktu-waktu yang lewat, lalu berdiamlah sedikit lebih lama. Banyaknya tentu lahirkan senyummu mengembang selebar-lebar, dan kamu merasa bahagia yang banyak. Teringat semua yang pernah terjadi dulu, dan apa saja. Kamu bisa sebutkan semuanya hingga tersengal, tawa terpingkal, sedih yang tak lagi ditutupi, ah, apa saja. Meski akhirnya kamu kembali tersadar bahwa hari sudah berganti, bulan sudah berganti, tahun sudah berganti.

Dan reguk kopimu di panas jumat ini adalah sebuah cerita. Saat matahari lewat di ubun-ubun menuju penghujungan, dan sapaan pemilik warung yang tengah merasa gerah. “Uh, ga ada angin sama sekali, Mas ya?” ujarnya singkat beramah-tamah diiring senyum yang selalu sama. Kamu hanya tersenyum, dan dia berlalu mengangkat deretan gelas-gelas kotor menuju tempat pencucian di belakang sana. Sedang kamu semakin gelisah. Meski kamu pun pasti mengerti bahwa sebenarnya kegelisahaan itu adalah pertanda yang baik menuju tahapan yang selanjutnya: bahwa kau mulai mempertanyakan semua. Yang meskipun tahu, tapi kamupun sadar, bahwa menjalaninya tak pernah berarti sebuah perkara yang mudah. Ah, jauh sekali dari itu.

Bila mengingat balik, maka kamu akan melintasi lagi tanah luas berundak di Kampung Pelukis itu, di beberapa tahun yang silam. Saat itu melihat Bandung dari selatan jauh dan mataharinya yang menyengat. Mulailah melihat jutaan visi yang megah, dan rasanya jauh sekali. Kamu sadar waktu itu, bahwa cerita hidup adalah sebuah misteri. Seperti juga reguk minuman kemasan yang dibawa dari bawah sana menuju tempat kamu berdiri saat ini. Sama saja. Sebenarnya sama saja.

Kamu bisa mengenal ribuan wajah dan tingkah laku dari siapapun yang kamu temui. Tak lepas pula dari mereka di masa lalu, tak lepas dari mereka di saat ini, tak lepas dari mereka di masa depan. Karena nyatanya kamu hidup di kerumitan dimensi waktu.

Kamu bisa menyelam di ribuan tempat manapun yang pernah disinggahi. Tak lepas dari tempat-tempat di masa lalu, tak lepas dari tempat-tempat di saat ini, tak lepas dari tempat-tempat di masa depan. Karena nyatanya kamu menyatu di pekatnya dimensi ruang.

Kamu bisa berinteraksi di ribuan kejadian pernah terlewat. Tak lepas dari semua yang terjadi di masa lalu, tak lepas dari semua yang terjadi di saat ini, tak lepas dari semua yang akan terjadi di masa depan. Karena nyatanya kamu adalah sebuah jiwa yang selalu takut bila harus sendiri.

***
Halo, aku adalah dirimu dari raut malas yang sepi-sepi. Semakin mengenal diriku lewat obrolan-obrolan yang singkat bersama siapapun dalam dimensi ruang-waktu-kejadian adalah sebuah pilihan. Meski belum bosan kau kuajak berdiskusi bahwa kita tak hanya hidup di masa kini saja, melainkan juga di masa lalu dan masa depan. Di dimensinya kita belajar tentang banyak hal –dari semua hal: "baik dan buruk". Karena sepertinya hidup tak pernah dibagi menjadi baik dan/atau buruk. Hmmm, sepertinya hidup adalah sesuatu yang lebih sederhana. Mungkin hidup dan kehidupan itu sendiri sebenarnya tak pernah terbagi dalam pembagian apapun. :)
Cikarang, 27 Februari 2015