![]() |
Potongan gambar Cambuk Zikir yang saya beli di Jogjakarta di 2007 silam. Saat melihatnya di toko pengrajin kayu itu, saya terpikir tentang keberanian yang tak melulu berarti keras. Lantas saya beli, 35 ribu rupiah. :) |
Seorang kawan tiba-tiba saja menunjukkan kesan yang membuat
saya mengernyitkan dahi dalam-dalam. Di antara obrolan kami yang pendek-pendek,
saya menangkap bahwa dia merasa takut pada seseorang yang posisinya lebih
tinggi dibandingkan dirinya. Selain saat itu, kawan tersebut memang pernah
beberapa kali bercerita bahwa atasannya sedikit mudah marah. Kabarnya marahnya
tersebut adalah yang meledak-ledak. Sejauh itu, biasanya saya hanya akan
mengangguk-angguk saja mendengarkan, atau sesekali tertawa pendek. Tapi untuk
yang ini, saya pikir kawan tersebut sudah melewati batas. Saya coba katakan padanya:
“Jangan takut, Kawan! Bahkan pada matahari dan malam hari pun tak perlu kamu
takuti. Apalagi pada orang yang (cuma) merasa memiliki kuasa atas dirimu. Sebenarnya
dia tak lebih hanya sekedar penjahat Power Ranger!”. Saya katakan itu tentu di
antara tawa yang panjang. Tapi sepenuhnya yakin, kawan tersebut pasti tahu,
bahwa saya sedang serius.
***
Rasanya semua orang, termasuk saya, sepakat bahwa rasa takut
adalah sebuah anugrah. Karena hanya di saat itulah insting terbaikmu akan keluar
secara natural. Ajaib memang. Tapi sepertinya semua orangpun akan sepakat, bahwa
di saat yang sama, insting terburuk pun dapat terekspresi menjadi sebuah
tembakan meleset dari para penembak pemula. Dan untuk itu, saya pikir menjadi
takut adalah sebuah kesempatan yang kurang menarik untuk dipakai di hal-hal
yang tak genting. Sedang untuk hal yang di luar itu, saya pikir saya lebih
memilih untuk tidak merasa takut. Karena saya sama-sekali tak memerlukan
insting terbaik di setiap saat. Saya hanya perlu mengasahnya
sedikit-demi-sedikit lewat dimensi kejadian sehari-hari.
Atau mungkin saya jadi teringat saat Iwan Fals nyanyikan
lagu “Serenada”-nya yang terkenal itu: “kenapa
harus takut pada matahari/ kepalkan tangan dan halau setiap panasnya/ kenapa
harus takut pada malam hari/ nyalakan api dalam hati usir segala kelamnya”.
Ungkapan yang bagus sekali kan ya? Hahaa. Saya pikir memang begitu. Rasanya saya
tak bisa lebih sepakat lagi dari ini.
Atau mungkin saya jadi teringat saat lelaki paruh baya dari
rumah merah jambu itu berkata di satu hari kami yang biasa. “Jangan merasa takut pada seseorang tanpa
didasari rasa segan dan hormat, karena bila tidak, maka itu adalah sebuah
penyakit. Sembuhkan!”. Tentunya saat itu dia berbicara dalam bahasa daerah
kami. Tapi begitulah kira-kira bila terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
***
Dan saya merasa beruntung, untuk bisa berusaha tidak merasa
takut. Dan saya merasa beruntung, untuk banyak mengenal beberapa
sosok yang saya segani dan saya hormati di sepanjang perjalanan saya hingga
detik ini. Dan saya pikir, kami berinteraksi dengan sangat sehat. Kami tahu
bahwa kami tak saling tunduk, juga tahu bahwa kami tak saling berkuasa satu
sama lain. Dan saat ini saya tidak sedang ber-teori. Saya mencoba
memraktekkannya di kehidupan sehari-hari, dan saya pikir ini asik sekali. Rasanya
hubungan kami sehat sekali, saat kami tak merasakan tekanan untuk saling
mengingatkan saat salah satu dari kami melakukan kesalahan. Ini menyenangkan.
Hmmm, dan saya pikir ada satu lagi: Saat kamu merasa takut
pada seseorang, maka seseorang tersebut (entah bagaimana) akan dapat merasakan rasa
takutmu itu. Dan percayalah, seseorang tersebut akan lepas kendali semakin
pongah, dengan rasa kuasa-takut yang kalian ciptakan bersama-sama. Yakinlah hal
tersebut tak baik untuk siapapun, terlebih untukmu sendiri. Lantas kini, berhentilah bertingkah seperti itu!!!
Untuk seorang kawan yang identitasnya tak mungkin saya sebutkan. Salam
Bang Napi!
Cikarang, 20 Mei 2015
*Foto oleh Haikal Sedayo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar