Selasa, 11 Maret 2014

2010 - 2014

Di awal sebuah malam dengan anginnya yang sepi, kau tiba di suatu persimpangan yang amat biasa. Memandang menuju sebuah rumah makan yang benderang, di batas raung kendaraan dan pedagang asongannya yang tak berhenti. Kau pun berhenti. Pejamkan mata dan kau rasakan semuanya. Kau tak bicara tentang waktu-waktu, kau selalu tak peduli kapan itu. Kau hanya merasakan apa yang pernah, sedang dan akan terlewati saat kau memilih memasuki ruangan itu lagi. Berikut riuh rendah obrolan pengunjungnya yang terputus-putus, kau berkontemplasi pada langit malamnya yang tenang dan sinar lampu yang bergantian.

Kau tak benar memilih atas apa yang terjadi. Termasuk itu dulu, yang sekarang ini, atau nanti-nanti. Tapi hidangan itu, kau merasa kenal. Seperti beberapa tahun yang lewat, dan seperti inilah. Persis seperti inilah. Begitu gumammu yang perlahan. Dan memandang wajah para penyajinya yang terlihat sibuk sekali menghitung, kau tahu, bahwa saat ini adalah hari-hari kemarin. Yang kau rasakan juga adalah hari kemarin. Saat ini kau tak benar hidup di masa ini. Dalam lampunya yang sesekali mengerjap, kau berdiamlah yang lurus, pelan, dan diam.

Gadis itu menyapamu dalam bahasa yang tenang. Memanggilmu hangat pada matanya yang bulat dan menarik. Diucapkannya penggal cerita pendek yang selalu berhasil kau ingat meski kau tak terlalu mengerti. Digenggamnya tanganmu, bersandar pada jatuhan peluh yang mengucur. Perasaanmu kacau, seolah terbentur dinding-dinding asap yang rumit dan mengganggu. Seperti teh tawar yang terasa sedikit pahit di gelasnya yang besar, kau termangu. Berdiam menatap wajahnya yang berusaha gembira, padahal itu bukan. Kau tahu, karena kau mengenalnya lebih baik dari siapapun. Seperti melirik gurat Basa di desa kecilmu di kaki bukit itu.

Adalah rinai hujan ini yang mengulang lagi dialog-dialog itu. Di sela pejammu yang tak biasa, kau datang menghampiri mengajakku bicara. Berdiskusilah apa yang kau mau, kudengarkan, tapi mungkin hanya bisa sebatas itu. Kau pegang pundakku dengan suasana yang akrab, dan kita belajar gembira lagi. Bersahabat dengan detak jam yang berputar seiring kejadian-kejadiannya datang berulang. Kita berkumpul sejenak, tapi sepertinya cukup dulu. Karena saat-saat seperti ini adalah tempat terbaik untukmu bertanya tentang segala hal pernah terlewat. Seperti cermin di dalamnya yang bermain seolah rekaman layar dari berbagai pertanyaan menyangkut siapa dirimu. Berikut takut yang kau sembunyikan, berikut cerita-cerita yang akan datang, dan lelah yang datang tak kenal waktu dan kejadian datang menghampiri.

Selamat malam, Bandung.
Bandung, 7 Maret 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar