Rabu, 22 April 2015

Di Pinggir Sebuah Jalan

Percakapan seminggu kemarin bersama gadis muda dengan terusan batik coklat muda di kantor kami itu membuat saya mengingat sebuah cerita yang lain di kisaran 6 tahun yang silam. Sebuah cerita sederhana yang selalu berhasil membuat saya bersimpulan bahwa hidup itu tak pernah bisa dibedakan menjadi “hitam dan putih”. Mungkin beberapa orang akan berpendapat sebaliknya, atau setidaknya di beberapa dimensi kejadian, mereka berpendapat bahwa hidup akan ditentukan sebagai “hitam dan putih”. Tapi menurut saya sepertinya tidak. Bagi saya, di semua kejadian, hidup bukanlah “hitam dan putih”. Saya pikir: hidup itu berwarna-warni. :)

***
Juni 2009. 
Kegelisahan saya hampir mencapai titik puncak. Pasalnya, tenggat akhir pembayaran uang semester perkuliahan akan segera tiba. Uang yang saya miliki untuk melunasi biaya semesteran ternyata masih kurang dari jumlah 6,7 juta: angka biaya semester kuliah magister yang saya jalani semenjak setahun terakhir ini. Beberapa kali kilasan ide untuk berhenti kuliah datang menghampiri. Dan sekuat itu pula saya berusaha menguatkan diri untuk tetap bertahan. Saya sadar, itu adalah semester terakhir sebelum akhirnya nanti saya bisa memperoleh gelar Master. Hmm, sisa kekurangannya itu juga mungkin tak terlalu banyak, sekitar 1.5 juta –meski saya tak ingat berapa persisnya.

Ide untuk meminjam uang ke beberapa kenalan juga sudah saya pikirkan. Tapi seperti yang pernah saya ceritakan di tulisan-tulisan sebelumnya: bahwa orang-orang yang benar-benar membutuhkan biasanya memiliki kecenderungan lebih susah untuk meminta tolong dibandingkan dengan orang-orang yang tidak terlalu membutuhkan. Hingga akhirnya, saat itu saya memutuskan untuk bertahan saja dulu dalam kesenyapan di malam-malam terpanjang Bandung Utara.

Percayalah, untuk urusan seperti ini, saya tak terlalu suka mendiskusikannya dengan siapapun. Tapi entah bagaimana, malam itu saya bisa bercerita dengan seorang kawan yang baru saya kenal di 6 bulan terakhir di persimpangan besar Cipaganti. Sebenarnya saya belum terlalu mengenalnya. Yang saya tahu, dia adalah seorang mahasiswa putus sekolah asal kota Bandung. Pekerjaannya serabutan. Mulai dari menjual eceran casing handphone hingga loading paket ekspedisi. Dan malam itu dia tengah ikut menginap di kos-kosan saya. Kami mengobrol hingga jauh larut malam. Termasuk pula bercerita tentang kurangnya uang semester yang tengah saya alami. Dia tak banyak berkomentar malam itu. Dan saya juga memang tak mengharapkan komentar apa-apa. Malam itu saya hanya sedang ingin bercerita.

Selang beberapa hari, atau mungkin 1 minggu, di sebuah siang menjelang sore, dia menghubungi saya. Dia katakan saat itu bahwa dia sedang ada di wartel (warung telpon) di daerah belakang mall Bandung Indah Plaza, dan dia ingin agar saya datang menjemputnya untuk sebuah urusan penting. Saya bersegera berangkat. Hingga selang satu jam kemudian, kami bertemu di sebuah wartel tiga pintu di pinggir jalan raya. Saya temui dia yang tengah asik tertawa bersama seorang kawannya yang lain. Saya hampiri, dan tak lama kemudian kami berdua pergi.

Dia mengajak saya menuju pinggir jalan untuk mencari angkutan umum. Dia katakan bahwa sekarang dia mau pulang ke rumah. Saya sempat bingung dan bertanya waktu itu, kenapa dia inginkan saya datang dan untuk urusan penting apa? Dia tak pernah menjawab tegas. Hingga akhirnya di pinggir jalan itu, dia menyerahkan sebuah amplop putih tebal yang digulung-gulung. “Pakai saja uang ini untuk bayar semesteran”. Dengan rasa penasaran yang penuh, saya tanyakan dari mana dia mendapatkan uang itu. Singkat dia menjawab: “saya mencuri uang di toko ******* tadi malam”. Terkaget, saya tenggelam dalam tawanya yang hambar. Sesaat kemudian dia pergi bersama sebuah angkutan umum, mikrolet putih yang penuh.

***
Kami hanya pernah bertemu sekali setelah sore itu, sekitar 1-2 bulan berikutnya. Saat bertemu, saya tak menyinggung apapun tentang yang dia lakukan, hanya katakan bahwa uangnya sudah saya gunakan untuk membayar semesteran. Dia tertawa pendek sambil katakan :”bagus, bagus”, lalu mengalihkan pembicaraannye ke topik yang lain: tentang rencananya pergi bekerja sebagai TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di Jepang. Saya senang hari itu melihat dia bercerita antusias dan penuh keyakinan tentang rencana ke Jepang itu. Dan hingga hari ini, saya masih selalu berusaha mengingat dia di seusai solat yang sekali-sekali saya lakukan.

Sampai ketemu lagi, Kawan. Semoga kamu tak perlu mencuri lagi sampai kapanpun. :)
Cikarang, 22 April 2015

Minggu, 19 April 2015

Gerimis di Plastik Biru

Lepas menuntaskan obrolan singkat bersama seorang kawan baik lewat jejaring maya di kisaran satu jam yang lewat, saya jadi gelisah sendiri. Sambil merendam satu ember penuh cucian kotor semingguan kemarin, dilanjut menyemir sepatu kantor dan lantai kamar yang disapu seadanya, tapi tetap saja: saya mencoba mengingat obrolannya diam-diam. Atau beberapa obrolan lain bersamanya di sebulan yang lewat juga saya pikir sama saja. Hanya membuat saya semakin sadar bahwa saya sudah terlalu banyak berbicara tentang hal yang tak sebaiknya saya bicarakan. Dan saya pikir tak semua pertanyaan yang ada pantas dijawab. Bahkan saat seseorang tersebut terus bertanya sekalipun. Tapi sekarang ya saya berusaha tenang-tenang saja, karena itu semua tak lebih hanyalah sebuah cerita sudah terlewat.

Sesap tembakau mungkin sudah masuk di hitungan kedua, dan jarum jam di dinding putih itu juga terus saja tidak terganggu. Sedang gerimis panjang di Jababeka tetap bersuara pelan-pelan di plastik biru. Dan saya pikir begitulah semua cerita: untuk membuat sebuah keputusan yang syukur bila benar, dan tak masalah bila ternyata salah. :)

Didedikasikan untuk seorang kawan baik yang tengah gelisah menuju sebuah hari besar dalam hidupnya. Saya ucapkan sebaik-baik: jangan takut.  ;)
Cikarang, 19 April 2015