Mungkin selanjutnya saya akan selalu mengingat hari itu,
sebuah rabu di dua hari yang lalu. Seperti sebuah hari yang terlalu padat dengan
pelajaran-pelajaran yang berat. Saat di awal sorenya seorang kawan yang hampir setahun
ini saya kenal lewat seorang kawan yang lain. Kami berdialog di kisaran
setengah jam di lobby kantor kami yang hangat, meski pikiran saya waktu itu masih
dipenuhi dengan rencana memulai usaha berjualan peralatan lapangan bersama
seorang kawan baik yang lain di Kota Kembang sana. Mau-tak-mau, obrolan kami
sore itu agak terbatas, saya bahkan tak terlalu ingat saat itu kami bicarakan
apa saja. Hingga tak sadar, kami bicara tentang beberapa hal yang sensitif, dan
saya terhanyut di dalamnya tanpa banyak bisa berpikir baik.
Setidaknya, saya selalu mencoba untuk menjadi seorang kawan
yang baik. Tapi ternyata, sebuah niat baik yang disampaikan dengan terlalu
serampangan akan berujung menjadi kesalahan. Dan saya mempelajari itu lebih
jauh setelah jam pulang kantor kami tiba, dan warung sederhana di pojokan tempat
saya biasa niagakan malam itu menjadi saksi kegelisahan yang menggelayuti hati
dan pikiran sedari kami berpisah tadi. Lantas memesan segelas
kopi hitam yang penuh, saya memilih duduk sendiri di salah satu sudut
remang warung, memandang hujan yang turun ganas menghajar muka-muka jalanan aspal yang sepi. Saya mencoba mengingat lagi interaksi-interaksi kami sebelum ini,
dan membenturkannya dengan kondisi yang saya hadapi saat ini. Ah, saya bingung
sekali.
Tawaran yang diajukan oleh kawan di awal sore tadi,
jelas sangat menguntungkan. Dan sepertinya akan normal sekali jika saya memutuskan untuk mempertimbangkan atau bahkan menerimanya. Saya bahkan
sempat merasa sangat bahagia saat mendengar tawarannya. Tapi di saat yang
bersamaan, ada bagian dari hati saya yang menolaknya dengan bahasa yang sulit
untuk dijelaskan. Hal ini akhirnya membentuk sebuah konflik, saat saya seolah diminta untuk memilih
antara keuntungan atau ketenangan hati. Dialog dan perdebatan panjang terjadi
di dalam benak saya di sela regukan-regukan kopi yang tak benar terasa ada. Atau
teringat saat ayah dulu berkata, bahwa menjalani hidup adalah tentang mencari
ketenangan hati, tapi lantas bagian dari diri saya yang lain menjawab tangkas berucap
cepat: “keuntungan tentu juga bukan
berarti tak tenang hati”.
Saya tahu, hidup tak pernah bisa dibedakan menjadi hitam-dan-putih, seperti halnya juga dengan keuntungan-dan-ketenangan hati. Tapi
bagian diri saya yang lain sepertinya tetap tak lelah mencoba menolak ide memanfaatkan
keuntungan yang ini. Dia semacam berkata: “ini tak baik!”. Atau saat saya akhirnya memutuskan untuk mencoba
mendiskusikan kegelisahan itu bersama dua orang kawan baik via percakapan di dunia
maya. Dan saya pikir mereka baik sekali untuk mencoba memberikan berbagai
pertimbangan yang belum terpikirkan. Tapi tetap saja, karena kamupun tahu, saya
tak mudah dipengaruhi. Ah. Saya pikir, keuntungan adalah rezeki dari Tuhan. Kenapa
harus ditolak? Selain itu, kawan itu juga memberikannya dengan ikhlas dan
senang hati, saya perlu berpikir apa lagi?
Gelas kopinya sudah memasuki yang ketiga, dan derai hujan
belum kunjung mereda, saya tetap mencoba untuk menenangkan diri. Menjulurkan tangan
ke bawah hujan dan membiarkannya basah beberapa saat, lalu mengeringkannya
lagi, sembari merasakan kabut-kabut yang turun tipis dan perlahan. Terlintas di
layar kamera genggam ini sebuah potret sederhana dengan seorang kawan saat kami tengah berada di rumah
neneknya di Bandung sana. Di potret itu, tergambar kami berdua seolah tengah
merenung tapi entah tentang apa. Saya tersenyum melihatnya, “kenapa kamu bingung
tentang untung dan rugi? Konyol sekali.”
***
Mencoba melakukan hal yang baik bukanlah hal yang selalu
mudah, seperti mencoba melakukan hal buruk tentu tak selamanya sulit. Dan mungkin
kata-kata di kitab itu benar adanya, bahwa hidup hanyalah sebuah canda dan
tawa. Yang seandainya boleh memilih, saya ingin menjalaninya bersama derai
hujan perlahan yang menentramkan.
Cikarang, 18 Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar