Senin, 31 Maret 2014

Sore di Griya Bandung Indah

Foto dari salah satu sawung milik seorang kawan, menghadap kolam koi, taman, dan kolam nilanya yang besar
Saya tiba di hadapan pagar hijau muda dengan hiasan tralis hitam itu di kisaran pukul 13.30 waktu Bandung, di kawasan Griya Bandung Indah, Ciwastra. Dua kali memencet bel berbentuk oval di balik susunan yang sudah saya hapal benar itu, seorang wanita berwajah ramah muncul dari balik pintu samping rumah. Tersenyum sambil membukakan pintu pagar, “bapak ada di kolam”, begitu dia berujar lebih ramah, sambil menanggapi salam dan gesture menghormat yang saya tunjukkan. Dia adalah istri dari kawan yang sedang saya kunjungi ini, tuan pemilik rumah besar yang selalu terbuka. Dan setelah memasukkan motor merah pinjaman itu, saya melangkah menuju sisi lain dari rumah ini, menuju sebuah kolam besar berukuran tak kurang dari 500 meter persegi dan tertata apik sekali.

Dari tembok pembatas setinggi 1 meter itu, saya melihat kawan tersebut tengah sibuk berkubang di kolam sedalam 1,5 meter itu dengan tawanya yang khas dengan jaring-jaring panjang dan matahari yang menyengat. Saya berpikir sendiri, sepertinya dia tengah memanen ikan peliharaannya bersama salah satu pekerjanya. Saya tak langsung menyapa, saya berdiri sendiri memperhatikan dari jarak yang tak begitu jauh. Sepertinya dia tak menyadari kehadiran saya yang sudah hampir genap 10 menit memperhatikan aktivitasnya dan pemandangan di sekeliling. Hingga akhirnya dia sadar, dia langsung berseru dalam senyumnya yang khas: “Hah, Guntur, udah berapa lama ga kesini? Sombong sekali. Tunggu sebentar! Saya mau ngambil ikan dulu”. Tak langsung menjawab, saya berpikir sebentar, untuk kemudian menjawab pertanyaan dengan tawa, “iya Pak, 6 bulanan mungkin”. Senyum-senyum, dia melanjutkan lagi aktivitasnya dengan gembira.

Menjawab singkat atas permintaan si nyonya rumah untuk mengambil minuman dulu di dalam rumah, saya berjalan berkeliling. Membiarkan kawan tersebut melanjutkan aktivitasnya memanen ikan, saya memilih untuk mengambil kamera putih yang selalu saya bawa-bawa di dalam ransel hijau itu. Mengeksplorasi titik-titik yang saya pikir menarik dari berbagai sudut tanah berukuran 1200 meter persegi itu, tak henti saya terkagum-kagum sendiri. Berbagai macam hewan dan tumbuhan bisa saya temui dengan mudah di susunan kandang dan tataan tumbuhan yang apik. Bermacam batang buah-buahan dari pisang ambon, mangga, nangka, sukun, kelapa kuning, ceri, dan yang lain, juga puluhan pot hybrid orchids aneka warna dan rupa juga yang hidup menumpang di berbagai pohon peneduh. Dan itu belum termasuk belasan spesies tanaman yang tak saya kenali. Juga belasan jenis hewan peliharaan yang banyak sekali, sebutlah berbagai spesies unggas yang dibiarkan terbang bebas hingga yang dikurung dalam sangkar. Seperti kenari, perkutut, beo, merpati, ayam, angsa, hingga burung hantu. Berikut juga 3 ekor kucing antik yang masing-masingnya berbeda jenis. Satu lagi, dia juga beternak jangkrik, yang katanya nanti jangkrik-jangkrik itu akan dijadikan makanan untuk si burung hantu yang saat ini sedang terpejam di dalam sangkar itu. Ah, ada-ada saja. :D Saya pikir pekarangan memutar ini lebih mirip kebun botani! Dan luar biasanya rumah ini berada di kota Bandung!

Mungkin sudah hampir satu jam saya berpindah-pindah tempat duduk dari sawung kayu di pojok kolam, teras rumah, di pinggir kolam, dimana-mana. Atau datang mendekati untuk melihat bagaimana dia memanen ikan di kolam besar tanpa mengeringkannya terlebih dahulu itu. Setengah berteriak, “ini adalah suku Asmat!” dia menjawab dengan tawanya yang tak ketinggalan sambil sesekali semburkan air kolam yang tak sengaja masuk ke dalam mulutnya. Sesekali mengomentari banyaknya nyamuk yang mengerubungi wajah di balik topi dan kaos lengan panjang berwarna biru itu, dia melemparkan seekor ikan nila hasil tangkapannya yang seukuran telapak tangan dewasa ke arah saya, sambil berteriak, “ini, masukkan ke dalam ember di bawah pohon itu, di sisi kolam sebelah situ juga banyak yang belum dimasukkan. Ambil, nanti kita goreng, terus dimakan”. Saya tertawa mendengarnya. Sigap, saya ambil ikan-ikan yang tengah menggelepar kehabisan oksigen di atas rerumputan itu. Sesegera juga dia menyela, “Nah, kalo ikan sapujagat itu buang saja, buang ke kolam sebelah”. Ember putih itu sudah hampir penuh, hingga akhirnya dia berseru untuk selesai dulu. Kini menunggunya selesai mandi, saya duduk di sebuah sawung beton di atas sebuah kolam yang lain –kolam yang ini hanya berisi ikan mas dan koi beragam warna dan ukuran, dari yang kecil hingga yang beratnya mencapai 4 kg, jumlah ikannya juga banyak.

Tak lama kemudian dia muncul menenteng sebotol besar minuman bersoda dan dengan wajah yang ceria. Sepuluh menit habiskan waktu mengobrol tema yang tak spesifik, kini kami bersiap santap siang. Nila goreng kering, lotek, kerupuk emping, sambal botolan, dan nasi putih disajikan oleh seorang bibi yang juga bekerja di rumah itu. Ah saya senang sekali, tiga ekor ikan itu saya habiskan seolah berlomba dengannya dan pekerjanya yang tadi. Hingga akhirnya semua sajiannya habis, sambil menyesap sebungkus tembakau yang khusus saya bawakan untuknya, kami lanjut mengobrol lagi. Kadang obrolannya sama sekali tak serius, seperti cerita panen nangka, kucing yang terlalu banyak makan garam, atau cuaca Bandung akhir-akhir ini. Kadang juga obrolan kami serius, seperti obrolkan riset kultur jaringan tanaman, fasilitas laboratorium yang sudah selesai disiapkannya di kampus, atau tema sains yang lain.

Rasanya tak berlebihan bila saya sebutkan bahwa dia adalah salah satu bioteknolog yang paling saya hormati. Saya sebut seperti itu bukan hanya karena hal-hal yang bersifat keilmuan, tapi lebih dari itu, dia selalu menjadi guru sekaligus kawan dengan sikapnya. Saya mengenalnya di hampir 11 tahun terakhir ini, tepatnya adalah di bulan September 2003. Waktu itu dia baru saja pulang dari menyelesaikan studi doktoralnya di bidang bioteknologi tumbuhan di salah satu universitas terkemuka di Jerman, dan dia ditunjuk menjadi dosen wali dari 20 puluh mahasiswa baru di Program Studi Biologi, Universitas Pendidikan Indonesia –dan saya adalah salah satunya. Semenjak itu, saya sering berkomunikasi dengannya, hingga saat ini. Tak terhitung lagi berapa kali dia membantu saya dalam hal apapun, dari berupa dukungan moral hingga yang benar-benar riil. Saya berpikir, dia adalah satu orang yang paling mempengaruhi dalam membentuk siapa saya sekarang. Benar! Saya sama sekali tak melebih-lebihkan!

Hingga akhirnya sore yang ini semakin jauh, saya memutuskan pulang. Berpamit sebaik mungkin pada dia dan istrinya yang mengantar saya hingga ke luar pagar, saya ucapkan salam yang baik. Tak lupa dia mengingatkan saya untuk segera mengenakan helm yang hanya saya gantungkan di sisi motornya, saya menjawab “iya, Pak, nanti saya pakai”, dia tertawa, saya menjauh.
Kawan tersebut tengah menjaring ikan dan dialog dengan dua pekerjanya
***
Ah, saya suka sekali cerita ini. Tapi mungkin, untuk tulisan di edisi ini, saya tak akan membahas terlalu detail dulu tentang siapa dia sebagai seorang pribadi di mata saya. Mungkin di edisi-edisi selanjutnya saja saya tuliskan. Tulisan ini sudah terlalu panjang. :D

Didedikasikan untuk Mr. Adi Rahmat, seorang guru sekaligus kawan yang sangat baik. :)
Bandung 31 Maret 2014

Rabu, 26 Maret 2014

Di Pojok Sore (10)

Pagar langit depan kantor kami. Salah satu yang terbaik yang bisa kamu temui
Di bawah jeruji dan tiang bendera itu kami duduk-duduk habiskan sore yang ini. Sekedar mengingat apa saja yang terlewat hari ini, dengan sedikit intrik khas perkawanan yang menggelikan. Tapi saya pikir, apa artinya berkawan jika tak pernah sekalipun alami rasa saling kesal dan dumelan dalam hati yang jenaka. Iya kan? Dan hari ini saya mengalaminya lagi. Ah, senang sekali ya. Saat menemukan lagi bagaimana berkawan yang sepertinya lebih asik dan menarik. Bukan sekedar kawan se-iya-se-kata, kawan yang saling mengerti terus menerus. Ah, rasanya kurang seru saja. Menurut saya, sekali-kali berkawan juga harus alami rasa saling kesal, saling marah. Tapi ingatlah jangan terlalu dibawa ke dalam hati, jangan dibawa terlalu lama.

Saya pernah mendengar kisah perkawanan tiga orang gadis muda yang kabarnya masih terus begitu hingga sekarang. Saya dengar dari salah satunya, bahwa mereka tak pernah sekalipun saling ribut, tak pernah sekalipun saling tak enak hati, selalu saja saling sepaham. Perkawanan mereka mulus seperti mobil baru yang baru diambil dari dealer terdekat. Saya pikir mereka terlalu serius. Ya, saya pikir mungkin itu juga tak salah. Tapi saya pikir itu kurang asik saja. Bagi saya, selalu saja jadi hal yang menarik saat seorang kawan mulai merasa diasingkan --> padahal sebenarnya, dia tak pernah benar diasingkan. Itu hanya perasaan saja, ahaha. Dan saat seorang kawan mulai bertingkah menjengkelkan, saya pikir dia mulai membuat semuanya semakin menarik. Menurut saya, mungkin sekali dia adalah kawan yang baik.

Saya punya beberapa. Beberapa kawan baik yang sering membuat saya kesal sekali. Dia pasti juga sering merasakan hal yang sama sebanyak saya. Tapi sepertinya kami selalu saling tahu, bahwa rasa kesal yang sekali-kali itu tak lantas menjadikan kami tak berkawan lagi. Ah, nyatanya sebentar lagi kekesalannya hanya akan jadi bahan tertawaan. Ujung ceritanya selalu saja jadi begitu. Dan saya masih gagal paham, kenapa sebagian orang menilai rasa kesalnya yang sekali-kali itu sebegitu serius? -tolong jangan komentari ini dengan pernyataan: "setiap orang itu berbeda, bro!" --> karena saya tak seserius itu juga sebenarnya, :D

Cikarang, 26 Maret 2014

Senin, 24 Maret 2014

Gambar, Tulisan dan Cerita (2)

Revised pamflet Touring DLBS 2014, bagus ya? ;)
Sore dan malam ini kami berdiskusi. Kali ini menyusun sebuah pamflet sederhana untuk rencana touring bersama kawan-kawan kantor ke salah satu villa wisata di daerah Puncak, Bogor. Kami juga sudah punya banyak foto dari villa yang akan kami kunjungi itu. Dan kini salah satu kawan tersebut menyusun, saya memperhatikan. Saya persilahkan dia menyusun semaunya saja, apa yang dia mau, saya akan setuju.

Sebaiknya kita perbanyak tampilkan foto-fotonya saja. Tak perlu kata-kata yang panjang. Lagian ini kan untuk pamflet ya”, begitu kira-kira kawan tadi berujar. “Ya, kita perbanyak fotonya aja kalo gitu. Sepakat.”, saya menjawab senyum-senyum.

Saya benar tak mempermasalahkan percakapan kami tadi. Saya senang-senang saja. Saya sepakat-sepakat saja. Bagi saya idenya bagus dan sangat sesuai. Selain itu, dia merasa senang dengan idenya itu. Maka lakukan saja. Toh ini bukan hal yang salah juga kan ya.

***
Saya jadi teringat beberapa hal yang lain, di konteks yang lain. Tentang gambar, tulisan dan cerita. Sebelumnya, saya juga pernah membahas hal yang sedikit mirip seperti ini (di tulisan bulan Agustus 2013 berjudul: Gambar, Tulisan dan Cerita). Tapi saya pikir bukan masalah, sekarang saya tuliskan lagi saja. Apa salahnya? :D

Saya benar menyukai cerita yang hidup. Suatu cerita yang bisa saya rasakan lebih dalam dengan sudut pandang yang tajam. Seperti halnya saat saya melihat sebuah gambar. Saya pikir, memang benar bahwa sebuah gambar bisa bercerita tentang seribu cerita. Tapi saya pikir juga, seribu cerita itu tak benar-benar terasa hidup. Hilangnya latar sudut pandang emosional dari si pengambil gambar, membuat gambarnya seolah kehilangan jiwa. Ya, menurut saya begitu!

Seperti saat seorang kawan mengunggah sebuah foto tentang sembilan orang anak di salah satu pantai Papua. Bagus sekali fotonya. Hingga akhirnya saya bertanya pada si pengambil gambarnya: “apa kiranya yang kamu pikirkan saat mengambil gambar ini? saya senang sekali untuk bisa mengetahuinya.”. Ya, saya pikir gambar itu seolah seorang gadis cantik melenggak-lenggok, tapi tatapannya kosong. Jiwanya seperti sedang tak ada di tempat!

Atau seperti foto seorang renta peminta-minta di antara gedung pencakar langit di Ibukota. Ya, gambar itu bercerita banyak hal. Tapi saya pikir ceritanya tak benar hidup. Saya sepertinya akan bisa lebih menikmatinya bila saja, misal, ada latar yang menjelaskan: “saya tengah menunggu seorang kekasih yang tak kunjung selesai dari rapatnya yang seharian. Di tengah letih yang semakin menumpuk, saya melihat seorang renta itu menengadah menuju langit. Sepertinya dia sedang lapar. Mungkin begitu. Tapi mungkin juga kalian tak tahu, bahwa kekasihku masih belum memberi kabar.

Atau seperti foto villa berikut kolam renang dan lapangan hijaunya di pamflet ini. Sekali lagi, memang foto-foto ini bisa bercerita sendiri tentang apa saja yang bisa kami lakukan selama di sana nanti. Tapi sepertinya gambar ini akan benar hidup bila kami menambahkan latar: “marihhh, kita menghirup udara pegunungan sambil bermain air dan berkejar-kejaran”. Ah, saya pikir foto itu bisa jadi hidup sekali.

Ah, sebenarnya sekarang saya sedang berdialog sendiri saja. Dan mungkin saja ini hanya sebuah ego yang saya samarkan. Siapa yang tahu? Bahkan, kadang, saya sendiri juga tak terlalu yakin sendiri. :D

Cikarang, 24 Maret 2014

Sabtu, 22 Maret 2014

Malam di Pesawahan

Di luar hujan, dan waktu sudah lewat banyak dari tengah malam. Saya suka mendengar suaranya, rintik air, dan tiup angin menuju lorong yang ini. Dengar suara Alexi Murdoch yang pelan-pelan terus nyanyikan album Towards The Sun-nya yang harmonis, saya menyandar di dinding barat. Teringat kini pada beberapa kejadian kemarin-kemarin atau dulu sekali. Atau setidaknya di dalam minggu yang kemarin, saat berdua dengan seorang kawan, kami berbicara tentang hal yang mungkin tak menarik bagi kebanyakan orang. Dia memulainya dengan sebuah cerita menarik, pengalaman masa kecilnya yang dia anggap sakral. Hingga akhirnya sore ini dia mau berbagi, saya mendengarkan. Saya dengarkan yang baik.

***
“Dulu, di penghujung suatu sore, saya tengah membawakan sesuatu untuk bapak di sawah. Ya, bapak saya adalah seorang petani, dia giat sekali bekerja, memelihara padi di beberapa kotak sawah milik kami. Dan entah bagaimana, saat itu, bapak meminta saya untuk menunggu dulu sejenak di pondok sederhananya yang tak beratap itu, tempat bapak biasa beristirahat setelah lepas bekerja. Janjinya dia akan segera kembali. Saya sendiri di suasana awal malam di tengah pesawahan luas itu. Tak banyak suara yang terdengar, saya terlentang di lantai pondok memandang ke hamparan langit luas dan formasi bintang-bintang yang memukau.

Kalau tak salah ingat, saya masih duduk di sekolah dasar, mungkin kelas 4-5, saya tak terlalu ingat. Dan pikiran saya masih sangat terbatas saat itu. Tak banyak yang saya lamunkan, tapi melihat bintang-bintang yang sebegitu banyak di langit gelap, membuat saya merasa sedikit aneh. Detik itu saya merasakan pikiran saya melesat hingga ke langit, mendekati bintang-bintang, melihat ruang yang seperti hampa dan sepi sekali. Saya tak berbohong, saat itu saya seperti merasakan bahwa saya seperti menembus sebuah pembatas yang tak tampak. Dan tepat setelah itu, saya merasa sangat kecil di tengah semesta. Saya menanyakan konsep ketuhanan. Tiba-tiba saya merasa takut, takut sekali. Seketika saya langsung berusaha menyadarkan diri, dan akhirnya pikiran saya kembali ke tengah pesawahan itu. Meringkuk di lantai, saya cemas. Saya sangat takut. Saya bertanya setengah berteriak di dalam hati, kenapa bapak lama sekali?”

***
Saya tertegun sejenak, ekspresi kawan tersebut hidup sekali, matanya berbinar besar. Saya tahu, dia tengah mencoba kembali ke salah satu pengalaman paling sakral yang pernah dialaminya. Lanjut kini dia terdiam sebentar, menyudahi ceritanya. Saya tersenyum dan memberikan tanggapan yang mungkin juga sedikit panjang. Saya menilai sayang sekali hal itu dialaminya saat dia masih terlalu kecil, atau setidaknya saat dia belum banyak memiliki pengalaman berpikir tentang dunia riil yang lebih dalam sebelumnya. Dan saya tak heran mengapa dia menjadi takut karenanya. Saya pikir itu melahirkan trauma. Hingga akhirnya sampai sekarang dia tak mau mencobanya lagi.

Mungkin hanya akan ada sedikit orang yang percaya bila saya katakan bahwa saya sering mengalami hal seperti itu. Saat melihat matahari sore yang beranjak turun, saat melihat rintik hujan yang jatuh di sebuah teras, saat ditiup angin besar di halaman kantor, saat berjalan di antara keramaian pekerja pabrik yang bergegas masuk, saat melihat sebuah petir besar melintas di hadapan, atau beberapa kali yang lain. Tapi itu tak melulu tentang ketuhanan, saya yakin sekali. Dan sensasinya itu sangat menyenangkan. Di beberapa tulisan yang saya buat, biasanya saya menyebutnya dengan kata “orgasme”. Ya seperti itu. Sebuah kata yang menggambarkan puncak rasa nyaman, nyaman sekali. Seperti tak jarang kita menjumpai seseorang yang sangat suka melihat laut, gunung, purnama, dan mereka tahan untuk menatapnya hingga berjam-jam. Ya, saya pikir mungkin mirip seperti itu.

Dan saya tahu, yang kawan itu ucapkan sebagai “menembus pembatas yang tak tampak” adalah sebuah batas yang memisahkan dunia riil dengan dunia pikiran. Hal itu seperti keluar dari sebuah gelembung transparan lalu kini berada di luarnya. Dan saat itulah putaran waktu akan menjadi sangat lambat. Karena kita tahu, kecepatan berpikir itu jauh lebih cepat dari kecepatan fisik. Seperti melewati kecepatan cahaya sekalipun. Di situ kita bisa melihat semua yang terjadi di dunia rill menjadi sangat lambat, lambat sekali. Saya pikir itulah yang terjadi. Tapi saya yakinkan satu hal pada kawan tersebut, bahwa tak ada yang perlu ditakutkan dari hal itu. Saya pikir manusia memang dianugrahkan kemampuan untuk bisa seperti itu, dan itu normal sekali. Normal sekali. Meski kadang, seiring waktu, kita sering menepikannya karena menganggap hal itu adalah sesuatu yang tak normal. Padahal tidak, saya yakin sekali tidak.

Seperti pertanyaan yang lain: “mengapa kita merasa jauh lebih bahagia saat kita masih kecil dulu?” Saat masih kanak-kanak, kita tak pernah tertarik untuk membatasi sesuatu sebagia normal atau tidak. Saat beranjak besar, kita lebih membatasi diri. Dan saya pikir, sebenarnya yang kita batasi itu adalah kemampuan dan keinginan untuk berpikir. Saya meyakini: dalam konteks berpikir, tumbuh dewasa tak menjadikan pikiran seseorang menjadi progresif. Meski kontrol terhadap konsep dunia riil menjadi lebih matang, tapi saya pikir tumbuh dewasa adalah sebuah kemunduran dari kemampuan mengetahui siapa kita sebenarnya di antara yang lain. Ini adalah sebuah hipotesis!
Terima kasih untuk Imam Kusnadi atas ceritanya, bagus sekali. ;)
Cikarang, 23 Maret 2014