***
Seiring kehadiranmu, aku sendiri mulai melihat
kelemahan-kelemahanku. Kuakui, itu bukan hal yang menyenangkan untukku. Seperti malam itu, saat kau tengah dalam masa penyembuhan dari pilekmu yang
satu-dua hari. Di rentang waktunya, porsi makanmu sedang lebih rendah dari
biasanya, dan kau berjuang sebisanya. Dan aku mulai bergembira untuk melihat nafsu makanmu yang perlahan kembali seperti biasa. Kurayakan malam itu dengan memberimu sepotong daging
rambutan yang sudah kukupas sebaik-baik. Meski tanpa kusadari ternyata
potong rambutan itu terlalu besar untukmu, dan kau tersedak, muntahkan semua
makanan yang kau makan sebelumnya lalu menangis sejadi-jadinya. Melihatnya hatiku hancur,
Nak. Rasanya aku dihantam tinju raksasa yang membuatku nyaris hilang kesadaran.
Tersadar bahwa itu semua terjadi karena tindakanku yang tak terukur. Terdiam,
tenggelam dalam rasa bersalah dan penyesalan, hanya itu yang kulakukan saat
ibumu datang menenangkan sembari membersihkan semuanya.
Apakah kau tahu, Nak, bahwa sebelum ini aku bahkan tak pernah
merasa menyesal atas apapun yang kulakukan? Terkadang aku memang sedikit merasa
bersalah atas tindakan-tindakan konyol dan semua kesalahan yang pernah
kulakukan, tapi tidak cukup fatal untuk mebuatku merasa menyesal. Dan di detik
itu, akhirnya aku mengalaminya: menyesal. Ah, itu adalah satu kata yang sama sekali baru
untukku, Nak. Untuk bisa membuatku terdiam, tak mampu berucap satu katapun,
kecuali perasaan remuk yang bergumul hebat bagai sebuah mimpi terburuk yang
diceritakan di buku-buku. Aku tak bisa berpikir sama sekali, hal itu
melumpuhkanku, dan terus berandai-andai seandainya saja rambutan sialan itu tak
pernah ada. Atau seandainya beberapa detik yang tadi itu tak pernah ada atau dihapus saja. Ah,
seandainya. Seandainya.
Di berjuta kesalahan yang pernah kulakukan, dengan sengaja ataupun
tidak, tak pernah sekalipun aku merasa menyesal. Bahkan kesalahan terbesar yang
menurutku pernah kulakukan seperti membuat ibuku bersedih di obrolan terakhir
yang kami lakukan sebelum beberapa hari kemudian dia meninggal pun tak berhasil
membuatku menyesal. Bagaimana bisa? Aku tak tahu, tapi memang seperti itulah
yang kurasakan. Dan kini, ternyata istana egoku runtuh oleh potongan
rambutan itu, dan semudah itu, oleh hal sekecil itu. Ajaib. Bahkan hingga di detik
ini aku masih tak bisa menerima bahwa aku ternyata sekecil itu. Bagaimana bisa?
Bodoh sekali. Dan hal itu menekanku habis-habisan.
Dari sudut pandangku, persilangan jalan dan interaksi kita
adalah hal teraneh yang pernah kualami. Jujur saja, kadang aku sedikit membencinya.
Sebelum ini, aku selalu berpikir dan meyakini bahwa tak ada satupun yang lebih
besar dari diriku sendiri. Dan kini, dengan ringannya, kau dan dimensimu hadir
di sini membuatku mempertanyakan lagi tentang semuanya. Tentang semuanya.
Jakarta, Januari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar