Di awal sebuah malam dengan anginnya
yang sepi, kau tiba di suatu persimpangan yang amat biasa. Memandang menuju
sebuah rumah makan yang benderang, di batas raung kendaraan dan pedagang
asongannya yang tak berhenti. Kau pun berhenti. Pejamkan mata dan kau rasakan
semuanya. Kau tak bicara tentang waktu-waktu, kau selalu tak peduli kapan itu. Kau
hanya merasakan apa yang pernah, sedang dan akan terlewati saat kau memilih
memasuki ruangan itu lagi. Berikut riuh rendah obrolan pengunjungnya yang
terputus-putus, kau berkontemplasi pada langit malamnya yang tenang dan sinar
lampu yang bergantian.
Kau tak benar memilih atas apa yang
terjadi. Termasuk itu dulu, yang sekarang ini, atau nanti-nanti. Tapi hidangan
itu, kau merasa kenal. Seperti beberapa tahun yang lewat, dan seperti inilah. Persis
seperti inilah. Begitu gumammu yang perlahan. Dan memandang wajah para
penyajinya yang terlihat sibuk sekali menghitung, kau tahu, bahwa saat ini
adalah hari-hari kemarin. Yang kau rasakan juga adalah hari kemarin. Saat ini
kau tak benar hidup di masa ini. Dalam lampunya yang sesekali mengerjap, kau berdiamlah
yang lurus, pelan, dan diam.
Gadis itu menyapamu dalam bahasa yang
tenang. Memanggilmu hangat pada matanya yang bulat dan menarik. Diucapkannya
penggal cerita pendek yang selalu berhasil kau ingat meski kau tak terlalu
mengerti. Digenggamnya tanganmu, bersandar pada jatuhan peluh yang mengucur. Perasaanmu
kacau, seolah terbentur dinding-dinding asap yang rumit dan mengganggu. Seperti
teh tawar yang terasa sedikit pahit di gelasnya yang besar, kau termangu. Berdiam
menatap wajahnya yang berusaha gembira, padahal itu bukan. Kau tahu, karena kau
mengenalnya lebih baik dari siapapun. Seperti melirik gurat Basa di desa kecilmu
di kaki bukit itu.
Adalah rinai hujan ini yang mengulang
lagi dialog-dialog itu. Di sela pejammu yang tak biasa, kau datang menghampiri mengajakku
bicara. Berdiskusilah apa yang kau mau, kudengarkan, tapi mungkin hanya bisa
sebatas itu. Kau pegang pundakku dengan suasana yang akrab, dan kita belajar gembira
lagi. Bersahabat dengan detak jam yang berputar seiring kejadian-kejadiannya datang
berulang. Kita berkumpul sejenak, tapi sepertinya cukup dulu. Karena saat-saat
seperti ini adalah tempat terbaik untukmu bertanya tentang segala hal pernah
terlewat. Seperti cermin di dalamnya yang bermain seolah rekaman layar dari berbagai
pertanyaan menyangkut siapa dirimu. Berikut takut yang kau sembunyikan, berikut
cerita-cerita yang akan datang, dan lelah yang datang tak kenal waktu dan
kejadian datang menghampiri.
Selamat malam, Bandung.
Bandung, 7 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar