Senin, 14 Januari 2019

Langit Jingga - Tersedak

Di udara musim yang tak menentu ini, kuhitung sudah beberapa kali kau terserang pilek dan batuk. Aku dan ibumu pun sama. Dan selalu, itu semua bermula dari kami berdua. Tapi aku yakin kau bahkan lebih kuat dari kami berdua digabungkan sekaligus. Ya, Nak, sekuat itulah dirimu. Dan jangan menganggapnya kecil, karena aku sendiri adalah yang terkuat dari semua yang kutemui sebelum dirimu. Sedang kau datang dengan kekuatan melebihi aku. Dan akan sangat membingungkan jika kau berpikir kau lebih lemah dari siapapun. Maka bersikaplah selayak yang terkuat. Cukup begitu.

***
Seiring kehadiranmu, aku sendiri mulai melihat kelemahan-kelemahanku. Kuakui, itu bukan hal yang menyenangkan untukku. Seperti malam itu, saat kau tengah dalam masa penyembuhan dari pilekmu yang satu-dua hari. Di rentang waktunya, porsi makanmu sedang lebih rendah dari biasanya, dan kau berjuang sebisanya. Dan aku mulai bergembira untuk melihat nafsu makanmu yang perlahan kembali seperti biasa. Kurayakan malam itu dengan memberimu sepotong daging rambutan yang sudah kukupas sebaik-baik. Meski tanpa kusadari ternyata potong rambutan itu terlalu besar untukmu, dan kau tersedak, muntahkan semua makanan yang kau makan sebelumnya lalu menangis sejadi-jadinya. Melihatnya hatiku hancur, Nak. Rasanya aku dihantam tinju raksasa yang membuatku nyaris hilang kesadaran. Tersadar bahwa itu semua terjadi karena tindakanku yang tak terukur. Terdiam, tenggelam dalam rasa bersalah dan penyesalan, hanya itu yang kulakukan saat ibumu datang menenangkan sembari membersihkan semuanya.

Apakah kau tahu, Nak, bahwa sebelum ini aku bahkan tak pernah merasa menyesal atas apapun yang kulakukan? Terkadang aku memang sedikit merasa bersalah atas tindakan-tindakan konyol dan semua kesalahan yang pernah kulakukan, tapi tidak cukup fatal untuk mebuatku merasa menyesal. Dan di detik itu, akhirnya aku mengalaminya: menyesal. Ah, itu adalah satu kata yang sama sekali baru untukku, Nak. Untuk bisa membuatku terdiam, tak mampu berucap satu katapun, kecuali perasaan remuk yang bergumul hebat bagai sebuah mimpi terburuk yang diceritakan di buku-buku. Aku tak bisa berpikir sama sekali, hal itu melumpuhkanku, dan terus berandai-andai seandainya saja rambutan sialan itu tak pernah ada. Atau seandainya beberapa detik yang tadi itu tak pernah ada atau dihapus saja. Ah, seandainya. Seandainya.

Di berjuta kesalahan yang pernah kulakukan, dengan sengaja ataupun tidak, tak pernah sekalipun aku merasa menyesal. Bahkan kesalahan terbesar yang menurutku pernah kulakukan seperti membuat ibuku bersedih di obrolan terakhir yang kami lakukan sebelum beberapa hari kemudian dia meninggal pun tak berhasil membuatku menyesal. Bagaimana bisa? Aku tak tahu, tapi memang seperti itulah yang kurasakan. Dan kini, ternyata istana egoku runtuh oleh potongan rambutan itu, dan semudah itu, oleh hal sekecil itu. Ajaib. Bahkan hingga di detik ini aku masih tak bisa menerima bahwa aku ternyata sekecil itu. Bagaimana bisa? Bodoh sekali. Dan hal itu menekanku habis-habisan.

Dari sudut pandangku, persilangan jalan dan interaksi kita adalah hal teraneh yang pernah kualami. Jujur saja, kadang aku sedikit membencinya. Sebelum ini, aku selalu berpikir dan meyakini bahwa tak ada satupun yang lebih besar dari diriku sendiri. Dan kini, dengan ringannya, kau dan dimensimu hadir di sini membuatku mempertanyakan lagi tentang semuanya. Tentang semuanya.

Jakarta, Januari 2019