Selasa, 23 Desember 2014

Menuju Bogor

Foto tidak simetris lorong kereta yang tak ramai
Perjalanannya akhirnya membawa saya ke tempat ini: sebuah kursi penumpang kereta api yang ramah. Melirik sekilas ke arah bawah tempat ransel hijau yang tak bersih itu tergeletak di antara kedua kaki yang tertekuk dan kursi kereta yang nyaman-nyaman, saya diam saja. Untuk kemudian mengeluarkan sebuah telepon genggam yang masih terhitung baru, melihat jam yang tertulis di layarnya, dan saya tahu: saat ini sudah hampir setengah 10 malam. Lanjutnya saya bertanya sendiri tentang ini dan itu, berdialog pribadi pada kereta malam jurusan Jakarta Kota – Bogor. Haa, saya dari mana saja. Tertawa sendiri di dalam hati, saya katakan: “kereta ini nyaman sekali, bersih, tak gaduh. Saya suka sekali”.

Dan ada banyak alasan mengapa saya menyukai kereta ini. Di antara decit rel beradu besi pemutar, dan obrolan samar dari tiga orang penumpang lain duduk di hadapan tengah asik obrolkan hingar bingar Jakarta. Mereka adalah pasangan bapak-ibu paruh baya dan anak gadisnya yang mungkin seumuran saya. Mereka bahagia sekali atas perjalanan mereka hari ini, sekarang menuju pulang. Senyum-senyum, saya sampaikan doa di dalam hati, agar mereka tetap bahagia besok dan lusa. Sedang untuk saya, ah, mereka tak perlu membalas hal yang sama. Saya sudah cukup senang mendengarkan obrolan mereka yang riuh dan teratur.

Kereta berhenti sejenak di stasiun Depok, saya memutuskan untuk berpindah kursi ke lebih belakang. Agar kini berhadapan dengan seorang bapak berpostur tinggi-besar 40 tahunan yang gelisah di antara kakinya yang disilangkan. Kumisnya yang tebal melintang di atas bibir, juga topi merah tua yang berulang kali dilepas-pakaikan. Hentakan kaki kanan-kiri beralas sepatu kets coklat tua itu hasilkan irama yang tak harmonis. Saya perhatikan pelan-pelan, hingga tatapan kami tak sengaja bertemu. Dia merasa tak nyaman. Mungkin saja dia terganggu dengan tatapan saya yang menemui lamunannya di antara tiup angin dingin yang lolos dari balik pintu.

Dari arah depan, seorang wanita berseragam merah maju memegang serokan sampah lipat berwarna mencolok. Membersihkan sini-situ, dengan apik ayunkan sapunya yang terbiasa. Juga dua orang petugas keamanan yang berjalan menyusuri lorong sambil tertawa. Tiupkan nafas panjang-panjang, juga penumpang yang datang dan pergi silih berganti. Untuk lanjutnya teringat dua kakak sepupu yang tengah menunggu kedatangan saya di rumah dalam komplek besar itu. Di awalnya tadi, salah satu dari mereka katakan bahwa Bogor gerimis dan supaya saya berhati-hati di jalan pulang. Ah, saya ingin sekali bertemu mereka lagi, sudah hampir 12 jam kami belum bertemu.

Malam sudah semakin jauh, dan harmoni album "Hardwell Presents Revealed Volume 5" ini tetap saja bermain di penghujung kabel yang mirip sekali dengan tali sepatu. Sedang Bogor sudah semakin dekat dengan gerbong. Berujar sendiri saya beropini: mungkin baiknya kontemplasi ini saya hentikan dulu di detik berikut. Untuk katakan bahwa perjalanan di atas kereta ini adalah sebuah mesin waktu yang tak canggih. Bergerak dia dalam alunan, berjalan saya satu-persatu.

Jakarta-Bogor, 20 Desember 2014.

Senin, 22 Desember 2014

Kartiniwati (4) : Hari Ibu

22 Desember 2014. Hari Ibu. 
Ah, banyak sekali yang ingin saya ceritakan. Tentu banyaknya itu tentang ibu saya sendiri. Seorang gadis manis bermata teduh yang mudah sekali bergaul. Namanya Kartiniwati Binti Abbas. Perempuan berambut panjang yang suka sekali makan makanan yang tidak berkuah. Hobinya membersihkan rumah, memelihara beragam bunga aneka warna, dan memanjakan putra kesayangan satu-satunya -dan itu adalah saya, heheu. Dulu dia pernah bercita-cita: walaupun nanti saya sudah sukses dan punya banyak uang, dia tetap ingin mengirimkan saya uang bulanan, semampunya dia saja :)))). Dan tentunya, seandainya itu benar terjadi, maka saya akan dengan sangat senang menerima uang kirimannya. Karena saya tahu, satu hal yang paling membahagiakan untuk dia adalah membuat saya bahagia. Ah, dia manis sekali. :)

Salah satu hobinya yang lain adalah menyetrika baju yang akan saya pakai sambil berbicara sendiri, seolah dia tengah mengobrol bersama saya di masa depan. Ini lucu sekali. Keinginannya adalah saya menjadi pegawai kelurahan di dekat rumah kami. Jadi setiap jam makan siang, saya akan pulang ke rumah untuk menemui dan memakan masakannya. Keinginan yang sederhana sekali, tapi saya menyukainya. Saya selalu berpikir bahwa dialog bersama dialah yang membuat saya menyukai hal-hal yang sederhana. Hal yang membuat saya lebih mudah tersentuh pada kisah-kisah sederhana. Seperti saat dia mengajak saya untuk mendengarkan obrolannya bersama seorang nenek renta penjaja opak keliling di kota kami. Saya ingat sekali hari itu, satu sore setelah hujan reda. :)

Tak ada cerita yang lain bersamanya selain bergembira. Saya hampir bisa mengingat semuanya. Meski tak sedikit bumbu-bumbu pembangkangan khas remaja yang pernah saya lakukan dulu. Mungkin saja itu pernah membuat dia marah, tapi yakinlah dia tak pernah benar-benar marah. Dia tak akan sanggup untuk bisa benar-benar marah, sebesar apapun kesalahan yang pernah saya lakukan. Seperti juga panggilannya yang mesra itu: “bujang kesayangan”, bila diterjemahkan, maka artinya adalah: “anak laki-laki kesayangan”. Fasih sekali dia dengan panggilan khasnya itu. Bahkan saya masih bisa membayangkan dengan jelas bagaimana cara dia melafalkan kata-kata itu. :D

Haaa, masih terlalu banyak. Tapi mungkin seperti ini: saya selalu berusaha bersikap sebaik mungkin pada perempuan. Meski terkadang saya masih gagal, ah ya, biar saja. Dan saat saya pertama kali mendengarkan lagu “Daughters” milik John Mayer, saya pikir seperti itulah yang paling ingin saya pikirkan. Perempuan adalah mahluk ajaib. ;)

***
Daughters – By John Mayer

I know a girl
She puts the color inside of my world
But she's just like a maze
Where all of the walls all continually change
And I've done all I can
To stand on her steps with my heart in my hands
Now I'm starting to see
Maybe it's got nothing to do with me

Fathers, be good to your daughters
Daughters will love like you do
Girls become lovers who turn into mothers
So mothers, be good to your daughters too

Oh, you see that skin?
It's the same she's been standing in
Since the day she saw him walking away
Now she's left
Cleaning up the mess he made

So fathers, be good to your daughters
Daughters will love like you do
Girls become lovers who turn into mothers
So mothers, be good to your daughters too

Boys, you can break
You'll find out how much they can take
Boys will be strong
And boys soldier on
But boys would be gone without the warmth from
A womans good, good heart

On behalf of every man
Looking out for every girl
You are the god and the weight of her world

So fathers, be good to your daughters
Daughters will love like you do
Girls become lovers who turn into mothers
So mothers, be good to your daughters too

Selamat Hari Ibu. Selamat Hari Ibu. ;)
Cikarang, 22 Desember 2014.

Rabu, 10 Desember 2014

Pagi di Jababeka: Jamuan Ulang Tahun

Pagi lumayan cerah untuk ukuran dua bulan terakhir. Saat ini Jababeka sedang musim penghujan. Biasanya pagi seperti ini suasananya mendung, sedang siang menjelang sorenya hujan akan mulai turun, bisa gerimis saja atau sesekali hujan raya, biasanya begitu. Tapi semoganya hari ini tidak, karena saya berencana untuk minum kopi dan mengobrol bersama kawan-kawan di pagi-siang-malam, sesempatnya saja. Mengobrolnya juga tentang apa saja. Apa saja.

Dimulainya pagi ini dengan obrolan di sebuah warung sederhana di dekat kantor kami, di ujung jalan itu. Bersama beberapa orang kawan, mengobrol tentang apapun. Hingga akhirnya obrolan kami bermuara pada seorang kawan yang bercerita tentang acara ulang tahunnya kemarin-kemarin yang hanya dilangsungkan oleh 3 anggota keluarga kecilnya; dia, istri, dan anak semata wayangnya. “Beli kue sendiri, tiup sendiri, gitu aja”, dia bercerita dengan suara sedikit direndahkan. Saya bertanya: “Kenapa saya tak diundang? Kalau saya tahu, maka saya (inshaAllah) pasti datang”. Dia menjawab sambil tersenyum: “Tak ada makanan, keuangan kami sedang pas-pasan”. Saya sambungkan dengan muka serius sekaligus tertawa sebaik mungkin: “Ah, jangan begitu. Nanti kalau kamu sedang ingin merayakan ulang tahun di tengah kondisi keuanganmu yang sedang pas-pasan, baiknya kamu katakan saja: ‘kawan-kawan, saya mengundang kalian datang ke acara ulang tahun saya sore ini. Tapi saya sedang tak punya uang banyak. Mari datang, tapi bawa makananmu sendiri-sendiri'”. Mendengar perkataan saya itu, seorang kawan yang lain langsung berkomentar sedikit sinis: “ga akan ada yang datang! Itu hanya mudarat! Mengundang orang datang ke acara ulang tahun, tanpa menjamu. Ngapain juga orang mau datang”. Saya terdiam. Bertanya di dalam hati: "Mudarat apa?"

Saya yakinkan, pergolakan pikiran dan ide di dalam kepala adalah sebuah hal yang baik. Sesuatu yang bisa membuat seseorang mengevaluasi ulang tentang pikiran dan idenya. Saya pikir, tak ada yang salah dengan pikiran dan ide apa dan siapapun. Bila seseorang berpikir itu baik untuk dirinya, maka silahkan dilakukan. Tapi bila tidak, maka sebaiknya jangan. :) Seperti saya yang saat ini tenggelam dalam lamunan di secangkir kopi dan beberapa sesap tembakau yang hampir habis, saya menerjemahkan singkat tentang apa yang ada di dalam kepala.

Saya katakan singkat dengan tawa yang sedikit dipaksakan. “Kawan, bagaimana bila suatu saat saya mengundangmu dengan kondisi yang persis seperti tadi? Apakah kamu akan datang?” Dia menjawab tegas: “Tidak! ngapain juga saya datang cuma untuk duduk-duduk sambil saling lihat. Tidak!”. Jujur, sedikit getir saya mendengarnya. Tanpa bermaksud mendebat, saya katakan pada kawan tersebut: “Saya yakin sekali, kawan-kawan saya yang lain akan datang, bahkan mungkin banyak. Kamu tahu kenapa saya bisa yakin seperti itu? Karena bila saya di posisi orang yang diundang, maka saya akan datang dengan antusias. Saya mengenal mereka dengan baik

Saya tak pernah terlalu tertarik memandang sesuatu dengan kacamata kebendaan. Untuk saya pribadi, saya pikir itu baik. Haaa, saya pikir ulang tahun adalah hal yang sederhana. Bila seseorang berpikir dia akan bahagia bila berulang tahun dihadiri oleh kawan-kawannya, maka utarakan saja. Percayalah, kebahagiaan yang kamu rasakan bukan tentang seberapa mewah jamuan yang kamu sajikan. Merasa bahagia adalah sesuatu yang jauh-jauh-jauh lebih sederhana dari itu. ;)

Selamat pagi, Jababeka. :)
Cikarang, 11 Desember 2014

Senin, 01 Desember 2014

Jalan Sempit Lurus Pinggir Lapangan dan Pohon Kelapa

Foto diambil dari akun Path milik Debi Krisna, gatau dia dapat gambar ini dari mana. :D
Melihat gambar buram dan tak fokus ini sore ini. Gambar yang diunggah oleh seorang kawan baik di Warung Kiara, Sukabumi sana. Tersenyum-senyum singkat, untuk kemudian saya tambahkan komentar di bawah fotonya. “Dulu, saat melintas di jalan yang seperti ini, saya biasanya berjalan kaki, bukan naik sepeda. :P”.

Dan saya melangkah pulang dari kantor kami yang mulai sepi. Meski pikiran saya belum bisa lepas dari gambar itu. Gambar yang seperti berubah jadi sebuah panggilan untuk mengingat sesuatu di masa lampau. Kini saya mengira-ngira sendiri.

Di depan sebuah kedai sate pinggir jalan, saya perlihatkan gambarnya ke seorang kawan yang lain. Seorang kawan yang melewati masa kecilnya di Kota Bogor. Saya tanyakan singkat kepadanya: “Kawan, hal apa yang kamu pikirkan setelah melihat gambar seperti ini?”. Dia menjawab: “Ga ada. Tapi kayanya enak”. Saya tertawa mendengarnya. Dia bergumam melanjutkan: “Berarti kamu pernah merasakan berjalan di udara yang bersih, sambil tertawa bersama kawan sebaya?”. Saya iyakan, sambil tersenyum. Lanjut berkomentari: “Jadi begini. Mungkin anak-anak di perkotaan setiap hari disuguhi pemandangan jalan yang seperti ini (sambil menunjuk jalanan besar di depan kami yang padat dengan mobil-motor dan berisik sekali), sedang saya dulu tidak. Jalanan masa kecil kami dulu sepi, enak dihirup. Hmmm, kamu mungkin hanya bisa membayangkannya saja, tapi tenang saja, sebenarnya ini juga sudah bagus”. :D

Di jalanan sepi depan lapangan belakang pesawahan itu, dulu kami biasa dermakan waktu bersama kawan-kawan sekelas. Kadang kami berlarian di tengah jalan sesukanya saja, kadang menangis sepanjang jalan karena habis dipukuli oleh kawan sekelas yang lebih “jago”, kadang duduk saja di pinggir jalannya lalu menyobekkan kertas dari buku di dalam ransel jelek itu lalu melipatnya jadi kapal-kapalan terus dihanyutkan. Kami berlari mengejar kapal-kapal itu, hingga tak terasa jalanan itu sudah habis, dan itu juga berarti kami sudah dekat dengan rumah. Ah, menyenangkan sekali. :D

Dulu saya mengenal semua rumah yang terlewati dari dan menuju sekolah. Rumah Ande, rumah Ita Salon, rumah Om Bengkel, rumah Wak Makum, rumah Datuk Dulia, TK Nuri dan lain-lain. Jika sedang ingin mencuri markisa ranum penawar letih, maka rumah yang selalu tertata rapi di salah satu sudut itu adalah pilihan yang bagus. Jika sedang ingin melempari sarang tawon raksasa, maka pohon besar depan rumah sepi itu selalu siap jadi sasaran. Jika sedang ingin tidur-tiduran di bawah lindungan pohon besar, maka lapangan besar itu selalu ada di situ. Ah, begitu, kegiatan kami banyak sekali waktu itu. Kami tak pernah bosan menjalani hari. Meski kami belum pernah mengenal apa itu pesawat-pesawatan remote control  atau barang-barang mewah-mahal sejenisnya. :D

Mungkin kamu pernah melihat acara Si Bolang di salah satu stasiun televisi. Setau saya, banyak sekali orang yang suka menonton acara itu. Meski kadang saya berpikir sendiri: “Kiranya apa yang mereka pikirkan saat menonton acara itu?” Karena untuk saya, acara itu adalah sebuah ribuan gambar jelas. Sejelas jeweran seorang guru IPA di SD saya dulu karena ketahuan mencoreti meja guru dengan kapur hingga putih semua, lalu beliau marah. Ah, saya jadi tersenyum sendiri sekarang. “Salam hormat dari saya, Bu Watirah”. :)

Curup-Cikarang, 1 Desember 2014

Senin, 17 November 2014

Cik Yan Lis (5) : Catur

Ayah saya yang bertopi baret coklat itu. :D
Dari foto ini keliatan kayanya ayah sedang dalam posisi terdesak. Juga cerita tentang dia yang rela hutang ke warung untuk membelikan lawan mainnya ini sebungkus rokok agar dia mau bermain melawan ayah lagi dan lagi. Kata ayah, lawan mainnya ini selalu ingin dipanggil “Sitompul”, padahal dia orang Jawa. :)))))) 
Belum lama saya duduk di kursi ini menghadap tiupan AC yang menyejukkan, dan telpon genggam saya berdering pelan. Melihat di layar itu, saya langsung tahu bahwa yang menelpon adalah ayah. Segera keluar dari ruangan, menuju salah satu ruangan lab yang kosong di sisi selatan, saya angkat telponnya. Ini sangat perlu, karena saya akan berbicara dengan volume suara yang tinggi. Saya dan ayah biasa bicara seperti itu. :D

Dan tak ada hal yang benar penting yang kami bicarakan. Hanya pertanyaan singkat tentang makanan di kantor siang ini, kemudian dilanjut tentang obrolan bertema catur. Awalnya ayah bertanya bagaimana permainan catur saya saat ini. Saya jawab: “akhir-akhir ini saya tak terlalu sering bermain catur”. Dia menyambung tangkas: “sebaiknya kamu lebih sering bermain catur. Temukan orang-orang yang bisa mengalahkanmu dengan mudah, kamu belajarlah yang banyak. Kamu kalah yang banyak, berusaha menang”. Saya menyimak saja sambil sesekali tertawa, dengan ayah yang semakin bersemangat atas cerita caturnya. Berkisah tentang permainan itu yang dulu sering kali membuatnya gelisah. Tentang dia yang sesekali jadi susah tidur karena selalu kalah menghadapi salah seorang lawan mainnya, sampai bermimpi bermain catur saat tidur. Saya tertawa mendengar dia bercerita seperti itu. Terutama di bagian catur yang membuat kepalanya menjadi panas dan ingin segera mandi untuk mendinginkan kepalanya secara paksa. Ahahaa.

Catur adalah permainan mengatur emosi. Dan kekalahan adalah guru terbaik untuk belajar mengendalikannya. Karena catur adalah tentang belajar dari kekalahan. Kamu ingat itu baik-baik

Saya tahu, ayah tak pernah terlalu menganggap serius permainan ini. Saya juga sama. Kami sama-sama tahu ini hanyalah sebuah permainan, tak pernah lebih dari itu. Saya pikir, kalah dan menang bukanlah sesuatu yang terlalu menarik. Dan saat ayah menelpon siang ini, saya pikir nasihatnya tentang permainan catur ini seolah menemukan momentnya. Meski, ahahahaa, rasanya sedikit berlebihan juga jika dia menelepon hanya untuk menyarankan saya memperbanyak bermain catur, lantas kalah terus-terusan. :)))))

Dan bakal terlalu drama bila saya tuliskan juga kalo tadi ayah bilang: di permainan ini, kamu ga akan pernah menang, kalo kamu ga berani melawan, :p
Curup-Cikarang, 17 November 2014

Selasa, 11 November 2014

Di Pojok Sore (17) : Hujan dan Dinamika Umum Para Pekerja

Musim hujan tiba. Dan kemarin malam, bersama beberapa orang kawan yang baik sekali, kami berteduh dari derasnya serbuan hujan di permulaan musim pada naungan sebuah warung yang cukup luas di pojok jalanan itu. Seperti biasa, kami akan memainkan permainan itu sambil tertawa riang bersama-sama. Di antara hujannya yang semakin deras, saya lihat jalanan di depan sana mulai terendam banjir yang tak seberapa. Melihat air yang menggenang di muka jalan, saya melirik kompleks perkantoran yang besar itu dari jauh. Ah, cantik sekali kantor kami terlihat dari sini. Dengan cahaya kebiruannya bergerak yang lurus, kini berbagai pertanyaan mulai datang kunjungi saya di sebuah kursi papan memanjang menghadap beberapa kawan.

Saat ini, di pertengahan November 2014. Menuju 4 tahun saya bekerja di kantor biru itu. Dan bekerja di lingkungan yang sangat nyaman ini adalah sebuah nikmat yang sepatutnya disyukuri dengan sederhana. Saya suka tempat ini. Saya suka kawan-kawan di sini, saya suka cara atasan-atasan saya bersikap, saya suka cara bekerja kami di kantor ini.

Dan genangan air di muka jalan itu beriak deras saat dilewati sebuah kendaraan yang melaju tak seberapa cepat. Dan di antara rintik hujan yang mulai mereda, juga tawa kawan-kawan di meja panjang ini, saya diam sejenak. Mengingat beberapa cerita yang lewat, saat saya bekerja di satu tempat yang lain. Saya pikir, saya bisa merasa betah dimanapun saya berada, termasuk di sini. Dermakan waktu senin hingga jumat, jam 8 pagi hingga jam 5 sore, pulang dan pergi sehari-hari dari dan menuju ke tempat yang menyenangkan.

Dan bekerja lalu mendapatkan penghasilan yang layak adalah sebuah dimensi yang sedikit rumit sekaligus sederhana, percayalah memang seperti itu. Saya tumbuh, semuanya juga. Saya bisa bertanya tentang pertumbuhan yang dibicarakan para elit, saya bisa bertanya tentang pertumbuhan yang ada di kepala saya sebagai sebuah ide. Sebagai konsekuensinya, sebuah kecocokan mungkin bisa tercapai, tapi bila tidak, maka siapapun tak bisa memaksa. Dan dialog, kabarnya, merupakan salah satu alternatif yang baik sekali. Dan sepertinya saya setuju. Selebihnya dari itu tentu terserah saja, silahkan ditimbang sebaiknya.

Nah, jadi sekarang saya katakan begini. Meski tak semua, sebagian besar dari kita adalah manusia merdeka. Karena bila mau, bahkan membangkang pada Tuhan pun kita bisa. Sedangkan apakah kita mau melakukannya atau tidak? Oh ini jelas pertanyaan yang berbeda. :D

Mungkin kamu berkomentar yang saya tuliskan dari atas sampai bawah ini ga nyambung semua, ahahahaa. Biarin aja, jangan serius-serius, ntar cape. :))))
Cikarang, 11 November 2014

Senin, 03 November 2014

Malam di Jagakarsa

Malam sudah lebih jauh. Tiup angin Jakarta selatanpun sedang sepi. Saya melangkah di antara pejalan kaki yang tinggal satu persatu. Melirik jam tangan yang tak henti berdetak dan waktu yang sudah menunjuk pukul 11 malam. Juga gerobak penjaja nasi goreng yang masih sibuk saja sendiri. Sekali saya hampiri dan bertanya kiranya dia tengah memasak panganan tersebut untuk siapa, si abang hanya tertawa sambil tawarkan dagangannya tersebut kepada saya. Singkat menjawab, saya katakan bahwa saya hanya akan menemani dia sejenak saja sambil merokok bersama-sama. Dia mulai tanyakan banyak hal, mulai tadi tujuan saya hendak kemana, sampai siapa yang lebih baik antara Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi. Hingga sebatang rokok itupun akhirnya habis, dan saya pamit untuk melanjutkan perjalanan lagi.

Tujuan saya malam itu tak seberapa jauh lagi dari sini. hanya tinggal menyusuri Jalan Pasir 1, selang belasan rumah maka saya sampailah. Mengetuk pintunya beberapa kali, dan seorang anak muda muncul di balik pintu sambil tersenyum menyapa ramah. Dari dia saya tahu, bahwa ternyata kawan yang akan saya kunjungi malam itu sedang tak ada di rumah kos-kosannya yang penuh dengan tumpukan tas-tas yang banyak dan seolah mau meledak. Meski dengan ramahnya, anak muda tersebut mempersilahkan saya masuk, dan kami mulai bercerita di antara tumpukan tas-tas yang mencapai atap rumah, juga reguk teh yang terlalu panas untuk diminum beberapa teguk sekaligus.

Obrolan tersebut dimulai dengan dia yang bertanya tentang pembagian tipe-tipe wanita. Tentu saja saya terkaget diberi pertanyaan serupa itu di awal-awal seperti ini. Sambil senyum-senyum-bingung, saya katakan padanya bahwa saya tak terlalu paham tentang hal itu. Dia tertawa, lalu diuraikannya pendapat pribadinya dengan tangkas, dan ditutupnya dengan meminta pendapat saya tentang uraiannya tadi. Saya terbahak-bahak, dan katakan bahwa saya setuju-setuju saja dengan apa yang dia ucapkan tadi. Dia mengangguk-angguk, sesekali mengusap dagu, lalu tersenyum lagi. Dan kami mulailah bercerita tentang banyak hal lain.

Seperti biasa, saya akan membiarkan lawan-bicara berkisah dulu sepuas hatinya. Dengan sesekali merespon dengan pertanyaan-pertanyaan yang mudah, dia semakin bersemangat. Dalam hati saya bicara sendiri: “anak ini senang sekali berdialog”, itu kesan yang saya tangkap saat itu, heheu. Hingga akhirnya dia bicara sendiri sedikit lebih jauh, mengalir dan mendalam. Saya dibuatnya tertegun beberapa saat, bingung, sekaligus antusias yang intens. Saat dia mulai bicara tentang perasaan bahagianya saat berdialog dengan siapapun –bahkan pada orang lain yang tak dikenal sekalipun. Atau tentang mimpi-mimpinya yang ajaib, atau dia yang berkisah tentang realita kehidupan yang berjalan di sebuah komplek perumahan kota Bandung sambil bersusah-payah mendorong gerobak jerigen air yang dijualnya. Atau dia yang merasa bahwa dia perlu memahami banyak hal dan tak pernah puas tentang apapun, atau dia yang sering dianggap tak normal oleh kawan-kawannya karena sering bertanya/bercerita tentang hal yang susah dimengerti –bahkan oleh dirinya sendiri. Atau tentang dia yang menurutnya lumayan pandai bermain kartu, atau dia yang senang sekali mengesankan bahwa lawan bicaranya lebih tahu segalanya dibanding dia. Atau bahkan dia yang merasa bahwa dia mampu membaca masa depan! Ya, dia merasa bahwa dia bisa membaca masa depan! Ahahaha.

Banyaknya saya hanya mendengarkan. Sesekali tertawa terbahak, atau diam saja menyimak. Mereguk teh panas itu dari atas sebuah nampan plastik yang penuh dengan tumpahan air, saya tersenyum menatapnya. Namanya Rio. Umurnya mungkin sekitar 6-7 tahunan di bawah saya. Dia berasal dari kota yang sama dengan saya, Curup. Lahir dan besar di lingkungan pesawahan luas yang diselingi pepohonan kelapa julang-menjulang, dan banyak lagi. Saya tatap sekali lagi anak muda yang mudah sekali tertawa itu. Berkata dalam hati, saya ucapkan bahwa saat ini adalah sebuah moment ajaib :). Saya merasa seperti tengah bercermin di hadapannya, seolah melihat diri saya sendiri dari semua cerita yang diceritakannya tanpa batasan. Saya takjub. Dan saya tahu, tak banyak orang yang bisa mengalami pengalaman seperti yang saya alami malam ini. Saya bersyukur sekali. :)

Dan malam di Jagakarsa sudah semakin jauh dari dini hari, kami memutuskan untuk tidur dulu. Saya katakan padanya di penutup dialog itu, bahwa sebaiknya kami berdua tak terlalu sering bertemu. Saat dia bertanya “kenapa?”, saya membalas dengan tawa yang panjang.

Selamat malam, Jalan Pasir!
Jagakarsa, 25 Oktober 2014

Minggu, 02 November 2014

Kabar dari Bandung (5)

Saya baru tiba di kosan, dari sebuah kunjungan singkat yang kesekian kalinya ke kota cantik di jauh situ. Dan kesan panasnya Cikarang semakin bertambah saja di saat-saat seperti ini, heheu. Meski akhirnya saya menyadari bahwa ternyata kota panas ini tak sebegitu inferior –seperti yang selama ini saya pikirkan, dibanding kota dengan julukan Kota Kembang itu. Ya, akhir-akhir ini saya mulai menyadari bahwa Kota Para Buruh ini memiliki pesonanya sendiri, terutama untuk siapapun yang tertarik dengan cerita bertema kemanusiaan. Tapi sudah dulu, saya tak akan bicara banyak tentang Cikarang dulu, sekarang saya bicara (lagi) tentang Bandung saja. Juga rasanya sudah terlalu lama saya tak bercerita tentang kota ajaib itu.

***
Sabtu pagi, kisaran jam 9, dan seorang kawan baik sudah menunggu kedatangan saya di sebuah warung kopi terbuka di pelataran terminal Leuwi Panjang, Bandung, tempat kami biasa janji bertemu. Saling bertukar cerita sedikit, sambil menghirup segelas kopi manis di awal paginya yang luar biasa, saya senang sekali. Juga cara menatap dari seorang ibu penjaja kupat tahu yang mudah sekali tersenyum duduk di seberang kami. Haa, Bandung sedang sumringah sekali pagi itu. Sayapun tak mau kalah. Mengajak kawan yang tadi berangkat, kami membelah Bandung menuju selatan. Untuk mengunjungi mimpi kami yang masih jauh, tapi percayalah, kami tak akan pernah mudah menyerah. :)

Mengurusi ini-itu di sebuah bangunan gubuk yang centrang prenang, adalah sebuah kegiatan yang menyenangkan –entah menurut kawan tersebut bagaimana, tapi setidaknya menurut saya iya :D. Meski sebenarnya saya juga sedikit yakin bahwa kawan tersebut juga menikmatinya, saya sudah lama mengenalnya, semoga saja benar, :). Hingga akhirnya jam makan siang tiba, kami beranjak menuju rumah makan padang sederhana di pinggir jalan raya itu. Lahap kami nikmati hidangannya, dengan kami yang tetap saja saling bercerita ini dan itu, tanpa ada topik yang spesifik.

Dan kali ini menuju sebuah kebun setengah-sewaan di kaki bukit biru itu. Di tengah panasnya Kampung Pelukis dan anak-anak muda tengah menggambar di teras rumah, saya lamunkan banyak hal. Dari cerita-cerita dahulu, lalu saat ini, juga mungkin tentang mimpi-mimpi yang kadang saya pikir terlalu mewah untuk saya saat ini. Hingga tak terasa kami sudah berada di bawah naungan saung bambu sederhana dan rimbunan albazia yang menghijau. Rasanya damai sekali. Saat Franky Sahilatua mulai dendangkan “Lelaki dan Telaga”nya yang harmonis, tiup angin yang bergesek di antara dedaunan hijau julang-menjulang, juga cerita tak beralur dari seorang kawan. Mau apa lagi? Saya pikir saya hidup dalam kebahagiaan yang tumpah ruah. Belum lagi sekarung kombinasi pupuk di pojok situ yang baru saja saya beli tadi untuk memupuk ratusan batang albazia ini besok, saya senyum-senyum.

Sorenya sudah masuk di pertengahan, dan motor matic warna hijau itu melaju lagi. Menuju sebuah apartemen 18 lantai yang berdiri megah terlihat di kejauhan. Salah satu ruangan dari apartemen itu adalah milik dari kawan yang ini. Rencananya sekarang dia akan mengajak saya melihat apartemen barunya tersebut. Saatnya tiba, dan dua gelas kopi di gelas kertas itu menyambut kami di ruang tamu apartemennya yang masih kosong dan terang sekali. Semerbak bau lem kayu yang masih sedikit menyengat, lingkaran air kolam renang di bawah sana, bebayang gugus pegunungan Bandung Timur yang memukau, pemandangan city light penyambut malam, pelajaran teknik trading yang kami diskusikan. Ah, saya senang sekali berada di tempat ini. :D Kamu tahu? Sebentar lagi, kawan ini akan membawa keluarga kecilnya tinggal di apartemen ini. Ah, saya doakan, Kawan, semoga kalian sekeluarga diberi kebahagian dalam jumlah yang banyak di tempat ini. Saya doakan begitu dan semoganya cukup.

Malam itu kami berpisah di sebuah titik di tengah komplek perumahan besar tak jauh dari apartemen yang tadi. Dan saya yang melanjutkan perjalanan sendiri menuju barat laut untuk ikut menginap di kos-kosan seorang kawan yang lain. Meski ternyata kawan tersebut tak ada di kosannya, saya duduk saja menghadap jejer kuburan di depan kamar kosannya yang gelap dan terkunci. Saya diam saja, dan tak lama putuskan pergi dulu. Saya lapar, begitu :D. Lepas nikmati sepiring makanan khas di warung makan tempat si gondrong ramah itu jadi kokinya, malam beranjak semakin larut. Hingga di detik yang ajaib, seorang anak muda yang baru saja saya kenal detik itu menawarkan diri agar malam ini saya menginap di kosannya saja. Ahahaa, saya bicara dalam hati: “moment terbaik adalah sebuah kejadian di luar rencana”. :) Akhirnya saya bermalam di situ malam itu. Hingga paginya datang, dan guyuran air dingin dalam ember besar berwarna biru itu tunaikan mandi pagi saya yang singkat, saya pamit pada anak muda asal Banten bernama Adit itu. Dia tersenyum dan katakan semoga nanti saya bisa mengunjungi dia lagi, ngobrol-ngobrol lagi. Saya balas perkataannya yang manis dengan mendoakan agar skripsi yang tengah disusunnya itu dilancarkan. Kami berpisah.

Hari ini adalah mengunjungi seorang kawan yang saya kenal dari kisaran 11 tahun yang lewat. Seorang kawan yang saya pikir hebat sekali atas konsistensinya yang menahun di pembinaan anak-anak jalanan kota Bandung. Tukar bicara, opini dan kabar, kami berdialog layaknya kawan. Sesekali selipkan upaya mengakrabkan diri dengan si kecil Bumi Biru yang senang sekali makan semangka, serta Cisarua yang sepertinya sedang dalam mood yang sangat baik. Meski akhirnya Bumi Biru tetap berkeras dengan ekspresi mukanya yang datar, atau bahkan menjerit sejadi-jadinya di sepanjang perjalanan, saya pikir bukan masalah. Mungkin kami masih bisa lanjutkan untuk saling mengakrabkan diri kapan-kapan lagi. ;)

Di dalam bus menuju Cikarang, saya merasa sedikit letih. Teringat tentang apa yang terjadi sepanjang kemarin dan hari ini, saya tahu. Bahwa Bandung dengan segenap serba-serbinya yang terjadi dalam hitungan tak tentu itu hanyalah sebuah canda-tawa. Dia tak pernah terlalu serius, bikin semakin menariklah dia dalam bahasa-bahasa yang lain. :) Atau kini mendengar seorang kawan baik yang lain yang saat ini sudah pulang ke kampung halamannya di Sukabumi sana katakan lewat sebuah pesan singkat, bahwa dia merindukan suasana di Kota Kembang, saya senyum-senyum saja. Saya tak akan membalas pesannya itu. :D
Cikarang 2 November 2014 

Selasa, 14 Oktober 2014

Selamat Ulang Tahun, Serdadu!

Ini memang sedikit terlambat, karena sebenarnya HUT TNI  sudah lewat di 5 Oktober kemarin -lebih tepatnya sebenarnya karena saya lupa, :p. Hingga sore ini, tanpa sengaja saya mendengar Iwan Fals menyanyikan lagu ”Serdadu” dari komputer lipat yang terputar acak dari playlist. Dan tiba-tiba saya jadi teringat: bahwa saya adalah anak dari seorang serdadu. :)

Saya masih ingat beberapa tahun yang lalu, saat saya dan ayah sedang berdiskusi tentang upacara 17 Agustus yang saya lakukan di kantor kemarin pagi. Saya ceritakan pada ayah bahwa pendiri perusahaan tempat saya bekerja saat ini adalah seorang purnawirawan TNI. Dan dengan alasan itu, kantor kami selalu rutin melakukan upacara bendera di hari kemerdekaan. Hingga saat gilirannya itu tiba, ayah berkomentar: “Hei, Nak. Mungkin kau tak kan percaya kalau saya katakan bahwa seorang tentara seperti kami memiliki rasa yang lebih intim pada negara ini, mungkin sedikit aneh memang, hahaa”. Saya ikut tertawa mendengarnya, sekedar berpura-pura paham saja sebenarnya. :p

Atau sekarang hal yang lain lagi saja. Di 5 Oktober kemarin, saat melihat sekilas berita di internet tentang Iwan Fals yang memberikan bibit pohon pada salah seorang tentara saat dia selesai manggung di markas TNI. Saya lihat di foto itu, Bang Iwan tertawa lebar sambil menyandang gitarnya yang terlihat hampir jatuh ke samping kirinya. Sesaat saya tercenung melihat foto itu. Meski saya tak membaca lengkap beritanya, tapi sepertinya saya berani bertaruh bahwa dia pasti menyanyikan lagu ini di acaranya tadi –tebakan yang mudah, :D. Lantas saya bicara sendiri di dalam hati tentang orang bergitar miring ini: “Hah, orang ini sepertinya memang sedikit lebih pandai merasakan realita dari orang-orang kebanyakan. Dia seorang seniman yang baik” :)

***
“Serdadu” – Iwan Fals

Isi kepala di balik topi baja
Semua serdadu pasti tak jauh berbeda
Tak peduli perwira, bintara atau tantama
Tetap tentara

Kata berita gagah perkasa
Apalagi sedang kokang senjata
Persetan siapa saja musuhnya
Perintah datang karangpun dihantam

Serdadu seperti peluru
Tekan picu melesat tak ragu
Serdadu seperti belati
Tak dirawat tumpul dan berkarat

Umpan bergizi oh titah bapak mentri
Apakah sudah terbukti?
Bila saja masih ada buruknya kabar burung
Tentang jatah prajurit yang dikentit

Lantang suaramu otot kawat tulang besi
Susu telur kacang ijo extra gizi
Runtuh dan tegaknya keadilan negri ini
Serdadu harus tahu pasti

Serdadu baktimu kami tunggu
Tolong kantongkan tampang serammu
Serdadu rabalah dada kami
Gunakan hati jangan pakai belati

Serdadu jangan mau disuap 
Tanah ini jelas meratap
Serdadu jangan lemah syahwat
Nyonya pertiwi tak sudi melihat!

Cikarang, 13 Oktober 2014

Senin, 06 Oktober 2014

Malam Sudut Pantura

Malam takbir Pantai Utara
Siang sudah hampir tepat sampai di atas kepala, saat saya memilih berhenti di sebuah gerobak rokok sederhana di kawasan lapangan yang sedang tak terlalu ramai, Lapangan Karangpawitan. Siang itu saya tengah menjalankan sebuah rencana untuk mengunjungi salah seorang kawan baik di Graha Puspa Karawang sambil merayakan malam takbiran lebaran haji bersama keluarga kecilnya. Siang itu Karawang tengah panas-panasnya, dan saya berpikir: "sepertinya berhenti di samping gerobak portable itu sambil meminum sebotol teh dingin dengan alunan musik yang bermain pelan-pelan adalah pilihan yang menarik". Setuju dan lepas parkirkan motor pinjaman di depan sebuah halte kosong yang tak terpakai di seberang jalannya, saya merenung sejenak tentang beberapa hal.

Di pundak saya sekarang sudah tergantung sebuah tripod pinjaman dari seorang kawan baik yang lain di Bandung sana. Sebenarnya sedari kemarin saya sudah berniat memberdayakan alat ajaib ini untuk menangkap beberapa gambar di sebuah jalan besar dekat rumah dari kawan yang akan saya kunjungi hari ini. Jalan itu adalah Pantura. Sebuah jalur jalanan besar dan ternama, singkatan sederhana dari “Pantai Utara”. Dan saat nanti malamnya sudah sedikit larut, saya ingin sekali memotret jalur yang terkenal dengan banyak hal tersebut –dari yang positif sekali hingga yang negatif sekali. Yang sayangnya, saya tak terlalu yakin kawan tersebut akan mau memenuhi ajakan untuk menemani saya menuju jalur itu saat malam sudah sedikit lebih larut. Jikapun dia mau, maka istrinya juga belum tentu mengijinkan. Ah, tapi saya sudah bulat untuk mencoba. Jikapun akhirnya nanti dia tak bisa menemani, maka saya tetap tak akan keberatan menenteng-nenteng tripod ini sejauh ini, hingga ke sini. :)

***
Malamnya sudah sedikit lebih jauh untuk ukuran mengajak orang yang sudah berkeluarga keluar rumah tanpa tujuan yang jelas. Dan saat saya ajukan ajakannya, ternyata kawan tersebut setuju. Saya meminta dia untuk meminta izin terlebih dahulu pada istrinya, dan lagi-lagi ternyata tak ada masalah. Ah, saya senang sekali. Berdua kami menuju ke jalanan besar itu.

Dan kami tiba. Di depan sebuah ujung gang yang sepi sekali dan gelap, bertemu dengan sebuah jalanan besar yang lurus sekali, berikut lintasan kendaraannya yang selalu saja melaju dengan kecepatan yang tinggi. Kadang saya berpikir sendiri setiap melalui Pantura: “kenapa semua orang selalu setergesa ini?”. Ah, sebenarnya ini hanyalah sebuah pertanyaan yang sama sekali tak memerlukan jawaban, :D

Saya meminta kawan yang tadi untuk menunggu saja di atas motor sambil menghisap tembakaunya yang berbatang-batang, juga sebotol teh-susu kemasan yang kami bawa dari rumah tadi. Sedang saya, memilih membawa kamera dan tripod yang sudah terpasang sempurna itu menyeberang ke tengah pembatas jalannya yang tak begitu lebar, tapi cukup. Mencoba tembakan slow speed yang menurut saya tricky sekali, ke arah jalannya yang menuju Jawa. Saya antusias sekali. Hampir 30 tembakan saya lepaskan dalam rentang waktu hampir 1 jam. Sedangkan objeknya tetap sama: Jalur Pantura menuju Jawa di malam takbir. Sesekali melibatkan juga warung khas Pantura di sisi jalanannya yang gelap sebagai objek tambahan, saya bereksperimen kecil-kecilan. Tapi tak mesti berhasil, kamu tahu? Sebenarnya saya ke tempat-ini-detik-ini hanyalah untuk berkontemplasi sejenak tentang deru angin jalur Pantura saja. :D

Dan mungkin jalur yang saya fotokan ini bukanlah representative spot terbaik dari Jalur Pantura. Pantura sepertinya lebih masyhur dengan jalanan Cirebon-nya yang sama luas dan melegenda. Tapi tenang saja, saya sudah melihatnya juga. Sebenarnya saat ini saya hanya sedang mencari-cari alasan untuk menulis sesuatu tentang deru angin malam Pantura saja. :p

Selamat malam takbiran, Pantura.
Karawang, 4 Oktober 2014

Minggu, 05 Oktober 2014

Gaple

Sore di Karawang belum terlalu jauh. Saya duduk-duduk saja sendiri di lindungan sebuah saung kecil di dalam sebuah komplek Perumahan yang tertata, di antara desing angin sorenya yang ramah meniup-niup. Sebenarnya sore ini saya sedang menunggu seorang kawan baik yang tadi di awal sorenya pergi mengantarkan buah hatinya periksa kesehatan ke dokter spesialis anak. Sambil menunggu, handphone yang masih terbilang baru ini saya utak-atik sekenanya saja. Hingga akhirnya saya membuka laman facebook dan memeriksa beberapa foto di beberapa tahun yang lewat. Dan foto ini adalah salah satunya. Foto di penghujung 2006, kalau tak salah. Sebuah gambar yang menangkap moment dimana saya sedang asik bermain gaple bersama beberapa orang kawan. Saya masih ingat, gambar itu diambil di satu pagi saat kami sekelas tengah kuliah lapangan kecil di Situ Ciburuy, Padalarang. Melihat gambar ini, saya jadi senyum sendiri. Teringat bahwa saya sangat menyukai permainan ini. Di daerah perkotaan, permainan ini dikenal dengan nama: Gaple, sedang di kampung, kami biasa menyebutnya: Dom!
*Saya masih ingat, itu saya yang terakhir masang kartu 4-1, :p
Kiri ke Kanan: Nano, Guntur, Yudo, Hilman, Dicky.
***
Dulu, saya pernah berpikir satu hal yang sangat menarik tentang diri saya sendiri. Saya benar-benar pernah berpikir bahwa saya mampu membaca masa depan! Ya, membaca masa depan! Dan keyakinan tersebut sepertinya didukung pula dengan hobi kawan-kawan dekat di sekolah dulu yang sangat menggilai hal-hal berbau mistis. :p (cerita serupa dapat dibaca di tulisan berjudul "Muhammad Haikal Sedayo (2)" dan "Yudi Apiko" di blog ini). Berulang kali saya mengalami pengalaman menarik mengenai hal (masa depan) ini: dari permainan kartu remi, dari kartu gaple, dari sebuah kecelakaan lalu-lintas yang tak disengaja, dari soal-soal ujian, dari mata kuliah statistika yang pernah saya ambil, dari dialog-dialog singkat bersama orang lain, dan masih banyak lagi. Bahkan hingga saat saya merantau kuliah di tanah Priangan yang cantik itu, saya tetap masih berpikiran tentang hal yang sama.

Hingga hari itu pun akhirnya datang. Sebuah akhir minggu di awal tahun 2007. Hari bersejarah dimana akhirnya saya menyadari bahwa keyakinan saya selama ini mengenai kemampuan membaca masa depan adalah salah satu hal terkonyol yang pernah saya pikirkan (ahahaa, ini memang terdengar bodoh, tapi ini nyata, :D). Saya menyadari hal tersebut bermula dari permainan ini juga. Saat malam itu, salah satu tetangga kampung kami di Negla Hilir Bandung, sedang bersiap untuk hajatan, dan ada perlombaan gaple untuk mengisi malam sebelum besok acara hajatnya dimulai. Tentu saja malam itu saya ikut meramaikan perlombaannya. :D

Singkat cerita, malam itu saya menang (lagi). Hingga di ujung malamnya, saya menerima hadiah seekor ayam jantan –yang akhirnya saya jual malam itu juga seharga 200 ribu rupiah kepada si pemilik hajat. Saya senang sekali malam itu. Bukan saja karena uang 200 ribu yang saya terima, tapi karena satu hal yang luar biasa hebat sudah terjadi di salah satu babak permainannya. :)

Saat itu permainan kami mungkin baru berjalan 10-15 menit saja. Hampir sebagian dari kartu gaple itu sudah turun dari tangan-tangan kami para peserta lomba di meja ini. Dan seperti biasa, saya seolah bisa membaca dengan jelas urutan kartu-kartu apa saja yang akan dikeluarkan oleh ketiga lawan yang mengelilingi saya. Saya berpikir waktu itu dengan pasti: permainan di ronde ini akan ditutup dengan kartu Balak 4 yang saat ini sedang saya pegang di antara 4 kartu yang lain, dan masing-masing 3 kartu di pemainan yang lain! Berpura-pura serius, saya teruskan permainannya. Hingga semua kartu akhirnya turun, balak 4 menutup rondenya sesuai perkiraan saya, dan saya memenangkan lagi permainannya.

Ronde berikutnya baru akan dilanjutkan lagi, dan kartu itu sedang dikocok oleh seorang kawan yang lain. Saya termenung sejenak di antara saut-sautan anak kecil yang berlarian di pinggir jalan kampung dan tawa peserta lomba yang lain di meja sebelah. Saya berpikir keras: “saya ragu sekali bahwa saya bisa membaca masa depan. Sepertinya itu sangat konyol!”. Pikiran saya berkecamuk (lumayan) hebat saat itu. Hingga kartu-kartu gaple itu kembali di bagikan, dan saya tersenyum sumringah di tengah rondenya: saya menyadari satu hal besar! Bahwa sebenarnya saya sama sekali tak bisa membaca masa depan! Bahwa mungkin (sepertinya) saya hanya sedikit lebih pandai dari orang lain dalam membaca kemungkinan-kemungkinan kombinasi yang terbentuk. Hal besar itu terlintas saja saat saya menyadari bahwa saya membutuhkan sedikit keberuntungan untuk memenangkan ronde yang ini. Dan tentu saja, hal itu berbeda sekali dengan kemampuan membaca masa depan! :D

Ya, mungkin sebelum-sebelumnya saya juga sudah pernah menyadari bahwa memenangkan permainan gaple membutuhkan sedikit keberuntungan. Tapi mungkin hal tersebut selalu saja menjadi sangat samar karena kepercayaan diri saya yang berlebih tentang kemampuan membaca masa depan. Ah, bodoh sekali. :)

Dan saya pulang malam itu. Menyimpan baik-baik uang yang saya terima ke bawah tumpukan baju di dalam lemari. Dan sebelum lepas terpejam di atas kasur tipis itu, saya tertawa dalam hati. Menyadari bahwa saya hanyalah manusia normal biasa, adalah hal paling menggembirakan yang pernah saya alami dari dulu hingga malam itu. Berujar sendiri di antara terang lampu tidur berbentuk bola di atas speaker biru itu: “Ah, terima kasih malam ini, kamu bijaksana sekali”, saya belum pernah merasa seterbuka itu. :)

**Sampai sekarang, saya masih suka bermain. Hampir setiap sore sepulang kerja, kadang sampai larut malam
Karawang – Cikarang, 4 Oktober 2014.
*Kalo ga salah, foto ini diambil oleh Yulia Dewi atau Anggraini Nurina. Lupa
**Foto oleh Asep Aripin

Jumat, 26 September 2014

Cik Yan Lis (4)

Besok mau lebaran 
Dan lagi. Siang ini menerima kabar dari lelaki paruh baya dari rumah kami di salah satu sudut kota Curup itu. Mengabarkan bahwa saat ini dia tengah bersantai saja di atas sofa biru di ruang tengah rumah, katanya baru selesai makan banyak, sambil mendengarkan lagi lagu Deep Purple berjudul “Child in Time”, yang dulu pernah saya berikan padanya. Berulang kali dia ceritakan bahwa dia senang sekali mendengarkan lagu ini. Katanya alunan lagunya bisa membawa dia jadi lebih tenang sekaligus beringas. Saya selalu tertawa setiap mendengar dia berkata seperti itu. :p

***
Adalah di beberapa bulan yang lewat, tepatnya di awal sore lebaran kemarin. Saat kami berdua tengah mengobrol tentang apa saja diiring lantunan musik yang bermain silih berganti dari komputer lipat di atas meja. Di tengah obrolan kami itu, tiba-tiba saja dia terdiam beberapa lama. Saat itu saya merasa aneh sendiri melihat air mukanya yang seketika berubah. Saya diamkan saja dulu, hingga akhirnya dia berujar sendiri bahwa lagu yang sedang terputar ini (lagu rock klasik berjudul "Duo Kribo") adalah salah satu lagu favoritnya dulu saat masih muda -kami memang masih punya kaset dari lagu ini di rumah, tapi sayangnya kasetnya itu sudah lama rusak. Hingga akhirnya dia bercerita deras sekali, dalam kebahagiaan yang sepertinya banyak sekali. :)

Dia memulai ceritanya dengan persaingan sengit dua grup band rock papan atas Indonesia di awal tahun 70an dulu: God Bless dan AKA. Dimulai dari sejarah kedua nama band tersebut, hingga film layar lebarnya yang kabarnya pernah meledak di pasaran. Sekaligus dia ceritakan juga dengan lancar seluruh isi dari film tersebut, hingga lagu-lagu original sound track-nya yang menurutnya luar biasa. Saat itu, sepertinya dia tengah membongkar semua kenangan masa muda yang pernah dia lewati. :) Hingga akhirnya dia katakan sendiri sambil tertawa: “saya masih ingat sekali bagaimana perasaan saya dulu saat mendengarkan lagu ini: 'tak ada satupun orang yang lebih hebat dari saya!'”. Saya terpingkal sendiri melihat dia mempraktekkan gesture dari kata “hebat”nya itu: berdiri sambil menepukkan dada dua kali. Hahaa, saya jadi terpikir sendiri sore itu: “seandainya kami berdua bertemu saat masih sama-sama muda, maka sepertinya dia akan menjadi salah satu orang yang paling ingin saya ajak berkawan”. :D

Tak terasa, hari sudah lebih sore. Dan dia sudah bercerita lebih dari 3 jam. Dia bertanya kepada saya apakah lagu-lagu di album itu bisa dimasukkan ke dalam handphone miliknya. Saat saya iyakan, tatapan matanya jadi terang sekali. Langsung menyambung: “masukkan sekarang! Saya mau mandi dulu”. Saya kerjakan langsung, sambil memasukkan juga Album “Very Best Of” milik Deep Purple –saya tahu persis grup band ini adalah salah satu band favoritnya juga dulu. Hingga selang belasan menit, dia datang lagi dengan menenteng earphone merah yang kebetulan saja baru dibelinya kemaren sore. Selepasnya, dia pergi lagi dari ruang tengah itu sambil membawa handphone-nya yang sudah selesai saya kerjakan, entah kemana.

Dan apakah kamu tahu dia pergi kemana? Ahahaa. Ternyata dia pergi ke dalam kamar. Duduk bersila di atas kasur sambil menghadap ke arah kaca besar. Didengarkannya lagi lagu-lagu di album itu dengan khusyu lewat earphonenya yang berwarna mencolok dan kuat sekali, kepalanya bergoyang, ikuti lengking Ahmad Albar dan Ucok Harahap muda yang bersemangat sambil terpejam, ikut bernyanyi.

Ah, sekarang saya katakan begini: bahkan saya tak pernah melihat dia sesemangat itu selama ini, sepanjang saya mengenalnya hingga sekarang. Dan sore itu adalah sebuah moment ajaib: saya melihat dia saat muda! :)
Cikarang, 26 September 2014

Senin, 08 September 2014

Karmelita Anggrianto

Ada seorang anak perempuan yang sangat manis di kantor kami. Namanya Karmelita Anggrianto. Kami biasa memanggilnya dengan panggilan “Karmel” saja. Dia adalah seorang anak yang sangat ceria, mudah antusias dan tertawa, sangat mudah terdeteksi jika sedang bersedih, wajahnya mudah memerah. Dan sebenarnya umur kami berdua tak berbeda jauh, hanya 4 tahunan saja. Tapi entah bagaimana, saya selalu saja melihat dia sebagai seorang anak kecil. Terlepas dari cara berkomunikasinya yang terkadang memang seperti anak kecil, dari apapun yang dia lakukan, saya tetap saja memandang dia sebagai adik kecil yang sangat lucu, saya sering sekali tertawa melihatnya. Atau untuk mengingat bagaimana cara dia menyapa saya: kadang memanggil “kakak”, kadang “mas”, sepertinya itu seingat dan sekeinginan dia saja. Dan saya tak pernah mempermasalahkannya juga. Dia bisa memanggil saya dengan sebutan apapun yang dia mau, yang dia pikir baik, apa saja. :)

Beberapa hal lain tentang dia adalah: saya pikir dia inspiratif. Saya sebut demikian karena saya akan dengan sangat mudah mendapatkan sesuatu untuk ditulis setelah berbicara dengannya. Obrolan kami itu bisa tentang apa saja: dari yang serius sampai yang tidak. Pola pikirnya saya pikir menarik. Dan saya akan sangat senang menuliskan irisan pemikiran kami ke dalam bentuk tulisan-tulisan sederhana di blog ini. Salah satunya adalah posting yang ini. :P

Satu yang terbaru adalah di kisaran satu jam yang lewat. Saat saya tak sengaja membaca status di akun sosial media miliknya. Dia sepertinya tengah bercerita tentang seorang anak magang di kantor pusat kami di Bintaro sana –Karmel dan anak magang ini ngantor di kantor pusat, sedang saya di cabang. Dan kira-kira tadi dia menulisnya begini:

Gak kerasa ya anak ini udah ga ada di mejanya. Biasanya setiap lewat selalu ada yang nyapa ‘Kakak Karmeeeel’ (nada: cengkok dangdut unyu). Sukses ya kerjanya, Dik. Jangan lupain kita-kita di sini. Ntar kita maen-maen lagi yaa, :D

Membacanya, saya sedikit merasa janggal. Kamu tahu kenapa? Karena bahkan kini di kantor kami, sudah ada yang memanggil dia dengan sebutan "kakak". Karena di mata saya dia adalah seorang anak kecil, selalu saja. Bahkan saya berpikir bahwa dia adalah adik terkecil di kantor kami. Karena, lagi, saat ini dia sudah dipanggil kakak di tempat ini. Dan somehow tiba-tiba saya merasa tua sekali. Ahahaahaha. Apakah kamu tahu, bahwa waktu memang berjalan? Saya merasakannya di detik yang tadi!

Saat ini saya tidak akan berbicara lebih jauh tentang “waktu” dulu -tulisan tentang itu sudah banyak saya post-kan di tulisan-tulisan sebelumnya. Saya punya banyak kawan yang usianya jauh di bawah saya. Dan ini adalah salah satu moment dimana saya bisa merasakan waktu memang berjalan, senyata detak jarum jam di jam dinding yang menggantung di atas situ. Saya sadar bahwa semua memiliki masanya sendiri-sendiri, termasuk juga saya, juga Karmel. Dan lagi-lagi saya merasa beruntung sekali. :)

Dan tak terasa, kalau tak salah, rencananya Karmel akan menikah tahun depan. Ini sensasi yang ajaib. Karena selepasnya, saya tak akan pernah bisa menganggap dia seorang anak kecil lagi. Saya akan menunggu dimana saat itu benar-benar tiba, dan itu akan luar biasa! ;)

Yang meski mungkin banyaknya dia merasa bahwa saya sering menasehati dia di banyak obrolan kami yang sudah-sudah, tapi sebenarnya kami berdua hanya mengobrol. Dan tidak. Saya tidak pernah menasehati siapapun, termasuk ke dia. Saya hanya seseorang yang senang sekali berdialog. :)
Cikarang, 8 September 2014

Senin, 01 September 2014

A Post for Mechi

Adalah seorang yang sudah saya anggap kawan meski kami belum pernah saling bertemu sekalipun. Namanya Mercedes Caron. Seorang mahasiswa S3 di Gent University, Belgium, dengan Argentina sebagai negara aslinya. Kalau tak salah, hampir semua kawan-kawannya yang lain memanggilnya dengan panggilan Mechi. Saya juga sama. Saya memanggilnya dengan panggilan yang sama. :)

Bagi saya, beberapa penggal obrolan singkat cukuplah menjadi alasan untuk menyebut seseorang sebagai kawan. Dan dari obrolan-obrolan singkat itu, sepertinya saya bisa merasakan bahwa dia adalah seorang kawan yang baik. Meski kami berbeda budaya dan saya tak akan pernah bisa memahami penuh cara berpikirnya, tapi saya benar-benar berani bertaruh bahwa kawan-kawannya di Argentina sana juga menganggap dia tipikal kawan yang menyenangkan. Saya yakin sekali.

Saya mengenalnya dari seorang kawan yang lain. Kawan yang sepertinya saya kenal baik. Sudah 3 tahunan mereka saling mengenal dan belajar bersama di lab itu. Dan kini, Mechi akan meninggalkan kawan tersebut. Mechi sudah lebih dulu menyelesaikan studi doktoralnya. Ah, senang sekali saya mendengar kabarnya. :) Meski sebenarnya saya tak terlalu tahu pasti tentang kabar tersebut, tapi sepertinya memang seperti itu. Saya hanya membaca dari status jejaring sosial facebook miliknya saja. Kira-kira isinya begini:

Saying goodbye to your family is the most difficult thing to say. I had to do it twice in the last 3.5 years, the first time to my family and friends in Argentina and now to my family in Belgium. Guys, you are my family in the other side of the world. You are my friends, my brothers and sisters. I love you with all my heart and I will miss you a lot (I already miss you). Thanks for always being there for me. It is for you that Belgium is for me the warmest, happier, funniest place in the world :)

Saya tersenyum membacanya. Dengan menekan tombol “like” dan “comment”, saya memberikan komentar di bawahnya: “Selamat, Mechi. Berpisah dulu, biar nanti bisa saling rindu. :)”. Sengaja saya tuliskan komentarnya dalam bahasa Indonesia, agar dia mencoba menerjemahkannya menggunakan google translate :p, atau bertanya pada siapapun kenalannya yang bisa berbahasa Indonesia. Tujuannya sederhana saja: agar dia selalu mengingat bahwa dia memiliki kawan dengan bahasa indonesia sebagai bahasa-ibu nya. Dan saya adalah salah satunya. :)

Saya menyukai saat mendengar seseorang berbicara dengan emosi yang kental, seperti yang Mechi tuliskan di statusnya itu. Entah bagaimana, saya bisa merasakan apa yang dia pikirkan. Saya pikir, itu adalah perasaan yang luar biasa indah. Ah, Mechi, sekali lagi saya ucapkan: “Selamat, selamat”. Senang bisa mengenal. ;)

Salam dari Negeri Katulistiwa. Berkunjunglah ke sini nanti-nanti, semoganya saya bisa mengajakmu menyelami laut kami yang terkenal hangat dan menyenangkan. ;)
Cikarang, 1 September 2014

Selasa, 26 Agustus 2014

Di Pojok Sore (16) : Kupu-kupu Kertas

Maghrib. Artinya barat. :)
Rasanya sudah terlalu lama. Duduk sendiri melewati jendela kaca besar dan dentingan lagu Kupu-kupu Kertas milik Ebiet G Ade di antara udara dingin buatan di dalam ruangan kantor sebesar ini. Sebentar melihat ke belakang, dan beberapa kawan yang sedang tekun sekali di mejanya masing-masing entah sedang kerjakan apa. Sedang saya di sini begini saja: melihat matahari sore perlahan turun, dan tiup angin goyangkan dedaun mahoni pinggir jalan. Ah, begini: kadang kamu dibawa ke dalam bentuk kejadian yang komplek, dan rasanya sempurna sekali. Sempurna untuk membuat kegelisahan sampailah di titiknya yang tertinggi. Dan kamu akan merasakan letih yang luar biasa. Bukan tubuhmu yang letih –toh sekarang saya bahkan masih kuat berjalan ke sana-kemari kan ya? Tapi sesuatu yang lain dari dirimu yang letih. Hmmm, ya okelah, mungkin tubuhmu juga ikut terkena imbas dari rasa letihnya, tapi percayalah, sebenarnya apa yang saya ceritakan bukan tentang itu. :)

Memutuskan untuk segera beranjak turun, dengan baris rerumputan di belakang situ yang kini jadi tujuan, pikiran itu masih bercampur aduk. Mungkin tak perlulah saya ceritakan detail. Serupa saat kamu melihat sebuah kejadian seorang pedagang rokok dengan gerobak-berpayungnya yang sederhana hampir saja diserempet oleh pengendara motor yang sedikit ugal-ugalan. Dan bagaimana saat kamu bisa memasuki dunia pikiran dari si pedagang itu dan degup jantungmu yang berpacu seolah melihat malaikat lewat. Dan di saat bersamaan pula kamu sepenuhnya sadar bahwa kamu sebenarnya hanya melihat saja, tak pernah lebih dari itu. Ah, kawan. Tahukah kamu bahwa sebenarnya orang lain itu adalah dirimu sendiri? :)

Ebiet masih terus saja bernyanyi, dan lagi, dan lagi. Dan angin-angin yang datang dari utara, pelan-pelan mengajak berbaring lepaskan letih yang keterlaluan di atas rerumputan yang mulai terkena pengaruh kemarau panjang. Saya lepaskan mata memandang jauh menuju langit berawan yang mulai jadi lebih gelap kini. Matahari sudah hampir hilang. Kawan-kawan mulai datang. Pedagang itu mulai tawarkan saya minuman apapun yang ingin dibuatnya. Pesankan segelas besar nutrisari panas dengan sedotannya berwarna merah, saya kembali ke realita. Dan kamu tahu? Ternyata mataharinya juga sama, sudah hampir hilang. :)

Tahukah kamu? Bahwa semua dimensi ini selalu saling beririsan. Sadar ataupun tidak, kamu tak pernah terlepas dari siapapun. Bahwa apa yang bisa kamu indrai, adalah nyatanya dirimu sendiri!

Cikarang, 25 Agustus 2014

Kamis, 14 Agustus 2014

Di Pojok Sore (15) : Untuk Bahagia

Mataharinya mulai turun, dan saya sedang ingin sekali menghisap beberapa batang tembakau sambil bersantai melihat-lihat pertigaan besar yang tak terlalu ramai itu. Berbekal segelas kopi dan sebuah headset yang bagus sekali, saya pergi menuju gerbang kantor di belakang sana. Rencananya ini sederhana sekali: saya akan minum kopi menghadap terik mentari, mendengarkan lagu apapun yang saya inginkan, dan sendiri saja. Begitu. Hingga akhirnya langkahnya berhenti di sebuah beton bulat yang entah apa peruntukannya, saya duduk manis menjalankan rencana. Dan begitu saja. Rencananya ternyata bisa berjalan sempurna. Untuk bahagia.

Franky Sahilatua sekarang dapat giliran. Santai-santai dia bernyanyi pelan lewat dengung headset yang mengisolasi. Asik sekali dia ceritakan pengalamannya di sebuah telaga yang antah berantah. Tentang dia yang tengah memikirkan kekasih hatinya yang entah. Saya mulai berpikir, bahwa Franky ternyata memang dianugrahkan kemampuan yang luar bisa dalam menggambarkan perasaannya terhadap perempuan. Dan yang selalu khas darinya adalah: dia senang sekali melihat semuanya itu dari sudut pandang bagian dirinya yang lain. Itu semacam sebuah monolog. Dan saya selalu menyukai dialog pribadi semacam ini. Seperti juga lagunya yang ini: “Lelaki dan Telaga”. Apalagi saat dia bercerita: “pada air ia berkaca, membayangkan kekasih. Bersandar pundak di sisinya, ranting jatuh air memecah. Di dalam lingkaran air, lelaki sendiri” :). Saya pikir Franky sukses besar dalam menransfer perasaannya pada saya tepat di tempat ini saat ini. Bagus sekali. :)

Dan ganti seorang kawan terdengar lewat sebuah dering sederhana di telpon genggam ini. Bercerita dia tentang dia yang tengah berada di perjalanan menuju kampusnya di ibukota. Berikut ceritanya seharian ini yang sibuk sekali mengurusi ini-itu di kantornya yang tinggi entah di lantai berapa. Menyimaknya, seperti biasa, saya akan lebih banyak mendengarkan sambil tertawa-tawa saja. Sesekali mengomentari agar dia tak terlalu serius mengerjakan semua yang dia kerjakan, agar dia tetap ingat untuk bersenang-senang di sela kesibukannya yang melelahkan. Atau menyarankannya untuk mengerjakan sesuatu yang tak jelas apa manfaatnya, agar dia merasa hidup. Agar dia merasa hidup. Saya berharap seperti itu. :)

Pengunjung yang lain mulai berdatangan. Kawan-kawan penjaja makanan itu juga tengah bersiap menggelar jajanan jalanannya yang sedap-sedap. Tak terasa kopi di gelas plastik berwarna putih bersih ini juga semakin sedikit. Sesekali mengusap-usapkan wajah yang mulai terasa panas terpanggang mentari sore Cikarang, saya tahu sebaiknya saya segera bersiap. Sorenya akan segera lebih ramai sekarang, dan obrolan yang lain akan segera dimulai. Mengibaskan kabel headset yang membelit menjadi lebih kusut, saya coba tanyakan satu hal ke kawan yang sedang asik melihat-lihat i-pad nya yang masih terlihat baru itu. “Kamu terlihat letih sekali, Kawan. Sudahlah, mari ke sini. Ceritakan apapun yang kamu inginkan, saya dengarkan”. Dia tertawa. :D

Sebenarnya saya penasaran sekali, kiranya telaga apa yang yang jadi latar di lagu ini. Saya ingin berkunjung. Yang sayangnya kini Franky sudah tak ada lagi. :) 
Cikarang, 14 Agustus 2014

Selasa, 12 Agustus 2014

Iwan Fals : Jangan Bicara

Saya tersenyum miris membaca ratusan posts tentang sosial-politik di ranah sosial media di negeri ini. Sepertinya begini: mereka menganggap itu sebagai mengkritik, seolah tak ada yang lebih paham lagi, semua yang ada adalah salah, atau bahkan sekedar nyinyir saja. Jujur saja, kadang saya muak sekali membacanya. Meski kadang tak semuanya juga seperti itu. Kadang memang ada sesekali yang terlihat lepas saja, dan saya menyukai bagian yang ini. Tapi hanya sedikit sekali. Terbatas sekali.

Dalam contoh ekstrim, kadang saya berpikir apakah mereka menganggap bahwa mereka adalah (semacam) Tuhan? Untuk kemudian ringan sekali menunjuk sana-sini memutuskan mana yang benar dan mana yang tidak seenak perutnya sendiri. Lalu merasa bangga saat ada yang menanggapi kicauan mereka dengan rasa kagum atau bahkan biasa saja. Dan saya akan segera berkomentar sendiri di dalam hati agar mereka bersegera memperbanyak meminum susu tulang yang saat ini banyak dijual di pasaran saja.

Sekarang, atau nanti saat kamu sempat dan mau, mari perlahan membaca renungan Bang Iwan Fals di lagunya yang ini: “Jangan Bicara”. Saya pikir lagu ini baik sekali. Dengan bahasanya yang puitis-tajam, dia bicara dengan pemilihan kosakata yang sangat lugas. Bergidik saya mendengarkan, saat di akhir lagunya dia berucap: “atau tentang tanggung jawab yang kini dianggap sepi!”. Sebaiknya orang-orang serupa di atas merasa malu.

***
Jangan Bicara - Iwan Fals

Jangan bicara soal idealisme
Mari bicara berapa banyak uang di kantong kita
Atau berapa dahsyatnya
Ancaman yang membuat kita terpaksa onani

Jangan bicara soal nasionalisme
Mari bicara tentang kita yang lupa warna bendera sendiri
Atau tentang kita yang buta
Bisul tumbuh subur di ujung hidung yang memang tak mancung

Jangan perdebatkan soal keadilan
Sebab keadilan bukan untuk diperdebatkan
Jangan cerita soal kemakmuran
Sebab kemakmuran hanya untuk anjing si tuan polan

Lihat di sana, si Urip meratap
Di teras marmer direktur murtat
Lihat di sana, si Icih sedih
Di ranjang empuk waktu majikannya menindih
Lihat di sana, parade penganggur
Yang tampak murung di tepi kubur
Lihat di sana, antrian pencuri
Yang timbul sebab nasinya dicuri

Jangan bicara soal runtuhnya moral
Mari bicara tentang harga diri yang tak ada arti
Atau tentang tanggung jawab
Yang kini dianggap sepi

Cikarang, 12 Agustus 2014