Sabtu, 30 November 2013

Pembagian Tipe Orang

Beberapa hari atau minggu yang lalu, saya entah mendengar-entah membaca dari mana, saya lupa, suatu kalimat yang kira-kira bunyinya seperti ini: 

“Ada 3 tipe orang, yaitu: orang-orang besar yang senang berbicara tentang ide-ide, orang-orang biasa yang selalu saja berbicara tentang dirinya sendiri, dan orang-orang kecil yang suka membicarakan orang lain”

Saya pikir, ya saya sepertinya tak punya masalah dengan kalimat di atas. Tapi mungkin yang tak pernah mudah adalah membedakan antara seseorang tersebut tengah berbicara tentang ide, tengah membicarakan dirinya sendiri, atau tengah membicarakan orang lain? Saya pikir itu tak mudah diketahui. Di cerita keseharian, seringkali kita mendengar seseorang yang dengan gagahnya berbicara tentang ide-ide besar, tapi sebenarnya dia tengah bicarakan dirinya sendiri, atau malah tengah mengumpat orang lain. Seringkali juga kita mendengar sekumpulan orang membicarakan tetangga rumahnya yang sangat menyebalkan, tapi bila mau mendengarkan lebih teliti, sebenarnya mereka tengah berbicara tentang sebuah ide. Atau seringkali juga mungkin kita mendengar seseorang yang sepertinya tengah asik sekali membicarakan dirinya sendiri, tapi aslinya dia tengah mengungkapkan ribuan ide-ide. Iya kan?

Tak pernah mudah memang menilai seseorang menjadi bagian dari kelas-kelas tertentu. Lagian, saya pikir, kurang asik juga bila kehidupan dibagi-bagi dalam kotak-kotak yang mungkin saja sebenarnya tak ada. :)
Cikarang, 30 November 2013

Belajar dan Merasa Besar

"All My Days" – Alexi Murdoch

Well I have been searching all of my days
Many road you know, I've been walking on all of my days
And I've been trying to find what's been in my mind
As the days keep turning into night

Well I have been quietly standing in the shade all of my days
Watch the sky breaking on the promise that we made all of this rain
And I've been trying to find what's been in my mind
As the days keep turning into night

Well many a night I found myself with no friends standing near all of my days
I cried aloud, I shook my hands, what am I doing here all of these days?
I look around me, and my eyes confound me And it's just too bright
As the days keep turning into night

Now I see clearly, it's you I'm looking for all of my days
Soon I'll smile, I know I'll feel this loneliness no more all of my days
For I look around me and it seems you've found me
And it's coming into sight as the days keep turning into night

And even breathing feels all right

***
Ada beberapa alasan mengapa saya menyukai lagu ini. Tapi entahlah, saya tak yakin saya bisa menggambarkan apa yang ada di dalam kepala saya dalam bentuk tulisan sederhana di blog ini. Karena saya pikir, ini sedikit lebih rumit dari yang biasanya. Setiap ceritanya tak pernah berdiri sendiri, selalu berdiri karena yang lain. Begitu seterusnya. Mungkin sedikit mirip dengan yang diungkapkan oleh Sujiwo Tejo di presentasinya bertajuk “Math: Finding Harmony in Chaos” di Tedx-Bandung. Semuanya memang sederhana, tapi saat saya ungkapkan, maka jadi terdengar seolah terlalu sederhana. Dan yang lain akan mulai sibuk membantah, katakan bahwa pikiran saya terlalu menyederhanakan. Ah, bukan seperti itu, Kawan. :) Mungkin memang saya tak secerdas Einstein yang bisa meramu semua kerumitan menjadi kalimat sederhana E=MC2. Mungkin selama saya belum bisa menyederhanakannya, maka selama itu pula saya akan dianggap seperti katak dalam tempurung, atau orang bodoh yang berpikir partial dan asal comot, atau dikomentari “pikiranmu dangkal, kalau mau, aku bisa membantai pikiranmu itu dengan penjelasan-penjelasan filsuf dan kitab-kitab yang sudah kupelajari selama belasan tahun”. Penyebabnya, seperti tiap kali saya sampaikan: “saya tak terlalu tertarik mendengar apa yang diucapkan Sidharta atau yang lain, saya hanya ingin merasakan semilir angin di hari yang cerah atau hujan raya”, dan saya mulai dinilai tak mau belajar karenanya. Percayalah, ini adalah kalimat yang telah saya coba rangkumkan jadi semacam sebuah formula. Tapi sepertinya memang saya belum cukup cakap seperti Einstein ya, hahaa.

Sejauh ini, saya hanya menerima saja apapun yang orang pikirkan tentang saya, saya hanya akan senyum-senyum saja, saya senang-senang saja. Saya juga tak terlalu berminat memaksa mereka menganggap saya benar. Terkadang saya hanya sedang ingin berbicara saja, membagi apa yang saya pikir. Sayangnya, sebagian menganggap itu menggurui, atau merasa besar sendiri. Ah, saya tak pernah berminat menggurui siapapun. Sangat tak berminat malah. Tapi, ya benar, saya menganggap pikiran saya besar, tapi seiring itu pula saya tak berminat memaksa orang lain berpikir hal serupa tentang saya. Yang sayangnya, kadang orang-orang seperti tak ridhlo bila saya berpikir seperti itu. Kadang saya bertanya sendiri: “what’s wrong with you, man?”, saya benar bingung sendiri. Dan saya sebenarnya tengah berusaha untuk tidak terganggu dengan komentar-komentar seperti itu. Tapi sepertinya wajar saja saat di titik tertentu, saya merasa terganggu dengan komentar-komentar serupa –Saya cuma manusia kan ya? heheu. Ya, sekali lagi, saya memang berpikir bahwa saya seorang yang besar. Tapi saya pikir itu hak saya. – Seperti yang diungkapkan Kang Ibing: “Jangan pernah kamu merasa besar sendirian!”. Ya, saya pikir dia tak mengatakan buruk untuk orang yang merasa besar. Yang salah menurutnya adalah saat seseorang berpikir bahwa dia adalah satu-satunya orang besar di muka bumi ini. Dan saya pikir saya sepakat.

Dan saat Alexi Murdoch nyanyikan baris-baris lirik di lagu ini, saya merasa terhubung. Saya menemukan sesuatu yang saya pikir benar, dan mungkin, itu hanya untuk saya sendiri. Bila kamu tak sepakat, maka biarkan saja. Seperti saya membiarkan saat saya tak sepakat denganmu. Dan bila nyatanya saya salah, biarkan saja. Bila ada jalannya, di suatu ketika, maka saya akan menyadarinya dari apa dan siapa saja. Inilah jalan belajar yang saya pilih. Ini jalan belajar yang saya pilih. :)
Cikarang, 28 November 2013

Selasa, 26 November 2013

Salah Satu Kawan Terbaik - Yudi Apiko

Yudi Apiko. Foto ini diambil dari FB nya yang sepertinya sudah tak aktif lagi. Saya benar tak butuh izin untuk menggunakan foto ini. Dia pasti membolehkan. Pasti! :)

Malam ini saya sedang mendengarkan lagu berjudul “Reuni”. Sebuah lagu yang baru pertama kali ini saya dengar. Salah satu dari Album terbaru grup band beraliran SKA yang sangat saya gandrungi dulu, Tipe-X. Mendengarnya, ingatan saya melayang kembali ke saat-saat itu, menuju seorang kawan lama yang sangat baik. Salah satu sahabat terbaik yang pernah saya jumpai. Kami senang sekali mendengarkan lagu-lagu dari grup band ini, benar-benar suka. Kini jadi teringat penggal cerita saat-saat pertama kami saling mengenal dulu, beberapa belas tahun yang lewat.

***
Hari itu senin pagi, di pertengahan tahun 2000, hari pertama saya masuk sekolah menengah atas. Di saat upacara pertama saya di sekolah itu, dan mendengar pengumuman yang menyebutkan bahwa saya akan menjadi bagian dari kelas 1-7. Lepas upacaranya, saya berjalanlah menuju salah satu kelas di salah satu pojok sekolah tua itu. Saya masuki kelasnya, tak banyak yang saya kenal. Memilih kursi sendiri, saya duduk di salah satu bangku di baris tengah sayap kanan kelas. Suasana kelasnya gaduh. Sangat gaduh. Di sana, saya melihat beberapa anak laki-laki bermuka berandal sedang duduk di atas kursi dan meja seolah mereka adalah raja-diraja penguasa darat-lautan, berkumpul, entah sedang obrolkan apa.

Sekitar pukul 8 pagi, akhirnya seorang guru bermuka teduh masuk ke kelas itu, wali kelas kami. Beliau berikan pengarahan singkat tentang pengenalan kelas dan sekolah ini berikut tata-tertib yang wajib kami patuhi. Sedang beberapa anak berandal yang duduk di daerah belakang itu tetap saja gaduh tak henti. Saya sangat tak suka melihatnya. Hingga selang beberapa menit-jam waktu berjalan, dan mereka tetap seperti itu. Saya tak tahan lagi. Membentak, saya palingkan wajah ke arah mereka sambil berucap kasar dengan mata dipelototkan. “Hei, diam!!!”. Mereka terdiam, terkejut. Dengan mata merah menyala, mereka seperti menahan amarah untuk balas menghardik. Tapi tak berani apa-apa karena guru kami masih ada di situ.

Kelas dilanjutkan, dan ternyata saya terpilih masuk ke kelas unggulan. Itu artinya saya akan pindah ke kelas 1-1. Meninggalkan kelas yang penuh dengan anak-anak semrawut bermuka kriminal itu. Saya senang bukan kepalang. Saya benar-benar sangat tak menyukai anak-anak ini. Apalagi satu orang yang sepertinya menjadi bosnya itu. Dari presensi tadi, saya tahu, namanya adalah Yudi Apiko. Huah, saya sangat tak suka melihat alis tebal dan muka kriminalnya itu. Yang syukurnya, saat itu juga, saya dipersilahkan pindah kelas. Dengan langkah yang pasti dan penuh kelegaan, karena tak harus berlama-lama melihat si muka penjahat itu mengacaukan kelas, saya melangkah keluar menyandang tas ransel berikut dua buku tulis yang ditenteng ringan.

Belajar di kelas unggulan sangat menyenangkan. Suasananya asik, jauh lebih tenang. Di kelas ini, wajah anak-anaknya lebih bersahabat dan berseri-seri penuh energi positif. Selain itu, saya sudah mengenal sebagian besar anak-anak yang ada di kelas ini, sebagian besarnya perempuan, laki-lakinya hanya belasan saja. Sebagian besar dari mereka adalah kawan-kawan SMP saya dulu. Ya, karena kami kami berasal dari SMP favorit di kota itu, maka tak aneh di kelas unggulan SMA ini jadi lebih didominasi oleh kami-kami lagi. Saya merasa jauh lebih nyaman di sini, jauh lebih tentram.

Waktu menunjukkan jam 09.30 seiring bel sekolah yang mirip seperti lagu penjual es krim keliling itu berbunyi. Waktu istirahat tiba. Beberapa anak-anak kelas ini pergi ke luar kelas, sedang saya tidak. Saya sedang ingin berada di dalam kelas saja, bercengkrama dengan kawan-kawan sekelas, mengobrol sana-sini.

Tak lama, terdengar sedikit kegaduhan di luar kelas. Ternyata anak-anak berandalan dari kelas 1-7 itu sudah ramai di halaman depan kelas kami. Saya melihat si bos penjahat itu tengah petantang-petenteng memimpin kawan-kawannya yang lain. Saya tetap saja diam di dalam kelas. Saya mendengar samar-samar dari teriakan gaduh di luar sana bahwa mereka datang untuk mencari saya. Mungkin mereka datang untuk membuat perhitungan atas bentakan saya tadi pagi. Mereka tak suka. Sama! Saya juga tak suka!

Jujur, di dalam hati, saya sedikit takut juga waktu itu. Anggota mereka ramai sekali. Sepertinya si bandit kecil itu memiliki banyak pengikut. Saya tetap diam saja di dalam kelas sebentar, sebelum akhirnya memutuskan untuk berjalan ke luar kelas, mau menanyakan apa yang mereka inginkan dari saya. Yang sayangnya, saya tak bisa berharap banyak dari kawan-kawan di kelas unggulan ini untuk menolong saya. Mereka anak-anak baik-rumahan semua. Saya pasrah saja. Keluar kelas menjemput para berandal kecil itu, dengan niat agar tak terlihat pengecut, itu saja.

Yang akhirnya datanglah seorang kawan yang juga salah satu murid dari kelas unggulan ini, berani datang melerai. Ya, si kidal ini adalah sebuah pengecualian dari stereotype kelas unggulan. Dia memang sudah nakal dari dulu. Namanya Muhammad Haikal Sedayo, Haikal panggilannya. Saya sudah mengenalnya dari SMP, kami sudah sekelas di SMP selama 2 tahun. Meski dulu saya tak pernah terlalu dekat dengannya. Saat itu, dia sepertinya baru tiba dari kantin di belakang kelas. Dia datang untuk menahan para berandalan tadi yang semakin bersemangat karena melihat saya tengah berjalan keluar kelas untuk memenuhi panggilan mereka.

Syukurnya, ternyata Haikal mengenal mereka, juga mengenal Yudi. Setelah mereka bernegosiasi selama beberapa menit, akhirnya Yudi dan kawan-kawannya mau mengurungkan niatnya untuk memberi saya pelajaran, mereka pergi. Saya sangat lega waktu itu. Dalam hati saya sangat berterima kasih kepada kawan yang sebenarnya tak terlalu saya sukai di SMP dulu ini. Haikal.

Semenjak saat itu, saya mulai dekat si kidal ini. Haikal juga mengenalkan saya pada Yudi. Yudi lanjut mengenalkan saya pada teman-teman berandalnya yang lain. Saya dan Yudi menjadi lebih dekat setelahnya. Tak dinyana, ternyata Yudi adalah kawan yang sangat menyenangkan. Hingga akhirnya kami menjadi kawan yang susah dipisahkan. Ya. Sejak saat itu, anak ternakal di sekolah kami ini menjadi salah satu sahabat terdekat saya. Dari dulu, bahkan sampai sekarang. Ribuan kisah senang-bodoh-drama-marah kami buat di rentang waktu itu. Kami berjalan layaknya kawan terdekat.

***
Dan saat malam ini Tipe-X bernyanyi: “berkumpul lagi bersama kawan lama/ berbagi suka dan duka bersama-sama/ mengenang masa-masa yang indah dahulu/ sewaktu kita masih bersama// Masih adakah rasa rindu di hatimu/ menanti saat kita kan bertemu?”. Ah, jujur, saya jadi sedikit sentimentil dibuatnya. Saya merindukan berjuta aksi dan obrolan dengan berandal kecil bermuka kriminal itu. Dialah salah satu sahabat terbaik yang pernah saya kenal. Think I miss u, man! Semoga baik-baik saja kamu di sana. :)
Cikarang, 26 November 2013

Senin, 25 November 2013

Bahagiakan Ibu

Di depan sepiring bakwan dan tahu isi berikut sambalnya yang pedas nan sedap, kami mengobrol berdua. Bersila di atas lembar tikar di suasana yang tak mewah, kami senang saja. Berceritanya macam-macam, tak ada alur, penuh jenaka. Juga hisapan susu-jahe hangat di gelas besar, kami menghirup penghujung sore Cikarang yang cerah. Senang sekali melihat lalu-lalang kendaraan yang entah tengah menuju kemana saja. Ke utara, barat, timur, selatan, tanpa pola yang jelas. Seperti obrolan kami yang ini. Hingga di satu titik, kami bercerita tentang ibu.

Kami berdua sudah tak punya ibu. Itu realitanya. Mungkin untuknya, bahasan ini sedikit lebih berat, karena dia baru beberapa hari ini ditinggal wafat ibunya yang baru 10 hari ini saja. Banyaknya saya hanya mendengarkan, dengan sesekali menambahkan komentar yang sederhana-sederhana saja. Saya suka mendengarnya. Sangat suka malah. Karena dengannya, saya jadi mengingat ibu saya semasa masih hidup dulu. Tapi sengaja, saya tak terlalu fokuskan cerita tadi dengan cerita saya. Saya hanya sedang ingin mendengarkan. Biarkan dia yang bercerita, tentang apa saja yang ingin dia ceritakan.

Membahagiakan ibu semasa hidup. Itu bisa jadi sebuah pertanyaan yang paling mengganggu. Begitu juga kah menurutmu? Heheu. Saya sendiri tak terlalu bisa menjawabnya, sepertinya kawan yang tadi juga begitu. Tapi sepertinya kami sepakat dengan satu hal: bahwa membahagiakan ibumu bukan berbicara tentang materi. Bisakah kau bersepakat dengan ini? Semoga saja bisa. Karena bila tidak, kau tak akan bisa mengikuti apa yang kami bicarakan tadi, meskipun tak harus juga sih. Heheu. Sederhananya begini, (atau rumitnya begini): senang dan bahagia itu sesuatu yang tak berbentuk, hanya sebuah rasa saja sebenarnya. Seperti saat ibumu suka makan duren, maka saat kau membawakannya duren atau sebuah lemari kaca mewah untuknya, maka itu akan jadi sesuatu di luar logika materi. Ini bukan tentang ibumu akan memilih untuk mengambil duren atau mengambil lemari mewahnya. Karena kamu tak bisa memilih rasa untuknya, kamu hanya bisa menciptakan atau menransfernya saja. Ahahaaa, ini saya jadi seperti mengutip kalimat dari mantan pacar saya dulu: ini transfer rasa! Ah tepat sekali. Kiranya itulah kalimat yang lebih tepat untuk bicara rasa senang dan bahagia yang melibatkan orang lain, termasuk ibu. Saya pikir begitu, saya sepenuhnya sepakat. Ini transfer rasa!

Tapi mungkin juga ada banyak orang yang memang menilai bahagia sebagai suatu yang ekuivalen dengan materi. Seperti membahagiakan ibumu dengan (misalnya) uang. Memberikan dia uang yang banyak, hingga ibumu bisa membeli apapun yang diinginkannya. Ya, tapi benarnya saya tak bisa memahami itu. Bukan berarti saya menganggap itu salah, sejauh ini saya hanya tidak berhasil memahaminya. Tapi ya biarkan saja orang lain dengan pikirannya masing-masing mungkin ya, biarkan pikiran mereka sebesar kebebasan berpikir yang kami punya dalam menerjemahkan kalimat “membahagiakan ibu semasa hidup” yang tadi. Bebasss. Bebasss.
Cikarang, 25 November 2013

Minggu, 24 November 2013

Kisabun - Filicium

Api unggun di luar pagar Universitas Pendidikan Indonesia
Di antara udara dingin yang khas, saya turun dari angkutan perkotaan itu di kisaran jam 9 malam. Lepas janji bertemu dengan seorang kawan di salah satu sudut Gelap Nyawang yang teduh, berikut mengunjungi kakak untuk mengajaknya minum coklat hangat di sebuah cafe favorit di daerah Sulanjana. Nyatanya sekarang saya sudah di hadapan Geger Kalong. Sebuah jalan yang sering sekali menjadi tujuan bila saya mengunjungi kota ini. Banyak ceritanya, dari yang lalu, sampai yang sekarang, sampai yang nanti. Seperti api unggun yang ini.

Formasinya dionggokkan di pinggiran muka jalan, sedang dua tukang ojek sibuk sekali merapalkan api-api. Setelah apinya membesar, saya dekati keduanya, kami berbicara di teras bunga api. Salah satu dari mereka menunjuk ke atas sana, di rimbunan dahan kisabun yang teduhkan kami dari sinar malam. Katanya dari situlah bahan api ini diperoleh. Saya mengangguk-angguk. Ah, ternyata dia lagi yang memanggil saya untuk datang dan berpikir. Kisabun.

Saya jadi ingin bercerita. Nama latinnya Filicium decipiens. Pohon ini banyak tumbuh di kampus kami. Sedari dulu, saya suka sekali duduk-duduk di bawahnya untuk melihat-lihat sekitar, memperhatikan siapa saja yang berlalu lalang. Bila hujan, saya sering memperhatikan sendiri bahwa pohon ini akan mengeluarkan buih-buih yang memenuhi lantai jalan di bawahnya. Ya, itulah sebabnya pohon ini dimasukkan ke dalam Family Sapindaceae di sistem klasifikasi tumbuhan. Bagian tubuh kisabun banyak mengandung saponin, semacam zat kimia yang biasa digunakan sebagai bahan dasar pembuatan sabun. Dan buih-buih tadi berasal dari itulah. Buahnya yang kecil-kecil juga tak kalah menarik. Warnanya ungu, dan mengandung zat warna pekat yang akan sangat sulit dihilangkan bila dia menimpa dan pecah di baju. Saya ingat, dulu saya selalu menghindar untuk duduk di bawah kisabun bila saya sedang memakai baju baru atau baju yang bagus. Heheu.

***
Di bukunya, Andrea Hirata sepertinya sangat memuja pohon ini. Batang filicium, bawah filicium, teduh filicium, begitu Andrea gambarkan latar tentang ratusan peristiwa hebat yang terjadi di bawahnya. Tapi benar, saya bukan menyukai pohon ini karena meniru Andrea, saya tak terlalu suka meniru. Saya sudah menyukai kisabun dari dulu, banyak orang yang tahu pasti tentang hal itu. Saya sudah menulis banyak hal tentang kekaguman pada kisabun jauh sebelum saya tahu siapa itu Andrea Hirata dan filiciumnya. :) Tapi sepertinya filiciumnya-Andrea dan kisabunnya-saya punya sensasi yang mirip. Dia teduh, dia hangat, dia kuat, dia ceria, dia penampung cerita. Sepertinya memang itulah deskripsi kisabun, filicium, atau apapun namanya. :D
Cikarang, 25 November 2013

Jumat, 22 November 2013

Jumatan Tropikana

Kiri - kanan: Asep Aripin, Wangsa Ismaya, Aditya Zamien, Trilaksana Nugroho, Yogi Nugroho, Guntur Berlian
Rutin. Seminggu sekali, setiap jumat siang kami akan menuju ke sini. Sebuah masjid apik di satu komplek perumahan (lumayan) elit, yang saya pikir tertata sangat rapi, teduh dan bersahabat. Masjid Tropikana. Jarak tempuhnya tak jauh, tak akan lebih dari 10 menit perjalanan dengan menggunakan mobil pribadi, kami akan tiba. Biasanya di kisaran jam 11.40, itu adalah sebelum azan dzuhur berkumandang, sebelum khatib naik ke atas mimbar untuk ingatkan tentang semua hal-hal berbau baik. Untuk kemudian duduk di antara rindang dua Trembesi besar, dan mulailah kami membuka dialog tentang apa saja. Tak pernah ada tema khusus. Seperti siang yang tadi. Kami bicara tentang tema perawatan rumput dan pagar besi, atau cerita saat-saat sebelum ajal menjemput ibu dari seorang kawan yang ini tujuh hari yang lewat, atau acara politik di satu stasiun televisi swasta yang tayang tadi malam. Tapi intinya sepertinya sama saja. Tak ada satupun obrolannya yang sangat serius. Kalaupun ada yang mulai mengarah, itu tak akan bertahan lama, karena selalu saja ada bagiannya yang akan membuat cerita itu jadi bahan tertawaan. Dan bila suara khatib terdengar akan menyudahi khotbah bagian pertamanya, maka salah satu dari kami akan bicara: “udah, masuk dulu!”, dan disusullah oleh sisanya. Selalu seperti itu. Hingga saat salatnya selesai, kami akan berkumpul lagi di tempat yang sama, mengobrol lagi barang 10 menit, sebelum akhirnya kembali menuju kantor kami di timur sana.

Tiup angin dan gaduh beberapa anak-anak SD yang asik bermain sepeda adalah pemandangan yang biasa. Di sini lah saya biasa Jumatan hampir tiga tahun belakangan ini. Saya ingat pelataran masjid ini berikut semua suasana dan muadzinnya yang 2 bulan terakhir ini sudah berganti orang. Entah kemana yang lama. Saya sebenarnya sedikit penasaran. Lelaki kecil bermuka teduh yang akan mengumandangkan azan dengan sangat ringkas. Beberapa kali saya hitung, kumandangnya tak pernah jauh dari satu menit saja. Saya juga masih mengingat suaranya yang sedikit tergesa di antara jatuhan dedaun mangga yang menguning serta lenggak-lenggok daun raksasa pisang kipas di pelatarannya, juga gemericik wudhu yang jatuh di sebelah dalamnya lagi. Saya merekam. Meski tak terlalu paham juga kenapa, di beberapa tahun ini, saya tak kunjung berkenalan dengan lelaki berwajah teduh itu. Mungkin minggu-minggu depan saya akan coba bertanya.
Cikarang, 22 November 2013
*foto oleh Agung Heru Karsono

Kamis, 21 November 2013

Pergi Silaturahmi

Banyak yang harus saya kerjakan akhir minggu ini. Beberapa misi penting yang akan coba saya lakukan satu-persatu. Tapi sepertinya intinya tak banyak, sangat sedikit malah. Itupun kalau tak bisa saya sebutkan bahwa misinya sebenarnya cuma satu. Misi penting itu adalah: bersilaturahmi.

Kiranya malam ini Bandung sudah di pelupuk mata. Ya. Semua misi yang saya sebutkan tadi rencananya akan dieksekusi di kota itu. Semuanya akan dimulai di sabtu pagi ini. Bergerak dari meninggalkan Cikarang, hingga nantinya akan tiba di terminal bus antar-kota yang sangat ramah dengan 1.001 cerita yang pernah terbentuk sebelumnya, dan cerita-cerita barupun dimulailah. Tepatnya sekarang saya jadi teringat beberapa cerita lucu dan menarik di terminal itu, haa, saya jadi senyum-senyum sendiri. Teringat bahwa ternyata cerita itu terbentuk tak kenal tempat, waktu, dan siapa. Tapi sudahlah, saya sedang tak ingin bercerita tentang itu dulu sekarang. :D

Bersilaturahmi. Semacam mengikat tali perkawanan, begitu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Lebih kurangnya begitu pula menurut saya. Mengikatnya bisa dengan apa saja. Bisa dengan obrolan, ingatan, tawa, rasa kesal, marah, macam-macam. Semuanya bercampur jadi semacam bola karet transparan yang di dalamnya terdapat campuran liquid berwarna-warni yang tak mudah saling baur satu dengan yang lain. Begitulah menurut saya tentang berkawan. Dia diikatkan di dalamnya, dia dibawalah kemana-mana.

Adalah seorang kawan di beberapa bulan yang lalu berkisah tentang kawannya yang lain. Yang menganggap berkawan itu tak boleh menyebalkan, harus menerima, juga seragam. Dan ditambahkannya pula dengan sedikit drama: "tak seperti si A yang sangat egois, si B jauh berbeda, dia sangat pengertian dan penuh pertolongan, kami sangat saling mengerti!". Lanjutnya saya hanya iyakan saja. Terserahlah menurutnya apa saja, saya tak menganggap salah siapa-siapa. Tapi mungkin bagi saya, adalah hal yang sangat normal saat merasa kesal atau bahkan marah dalam berkawan. Seperti jadi malas menegurnya untuk beberapa hari, atau menumpahkan apa yang dipikirkan, atau bentuk ekspresi apapun yang kamu mau. Saya pikir wajar, dan normal saja. Selama hal itu tak dilakukan dengan berlebihan, saya pikir itu akan menambah menarik ceritanya, semakin asiklah dia untuk dijalani.

