Rabu, 11 Desember 2019

Langit Jingga - Dan Purnama

Dan purnama 
Dan malam ini kuperkenalkan padamu Sang Bulan, Nak. Tentang sinarnya yang temaram tapi ajaibnya selalu menghangatkan. Tentang bentuknya yang beragam, dari sabit, separuh, hingga purnama. Tentang semuanya yang nantinya akan kau temukan sendiri di antaranya. Dan aku, akan selalu dengan gembira bercerita denganmu, tentangnya. Tentang panjangnya peristiwa yang pernah kulalui di bawah lindungannya.

Sedang perjalanan dari Taman Sari menuju kos-kosanku di awal 2010 adalah bagian yang paling kuingat. Aku melintasi Babakan Siliwangi seorang diri, dan jam sepertinya sudah menuju ke pertengahan malam. Aku berjalan di antara sisa-sisa hujan yang sesekali, serta bebunyian pedagang di kanan-kiri. Saat itu aku menghayalkan kehidupan seperti apa yang akan kujalani nanti di masa depan, sesederhana pertanyaan apakah dia akan ramah kepadaku, atau malah menghantamku sekeras karang. Tapi jujur saja aku lebih suka membayangkan kehidupan yang penuh suka cita, dimana aku bisa memandangi purnamanya dan merasa lebih baik dari saat itu. Dan ya, malam ini aku merasa jauh lebih baik dari yang kubayangkan dulu-dulu. 

Dan senang sekali rasanya saat mengetahui ternyata kau seantusias ini. Berteriak dan melompat-lompat: "bulan, bulan, bulan, abang suka bulan" terus tertawa sebaik-baiknya. Atau untuk kembali ke dalam rumah dan menceritakan pada ibumu: "Ibu, di luar ada bulan. Bulan bagus". Dan aku melihat langkah-langkahmu di bawahnya nanti akan semenyenangkan itu pula. Aku berdoa untukmu, Nak, dengan sebaik-baiknya doa yang bisa kusampaikan kepada Tuhan.

Kau tahu, untukku bulan, telaga dan api unggun di kesunyian adalah kombinasi yang menyenangkan. Dan bila saatnya tiba, dengan senang hati aku akan membaginya bersamamu. Untuk menjemput rasa kantuk yang semoganya segera hadir di antara obrolan kita tentang ibumu yang saat ini mungkin tengah terlelap jauh di lindung rumah. Sedang kita di sini berselimutkan malam, dan kegelisahan pribadi yang tak pernah benar pergi meninggalkan.

Pasar Minggu, penghujung 2019

Senin, 29 Juli 2019

Malam di Jababeka - Sebuah Penutup


Jumat, 26 Juli 2019
Mentari di penghujung Juli tengah terik-teriknya, juga lambai dahan mahoninya yang kini gagah menahan angin-angin yang lewat, tetap diam saja dalam anggunnya. Dan sepanjang 8 tahunan belakangan, rasanya aku tak pernah merasa segelisah ini. Berjalan gontai seorang diri dari warung kopi tempat aku biasa habiskan siang atau malamnya yang terasa asik sekali, untuk sekedar tandaskan segelas teh manis panas yang disajikan sepenuh hati oleh pemiliknya yang ramah, atau sekedar melihat kawan-kawanku tertawa selepas mungkin di tengah permainan hitung-berhitung yang biasa kami lakukan. Tapi saat ini rasanya aku begitu tak penuh, dan sepertinya semua kawan-kawanku bisa merasakannya. Sebagian berusaha menanyakannya, sedang lainnya memilih tidak. Dan mungkin puncaknya adalah hari ini, siang ini. Berjalan perlahan menuju bangunan biru muda yang sudah kuingat betul itu, di antara laju mobil dan bus yang berseliweran di antaranya.

Hawatir. Kurasa itu adalah kata yang paling dekat untuk menggambarkan apa yang kurasakan belakangan ini. Untuk kembali menyadari bahwa ini adalah hari terakhirku di tempat ini, setelah windu yang luar biasa. Teringat kini semua hal yang terjadi di selang waktunya, sekilas bagaimana dulu pertama kali menjejakkan kaki di tempat ini, tentang perjumpaan dengan beberapa kawan terbaik, atau untuk lahirnya mimpi-mimpi yang mungkin terlalu muluk untuk bisa kubayangkan dulu. Dan di detik ini kusadari seberapa besar tempat ini sudah mempengaruhi hidupku sejauh ini, atau bahkan masa depan. Semangatku mulai mengambil alih, tapi rasa hawatir itu tetap di situ, menjalar pelan di belakang punggungku.

Kupikir aku sudah terlalu terbiasa untuk berjalan di tempat ini. Dan beranjak pergi darinya terasa seperti pertama meninggalkan rumah. Untuk kemudian kembali menetapkan hati, melambaikan tangan tanda perpisahan juga ucapan sampai bertemu laginya dan senyum-senyum. Bersyukur untuk bisa menutup chapter perjalanan yang ini dengan gemilang dan suka-suka. Memutuskan untuk saling melupakan semua kekurangan kemarin-kemarin, dan menggantinya dengan doa-doa terbaik yang bisa terucap. Kurasa cukup seperti itu, semoga saja.

***
Dan hari sudah beranjak ke penghujung malam, saat akhirnya aku beranjak meninggalkan kota ini. Kupandangi baris mahoni itu sekali lagi, meniupkan napas-napas terpanjang, serta ucapkan terima kasih yang banyak bagi semua, dan rasa hawatir itu akhirnya sirna. Aku tertawa sendiri setelahnya. Kusampaikan rasa hormatku untuk gedung biru muda itu sedalam-dalam, kuhirup udara malamnya yang sudah kuhapal betul, aku pergi.

Cikarang, 26 Juli 2019

Kamis, 06 Juni 2019

Langit Jingga - Takbir Bumi Pat Petulai

Tanah Rejang, Bumi Pat Petulai

Lihat, Bang. Bukankah takbir di tanah ini terasa jauh lebih sakral dari yang biasa kita temukan di ibukota, dimana teriakan Allahu Akbar-nya selalu saja diiringi kepalan tinju dan wajah amarah? Karena takbir di tempat ini adalah renungan pelan para tetua kampung di antara doa-doa selepas solatnya yang panjang di atas karpet tipis hijau tua dan hamparan kain putih sepanjang shaf. Karena takbir di sini adalah gelak tawa anak-anak pemukul bedug di halaman masjid kami yang putih di pinggir saluran irigasi besar seusai waktu Isya. Karena takbir di sini adalah doa Ibu-ibu berpenutup kepala selendang tipis dengan kitab suci di pelukan menyusur jalan raya. Dan sebelum jauh merantau dari rumah, setahuku takbir itu memang seperti itu. Mendengar dan mengucapkannya membuat hatimu tenang, tubuhmu tenang.

Di kota besar ternyata takbir tak melulu seperti itu. Takbir biasa dipekikkan setelah memperolok orang lain. Takbir biasa ditunjukkan dengan tinju terkepal dan kemurkaan. Dan nyata saja hal itu membuatku bingung. Guru mengaji dan agamaku dulu – kami biasa memanggilnya Pak Burhan, bukan dengan kata “Ustad” yang akhir-akhir ini rasanya seperti terlalu mudah disematkan ke seseorang – pernah berujar bahwa ketenangan adalah yang akan kau dapatkan saat mengucap nama Tuhan. Tapi sepertinya di kota tidak seperti itu, setidaknya begitu yang kulihat. Entahlah, Bang. Kurasa apa yang kutemukan di sana terlalu bertentangan dengan apa yang sebelumnya kuperoleh di tanah ini.

Pernah aku mendengar sebuah ceramah Jumat di tanah perantauan. Sedikit banyak sang Khatib bercerita bahwa pekik takbir bisa membangkitkan semangat para sahabat nabi di medan perang, atau mengobarkan patriotisme para pejuang saat perang kemerdekaan. Aku mengangguk-angguk. Hal serupa juga berulang kali kudengar dari para Khatib di tanah ini. Sedikit kuhubungkan dengan kepalan takbir dengan muka angker yang umum kutemui di perantauan, mungkin itu salah satu alasan mereka untuk menghabisi hal-hal munkar di kota besar. Ah, aku selalu tercenung lama bila seseorang mulai berbicara serupa itu. Tapi hatiku merasa itu bukan hal yang benar. Yang sayangnya ilmu agamaku tak pernah cukup tinggi untuk bisa berdialog dan menjelaskan pada mereka tentang apa yang kupikirkan. Selain itu, kupikir mendebat urusan Tuhan dengan orang-orang ini adalah kesiasiaan. Mereka tak terlalu peduli dengan kegelisahan yang kualami, karena sepertinya mereka sudah bersimpulan bahwa aku tak tahu apa-apa. Dan mungkin sekali memang mereka benar. Tapi siapa yang tahu?

Satu lagi yang mungkin berbeda, yang mungkin akan kau temui langsung di satu hari nanti. Rombongan motor berpakaian putih dan peci haji di jalan raya ibu kota yang menurutku terkadang lebih beringas dari preman-preman di kampung ini. Bagaimana bisa? Ya, aku pun kadang tak habis pikir. Imam solat Ashar kami dulu sering datang langsung ke masjid dari sawah tempat dia bekerja seharian itu. Dengan parang berkilat tergantung dalam sarungnya di pinggang kiri, yang selalu diletakkannya di pinggir pelataran sebelum masuk ke masjid, tak pernah sekalipun membuat kami takut. Tapi entah kenapa rombongan berkopiah bermotor itu bisa membuatku merasakan ancaman?

Agar kau tahu, Bang, bahwa ayah bukan seorang ahli agama, dan tak punya kapasitas yang baik untuk menyimpulkan apapun tentang agama, apalagi Tuhan.

Curup, Juni 2019

Senin, 14 Januari 2019

Langit Jingga - Tersedak

Di udara musim yang tak menentu ini, kuhitung sudah beberapa kali kau terserang pilek dan batuk. Aku dan ibumu pun sama. Dan selalu, itu semua bermula dari kami berdua. Tapi aku yakin kau bahkan lebih kuat dari kami berdua digabungkan sekaligus. Ya, Nak, sekuat itulah dirimu. Dan jangan menganggapnya kecil, karena aku sendiri adalah yang terkuat dari semua yang kutemui sebelum dirimu. Sedang kau datang dengan kekuatan melebihi aku. Dan akan sangat membingungkan jika kau berpikir kau lebih lemah dari siapapun. Maka bersikaplah selayak yang terkuat. Cukup begitu.

***
Seiring kehadiranmu, aku sendiri mulai melihat kelemahan-kelemahanku. Kuakui, itu bukan hal yang menyenangkan untukku. Seperti malam itu, saat kau tengah dalam masa penyembuhan dari pilekmu yang satu-dua hari. Di rentang waktunya, porsi makanmu sedang lebih rendah dari biasanya, dan kau berjuang sebisanya. Dan aku mulai bergembira untuk melihat nafsu makanmu yang perlahan kembali seperti biasa. Kurayakan malam itu dengan memberimu sepotong daging rambutan yang sudah kukupas sebaik-baik. Meski tanpa kusadari ternyata potong rambutan itu terlalu besar untukmu, dan kau tersedak, muntahkan semua makanan yang kau makan sebelumnya lalu menangis sejadi-jadinya. Melihatnya hatiku hancur, Nak. Rasanya aku dihantam tinju raksasa yang membuatku nyaris hilang kesadaran. Tersadar bahwa itu semua terjadi karena tindakanku yang tak terukur. Terdiam, tenggelam dalam rasa bersalah dan penyesalan, hanya itu yang kulakukan saat ibumu datang menenangkan sembari membersihkan semuanya.

Apakah kau tahu, Nak, bahwa sebelum ini aku bahkan tak pernah merasa menyesal atas apapun yang kulakukan? Terkadang aku memang sedikit merasa bersalah atas tindakan-tindakan konyol dan semua kesalahan yang pernah kulakukan, tapi tidak cukup fatal untuk mebuatku merasa menyesal. Dan di detik itu, akhirnya aku mengalaminya: menyesal. Ah, itu adalah satu kata yang sama sekali baru untukku, Nak. Untuk bisa membuatku terdiam, tak mampu berucap satu katapun, kecuali perasaan remuk yang bergumul hebat bagai sebuah mimpi terburuk yang diceritakan di buku-buku. Aku tak bisa berpikir sama sekali, hal itu melumpuhkanku, dan terus berandai-andai seandainya saja rambutan sialan itu tak pernah ada. Atau seandainya beberapa detik yang tadi itu tak pernah ada atau dihapus saja. Ah, seandainya. Seandainya.

Di berjuta kesalahan yang pernah kulakukan, dengan sengaja ataupun tidak, tak pernah sekalipun aku merasa menyesal. Bahkan kesalahan terbesar yang menurutku pernah kulakukan seperti membuat ibuku bersedih di obrolan terakhir yang kami lakukan sebelum beberapa hari kemudian dia meninggal pun tak berhasil membuatku menyesal. Bagaimana bisa? Aku tak tahu, tapi memang seperti itulah yang kurasakan. Dan kini, ternyata istana egoku runtuh oleh potongan rambutan itu, dan semudah itu, oleh hal sekecil itu. Ajaib. Bahkan hingga di detik ini aku masih tak bisa menerima bahwa aku ternyata sekecil itu. Bagaimana bisa? Bodoh sekali. Dan hal itu menekanku habis-habisan.

Dari sudut pandangku, persilangan jalan dan interaksi kita adalah hal teraneh yang pernah kualami. Jujur saja, kadang aku sedikit membencinya. Sebelum ini, aku selalu berpikir dan meyakini bahwa tak ada satupun yang lebih besar dari diriku sendiri. Dan kini, dengan ringannya, kau dan dimensimu hadir di sini membuatku mempertanyakan lagi tentang semuanya. Tentang semuanya.

Jakarta, Januari 2019