![]() |
Api unggun di luar pagar Universitas Pendidikan Indonesia |
Di antara udara dingin yang khas, saya turun dari angkutan
perkotaan itu di kisaran jam 9 malam. Lepas janji bertemu dengan seorang kawan
di salah satu sudut Gelap Nyawang yang teduh, berikut mengunjungi kakak untuk
mengajaknya minum coklat hangat di sebuah cafe
favorit di daerah Sulanjana. Nyatanya sekarang saya sudah di hadapan Geger
Kalong. Sebuah jalan yang sering sekali menjadi tujuan bila saya mengunjungi
kota ini. Banyak ceritanya, dari yang lalu, sampai yang sekarang, sampai yang
nanti. Seperti api unggun yang ini.
Formasinya dionggokkan di pinggiran muka jalan, sedang dua
tukang ojek sibuk sekali merapalkan api-api. Setelah apinya membesar, saya dekati
keduanya, kami berbicara di teras bunga api. Salah satu dari mereka menunjuk ke
atas sana, di rimbunan dahan kisabun yang teduhkan kami dari sinar malam. Katanya
dari situlah bahan api ini diperoleh. Saya mengangguk-angguk. Ah, ternyata dia
lagi yang memanggil saya untuk datang dan berpikir. Kisabun.
Saya jadi ingin bercerita. Nama latinnya Filicium decipiens. Pohon ini banyak
tumbuh di kampus kami. Sedari dulu, saya suka sekali duduk-duduk di bawahnya
untuk melihat-lihat sekitar, memperhatikan siapa saja yang berlalu lalang. Bila
hujan, saya sering memperhatikan sendiri bahwa pohon ini akan mengeluarkan
buih-buih yang memenuhi lantai jalan di bawahnya. Ya, itulah sebabnya pohon ini
dimasukkan ke dalam Family Sapindaceae
di sistem klasifikasi tumbuhan. Bagian tubuh kisabun banyak mengandung saponin,
semacam zat kimia yang biasa digunakan sebagai bahan dasar pembuatan sabun. Dan
buih-buih tadi berasal dari itulah. Buahnya yang kecil-kecil juga tak kalah menarik.
Warnanya ungu, dan mengandung zat warna pekat yang akan sangat sulit
dihilangkan bila dia menimpa dan pecah di baju. Saya ingat, dulu saya selalu menghindar
untuk duduk di bawah kisabun bila saya sedang memakai baju baru atau baju yang bagus.
Heheu.
***
Di bukunya, Andrea Hirata sepertinya sangat memuja pohon
ini. Batang filicium, bawah filicium, teduh filicium, begitu Andrea gambarkan
latar tentang ratusan peristiwa hebat yang terjadi di bawahnya. Tapi benar,
saya bukan menyukai pohon ini karena meniru Andrea, saya tak terlalu suka
meniru. Saya sudah menyukai kisabun dari dulu, banyak orang yang tahu pasti tentang
hal itu. Saya sudah menulis banyak hal tentang kekaguman pada kisabun jauh sebelum
saya tahu siapa itu Andrea Hirata dan filiciumnya. :) Tapi sepertinya filiciumnya-Andrea
dan kisabunnya-saya punya sensasi yang mirip. Dia teduh, dia hangat, dia kuat,
dia ceria, dia penampung cerita. Sepertinya memang itulah deskripsi kisabun,
filicium, atau apapun namanya. :D
Cikarang, 25 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar