Selasa, 14 Oktober 2014

Selamat Ulang Tahun, Serdadu!

Ini memang sedikit terlambat, karena sebenarnya HUT TNI  sudah lewat di 5 Oktober kemarin -lebih tepatnya sebenarnya karena saya lupa, :p. Hingga sore ini, tanpa sengaja saya mendengar Iwan Fals menyanyikan lagu ”Serdadu” dari komputer lipat yang terputar acak dari playlist. Dan tiba-tiba saya jadi teringat: bahwa saya adalah anak dari seorang serdadu. :)

Saya masih ingat beberapa tahun yang lalu, saat saya dan ayah sedang berdiskusi tentang upacara 17 Agustus yang saya lakukan di kantor kemarin pagi. Saya ceritakan pada ayah bahwa pendiri perusahaan tempat saya bekerja saat ini adalah seorang purnawirawan TNI. Dan dengan alasan itu, kantor kami selalu rutin melakukan upacara bendera di hari kemerdekaan. Hingga saat gilirannya itu tiba, ayah berkomentar: “Hei, Nak. Mungkin kau tak kan percaya kalau saya katakan bahwa seorang tentara seperti kami memiliki rasa yang lebih intim pada negara ini, mungkin sedikit aneh memang, hahaa”. Saya ikut tertawa mendengarnya, sekedar berpura-pura paham saja sebenarnya. :p

Atau sekarang hal yang lain lagi saja. Di 5 Oktober kemarin, saat melihat sekilas berita di internet tentang Iwan Fals yang memberikan bibit pohon pada salah seorang tentara saat dia selesai manggung di markas TNI. Saya lihat di foto itu, Bang Iwan tertawa lebar sambil menyandang gitarnya yang terlihat hampir jatuh ke samping kirinya. Sesaat saya tercenung melihat foto itu. Meski saya tak membaca lengkap beritanya, tapi sepertinya saya berani bertaruh bahwa dia pasti menyanyikan lagu ini di acaranya tadi –tebakan yang mudah, :D. Lantas saya bicara sendiri di dalam hati tentang orang bergitar miring ini: “Hah, orang ini sepertinya memang sedikit lebih pandai merasakan realita dari orang-orang kebanyakan. Dia seorang seniman yang baik” :)

***
“Serdadu” – Iwan Fals

Isi kepala di balik topi baja
Semua serdadu pasti tak jauh berbeda
Tak peduli perwira, bintara atau tantama
Tetap tentara

Kata berita gagah perkasa
Apalagi sedang kokang senjata
Persetan siapa saja musuhnya
Perintah datang karangpun dihantam

Serdadu seperti peluru
Tekan picu melesat tak ragu
Serdadu seperti belati
Tak dirawat tumpul dan berkarat

Umpan bergizi oh titah bapak mentri
Apakah sudah terbukti?
Bila saja masih ada buruknya kabar burung
Tentang jatah prajurit yang dikentit

Lantang suaramu otot kawat tulang besi
Susu telur kacang ijo extra gizi
Runtuh dan tegaknya keadilan negri ini
Serdadu harus tahu pasti

Serdadu baktimu kami tunggu
Tolong kantongkan tampang serammu
Serdadu rabalah dada kami
Gunakan hati jangan pakai belati

Serdadu jangan mau disuap 
Tanah ini jelas meratap
Serdadu jangan lemah syahwat
Nyonya pertiwi tak sudi melihat!

Cikarang, 13 Oktober 2014

Senin, 06 Oktober 2014

Malam Sudut Pantura

Malam takbir Pantai Utara
Siang sudah hampir tepat sampai di atas kepala, saat saya memilih berhenti di sebuah gerobak rokok sederhana di kawasan lapangan yang sedang tak terlalu ramai, Lapangan Karangpawitan. Siang itu saya tengah menjalankan sebuah rencana untuk mengunjungi salah seorang kawan baik di Graha Puspa Karawang sambil merayakan malam takbiran lebaran haji bersama keluarga kecilnya. Siang itu Karawang tengah panas-panasnya, dan saya berpikir: "sepertinya berhenti di samping gerobak portable itu sambil meminum sebotol teh dingin dengan alunan musik yang bermain pelan-pelan adalah pilihan yang menarik". Setuju dan lepas parkirkan motor pinjaman di depan sebuah halte kosong yang tak terpakai di seberang jalannya, saya merenung sejenak tentang beberapa hal.

Di pundak saya sekarang sudah tergantung sebuah tripod pinjaman dari seorang kawan baik yang lain di Bandung sana. Sebenarnya sedari kemarin saya sudah berniat memberdayakan alat ajaib ini untuk menangkap beberapa gambar di sebuah jalan besar dekat rumah dari kawan yang akan saya kunjungi hari ini. Jalan itu adalah Pantura. Sebuah jalur jalanan besar dan ternama, singkatan sederhana dari “Pantai Utara”. Dan saat nanti malamnya sudah sedikit larut, saya ingin sekali memotret jalur yang terkenal dengan banyak hal tersebut –dari yang positif sekali hingga yang negatif sekali. Yang sayangnya, saya tak terlalu yakin kawan tersebut akan mau memenuhi ajakan untuk menemani saya menuju jalur itu saat malam sudah sedikit lebih larut. Jikapun dia mau, maka istrinya juga belum tentu mengijinkan. Ah, tapi saya sudah bulat untuk mencoba. Jikapun akhirnya nanti dia tak bisa menemani, maka saya tetap tak akan keberatan menenteng-nenteng tripod ini sejauh ini, hingga ke sini. :)

***
Malamnya sudah sedikit lebih jauh untuk ukuran mengajak orang yang sudah berkeluarga keluar rumah tanpa tujuan yang jelas. Dan saat saya ajukan ajakannya, ternyata kawan tersebut setuju. Saya meminta dia untuk meminta izin terlebih dahulu pada istrinya, dan lagi-lagi ternyata tak ada masalah. Ah, saya senang sekali. Berdua kami menuju ke jalanan besar itu.

Dan kami tiba. Di depan sebuah ujung gang yang sepi sekali dan gelap, bertemu dengan sebuah jalanan besar yang lurus sekali, berikut lintasan kendaraannya yang selalu saja melaju dengan kecepatan yang tinggi. Kadang saya berpikir sendiri setiap melalui Pantura: “kenapa semua orang selalu setergesa ini?”. Ah, sebenarnya ini hanyalah sebuah pertanyaan yang sama sekali tak memerlukan jawaban, :D

Saya meminta kawan yang tadi untuk menunggu saja di atas motor sambil menghisap tembakaunya yang berbatang-batang, juga sebotol teh-susu kemasan yang kami bawa dari rumah tadi. Sedang saya, memilih membawa kamera dan tripod yang sudah terpasang sempurna itu menyeberang ke tengah pembatas jalannya yang tak begitu lebar, tapi cukup. Mencoba tembakan slow speed yang menurut saya tricky sekali, ke arah jalannya yang menuju Jawa. Saya antusias sekali. Hampir 30 tembakan saya lepaskan dalam rentang waktu hampir 1 jam. Sedangkan objeknya tetap sama: Jalur Pantura menuju Jawa di malam takbir. Sesekali melibatkan juga warung khas Pantura di sisi jalanannya yang gelap sebagai objek tambahan, saya bereksperimen kecil-kecilan. Tapi tak mesti berhasil, kamu tahu? Sebenarnya saya ke tempat-ini-detik-ini hanyalah untuk berkontemplasi sejenak tentang deru angin jalur Pantura saja. :D

Dan mungkin jalur yang saya fotokan ini bukanlah representative spot terbaik dari Jalur Pantura. Pantura sepertinya lebih masyhur dengan jalanan Cirebon-nya yang sama luas dan melegenda. Tapi tenang saja, saya sudah melihatnya juga. Sebenarnya saat ini saya hanya sedang mencari-cari alasan untuk menulis sesuatu tentang deru angin malam Pantura saja. :p

Selamat malam takbiran, Pantura.
Karawang, 4 Oktober 2014

Minggu, 05 Oktober 2014

Gaple

Sore di Karawang belum terlalu jauh. Saya duduk-duduk saja sendiri di lindungan sebuah saung kecil di dalam sebuah komplek Perumahan yang tertata, di antara desing angin sorenya yang ramah meniup-niup. Sebenarnya sore ini saya sedang menunggu seorang kawan baik yang tadi di awal sorenya pergi mengantarkan buah hatinya periksa kesehatan ke dokter spesialis anak. Sambil menunggu, handphone yang masih terbilang baru ini saya utak-atik sekenanya saja. Hingga akhirnya saya membuka laman facebook dan memeriksa beberapa foto di beberapa tahun yang lewat. Dan foto ini adalah salah satunya. Foto di penghujung 2006, kalau tak salah. Sebuah gambar yang menangkap moment dimana saya sedang asik bermain gaple bersama beberapa orang kawan. Saya masih ingat, gambar itu diambil di satu pagi saat kami sekelas tengah kuliah lapangan kecil di Situ Ciburuy, Padalarang. Melihat gambar ini, saya jadi senyum sendiri. Teringat bahwa saya sangat menyukai permainan ini. Di daerah perkotaan, permainan ini dikenal dengan nama: Gaple, sedang di kampung, kami biasa menyebutnya: Dom!
*Saya masih ingat, itu saya yang terakhir masang kartu 4-1, :p
Kiri ke Kanan: Nano, Guntur, Yudo, Hilman, Dicky.
***
Dulu, saya pernah berpikir satu hal yang sangat menarik tentang diri saya sendiri. Saya benar-benar pernah berpikir bahwa saya mampu membaca masa depan! Ya, membaca masa depan! Dan keyakinan tersebut sepertinya didukung pula dengan hobi kawan-kawan dekat di sekolah dulu yang sangat menggilai hal-hal berbau mistis. :p (cerita serupa dapat dibaca di tulisan berjudul "Muhammad Haikal Sedayo (2)" dan "Yudi Apiko" di blog ini). Berulang kali saya mengalami pengalaman menarik mengenai hal (masa depan) ini: dari permainan kartu remi, dari kartu gaple, dari sebuah kecelakaan lalu-lintas yang tak disengaja, dari soal-soal ujian, dari mata kuliah statistika yang pernah saya ambil, dari dialog-dialog singkat bersama orang lain, dan masih banyak lagi. Bahkan hingga saat saya merantau kuliah di tanah Priangan yang cantik itu, saya tetap masih berpikiran tentang hal yang sama.

Hingga hari itu pun akhirnya datang. Sebuah akhir minggu di awal tahun 2007. Hari bersejarah dimana akhirnya saya menyadari bahwa keyakinan saya selama ini mengenai kemampuan membaca masa depan adalah salah satu hal terkonyol yang pernah saya pikirkan (ahahaa, ini memang terdengar bodoh, tapi ini nyata, :D). Saya menyadari hal tersebut bermula dari permainan ini juga. Saat malam itu, salah satu tetangga kampung kami di Negla Hilir Bandung, sedang bersiap untuk hajatan, dan ada perlombaan gaple untuk mengisi malam sebelum besok acara hajatnya dimulai. Tentu saja malam itu saya ikut meramaikan perlombaannya. :D

Singkat cerita, malam itu saya menang (lagi). Hingga di ujung malamnya, saya menerima hadiah seekor ayam jantan –yang akhirnya saya jual malam itu juga seharga 200 ribu rupiah kepada si pemilik hajat. Saya senang sekali malam itu. Bukan saja karena uang 200 ribu yang saya terima, tapi karena satu hal yang luar biasa hebat sudah terjadi di salah satu babak permainannya. :)

Saat itu permainan kami mungkin baru berjalan 10-15 menit saja. Hampir sebagian dari kartu gaple itu sudah turun dari tangan-tangan kami para peserta lomba di meja ini. Dan seperti biasa, saya seolah bisa membaca dengan jelas urutan kartu-kartu apa saja yang akan dikeluarkan oleh ketiga lawan yang mengelilingi saya. Saya berpikir waktu itu dengan pasti: permainan di ronde ini akan ditutup dengan kartu Balak 4 yang saat ini sedang saya pegang di antara 4 kartu yang lain, dan masing-masing 3 kartu di pemainan yang lain! Berpura-pura serius, saya teruskan permainannya. Hingga semua kartu akhirnya turun, balak 4 menutup rondenya sesuai perkiraan saya, dan saya memenangkan lagi permainannya.

Ronde berikutnya baru akan dilanjutkan lagi, dan kartu itu sedang dikocok oleh seorang kawan yang lain. Saya termenung sejenak di antara saut-sautan anak kecil yang berlarian di pinggir jalan kampung dan tawa peserta lomba yang lain di meja sebelah. Saya berpikir keras: “saya ragu sekali bahwa saya bisa membaca masa depan. Sepertinya itu sangat konyol!”. Pikiran saya berkecamuk (lumayan) hebat saat itu. Hingga kartu-kartu gaple itu kembali di bagikan, dan saya tersenyum sumringah di tengah rondenya: saya menyadari satu hal besar! Bahwa sebenarnya saya sama sekali tak bisa membaca masa depan! Bahwa mungkin (sepertinya) saya hanya sedikit lebih pandai dari orang lain dalam membaca kemungkinan-kemungkinan kombinasi yang terbentuk. Hal besar itu terlintas saja saat saya menyadari bahwa saya membutuhkan sedikit keberuntungan untuk memenangkan ronde yang ini. Dan tentu saja, hal itu berbeda sekali dengan kemampuan membaca masa depan! :D

Ya, mungkin sebelum-sebelumnya saya juga sudah pernah menyadari bahwa memenangkan permainan gaple membutuhkan sedikit keberuntungan. Tapi mungkin hal tersebut selalu saja menjadi sangat samar karena kepercayaan diri saya yang berlebih tentang kemampuan membaca masa depan. Ah, bodoh sekali. :)

Dan saya pulang malam itu. Menyimpan baik-baik uang yang saya terima ke bawah tumpukan baju di dalam lemari. Dan sebelum lepas terpejam di atas kasur tipis itu, saya tertawa dalam hati. Menyadari bahwa saya hanyalah manusia normal biasa, adalah hal paling menggembirakan yang pernah saya alami dari dulu hingga malam itu. Berujar sendiri di antara terang lampu tidur berbentuk bola di atas speaker biru itu: “Ah, terima kasih malam ini, kamu bijaksana sekali”, saya belum pernah merasa seterbuka itu. :)

**Sampai sekarang, saya masih suka bermain. Hampir setiap sore sepulang kerja, kadang sampai larut malam
Karawang – Cikarang, 4 Oktober 2014.
*Kalo ga salah, foto ini diambil oleh Yulia Dewi atau Anggraini Nurina. Lupa
**Foto oleh Asep Aripin