Senin, 01 Desember 2014

Jalan Sempit Lurus Pinggir Lapangan dan Pohon Kelapa

Foto diambil dari akun Path milik Debi Krisna, gatau dia dapat gambar ini dari mana. :D
Melihat gambar buram dan tak fokus ini sore ini. Gambar yang diunggah oleh seorang kawan baik di Warung Kiara, Sukabumi sana. Tersenyum-senyum singkat, untuk kemudian saya tambahkan komentar di bawah fotonya. “Dulu, saat melintas di jalan yang seperti ini, saya biasanya berjalan kaki, bukan naik sepeda. :P”.

Dan saya melangkah pulang dari kantor kami yang mulai sepi. Meski pikiran saya belum bisa lepas dari gambar itu. Gambar yang seperti berubah jadi sebuah panggilan untuk mengingat sesuatu di masa lampau. Kini saya mengira-ngira sendiri.

Di depan sebuah kedai sate pinggir jalan, saya perlihatkan gambarnya ke seorang kawan yang lain. Seorang kawan yang melewati masa kecilnya di Kota Bogor. Saya tanyakan singkat kepadanya: “Kawan, hal apa yang kamu pikirkan setelah melihat gambar seperti ini?”. Dia menjawab: “Ga ada. Tapi kayanya enak”. Saya tertawa mendengarnya. Dia bergumam melanjutkan: “Berarti kamu pernah merasakan berjalan di udara yang bersih, sambil tertawa bersama kawan sebaya?”. Saya iyakan, sambil tersenyum. Lanjut berkomentari: “Jadi begini. Mungkin anak-anak di perkotaan setiap hari disuguhi pemandangan jalan yang seperti ini (sambil menunjuk jalanan besar di depan kami yang padat dengan mobil-motor dan berisik sekali), sedang saya dulu tidak. Jalanan masa kecil kami dulu sepi, enak dihirup. Hmmm, kamu mungkin hanya bisa membayangkannya saja, tapi tenang saja, sebenarnya ini juga sudah bagus”. :D

Di jalanan sepi depan lapangan belakang pesawahan itu, dulu kami biasa dermakan waktu bersama kawan-kawan sekelas. Kadang kami berlarian di tengah jalan sesukanya saja, kadang menangis sepanjang jalan karena habis dipukuli oleh kawan sekelas yang lebih “jago”, kadang duduk saja di pinggir jalannya lalu menyobekkan kertas dari buku di dalam ransel jelek itu lalu melipatnya jadi kapal-kapalan terus dihanyutkan. Kami berlari mengejar kapal-kapal itu, hingga tak terasa jalanan itu sudah habis, dan itu juga berarti kami sudah dekat dengan rumah. Ah, menyenangkan sekali. :D

Dulu saya mengenal semua rumah yang terlewati dari dan menuju sekolah. Rumah Ande, rumah Ita Salon, rumah Om Bengkel, rumah Wak Makum, rumah Datuk Dulia, TK Nuri dan lain-lain. Jika sedang ingin mencuri markisa ranum penawar letih, maka rumah yang selalu tertata rapi di salah satu sudut itu adalah pilihan yang bagus. Jika sedang ingin melempari sarang tawon raksasa, maka pohon besar depan rumah sepi itu selalu siap jadi sasaran. Jika sedang ingin tidur-tiduran di bawah lindungan pohon besar, maka lapangan besar itu selalu ada di situ. Ah, begitu, kegiatan kami banyak sekali waktu itu. Kami tak pernah bosan menjalani hari. Meski kami belum pernah mengenal apa itu pesawat-pesawatan remote control  atau barang-barang mewah-mahal sejenisnya. :D

Mungkin kamu pernah melihat acara Si Bolang di salah satu stasiun televisi. Setau saya, banyak sekali orang yang suka menonton acara itu. Meski kadang saya berpikir sendiri: “Kiranya apa yang mereka pikirkan saat menonton acara itu?” Karena untuk saya, acara itu adalah sebuah ribuan gambar jelas. Sejelas jeweran seorang guru IPA di SD saya dulu karena ketahuan mencoreti meja guru dengan kapur hingga putih semua, lalu beliau marah. Ah, saya jadi tersenyum sendiri sekarang. “Salam hormat dari saya, Bu Watirah”. :)

Curup-Cikarang, 1 Desember 2014

4 komentar:

  1. Persis partner..persis seperti jalan desa lagadar tempo dulu..tapi ada bagian di ujung jalan yg diselimuti pohon bambu yg saking panjangnya jadi merunduk bak terowongan, itu bagian paling mistis sepanjang jalan kalo hari hujan tp sekaligus paling menarik saat panas terik, bisa berteduh sebentar. Setelah terowongan yg terbuat dari batang bambu itu lewat barulah kanan kiri sawah membentang..sy pulang sekolah jalan kaki sendiri karena rumahnya paling jauh..kami jalan berempat sebaya sampai sebelum terowongan itu ada perkampungan tempat teman saya kuraesin tinggal, dia teman terakhir yg menemani saya, selanjutnya saya sendiri menerjang jalan berbatu itu, sesekali kaki sy berhenti mendadak karena tiba2 si cantik king cobra lewat begitu saja menyebrang jalan, klo beruntung kadang 2 atau 3 burung puyuh berlarian, setelah hujan lebat biasanya ada burung2 kedinginan yg saya bawa pulang untuk dirawat. Atau kalo lagi rajin saya nemu bibit mangga dan bibit campolai yg akan saya tanam di rumah, saat itu ibu saya bilang kalo saya berbakat di bidang tumbuh2an dan terbukti lah saya masuk di biologi walopun dapat C di mata kuliah Fistum xixixiix.
    Saya rindu tempat itu, sekarang sudah dibenteng jadi pabrik, dimana ya sy simpan foto2 kita wktu itu???hahahah...

    BalasHapus
  2. Ahahaa, baguss. Sekarang juga Lagadar masih bagus, masih berembun waktu hujan, kunang-kunang berserakan selepas magrib, masih bagus.
    Wah tentang cobra di situ, saya belum tahu. Cimahi dulu pasti beda jauh sama sekarang. Beruntung kamu masih bisa ketemu kobra liar, asal jangan sampe kepatok.
    Tentang foto kita waktu itu ga usah ditanya, udah kamu hapus. Yang di hp saya juga kan kamu minta hapus juga, :))))) :pppppppp

    BalasHapus
  3. Hahahha...iya gitu???ga ah kan banyak fotonya barengan c tonkq n teh anggri di sawah...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hoo, kalo foto yang di sawah sih mungkin masih ada, hahahaaa. :pppp

      Hapus