Jumat, 18 Maret 2016

Malam di Jababeka (4)

Mungkin selanjutnya saya akan selalu mengingat hari itu, sebuah rabu di dua hari yang lalu. Seperti sebuah hari yang terlalu padat dengan pelajaran-pelajaran yang berat. Saat di awal sorenya seorang kawan yang hampir setahun ini saya kenal lewat seorang kawan yang lain. Kami berdialog di kisaran setengah jam di lobby kantor kami yang hangat, meski pikiran saya waktu itu masih dipenuhi dengan rencana memulai usaha berjualan peralatan lapangan bersama seorang kawan baik yang lain di Kota Kembang sana. Mau-tak-mau, obrolan kami sore itu agak terbatas, saya bahkan tak terlalu ingat saat itu kami bicarakan apa saja. Hingga tak sadar, kami bicara tentang beberapa hal yang sensitif, dan saya terhanyut di dalamnya tanpa banyak bisa berpikir baik.

Setidaknya, saya selalu mencoba untuk menjadi seorang kawan yang baik. Tapi ternyata, sebuah niat baik yang disampaikan dengan terlalu serampangan akan berujung menjadi kesalahan. Dan saya mempelajari itu lebih jauh setelah jam pulang kantor kami tiba, dan warung sederhana di pojokan tempat saya biasa niagakan malam itu menjadi saksi kegelisahan yang menggelayuti hati dan pikiran sedari kami berpisah tadi. Lantas memesan segelas kopi hitam yang penuh, saya memilih duduk sendiri di salah satu sudut remang warung, memandang hujan yang turun ganas menghajar muka-muka jalanan aspal yang sepi. Saya mencoba mengingat lagi interaksi-interaksi kami sebelum ini, dan membenturkannya dengan kondisi yang saya hadapi saat ini. Ah, saya bingung sekali.

Tawaran yang diajukan oleh kawan di awal sore tadi, jelas sangat menguntungkan. Dan sepertinya akan normal sekali jika saya memutuskan untuk mempertimbangkan atau bahkan menerimanya. Saya bahkan sempat merasa sangat bahagia saat mendengar tawarannya. Tapi di saat yang bersamaan, ada bagian dari hati saya yang menolaknya dengan bahasa yang sulit untuk dijelaskan. Hal ini akhirnya membentuk sebuah konflik, saat saya seolah diminta untuk memilih antara keuntungan atau ketenangan hati. Dialog dan perdebatan panjang terjadi di dalam benak saya di sela regukan-regukan kopi yang tak benar terasa ada. Atau teringat saat ayah dulu berkata, bahwa menjalani hidup adalah tentang mencari ketenangan hati, tapi lantas bagian dari diri saya yang lain menjawab tangkas berucap cepat: “keuntungan tentu juga bukan berarti tak tenang hati”. 

Saya tahu, hidup tak pernah bisa dibedakan menjadi hitam-dan-putih, seperti halnya juga dengan keuntungan-dan-ketenangan hati. Tapi bagian diri saya yang lain sepertinya tetap tak lelah mencoba menolak ide memanfaatkan keuntungan yang ini. Dia semacam berkata: “ini tak baik!”. Atau saat saya akhirnya memutuskan untuk mencoba mendiskusikan kegelisahan itu bersama dua orang kawan baik via percakapan di dunia maya. Dan saya pikir mereka baik sekali untuk mencoba memberikan berbagai pertimbangan yang belum terpikirkan. Tapi tetap saja, karena kamupun tahu, saya tak mudah dipengaruhi. Ah. Saya pikir, keuntungan adalah rezeki dari Tuhan. Kenapa harus ditolak? Selain itu, kawan itu juga memberikannya dengan ikhlas dan senang hati, saya perlu berpikir apa lagi?

Gelas kopinya sudah memasuki yang ketiga, dan derai hujan belum kunjung mereda, saya tetap mencoba untuk menenangkan diri. Menjulurkan tangan ke bawah hujan dan membiarkannya basah beberapa saat, lalu mengeringkannya lagi, sembari merasakan kabut-kabut yang turun tipis dan perlahan. Terlintas di layar kamera genggam ini sebuah potret sederhana dengan seorang kawan saat kami tengah berada di rumah neneknya di Bandung sana. Di potret itu, tergambar kami berdua seolah tengah merenung tapi entah tentang apa. Saya tersenyum melihatnya, “kenapa kamu bingung tentang untung dan rugi? Konyol sekali.

***
Mencoba melakukan hal yang baik bukanlah hal yang selalu mudah, seperti mencoba melakukan hal buruk tentu tak selamanya sulit. Dan mungkin kata-kata di kitab itu benar adanya, bahwa hidup hanyalah sebuah canda dan tawa. Yang seandainya boleh memilih, saya ingin menjalaninya bersama derai hujan perlahan yang menentramkan.


Cikarang, 18 Maret 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar