Rabu, 20 Mei 2015

Takut

Potongan gambar Cambuk Zikir yang saya beli di Jogjakarta di 2007 silam. Saat melihatnya di toko pengrajin kayu itu, saya terpikir tentang keberanian yang tak melulu berarti keras. Lantas saya beli, 35 ribu rupiah. :)
Seorang kawan tiba-tiba saja menunjukkan kesan yang membuat saya mengernyitkan dahi dalam-dalam. Di antara obrolan kami yang pendek-pendek, saya menangkap bahwa dia merasa takut pada seseorang yang posisinya lebih tinggi dibandingkan dirinya. Selain saat itu, kawan tersebut memang pernah beberapa kali bercerita bahwa atasannya sedikit mudah marah. Kabarnya marahnya tersebut adalah yang meledak-ledak. Sejauh itu, biasanya saya hanya akan mengangguk-angguk saja mendengarkan, atau sesekali tertawa pendek. Tapi untuk yang ini, saya pikir kawan tersebut sudah melewati batas. Saya coba katakan padanya: “Jangan takut, Kawan! Bahkan pada matahari dan malam hari pun tak perlu kamu takuti. Apalagi pada orang yang (cuma) merasa memiliki kuasa atas dirimu. Sebenarnya dia tak lebih hanya sekedar penjahat Power Ranger!”. Saya katakan itu tentu di antara tawa yang panjang. Tapi sepenuhnya yakin, kawan tersebut pasti tahu, bahwa saya sedang serius.

***
Rasanya semua orang, termasuk saya, sepakat bahwa rasa takut adalah sebuah anugrah. Karena hanya di saat itulah insting terbaikmu akan keluar secara natural. Ajaib memang. Tapi sepertinya semua orangpun akan sepakat, bahwa di saat yang sama, insting terburuk pun dapat terekspresi menjadi sebuah tembakan meleset dari para penembak pemula. Dan untuk itu, saya pikir menjadi takut adalah sebuah kesempatan yang kurang menarik untuk dipakai di hal-hal yang tak genting. Sedang untuk hal yang di luar itu, saya pikir saya lebih memilih untuk tidak merasa takut. Karena saya sama-sekali tak memerlukan insting terbaik di setiap saat. Saya hanya perlu mengasahnya sedikit-demi-sedikit lewat dimensi kejadian sehari-hari.

Atau mungkin saya jadi teringat saat Iwan Fals nyanyikan lagu “Serenada”-nya yang terkenal itu: “kenapa harus takut pada matahari/ kepalkan tangan dan halau setiap panasnya/ kenapa harus takut pada malam hari/ nyalakan api dalam hati usir segala kelamnya”. Ungkapan yang bagus sekali kan ya? Hahaa. Saya pikir memang begitu. Rasanya saya tak bisa lebih sepakat lagi dari ini.

Atau mungkin saya jadi teringat saat lelaki paruh baya dari rumah merah jambu itu berkata di satu hari kami yang biasa. “Jangan merasa takut pada seseorang tanpa didasari rasa segan dan hormat, karena bila tidak, maka itu adalah sebuah penyakit. Sembuhkan!”. Tentunya saat itu dia berbicara dalam bahasa daerah kami. Tapi begitulah kira-kira bila terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

***
Dan saya merasa beruntung, untuk bisa berusaha tidak merasa takut. Dan saya merasa beruntung, untuk banyak mengenal beberapa sosok yang saya segani dan saya hormati di sepanjang perjalanan saya hingga detik ini. Dan saya pikir, kami berinteraksi dengan sangat sehat. Kami tahu bahwa kami tak saling tunduk, juga tahu bahwa kami tak saling berkuasa satu sama lain. Dan saat ini saya tidak sedang ber-teori. Saya mencoba memraktekkannya di kehidupan sehari-hari, dan saya pikir ini asik sekali. Rasanya hubungan kami sehat sekali, saat kami tak merasakan tekanan untuk saling mengingatkan saat salah satu dari kami melakukan kesalahan. Ini menyenangkan.

Hmmm, dan saya pikir ada satu lagi: Saat kamu merasa takut pada seseorang, maka seseorang tersebut (entah bagaimana) akan dapat merasakan rasa takutmu itu. Dan percayalah, seseorang tersebut akan lepas kendali semakin pongah, dengan rasa kuasa-takut yang kalian ciptakan bersama-sama. Yakinlah hal tersebut tak baik untuk siapapun, terlebih untukmu sendiri. Lantas kini, berhentilah bertingkah seperti itu!!!

Untuk seorang kawan yang identitasnya tak mungkin saya sebutkan. Salam Bang Napi!
Cikarang, 20 Mei 2015
*Foto oleh Haikal Sedayo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar