Sabtu, 09 November 2013

Waria

Saya sedang duduk menunggu pesanan bakmi jawa goreng spesial extra pedas di Warung Bakmi Pak Kempet, ketika datang dua orang waria berdemonstrasi kuda lumping dan musiknya yang keras lewat di hadapan. Saya perhatikan. Dan setelah berdialog singkat, saya berikan selembar uang bergambar Pangeran Antasari kepada salah satunya. Dengan senyum mereka menerima, lalu keduanya pergi lagi ditelan hiruk pikuk jalanan yang mulai ramai diserbu muda-mudi kasmaran menyambut malam minggu di taman seberang itu.

Lamunan saya melayang menuju satu kota kabupaten, tempat dulu saya tumbuh, menemui seorang kawan yang sedikit berbeda dari yang lain. Dia seorang waria. :)

***
Namanya Boyke Indra Bin Samsuri, saya memanggilnya Boy. Ayahnya (alm.) adalah salah seorang pengurus masjid di tempat kami, dan dikenal taat beribadah. Saya lumayan mengenal keluarganya, karena dulu hampir setiap hari saya dan seorang kawan yang lain, Kwang (silahkan baca tentang Kwang di postingan: A. Bareto Simalango), berkunjung ke rumahnya. Kami memang selalu saling mengunjungi, walau hanya sekedar menjemput untuk mengajak main bersama habiskan hari. Bertiga, kami bermain kemana saja, mandi di sungai, bermain tarzan-tarzanan dengan pelepah kelapa kering di atas sebuah dam, mencuri kelapa muda di kompleks TNI, menangis di sebuah komedi putar,  mencuri di warung baso Moro Seneng itu, mengumpulkan plastik bekas, besi dan peluru untuk dijual di tukang loak keliling, mencuri sendal di masjid, berburu belut di pematang sawah saat malam Ramadhan, berjalan belasan kilo hanya untuk dikejar petani yang membawa arit karena kami mencuri rebung (bambu muda) di kebun bambu miliknya, ah banyak sekali, seolah tak terhingga. Ya, dulu, Boy belum jadi waria. Walaupun dari dulu perilakunya memang terlihat lebih lembut, seperti wanita. Sangat berbeda dengan tingkah-pola saya dan Kwang yang cenderung kasar. Tapi kami tetap berkawan, layaknya anak-anak SD dalam berkawan.

Setelah lulus SD, Boy jarang main bersama kami lagi. Saya dan Kwang tak terlalu mengikuti perkembangannya lagi, hanya sesekali saja bertemu saat melintas di depan rumahnya. Begitu waktu berjalan, hingga kami semua sekarang sudah beranjak dewasa. Boy menjelma menjadi seorang waria profesional. Saya mendengar dia memenangkan kontes Ratu Waria se-provinsi Bengkulu. Saat ini, salon kecantikan yang dia milikipun berkembang pesat dan sangat ramai. Nama salonnya Vegi. Vegi itu adalah nama waria dari si Boy, heheu. Dari penghasilannya ini, dia sudah bisa menyulap rumah kayu reot milik keluarganya dulu menjadi sebuah bangunan salon yang sangat apik, penuh dengan kaca dan bunga-bunga wangi sekaligus menjadi tulang punggung keluarganya. Ah memang, hidup memang mencengangkan. :)

Setiap kali pulang, saya pasti selalu menyempatkan diri berkunjung ke rumah sekaligus (sekarang) salonnya itu. Kadang saya datang sendiri, kadang berdua dengan Kwang, ah bebas saja. Di mata kami, dia tetap Boy yang kami kenal dulu. Dia tetap menjadi laki-laki saat berbicara dengan kami. Meski dia akan sedikit canggung bila ada pelanggan atau karyawannya yang sesekali melintas saat kami sedang mengobrol. Apalagi bila yang lewat adalah pacarnya, ahahaa. Ya, Boy memiliki pacar laki-laki, saya lupa namanya, dan mereka tinggal serumah di salon itu. :) Kata tetangga-tetangga, “pacar si Boy itu cuma morotin si Boy doank!”. Saat saya tanya tentang hal itu, Boy menjawab bahwa pacarnya itu baik kok. Saya iyakan saja. :) Dan entah sekarang, kami sudah lama tak saling bertemu, mungkin sudah 4 tahunan.

***
Dan malam ini, saat bertemu dengan dua waria di depan rumah makan yang tadi, saya menyelipkan harap: berharap semoga dia tetap sehat, dilancarkan usahanya, dan dianugrahi rasa senang yang tak kurang-kurang. Begitu saja. :)
Cikarang, 9 November 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar