Selasa, 27 Mei 2014

Waddaddah (2)

Waddaddah Coffee
Duduk di sebelah sebuah piano tua di bawah bayang pajangan kain tenun ini lagi adalah malam yang lain di kota ini. Dengan pramusajinya yang tak lama kemudian datang dengan tatapannya yang ramah –dan sedikit tawa sepertinya, menunggu sebentar dan mencatat-catat apa yang kami pesan. Dan saya selalu menyukai gaya melayani pelanggan dari gadis muda ini. Senyum dan tatapannya ramah, tapi tak berlebihan. Saya pikir, dia baik sekali menjadi pramusaji. :)

Memandang ke depan dari tempat duduk kami ini, adalah empat pemuda yang sedang serius sekali memandangi layar komputer lipatnya masing-masing. Mereka sepertinya tengah asik bermain game online –seperti kebanyakan orang yang datang ke tempat ini. Tapi salah satu dari mereka sepertinya tak seasik tiga kawannya yang lain, dia mengantuk sendiri. Berulang kali saya perhatikan, dia memejamkan mata sambil bersandar lebih ke belakang di atas sofa besar itu. Saat itu saya berani bertaruh, bahwa mereka berempat akan segera pulang.

Malam ini belum terlalu jauh, saat tiba-tiba saya terpikir untuk memberikan pertanyaan singkat pada seorang kawan yang sepertinya tengah bingung mau bicarakan apa lagi. “Begini saja, sekarang beritahu saya tentang rahasia yang kamu punya?”. Dengan kening berkerut, setengah bingung, kawan tersebut menjawab: “rahasia apa?”. Setelah saya menjawab singkat: “apapun”, akhirnya dia menjawab tangkas dengan ekspresi serius: “ya bukan rahasia namanya, kalo dibilang-bilangin ke orang lain mah”. Saya tertawa mendengarnya, dan beberapa saat kemudian dia ikut tertawa. Meski saya tak benar yakin apakah kami menertawakan hal yang sama atau tidak, ah, tapi biarin aja, sama sekali bukan masalah itu mah, heheu.

Pada kawan tersebut, saya ceritakan beberapa cerita menarik bersama beberapa kawan yang lain. Salah satunya adalah sekilas cerita milik seorang kawan yang di beberapa bulan yang lewat tengah duduk tepat di kursi yang saat ini sedang dia duduki sambil bercerita tentang rahasia miliknya. Selesai bercerita singkat, saya bersandar lepas. Saya katakan padanya kini: bahwa rahasia hanyalah sebuah kesepakatan pribadi, bukan tentang apa yang dipikirkan oleh orang lain, bukan tentang sesuatu yang bisa dipengaruhi oleh orang lain. :)

Bandung, 25 Mei 2014
Foto oleh Vania Febriyanti

Senin, 19 Mei 2014

Rabu Pertama

Adalah hari ini, 18 Mei 2014. Tepat tiga tahun sudah saya bekerja di tempat yang sangat menyenangkan itu. Bertemu kawan-kawan baru dengan beragam sifat dan kebiasaan, melihat Cikarang sebagai sebuah kota kecil yang ternyata menarik sekali, dan banyak lagi. Menengadahkan kepala sejenak, mengambil udara sejuk khas Bandung utara, saya jadi ingin bercerita sedikit tentang hari itu, hari pertama saya masuk kerja.

***
Jarum jam belum terlalu jauh dari setengah delapan pagi, dan ojek tumpangan itu mengantarkan saya tepat di depan sebuah bangunan besar dengan kombinasi warna putih dan biru, berikut seorang petugas sekuriti yang tengah sibuk membantu seorang karyawan kantor memarkirkan mobil kijang hitamnya di tempat yang sudah ditentukan. Berjalan perlahan menuju pos sekuritinya yang ramah sekali, saya diminta menuju lobi. 

Lobi ini tak terlalu besar, dengan dominasi warna putih bersih di dinding dan langit-langitnya, serta seorang resepsionis yang sedang asik sekali mengobrol dan meminta saya menunggu dulu di situ. Duduk menghadap barat di sebuah sofa berwarna biru gelap, memandang para pegawai kantor yang baru saja datang dengan pakaian yang bagus-bagus, saya coba menghafal wajah-wajah mereka dan suasananya. Beberapa berhasil saya ingat hingga saat ini, sisanya tidak, saya tenang saja.

Jam delapan sudah dekat, dan beberapa gadis muda berpakaian rapi turun dari sebuah mobil tepat di depan pintu lobi. Salah satunya saya kenal –saya sudah pernah bertemu dan mengobrol dengannya di beberapa minggu yang lewat saat pertama kali datang ke sini, seorang gadis muda dengan batik coklat muda berbentuk terusan rok pendek dengan motif bunga. Dia menyapa sebentar dengan senyumnya yang khas dan obrolan pendek yang masih saya ingat benar. Lepasnya dia masuk, saya tetap di situ. 

Tak lama berselang, seorang bapak-bapak menghampiri, bertanya perihal nama dan nomor sepatu yang saya pakai. Saya jawab setepat mungkin, dia segera bergerak cepat. Tak lama, dia datang menenteng sebuah plastik transparan berisi sepasang sepatu hitam-putih yang baru dan nyaman sekali saat dipakai. Lanjut antarkan saya menuju sebuah ruangan di lantai dua di atas sana, kami mengobrol sedikit-sedikit. Saat itu saya tak menyadari, bahwa kiranya bapak-bapak dengan ekspresi yang selalu terlihat terburu-buru ini nantinya akan menjadi salah satu kawan yang paling menyenangkan dari tempat ini. Dan ternyata, wajahnya itu sama sekali tak mencerminkan umurnya. Kamu tahu? ternyata kami seumuran. :)

Ruangan di lantai dua itu sedikit kaku, saya bisa merasakannya saat itu. Lepas berbincang sebentar dengan gadis muda yang tadi, juga perkenalan singkat dengan seorang yang lain, saya tak banyak bicara. Mengelilingi gedung itu untuk berkenalan dengan semua kawan kerja yang lain, saya tak berhasil mengingat banyak nama dan wajah, tapi saya pikir itu normal sekali. Hingga akhirnya saya kembali ke ruangan itu, dan gadis muda itu mulai mengajak saya berdiskusi tentang sebuah project penelitian. Saya dengarkan saja dia bicara. Tak sepenuhnya paham, tapi sepertinya saya mengerti garis besar apa yang dia bicarakan. Dia meminta saya membaca lima paper yang sudah dia sediakan. :) Sebenarnya saat itu saya sama sekali tak berminat membaca papernya, tapi saya suka cara gadis itu memberi perintah. Saya ikuti. Saya baca semuanya.

Makan siang pertama di tempat itu bersama dua orang kawan baru yang lain adalah hal yang selalu saya ingat. Penampilan dan bahasa dari kedua kawan tersebut sangat tertata. Saya mulai memperhatikan keduanya. Saya ingat betul, saat itu saya mencoba sebuah eksperimen kecil. Hal itu saya lakukan hanya untuk melihat reaksi dari kedua kawan ini: saya ingin mengenal mereka, :). Saat itu saya sengaja membuat sebuah ketidakwajaran kecil dengan menuangkan nasi di mangkok khusus untuk tempat sayur –saya tahu persis penggunaan mangkok ini karena saya sudah memperhatikan penghuni kantin sedari masuk ruangan ini tadi. Dan hebatnya, mereka berdua tak menegur ketidakwajaran ini, walau beberapa kali saya menangkap mereka terlihat menatap aneh ke arah mangkok itu, tapi mereka tetap ramah. Sejak saat itu, saya tahu, bahwa keduanya akan menjadi kawan yang baik dan menyenangkan. Ya, saya pikir setidaknya keyakinan tersebut terbukti benar hingga hari ini. Saya merasa beruntung sekali untuk bisa mengenal mereka. :)

Hari itu rasanya singkat sekali. Sebuah Rabu yang sibuk sekali. Hari dimana saya mulai merekam satu-satu tentang apa saja yang saya inginkan di tempat itu. Tentang kawan-kawan baru, tentang obrolan-obrolan yang tak sengaja terdengar dari kawan-kawan yang lewat dan masih asing, tentang tata ruang bangunan yang susah diingat, tentang sore Cikarang yang ternyata bagus sekali di perjalanan pulang menuju komplek kos-kosan yang eksklusif, tentang lapangan hijau pinggir jalan dimana matahari sore turun dengan tepat ditelan lari para pemuda yang asik bermain sepak bola.

Bandung, 18 Mei 2014

Kamis, 15 Mei 2014

Petik Obrolan Game of Throne

"It is a big and beautiful world. Most of us live and die in the same corner where we were born and never get to see any of it. I don’t want to be most of us."

Terjemahan bebas:

Kita tinggal di sebuah dunia yang besar dan cantik sekali. Kebanyakan orang, hidup dan hingga mati hanya di satu sudut yang sama, dan tak pernah sempat melihat sudut-sudut dunia yang lain. Dan saya tak ingin menjadi seperti orang-orang kebanyakan ini.

Oberyn Martel, Game of Thrones ep 6 season 4.

***
Saya baru bangun tidur siang, untuk kemudian melihat-lihat beberapa timeline yang secara tak sengaja masuk ke laman beranda dari akun sosial-media milik saya. Dan tulisan di atas adalah salah satunya, post milik seorang kawan yang menyenangkan sekali. Saya baca berulang-ulang kalimatnya, saya diam saja. Sepertinya saat itu beberapa jalur saraf di dalam kepala saya sedang dalam kondisi super sibuk tengah mengantarkan pesan-pesan kimia yang beruntai dan padat sekali. Tak ingin terburu-buru, saya petikkan dulu pelan-pelan senar-senar gitar milik seorang kawan yang saat ini masih tertidur pulas itu. Bersenandung sendiri hingga merasa cukup, saya putuskan untuk menuliskan ini.

Saya belum pernah menonton serial “Game of Throne” sebelumnya, saya juga tak tahu kiranya Oberyn Martel adalah penulis ceritanya atau hanya salah satu pemeran di serial itu. Tapi saya tertarik sekali dengan cuplikan obrol yang di-post-kan oleh kawan yang ini tadi. Membuat saya berpikir tentang banyak hal dari sekian panjang cerita pribadi yang pernah, sedang dan akan saya lalui. Seperti perihal melihat hal-hal lain di dunia yang sebesar ini. :) Saya ceritakan dulu: bahwa saya belum pernah sekalipun keluar dari Indonesia –walaupun keinginan saya untuk bisa bersekolah dan berkunjung ke luar negri besar sekali, mungkin sebagian dari kalian tak mengerti. Tapi saya pikir itu semua bukan masalah. :)

***
Nama saya Guntur Berlian. Saya lahir di Bengkulu, 15 Maret 1986, di sebuah rumah sakit daerah bernama RS Padang Harapan, buah cinta dari sepasang muda-mudi bernama Cik Yan Lis dan Kartini (cerita hampir serupa dapat dilihat di edisi tulisan “Cik Yan Lis” dan “Kartiniwati”). Saya tumbuh besar di sebuah area pesawahan yang menghampar luas, di sebuah lembah dari dua gunung yang gagah sekali, namanya Bukit Kaba dan Bukit Basa. Bermain sepanjang hari di pematang sawahnya yang sudah saya hafal benar, atau di antara tiup angin yang meniup-niup pohon kelapa dan kuning padi di bawahnya. Dan beranjak remaja di kota yang sama, namanya Curup, saya mengenal kawan-kawan yang selalu membuat tertawa, atau menjalani masa-masanya dengan romantika cinta remaja, konflik, dan persahabatan, rasanya menyenangkan sekali. :) Lanjut setelah menamatkan sekolah menengah umum, saya menuju sebuah kota yang terkenal dengan kecantikannya itu, Bandung. Sebelas tahun saya habiskan waktu di kota itu, menimba beberapa pengetahuan yang kadang sengaja ataupun tidak sengaja saya temukan, dan begitu saja. Kemudian berpindah ke Cikarang, sebuah kota kecil dengan cuacanya yang panas sekali. Dan dua hari lagi, akan menjadi genap tiga tahun sudah saya berdiam di kota itu. Dan itu saja. :)

Saya selalu berpikir bahwa hidup itu adalah sebuah cerita. Di dalam sebuah cerita, selalu saja ada detail-detail sederhana yang bisa membuat cerita tersebut menjadi sebuah kehidupan dan hidup itu sendiri. Meski terkadang yang menjadi pembeda adalah adanya kemungkinan seseorang mampu dan mau melihat detail-detail tersebut atau tidak, dalam cerita yang dijalaninya. Ah, sebenanya itu hanya sebuah pilihan saja, seseorang akan tetap bisa menjalani kehidupan dengan melihat atau tanpa melihat detail-detail yang ada di dalamnya. Saya pikir di situlah pesona misteri hidup dan kehidupan tetap tersimpan rapi dalam dimensi ruang, waktu, dan kejadian.

Hmmm, saya pikir, mungkin tak ada yang lebih baik antara “orang yang berkeliling dunia di sepanjang hayatnya” dengan “sebagian yang lain yang hidup hingga matinya hanya di satu sudut tertentu itu saja dari dunia yang sebesar ini”. Pada dasarnya itu adalah sebuah probabilitas, saat seseorang diberi kemampuan dan kesempatan untuk bertualang kemana saja, sedang yang lain tidak. Kita semua dihadiahi untuk memiliki kehidupan yang sama. Menurut saya begitu, bagus sekali. :) Dan mungkin satu-satunya hal yang sedikit ganjil dari cuplik obrolan di atas adalah: pernyataan tentang dia tak mau menjadi seperti orang-orang kebanyakan. Hmmm: “Ah kamu, Mr. Martel, kenapa fokus sekali pada hidup orang lain? Itu hanya memperlihatkan kamu bahkan tak fokus pada detail-detail ceritamu sendiri”. :D Tapi ngomong-ngomong, sebenarnya itu bukan masalah, bila Mr Martel ingin berpikir seperti itu, saya pikir itu juga bagus-bagus saja untuknya. :)

Terima kasih untuk Fittonia Elgina buat kilas ceritanya yang menarik
Bandung, 15 Mei 2014

Selasa, 13 Mei 2014

Di Pojok Sore (11) - Bumi Biru

Sore itu dan saya tahu, si Bumi Biru ini sedang bertanya sesuatu, tapi sayangnya saya belum mengerti bahasanya. :p
Pagi itu saya berangkat. Menuju selatan Bandung yang jauh untuk bersenang-senang. Sepanjang perjalanannya asik, saya bernyanyi-nyanyi sendiri di atas sebuah motor pinjaman milik seorang kawan yang saat itu tengah bersiap mencari uang seharian lewat sebuah kejuaraan bola voli putri se-Kota Bandung. Saya jalankan motornya perlahan, mampir sebentar-sebentar di beberapa perhentian, dan Bandung yang sedang cerah sekali.

Dan melihat deretan rak-rak bambu yang berjajar dalam barisan yang tak seberapa panjang ini adalah sebuah rasa senang. Mengangkat beberapa karung yang lumayan berat dan memindahkannya berkali-kali, saya menyeka keringat yang jatuh satu-satu seperti tak bisa berhenti. Memperhatikan sekeliling ruangan yang sepi, dan rasa lelah yang mulai datang, saya berhenti sejenak. Untuk kemudian menyesap beberapa isap tembakau yang membahagiakan, juga dengarkan tembang-tembang renungan milik Alexi Murdoch yang selalu saja inspiratif dan mengalun pelan. Saya bertanya sendiri saat itu: "mengapa saya datang ke sini hari ini?" Saya senyum-senyum tak bisa menjawab pasti. Dan sambil menatap sisa pekerjaan yang tinggal setengah lagi, atau merasakan pegal di punggung dan genggaman tangan, juga diamnya matahari yang mulai condong ke arah barat. Saya bergumam sendiri: “ah, ternyata hari sudah mulai lebih siang”. Saya putuskan untuk segera melanjutkan sisa pekerjaan yang menyenangkan ini. Juga memikirkan beberapa kiriman pesan yang belum kunjung dibalas oleh seorang kawan baik yang saat itu sedang terbaring sakit di rumahnya sana. Hingga akhirnya semuanya selesai, dan tiup nafas yang lega bercampur letih tertiup oleh angin-angin di langit Kampung Pelukis.

Sebenarnya sedari tadi saya tengah banyak berpikir tentang kawan baik yang sedang terbaring sakit itu. Tapi bukan, saya bukan sedang mengkhawatirkan kondisi sakitnya, karena saya selalu tahu dia mampu menjaga dirinya sendiri. Saya hanya sedang memikirkan persinggungan tentang apa yang sedang saya lakukan seharian ini dengan dia atau keluarga kecilnya itu. Gelisah, saya coba kirimkan beberapa pesan singkat padanya: "bahwa saya sangat menikmati apa yang saya lakukan ini, yang meski nantinya kami mungkin akan gagal sama sekali, tapi sebenar-benarnya saya sangat menikmati segenap prosesnya. Dan sebesar itu pula saya berharap kiranya dia juga bisa merasa seperti itu". :) Meski tak lama kemudian, kawan tersebut membalas pesan yang saya kirimkan tadi. Menjawablah dia dengan sangat menyenangkan, sekaligus menawarkan agar saya berkunjung ke rumahnya sore ini. Saya iyakan.

Di sepanjang perjalanan itu, saya tak bisa cepat memutuskan kiranya sore ini saya akan benar mampir ke rumahnya atau tidak. Berbagai macam pertimbangan saya pikirkan, termasuk untuk menjemput kembali kawan di pertandingan voli yang tadi. Hingga akhirnya di dekat sebuah persimpangan besar itu, saya berhasil memutuskan. “Saya akan datang menghampirinya, saya ingin berfoto dengan anaknya. Semoga saja anaknya belum tidur, saya benar-benar sedang ingin foto berdua dengannya”. Setahu saya, di jam-jam ini, anak itu seringnya sudah tertidur. Atau menimbang tentang pakaian saya yang basah kuyup oleh keringat seharian ini, yang pasti sudah terlalu bau untuk menggendongnya. Saya pikir sepertinya dia tak kan mau digendong dengan kondisi saya seperti ini, atau mungkin orang tuanya yang akan melarangnya. Ah, tapi saya tetap saja, saya pikir saya mau mengadu peruntungan dengan anak yang belum genap berusia setahun itu.

Tiba di sebuah rumah di kawasan perumahan yang memiliki banyak persimpangan rumit itu, saya mengetuk dari luar. Untuk kemudian terdengar kawan tersebut berjalan ke arah pintu luar, dan kami bertukar sapa. Mengintip sebentar ke dalam rumah, lewat jarak antara pintu dan kawan yang tengah berdiri di depannya, saya mendengar suara anak itu entah sedang bicarakan apa. Saya bicara sendiri di dalam hati: “Nah, benar, dia belum tertidur kan”. Mengajak kawan tersebut untuk menghampiri anaknya dulu sebentar, saya melihat anak itu tengah bergulingan bebas saja di atas sebuah karpet tebal, dengan ibunya yang dengan bangga memamerkan anaknya yang sekarang sudah bisa duduk. Saya berdiam sejenak, dan memperhatikan anak itu sedang menatap saya tajam. Dan luar biasa: anak itu menunjukkan gesture agar saya menggendongnya. Ahahaa, saya tertawa sendiri di dalam hati, sepertinya anak ini mengetahui apa niat saya mengunjungi rumahnya sore ini. Saya senang sekali. Sesegeranya pula saya meminta kawan tersebut untuk mengambil foto kami berdua di luar rumah.

Mungkin kunjungan itu tak lebih dari satu jam. Dan di perjalanan pulang di ujung sorenya itu, saya berpikir banyak tentang kawan tersebut, juga anaknya. Kiranya nanti saat dia sudah besar, saya akan menceritakan padanya bagaimana dulu saya suka sekali menghabis-habiskan uang ayahnya hanya untuk bersenang-senang sendiri, seperti yang saya lakukan seharian ini. Ya, saya akan mengatakannya seperti itu. :) Ah, semoga saja nanti dia bisa paham dan mengerti. Sekali lagi saya akan mengadu peruntungan dengannya. :)

Selamat sore, Bumi Biru
Bandung, 4 Mei 2014
*Foto oleh Haikal Sedayo

Senin, 12 Mei 2014

Keluarga: Antara Retorika dan Merasa

Kami bersiap pulang. Beberapa kawan yang lain sudah pulang duluan pagi-pagi tadi.

Acara yang selalu saya tunggu-tunggu ini akhirnya datang lagi. Sebuah acara bersama kawan-kawan kantor –bukan acara kantor, yang selalu kami usahakan untuk terus diadakan setidaknya setahun sekali. Sebenarnya acaranya ini sederhana sekali: kami berjalan-jalan ke luar kota, kami menginap semalam, kami bermain games yang kami susun sendiri, dan rasanya bahagia sekali: saat kami semua tertawa, berdialog bebas selayaknya kawan, berkejar-kejaran dalam kelompok di dalam air, ah, banyak. Dan di saat-saat seperti inilah, saya baru bisa merasakan bahwa kami adalah benar sebuah keluarga. :)

Di kantor, saya sering sekali membaca tulisan-tulisan yang menempel di dinding dan kertas-kertas, atau mendengar beberapa petinggi perusahaan kami berbicara, atau saat diminta meneriakkan slogan: “kita semua adalah keluarga”. Saya membaca tulisan-tulisan itu, saya dengarkan baik-baik saat petinggi kami membicarakannya, saya ikut teriakkan juga slogannya. Tapi kadang, sebenarnya saya bingung sendiri. Karena saya pikir, seharusnya “keluarga” adalah sesuatu yang dirasakan –bukan untuk dituliskan, dibicarakan jadi diskusi, apalagi diteriakkan. Sama saja seperti kata “hidup”, karena seseorang tak benar hidup bila dia sendiri tak bisa merasakan kehidupan dalam hidupnya. Begitu kan ya?

Ah, sebenarnya itu saja. Saat ini saya tak akan menuliskan lebih jauh lagi tentang tema ini, karena sepertinya, tulisan seperti ini akan mudah sekali memicu pikiran negatif bagi sebagian kawan yang terlalu serius. Tapi percaya saja, bahwa saat ini, saya sama sekali tak bicara sisi negatif dari apa dan siapapun. Saya kurang tertarik berbicara tentang hal-hal serupa itu. :)

Bogor, 11 Mei 2014