Seperti beberapa kawan yang akan saya kunjungi di akhir minggu ini. Selayaknya orang lain dalam berkawan, sayapun pernah merasa sangat senang, sangat kesal, atau sangat biasa saja kepada mereka. Penyebabnya rupa-rupa. Kadang salah tangkap maksud, kadang gesekan kepentingan, kadang tak saling sepakat, kadang merasa dia sudah berlebihan, atau kadang hanya salah satu dari kami sedang ingin menyebalkan saja. Ahahaa. Tapi seiring itu pula, saya pikir, cerita berkawan jadi menemukan esensinya yang, kabarnya, asik seperti komedi putar. Dan saya pikir kabar itu benar. Kabar itu benar. :)
Cikarang, 21 November 2013

Selasa, 19 November 2013

Serba-Serbi Waktu

22.36. Kombinasi angka itu tertera di pojok kanan bawah laptop merk H*P yang sudah membuat saya ketergantungan ini. Saya sebut begitu, karena saat pikiran sedang sangat penuh, atau sedang sangat kosong, maka laptop ini adalah yang pertama saya ingat. Saya suka memijit-mijit tombol berlambang huruf-hurufnya dalam acak, singkat katanya menulis. Menulis tentang apa saja. Tepat seperti saat ini. Saat saya tak tahu harus apa, pikiran saya seperti bingung. Tapi tak jelas apa yang saya bingungkan. Maka saya menulis. Juga tak tahu, ini sedang menulis tentang apa. Jelasnya saya sedang tak mengantuk. Lepas makan nasi goreng surabaya di awal magrib tadi, saya terlelap. Bangun, jam kuning di tembok putih itu sudah hampir genap menunjukkan  19.30. Dan abrakadabra, sekarang saya masih selincah ikan cupang bertemu cermin.

Setelah tamatkan satu album Dan Auerbach, saya matikan pemutar lagunya. Saya sedang ingin sepi. Rebahkan badan di kasur biru yang agak nyaman ini, meraih satu novel pinjaman dari seorang kawan baik di Bandung beberapa minggu yang lewat. Judulnya Laskar Pelangi, karya Andrea Hirata. Pemisah bukunya tadi terselip di halaman 454, tandanya saat ini saya akan memasuki chapter berjudul kecil “Agnostik”. Saya mulai membaca pelan-pelan. Begini pembukaannya:

"Satu titik dalam relativitas waktu:
Saat inilah masa depan itu."

Saya tersenyum kecut. Bergetar. Mungkin kamu akan menganggap saya berlebihan. Tapi saya yakinkan tidak. Saya baca berulang, lagi dan lagi, dua kalimat ini. Tapi, ah, sudahlah. Saya tak akan membahasnya, biarkan saja. Saya teruskan, hingga sampailah di lembar 500an. Saya sudah selesaikan semuanya. Saya diam. Juga sediam suasana di kamar kos-kosan sempit berubin besar-besar ini. Jujur, saya sedang merasa bingung. Sepertinya kebingungan ini bermula saat sukses khatamkan novel ini. Meski saya tak tahu pasti juga apa yang saya bingungkan sebenarnya. Berpikir keras, tapi entah tentang apa. Pejam, nanar, berganti gerakan kanan-kiri di atas sprei bunga-bunga kuning-merah-biru yang mulai berantakan tak karu-karuan. Ah, sudah, saya masak mie instan dulu saja. Lapar lagi! Biar ngantuk juga. :D
Cikarang, 19 November 2013

Sabtu, 16 November 2013

Ngacapruk

16 November 2013, menunggu tengah malam, waktu Indonesia barat.

22.57
Lagi nyamar!! Minta duit!! Belum makan dari SMP kelas 2.

23.07
Puji syukur ke hadirat Tuhan. Semenjak pemerintahan SBY ini, kehidupan keluarga saya sudah meningkat. Dulu kami hidup di bawah garis kemiskinan, dan sekarang, setelah hampir genap satu dekade, alhamdulillah kami hidup di pas garis kemiskinan. *ketawasendirian

23.18
Ayah saya dulu selalu berpesan supaya selalu ingat membawa KTP. Karena kalau tidak, dan di jalan sedang ada razia, saya bisa diangkut ke mobil satpol PP, divonis sebagai anggota GEPENG, gembel dan pengemis. Gitu dia bilangnya. Ahahaa. Sebenarnya ga perlu KTP, saya udah keliatan kaya juragan lumpur Sidoarjo secara natural. B-)

23.27
Kenapa tukang becak sering terengah-engah saat mengayuh becak 1 km berisi ibu gemuk beserta 1 karung beras 50 kg? Pura-pura aja, biar keliatan cape sama aparat DLLAJR

23.31
Kata tukang duren di Jababeka, yang pengemis itu sebenarnya adalah aparat keamanan. Saya tanya balik: "kenapa tak ada mentri perdurenan di republik ini, Mang?". Dia mesem-mesem.

23.41
Kata seorang pejabat, dalam orasinya yang meniup seperti kipas angin rusak, ".ita pasti bisa!" .ita harus tunjukkan pada dunia!". Seorang demonstran buruh bertanya pada kawannya di warung kopi: "kapan draft tuntutan kita bisa selesai?" kawannya menjawab: "liat! .ita wiryawan main piano di jawa jazz". Balasnya: "ah ga nyambung lu, koplakk!!"

23.43
Ah udah!! Tidur duluuuu, Jangan lupa sebelum tidur minum kopi yang banyak!!
Cikarang, 17 November 2013

Sebuah Kebanggaan

Dari Sukarno, dari Bacharuddin Habibie, dari Sujiwo Tejo, dari Raymond Tjandrawinata, dari Indra Thahir, dari Andrea Hirata, dari Susi Susanti, dari Gesang, dari banyak lagi, saya belajar tentang sebuah kebanggaan. Sebuah rasa bangga yang terbuka, dan disampaikan dengan caranya yang masing-masing. Saya pikir, memang begini yang seharusnya. Memang begini yang seharusnya. Jalannya yang masing-masing, tapi terjemahannya selalu mirip. Tentang kebanggaan yang tidak dimonopoli.
Cikarang, 17 November 2013

Mimpi di Citra Indah

Pagar gerimis Bukit Cempaka.
Sabtu pagi. Bersama seorang kawan, kami menuju ke sini. Sebuah perumahan yang saya anggap besar, dengan cuaca sekitar yang menyenangkan pula. Untuk lokasi, dengar-dengar, daerah ini masuk ke daerah timur laut bogor, lebih tepatnya daerah Jonggol, kabupaten Bogor. Perumahan Citra Indah, begitu namanya. Pelan-pelan, kami melihat-melihat, sedari pagi cerah sampailah di gerimis sore satu-satu yang asik. Setelah menemukan apa yang kami cari, juga lepas hampiri rumah seorang kawan yang lain untuk disuguhi segelas kopi hangat, kami kembali lagi ke tempat ini, tempat yang saya temukan hari ini. Bersemangat sekalinya saya, hingga saat tiba waktunya pulang, saya ajak mereka mampir dulu sekali lagi ke sini, belum juga puas rasanya.

Tanah kosong seluas 134,82 meter persegi. Di sinilah kiranya nanti akan berdiri sebuah rumah kecil dengan tipe 21. Terlalu kecil menurutmu? Menurut saya sangat relatif. Heheu. Sepertinya akan sangat cocok dengan apa yang saya pikirkan, apa yang saya inginkan, apa yang saya rencanakan. Semoganya nanti memang benar bisa semenyenangkan itu. :) Di perbatasan selatan tanahnya, adalah sebuah tembok setinggi kisaran dua meter. Di belakangnya, terhampar hijau yang sampai jauh seluas mata memandang sampai ke kaki perbukitan biru di ujung sana, diselingi pula dengan sebuah sungai kecil yang terlihat berukuran sangat mini. Entah kenapa saya merasa kurang puas saat hanya sekedar mengintip panoramanya dari sisi dalam pagar tembok batako itu saja. Masih di antara gerimisnya yang hangat, lanjut saya naiki pagarnya, biar lebih lepaslah mata memandang. Dan sampailah. Berpikir sejenak, saya berujar dalam hati: "Ya, ini yang saya inginkan". :)

Tanpa saya sadari, kawan yang tadi, dari bawah, mengambil beberapa gambar yang ternyata sangat saya sukai. Kesannya yang tertangkap: sebuah siluet. Di tempat tadi saya berdiri di atas sana, saat lepaskan pandang ke selatan jauh menerawang kiranya cerita ini nantinya akan bermuara kemana. Yang semoganya akan tetap terasa senang sampai kapanpun, meski saya tak tahu pasti. Tapi bagi saya cukuplah dulu senang yang ini untuk sekarang, dan cukuplah pula beberapa lembar mimpi lanjutan besok-besoknya. :)
Cikarang, 16 November 2013
*foto oleh Frans Kurnia

Kamis, 14 November 2013

Para Penari Hujan

Adalah sebuah ungkapan yang saya buat sendiri saat masih kecil dulu: hujan adalah basah. Heheu. Dulu, saat hujan raya datang, dengan senang hati saya akan berlarian keluar lewat pintu samping rumah, menuju rumah beberapa kawan untuk mengajaknya bermain hujan. Bila mereka tak ada, saya akan membujuk kakak-kakak sepupu untuk temani saya menikmati basahnya. Dan bila ternyata tak ada siapa-siapa untuk diajakpun, saya akan sendiri saja, tak masalah. Sepi memang, tapi setidaknya lebih baik dari pada hanya melihatnya dari balik jendela kamar yang hangat. Dalam suasananya, saya akan menari-nari bebas di bawah milyaran titik air sebesar biji jagung jatuh dari langit itu. Atau bersila dengan tangan bersedekap di depan dada seolah bertapa di bawah seng karatan yang mengalirkan air dingin sederas limpah air terjun di tengah hutan Liku Sembilan di pedalaman Bengkulu. Saya masih sangat ingat saat-saat itu, tapi saya tak terlalu ingat kenapa saya merasa senang pada garis-garis bening lurus menghajar wajah saat khusyu tengadahkan kepala memuja langit dalam mendung tebal menghitam tapi ramah itu.

Saya beranjak dewasa. Dan sudah sedikit malu untuk menari bebas di bawah hujan tanpa alasan yang jelas. Saat-saat seperti itu, saya akan coba mencari beberapa alasan lain untuk bisa beraktivitas di bawahnya. Seperti mengendarai motor di tengahnya, berpura mengerjakan tugas apapun yang saya sebutkan “tanggung kalau di-ntar-ntar” ke orang-orang, atau sesekali mengesampingkan payung yang sudah terbuka itu di saat jalanannya sepi, ah macam-macam. Apalagi bila saat itu adalah sore. Entah mengapa, saya selalu menganggap kombinasi hujan dan sore adalah luar biasa. Hahaa. Tapi sepertinya juga, sejak saat itu, saya mulai mengerti mengapa saya merasa senang melihat garis hujan. Jawabannya ternyata sederhana: karena garis hujan itu membuat saya merasa senang. Ya, itu.

Dan kemarin, saat membaca status seorang kawan di akun social-media miliknya, saya tertawa. Isinya begini: “Hai hujan, senang berjumpa lagi, yang naik mobil mah ga paham nikmat yang ini. Sttt buat kita aja :D”. Benarnya saya tertawa. Saya nyatakan kalimat yang hampir serupa hampir ribuan kali sepertinya. Nikmatnya merasa basah di bawah hujan, yang mungkin tak semua orang bisa mengerti. Entah karena memang tak suka, entah karena tak pernah mencoba, entah karena tak mau suka. Ah, biar saja. :) Meski kadang saya berpikir, apakah mereka mengerti apa arti kata basah? Ah, mungkin mereka belajar tentang hal itu dengan cara yang lain. Bukankah cara belajar ada jutaan bentuk dan masing-masing? Heheu.

Saya tak pernah berdoa untuk hujan, seperti juga saya tak pernah berdoa untuk cerah, atau biasa. Tapi saat dia tiba dan menyapa, wajarlah segenap syukur dan doa-doa mengalir seiring turun airnya basahi semua. Seperti juta bahagia yang menjemputnya dalam luap kasmaran para penari hujan, yang biasanya diam, malu, sembunyi-sembunyi.
Cikarang, 14 November 2013

Rabu, 13 November 2013

Pesan Sederhana

Kartika Ikrama Syafirlana,

Hei cantikk, kamu yang sabar di sana.  Maaf Pinjungan ga bisa pulang ke Palembang. Semoga doa Pinjungan untuk papa nana dari tadi pagi bisa cukup,  
Juga sampein salam sayang buat mama nana, dede, uti. Semoga bisa cepat ceria lagi.  Ntar kalo udah bisa ditelpon tolong kasitau yaa.

***
Indra Parameswara,

Laki-laki akan kuat seperti karang, juga akan lembut seperti angin. Waktu dan pengalaman hiduplah yang akan membuatnya seperti itu. Kamu pun juga begitu. 
Semoga cepat ceria lagi.

***
Putri Mentari,

Ah, gadis kecil menarik tengah beranjak dewasa ini adalah favoritku. Senyumnya manis, tawanya asik. Yakinlah dia pasti disukai siapapun. Mungkin sekarang dia sedang sedih, tapi akan segera lincah kembali. 
Semoga cepat ceria lagi, Uti.

Cikarang, 13 November 2013

Senin, 11 November 2013

Waktu


Kesalahan maha-besar apa yang sudah kamu lakukan hingga nyatanya kini kamu menyalahkan waktu? Aku benar bertanya sendiri, tak habis pikir. Kiranya mungkin kamu berpikir bahwa saat ini adalah bukan yang seharusnya? Bila benar begitu, lalu apa yang kamu inginkan sekarang? Inginkan semua sesuai dengan keinginanmu saja terus menerus? Ah sepertinya kamu sudah terlalu jauh. Aku yakin kamu sudah terlalu jauh.

Bila kamu ingin tahu, aku selalu berpikir, hidup itu berarti belajar. Selayaknya orang belajar, salah adalah suatu yang lumrah. Sangat lumrah malah. Bahkan kitab ajaib itu pun bercerita bahwa seorang tersuci sekalipun pernah berbuat suatu salah, lalu dengan gemilang dia mempelajarinya, kisahnya begitu. Entah hal ini berarti apa bagimu, tapi mungkin seharusnya membuatmu mampu berbesar hati. Atau setidaknya mencoba untuk bisa seperti itu.

Waktu adalah sebuah rahasia agung. Bila kamu tak setuju, aku tak akan mempermasalahkannya juga. Tapi benar, seperti itulah menurutku. Entah bagaimana caranya, dia disediakan agar kita semua bisa belajar. Belajar mengenal, belajar berbuat baik, belajar berbesar hati, belajar menerima, dan banyak lagi. Di situlah segenap cerita hidup bergumul, membentuk siapa dirimu pada akhirnya, mengingat semua proses belajar dalam sebuah dimensi rumit bernama waktu.

Kamu pun tahu, aku bukanlah seorang bijak. Jutaan salahku banyak, mungkin jauh lebih banyak dari punyamu. Tapi biar saja, aku tak berminat berlomba-adu. Tak perlulah membuatku akhirnya malu sendiri. Tapi sekarang kemarilah, kawan yang baik. Lanjutkan cerita suka-suka. Kita bersyukur atas waktu-waktu, coba gembira atas semua duka-lara pernah terlewat. Meski tak mudah, tapi sepertinya akan baik bila kamu ingin mencoba.
Cikarang 11 November 2013

Minggu, 10 November 2013

Hari Pahlawan

Kiri - kanan: Aduy, Teddy, Gelar, Guntur.
Obrolan kami malam itu, di sebuah warung angkringan sederhana di kawasan Jalan Setiabudhi, Bandung, tak terlalu spesifik. Dengan ditemani hidangan makanan sederhana dan minuman susu-jahe panas hangatkan setiap lembar obrolannya di kisaran pukul 23.00 WIB. Tapi mungkin banyaknya kami membahas rencana pagelaran seni yang akan diadakan di kolam Partere, halaman Gedung Isola - Universitas Pendidikan Indonesia, di 10 November 2013, pukul 10 pagi. Ya, itu hari ini. Yang sayangnya saya tak bisa ikut hadir ramaikan acaranya. Hingga saya tuliskan saja tulisan ini, sebagai bentuk ikut serta memeriahkan acaranya. Inginnya saya datang, bertemu langsung kawan-kawan lama dan baru, mengingat apa yang terjadi di tanggal yang sama 68 tahun yang lewat, juga bercerita tentang apa saja, nikmati suasana. Tapi pastinya kawan-kawan di situ juga akan mengerti, saya tak datang, ada alasannya. Yang meski kadang saya sendiri pun tak terlalu paham alasannya apa, hahaa. Tapi benar, kami tak terlalu menyukai drama. Termasuk yang ini, hari saat saya tak datang.

Hari Pahlawan. Acara kami ini dibuat untuk memperingati Hari Pahlawan. Kami bicara mengenai banyak dimensi pahlawan malam itu. Di beberapa titik sama, di beberapa yang lain ternyata berbeda. Ah, biar saja. Tak perlu melulu disamakan juga kan ya? Tapi yang jelas niatnya baik. Maka, untuk yang ini, bagi saya cukuplah.

Dan sekarang, dari sore Cikarang yang sedang hujan, saya kirimkan harapan. Semoga tadi acaranya lancar, tersampaikan esensinya, bersenang-senang semua. Rayakan hikmatnya hari ini dengan cara yang masing-masing, termasuk saya yang saat ini hanya duduk sendiri saja di hadapan sebuah komputer lipat ditemani lantunan Jungle Song yang dinyanyikan dengan sangat serius oleh seekor kudanil di tengah rimba raya.

Selamat Hari Pahlawan!
Cikarang, 10 November 2013
*foto diambil oleh si aa penjaga warung angkringan, saya lupa tanyakan siapa namanya, :D