Foto dari salah satu sawung milik seorang kawan, menghadap kolam koi, taman, dan kolam nilanya yang besar |
Saya tiba di hadapan pagar hijau muda dengan hiasan tralis
hitam itu di kisaran pukul 13.30 waktu Bandung, di kawasan Griya Bandung Indah,
Ciwastra. Dua kali memencet bel berbentuk oval di balik susunan yang sudah saya
hapal benar itu, seorang wanita berwajah ramah muncul dari balik pintu samping
rumah. Tersenyum sambil membukakan pintu pagar, “bapak ada di kolam”, begitu dia berujar lebih ramah, sambil
menanggapi salam dan gesture
menghormat yang saya tunjukkan. Dia adalah istri dari kawan yang sedang saya
kunjungi ini, tuan pemilik rumah besar yang selalu terbuka. Dan setelah memasukkan
motor merah pinjaman itu, saya melangkah menuju sisi lain dari rumah
ini, menuju sebuah kolam besar berukuran tak kurang dari 500 meter persegi dan tertata
apik sekali.
Dari tembok pembatas setinggi 1 meter itu, saya melihat kawan
tersebut tengah sibuk berkubang di kolam sedalam 1,5 meter itu dengan tawanya
yang khas dengan jaring-jaring panjang dan matahari yang menyengat. Saya
berpikir sendiri, sepertinya dia tengah memanen ikan peliharaannya bersama salah
satu pekerjanya. Saya tak langsung menyapa, saya berdiri sendiri
memperhatikan dari jarak yang tak begitu jauh. Sepertinya dia tak menyadari
kehadiran saya yang sudah hampir genap 10 menit memperhatikan aktivitasnya dan
pemandangan di sekeliling. Hingga akhirnya dia sadar, dia langsung berseru
dalam senyumnya yang khas: “Hah, Guntur, udah
berapa lama ga kesini? Sombong sekali. Tunggu sebentar! Saya mau ngambil ikan
dulu”. Tak langsung menjawab, saya berpikir sebentar, untuk kemudian
menjawab pertanyaan dengan tawa, “iya
Pak, 6 bulanan mungkin”. Senyum-senyum,
dia melanjutkan lagi aktivitasnya dengan gembira.
Menjawab singkat atas permintaan si nyonya rumah untuk
mengambil minuman dulu di dalam rumah, saya berjalan berkeliling. Membiarkan kawan
tersebut melanjutkan aktivitasnya memanen ikan, saya memilih untuk mengambil kamera putih
yang selalu saya bawa-bawa di dalam ransel hijau itu. Mengeksplorasi titik-titik
yang saya pikir menarik dari berbagai sudut tanah berukuran 1200 meter
persegi itu, tak henti saya terkagum-kagum sendiri. Berbagai macam hewan dan tumbuhan bisa saya
temui dengan mudah di susunan kandang dan tataan tumbuhan yang apik. Bermacam batang
buah-buahan dari pisang ambon, mangga, nangka, sukun, kelapa kuning, ceri,
dan yang lain, juga puluhan pot hybrid orchids aneka warna dan rupa juga yang hidup
menumpang di berbagai pohon peneduh. Dan itu belum termasuk belasan spesies tanaman yang tak saya kenali. Juga belasan jenis hewan peliharaan yang banyak
sekali, sebutlah berbagai spesies unggas yang dibiarkan terbang bebas hingga
yang dikurung dalam sangkar. Seperti kenari, perkutut, beo, merpati, ayam, angsa, hingga
burung hantu. Berikut juga 3 ekor kucing antik yang masing-masingnya berbeda jenis.
Satu lagi, dia juga beternak jangkrik, yang katanya nanti jangkrik-jangkrik itu akan
dijadikan makanan untuk si burung hantu yang saat ini sedang terpejam di dalam
sangkar itu. Ah, ada-ada saja. :D Saya pikir pekarangan memutar ini lebih
mirip kebun botani! Dan luar biasanya rumah ini berada di kota Bandung!
Mungkin sudah hampir satu jam saya berpindah-pindah tempat
duduk dari sawung kayu di pojok kolam,
teras rumah, di pinggir kolam, dimana-mana. Atau datang mendekati untuk melihat
bagaimana dia memanen ikan di kolam besar tanpa mengeringkannya terlebih dahulu
itu. Setengah berteriak, “ini adalah suku
Asmat!” dia menjawab dengan tawanya yang tak ketinggalan sambil sesekali semburkan
air kolam yang tak sengaja masuk ke dalam mulutnya. Sesekali mengomentari banyaknya
nyamuk yang mengerubungi wajah di balik topi dan kaos lengan panjang berwarna biru itu, dia melemparkan seekor
ikan nila hasil tangkapannya yang seukuran telapak tangan dewasa ke arah saya,
sambil berteriak, “ini, masukkan ke dalam
ember di bawah pohon itu, di sisi kolam sebelah situ juga banyak yang belum
dimasukkan. Ambil, nanti kita goreng, terus dimakan”. Saya tertawa
mendengarnya. Sigap, saya ambil ikan-ikan yang tengah menggelepar kehabisan
oksigen di atas rerumputan itu. Sesegera juga dia menyela, “Nah, kalo ikan sapujagat itu buang saja,
buang ke kolam sebelah”. Ember putih itu sudah hampir penuh, hingga
akhirnya dia berseru untuk selesai dulu. Kini menunggunya selesai mandi, saya
duduk di sebuah sawung beton di atas
sebuah kolam yang lain –kolam yang ini hanya berisi ikan mas dan koi beragam warna
dan ukuran, dari yang kecil hingga yang beratnya mencapai 4 kg, jumlah ikannya
juga banyak.
Tak lama kemudian dia muncul menenteng sebotol besar minuman bersoda dan dengan wajah yang ceria. Sepuluh menit habiskan waktu mengobrol tema yang tak spesifik, kini kami bersiap santap siang. Nila goreng kering, lotek, kerupuk emping, sambal botolan, dan nasi putih disajikan oleh seorang bibi yang juga bekerja di rumah itu. Ah saya senang sekali, tiga ekor ikan itu saya habiskan seolah berlomba dengannya dan pekerjanya yang tadi. Hingga akhirnya semua sajiannya habis, sambil menyesap sebungkus tembakau yang khusus saya bawakan untuknya, kami lanjut mengobrol lagi. Kadang obrolannya sama sekali tak serius, seperti cerita panen nangka, kucing yang terlalu banyak makan garam, atau cuaca Bandung akhir-akhir ini. Kadang juga obrolan kami serius, seperti obrolkan riset kultur jaringan tanaman, fasilitas laboratorium yang sudah selesai disiapkannya di kampus, atau tema sains yang lain.
Tak lama kemudian dia muncul menenteng sebotol besar minuman bersoda dan dengan wajah yang ceria. Sepuluh menit habiskan waktu mengobrol tema yang tak spesifik, kini kami bersiap santap siang. Nila goreng kering, lotek, kerupuk emping, sambal botolan, dan nasi putih disajikan oleh seorang bibi yang juga bekerja di rumah itu. Ah saya senang sekali, tiga ekor ikan itu saya habiskan seolah berlomba dengannya dan pekerjanya yang tadi. Hingga akhirnya semua sajiannya habis, sambil menyesap sebungkus tembakau yang khusus saya bawakan untuknya, kami lanjut mengobrol lagi. Kadang obrolannya sama sekali tak serius, seperti cerita panen nangka, kucing yang terlalu banyak makan garam, atau cuaca Bandung akhir-akhir ini. Kadang juga obrolan kami serius, seperti obrolkan riset kultur jaringan tanaman, fasilitas laboratorium yang sudah selesai disiapkannya di kampus, atau tema sains yang lain.
Rasanya tak berlebihan bila saya sebutkan bahwa dia adalah salah
satu bioteknolog yang paling saya hormati. Saya sebut seperti itu bukan hanya karena
hal-hal yang bersifat keilmuan, tapi lebih dari itu, dia selalu menjadi guru
sekaligus kawan dengan sikapnya. Saya mengenalnya di hampir 11 tahun terakhir ini, tepatnya adalah di bulan September 2003. Waktu itu dia baru saja pulang dari
menyelesaikan studi doktoralnya di bidang bioteknologi tumbuhan di salah satu
universitas terkemuka di Jerman, dan dia ditunjuk menjadi dosen wali dari 20 puluh
mahasiswa baru di Program Studi Biologi, Universitas Pendidikan Indonesia –dan saya
adalah salah satunya. Semenjak itu, saya sering berkomunikasi dengannya, hingga
saat ini. Tak terhitung lagi berapa kali dia membantu saya dalam hal apapun,
dari berupa dukungan moral hingga yang benar-benar riil. Saya berpikir, dia adalah satu orang yang paling mempengaruhi
dalam membentuk siapa saya sekarang. Benar! Saya sama sekali tak
melebih-lebihkan!
Hingga akhirnya sore yang ini semakin jauh, saya memutuskan
pulang. Berpamit sebaik mungkin pada dia dan istrinya yang mengantar saya
hingga ke luar pagar, saya ucapkan salam yang baik. Tak lupa dia mengingatkan
saya untuk segera mengenakan helm yang hanya saya gantungkan di sisi motornya,
saya menjawab “iya, Pak, nanti saya pakai”,
dia tertawa, saya menjauh.
Kawan tersebut tengah menjaring ikan dan dialog dengan dua pekerjanya |
***
Ah, saya suka sekali cerita ini. Tapi mungkin, untuk tulisan
di edisi ini, saya tak akan membahas terlalu detail dulu tentang siapa dia
sebagai seorang pribadi di mata saya. Mungkin di edisi-edisi selanjutnya saja
saya tuliskan. Tulisan ini sudah terlalu panjang. :D
Didedikasikan untuk Mr. Adi Rahmat, seorang guru sekaligus kawan yang
sangat baik. :)
Bandung 31 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar