Senin, 28 Maret 2016

Badidang

Bersama Badidang, 27 Maret 2016
Siang tengah terik-teriknya. Tepat di atas hamparan timbunan tanah sebelah rumah kami itu sedang dipenuhi keramaian yang bersuka cita. Kakak sepupu saya, cucu laki-laki tertua dari keluarga kami, melangsungkan pernikahannya hari ini. Sebuah bangunan tenda tradisional, yang biasa kami sebut tarup, berdiri gagah di atas tanah kosong itu. Berikut pula ratusan warga kampung yang penuh sesak menyemarakkan pestanya. Sebagian bapak-bapak berkumpul menyesap tembakau di beberapa tempat membentuk lingkaran di atas tarup, sedang sebagian lagi sibuk bergotong royong membersihkan panganan di pinggiran sungai, ibu-ibu yang sibuk meracik bumbu dan mengaduk sayur di dalam sebuah wadah raksasa di atas bara kayu kopi di belakang sana, anak-anak kecil yang berlarian tanpa arah dikejar kawan sebayanya yang lain, dan banyak lagi. Atau melihat rombongan ibu-ibu yang baru saja tiba membawa sebuah bingkisan khusus khas daerah kami: seekor ayam gemuk dan baskom kecil dari bahan kaleng berisi beras, sebungkus bihun dan kelapa bulat. Saya hanya duduk mengamati semuanya di atas sebuah kursi plastik hijau menghadap jalan raya sambil mereguk kopi panas di gelas kaca. 

Dan mata saya menangkap sesosok tubuh kurus-tinggi di jalanan tengah menyandarkan tubuhnya di sebuah plang penanda bertulis "hati-hati sedang ada keramaian". Di sana berdiri salah seorang kawan sepermainan masa kecil saya dulu, namanya Rice. Saya belum pernah tahu siapa nama lengkapnya, tapi kami biasa memanggilnya dengan sebutan “Badidang”. Ingatan saya jadi jauh melayang menuju 20-an tahun yang lewat, saat kami dan kawan-kawan sepermainan yang lain menghabiskan masa kecil di hamparan sawah dan jalanan gang di belakang sana. Hmm, saya dan kawan-kawan sepermainan dulu sedikit mengucilkan Badidang karena dia memiliki sedikit masalah mental, semacam anak dengan keterbatasan IQ (Intelligency Quotient). Dia sering menjadi bahan olok-olok karena tak bisa berbicara dengan baik, selalu senyum-senyum sendiri, dan kebiasaan buruknya yang suka memakan makanan bekas dari tempat sampah, atau untuk menjadi musuh besar dari satu orang dengan gangguan mental lain yang lumayan terkenal di kota kami. Saat itu kami semua suka mem-bully Badidang di segala hal, dan saat saya mengingatnya lagi saat ini, terbersit banyak penyesalan di benak saya atas semua kesalahan yang pernah saya lakukan padanya dulu.

Sedari dulu, saat ada acara-acara seperti ini, Badidang selalu suka membantu pekerjaan-pekerjaan apapun yang diperintahkan padanya. Tak seperti anak-anak kecil yang lain (termasuk saya) yang jangankan ikut membantu pekerjaan warga kampung, tapi malah senang membuat kekacauan dimana-mana khas anak-anak. Dan ternyata, kebiasaan membantunya itu masih terus berlangsung hingga hari ini. Di acara-acara seperti ini, dia tetap ikut membantu. Untuk sekedar ikut merapikan barisan kursi, menjaga parkiran motor di pinggiran jalan, menyapu, apa saja. Dan dia melakukannya dengan wajah ceria, senyum yang selalu terkembang, tanpa keluhan. Di acara-acara seperti ini, dia selalu disukai dan dicari-cari.

Dengan perlahan, saya datangi dia yang tengah menatap ke arah keramaian pesta. Saya tawarkan sebatang rokok yang langsung diterimanya dengan ucapan terima kasih yang agak susah dimengerti dan senyuman khasnya. Lama saya pandangi matanya tanpa berbicara apa-apa, dia tak terpengaruh, senyum itu tetap di situ membalas balik. Hingga akhirnya saya tersenyum dan merangkul pundaknya, sambil tetap tak berucap apa-apa. Saya mintakan seorang saudara yang kebetulan sedang lewat di hadapan kami berdua untuk mengabadikan moment itu. Dan setelahnya, saya pergi meninggalkannya sendiri di depan sana.

Saya pikir, sampai detik ini, saya tak tahu apa yang harus saya ucapkan padanya saat itu. Saat kami saling menatap lama, dan lintasan memori masa kecil itu bergerak secepat tiupan malaikat. Saya pikir itu saja yang bisa saya bahasakan kepadanya. Dan bukan, Saya bukan meminta maaf atas apapun yang saya lakukan padanya dulu, karena kamupun tahu bahwa saat itu kami ada di dunia anak-anak. Dan mungkin semacam sebuah bahasa yang dulu belum pernah saya mengerti, hingga akhirnya dia tiba di detik ini.

Sehat terus, Dang. God bless!
Curup, Minggu 27 Maret 2016
Foto oleh Deni Hardiansyah

Jumat, 18 Maret 2016

Malam di Jababeka (4)

Mungkin selanjutnya saya akan selalu mengingat hari itu, sebuah rabu di dua hari yang lalu. Seperti sebuah hari yang terlalu padat dengan pelajaran-pelajaran yang berat. Saat di awal sorenya seorang kawan yang hampir setahun ini saya kenal lewat seorang kawan yang lain. Kami berdialog di kisaran setengah jam di lobby kantor kami yang hangat, meski pikiran saya waktu itu masih dipenuhi dengan rencana memulai usaha berjualan peralatan lapangan bersama seorang kawan baik yang lain di Kota Kembang sana. Mau-tak-mau, obrolan kami sore itu agak terbatas, saya bahkan tak terlalu ingat saat itu kami bicarakan apa saja. Hingga tak sadar, kami bicara tentang beberapa hal yang sensitif, dan saya terhanyut di dalamnya tanpa banyak bisa berpikir baik.

Setidaknya, saya selalu mencoba untuk menjadi seorang kawan yang baik. Tapi ternyata, sebuah niat baik yang disampaikan dengan terlalu serampangan akan berujung menjadi kesalahan. Dan saya mempelajari itu lebih jauh setelah jam pulang kantor kami tiba, dan warung sederhana di pojokan tempat saya biasa niagakan malam itu menjadi saksi kegelisahan yang menggelayuti hati dan pikiran sedari kami berpisah tadi. Lantas memesan segelas kopi hitam yang penuh, saya memilih duduk sendiri di salah satu sudut remang warung, memandang hujan yang turun ganas menghajar muka-muka jalanan aspal yang sepi. Saya mencoba mengingat lagi interaksi-interaksi kami sebelum ini, dan membenturkannya dengan kondisi yang saya hadapi saat ini. Ah, saya bingung sekali.

Tawaran yang diajukan oleh kawan di awal sore tadi, jelas sangat menguntungkan. Dan sepertinya akan normal sekali jika saya memutuskan untuk mempertimbangkan atau bahkan menerimanya. Saya bahkan sempat merasa sangat bahagia saat mendengar tawarannya. Tapi di saat yang bersamaan, ada bagian dari hati saya yang menolaknya dengan bahasa yang sulit untuk dijelaskan. Hal ini akhirnya membentuk sebuah konflik, saat saya seolah diminta untuk memilih antara keuntungan atau ketenangan hati. Dialog dan perdebatan panjang terjadi di dalam benak saya di sela regukan-regukan kopi yang tak benar terasa ada. Atau teringat saat ayah dulu berkata, bahwa menjalani hidup adalah tentang mencari ketenangan hati, tapi lantas bagian dari diri saya yang lain menjawab tangkas berucap cepat: “keuntungan tentu juga bukan berarti tak tenang hati”. 

Saya tahu, hidup tak pernah bisa dibedakan menjadi hitam-dan-putih, seperti halnya juga dengan keuntungan-dan-ketenangan hati. Tapi bagian diri saya yang lain sepertinya tetap tak lelah mencoba menolak ide memanfaatkan keuntungan yang ini. Dia semacam berkata: “ini tak baik!”. Atau saat saya akhirnya memutuskan untuk mencoba mendiskusikan kegelisahan itu bersama dua orang kawan baik via percakapan di dunia maya. Dan saya pikir mereka baik sekali untuk mencoba memberikan berbagai pertimbangan yang belum terpikirkan. Tapi tetap saja, karena kamupun tahu, saya tak mudah dipengaruhi. Ah. Saya pikir, keuntungan adalah rezeki dari Tuhan. Kenapa harus ditolak? Selain itu, kawan itu juga memberikannya dengan ikhlas dan senang hati, saya perlu berpikir apa lagi?

Gelas kopinya sudah memasuki yang ketiga, dan derai hujan belum kunjung mereda, saya tetap mencoba untuk menenangkan diri. Menjulurkan tangan ke bawah hujan dan membiarkannya basah beberapa saat, lalu mengeringkannya lagi, sembari merasakan kabut-kabut yang turun tipis dan perlahan. Terlintas di layar kamera genggam ini sebuah potret sederhana dengan seorang kawan saat kami tengah berada di rumah neneknya di Bandung sana. Di potret itu, tergambar kami berdua seolah tengah merenung tapi entah tentang apa. Saya tersenyum melihatnya, “kenapa kamu bingung tentang untung dan rugi? Konyol sekali.

***
Mencoba melakukan hal yang baik bukanlah hal yang selalu mudah, seperti mencoba melakukan hal buruk tentu tak selamanya sulit. Dan mungkin kata-kata di kitab itu benar adanya, bahwa hidup hanyalah sebuah canda dan tawa. Yang seandainya boleh memilih, saya ingin menjalaninya bersama derai hujan perlahan yang menentramkan.


Cikarang, 18 Maret 2016

Kabar dari Bandung (7)

Bandung, 12-13 Maret 2016. 
Bandung sedang semangat. Cuaca cerah dari Bandung barat, Cimahi, sampai ke selatan lagi. Mengunjungi beberapa kawan baik di posnya masing-masing. Ya, sebutlah silaturahmi. Sudah. nanti lagi

***
Berawal dari segelas kopi sore di terminal itu, akhirnya hari ini surat perjanjian kerjasama itu kami tanda tangani berdua. Ah, benar, salah satu sensasi terbaik adalah saat mengingat lagi 1.001 cerita yang pernah dilewati bersama dari 11 tahun yang lalu sampai hari ini.
Halo, Gelar T Kusumawardhana! *
Bila dibandingkan dengan saya dulu di umuran yang sama, anak ini jelas menang telak. Mental, sikap, dan ketenangannya sudah ada di level tinggi. Saya perkenalkan, namanya Angga R Direza.
Dan mungkin satu-satunya keunggulan saya dulu adalah, di umuran dia saat ini, jelas saya sedang punya pacar. Hahaa! **
Kawan saya. Namanya Bumi B Kelana. Bapaknya lagi asik diskusi grup filsafat sama Om Gelar di atas kursi. Kami mah jalan-jalan aja jajan mie kremes di warung sambil digendong di bahu. Terus sampe rumah lagi, bagi-bagi tugas: dia ngedongak mangap yang gede, saya masukin mie ke mulutnya langsung dari plastik mie. Hahaa.
Jayalah Indonesia! #nyanyilaguperindo ***
Atau yang ini, selamat pagi dari Kalidam, Cimahi. Mandi tapi ga ada handuk, jadi terpaksa dikeringin di bawah matahari.
Ini yang paling spesial dari edisi kali ini. Tentang kemaren di setengah 8 pagi, si cantik dari Sukabumi, Ghaizani T Irawan, sukses mendarat di bumi dengan selamat. Welcome!! ****
Cikarang, 18 Maret 2016

* Foto oleh Angga Direza
** Foto oleh Gelar Kusumawardhana
*** Foto oleh Haikal Sedayo
**** Foto oleh Debi Krisna