Jumat, 28 Agustus 2015

Kontemplasi

Sore yang menyenangkan. Saat diskusi soft skills yang kami lakukan bersama-sama kawan-kawan kantor tadi sempat singgah sebentar di satu bagian yang tak terencanakan, yaitu saat si presenter bertanya tentang satu kata yang saya tuliskan di lembar isian yang dia sediakan: kontemplasi. Sepertinya hampir semua peserta diskusi yang terdiri dari 20 peserta itu tak ada yang tahu arti dari kata kontemplasi. Saya jawab singkat: “semacam merenung”. Dan beberapa jam kemudian, tiba-tiba saya terpikir untuk menuliskan sedikit penjabarannya di blog yang sudah hampir satu bulan terakhir ini tak pernah saya perbarui. :)

***
Oxford Dictionary menuliskan contemplation sebagai: religius meditation, a form in which a person seeks a direct experience of the divine. Asal katanya adalah contemplate, yang bermakna: look at thoughtfully. Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kontemplasi sebagai: renungan dengan kebulatan pikiran atau perhatian penuh.

Hmm, sepertinya saya belum bisa menjelaskannya dengan gamblang. Tapi mungkin beberapa contoh berikut bisa membantu:

Apa yang kamu pikirkan saat duduk seorang diri di tepi sebuah pantai menghadap lautan lepas? Duduklah kamu lebih lama, kemudian rentetan pertanyaan akan muncul di benakmu sendiri, semisal: “mengapa laut sebegitu diam dari kejauhan?”, “Siapakah orang bodoh yang mulai mempertanyakan laut sebegitu diam pada dirinya sendiri?”, “Mengapa si bodoh itu mulai menghubungkan laut dan perasaannya yang kini tengah campur-aduk?”, “Mengapa si bodoh itu mulai melihat dirinya sendiri di kejauhan?”. Atau sebuah jawaban untuk seseorang yang bertanya “mengapa kamu suka naik gunung?”, lalu dijawabnya: “mungkin agar bisa melihat sesuatu dengan lebih luas”.

Dan mungkin aplikasi termudah dari kata ini adalah saat orang menunjuk karya-karya Bob Dylan dan Alexi Murdoch sebagai contoh terbaik untuk disebut sebagai lagu-lagu kontemplatif (contemplative songs). Atau saat Ebiet G. Ade menulis:

Aku menunggu hujan turunlah, aku mengharap badai datanglah, gemuruhnya akan melumatkan semua, kupu-kupu kertas!” – Kupu-kupu Kertas, Ebiet G Ade (1995).

Cikarang, 28 Agustus 2015

Selasa, 04 Agustus 2015

Malam di Jababeka (3) : Cukur Rambut

Perjalanan pulang di atas motor matic biru bersama seorang kawan sepermainan ini adalah sebuah cerita yang lain. Sedari pagi, saya sudah berniat untuk mencukur rambut sebelum nantinya pulang lagi menuju kos-kosan putih di dekat sungai besar yang kini tak pernah lagi meluap ke jalan kampung di ujung situ. Dan saya selalu menyukai kegiatan ini: mencukur rambut. Saya menyukai dialog pendek-pendek yang selalu saja terjadi di antara kegiatannya itu. Sedangkan lokasi cukur rambutnya bisa dimana saja, selama harganya murah. Sekedar informasi tak penting, seumur hidup saya belum pernah mau membayar biaya lebih dari 20 ribu untuk bercukur, hahaa. Dan bila memungkinkan, saya lebih memilih untuk mengunjungi tempat  bercukur yang  belum pernah saya datangi sebelumnya. :p

Dan tibalah saya di tempat ini. Sebuah ruko kecil di depan komplek bangunan pasar tradisional yang tergusur. Di sana, satu orang pengantri lain yang tersisa sudah cukup untuk saya agar rela menunggu. Di saat-saat seperti ini, mungkin kebanyakan orang akan lebih banyak berpikir tentang bagaimana model rambut yang ingin mereka sampaikan ke tukang cukurnya nanti. Sedang saya sepertinya jarang seperti itu. Saya lebih suka duduk-duduk saja mengingat lagi semua hal yang saya kerjakan hari itu. Entah bagaimana, saya pikir melepaskan lamunan di tempat cukur rambut memiliki sensasi sendiri: mendengar desing gunting beradu rambut yang gemerincing. Haa, saya suka suara itu. Menenangkan.

Kini si pencukur rambut sudah mempersilahkan saya naik ke kursi yang menjadi lahannya mencari nafkah itu. Sigap, saya naik pelan-pelan. Dikalungkannya selembar kain berwarna merah muda melingkari sekeliling bahu, tentunya agar baju yang saya kenakan saat ini terlindung dari potongan-potongan rambut. Dan bagian berikutnya adalah dimana dialog kami ini akan dimulai dengan pertanyaan yang selalu saja sama: “mau digimanain rambutnya?”. Saya akan selalu tersenyum mesem-mesem mendengar pertanyaan itu, karena saya jarang sekali meminta model rambut tertentu. Saya lebih suka agar si pencukur rambut berekspresi saja sesukanya. Karena saya tak pernah terlalu ambil pusing tentang gaya rambut. Bagi saya sama saja, saya tak akan berubah. :D Meski seringnya, pernyataan-pernyataan saya itu malah membuat si pencukur rambut menjadi bingung sendiri. Dan ini adalah bagian yang paling saya sukai.

Dia: “Mau dibuat model apa rambutnya mas?
Saya: “Terserah Mas aja. Yang penting menurut si Mas nya bagus dan cocok, cukup.
Dia: “Loh, terus gimana?
Saya: “Tinggal dipotong aja. Pokoknya saya bisa jadi lebih ganteng dari sekarang.
Dia: “Hmmm.." (sambil melihat-lihat ke arah rambut saya dengan lebih teliti)
Saya: “Oke, tolong bikin rambut saya jadi lebih pendek, tapi jangan terlalu pendek, dan bos saya di kantor ga akan berpikir model rambut saya terlihat ga pantas banget untuk pekerja kantoran. Itu aja.
Dia: “Siap!

Bagian yang lebih asik adalah bila saya bertemu dengan pencukur yang lebih serius. Yaitu saat dia mulai bertanya apakah atasan saya laki-laki atau perempuan, apakah atasan saya seorang yang kaku atau tidak, dan berbagai pertanyaan membayangkan yang lain. Saya senang mendengar seseorang menganalisa sesuatu, dan saya akan mengenalnya lebih baik. Hmm, saya tidak memiliki tujuan tertentu untuk mengenal orang-orang tertentu. Karena saat ini saya bertemu dengannya, maka saya ingin mulai mengenalnya. Begitu saja.

Dan jadilah sekarang model rambut yang saya miliki seperti ini: mohawk pendek dengan sedikit ekor kuda di belakangnya. Dan saat dia bertanya apakah saya menyukai model rambutnya, tentu saja saya akan menjawab: saya suka. Dan saat dia tersenyum girang mendengar jawaban tersebut, saya akan tertawa.

***
Kadang saya berpikir bahwa sesekali menyerahkan beberapa penggal cerita hidup yang saya jalani kepada orang lain atau sekedar mengalirkannya begitu saja adalah selingan yang bermakna fundamental. Terkadang saya setuju oleh alirannya, terkadang juga tidak. Tapi sepertinya itu bukanlah sebuah masalah. Saya tak ingin mengatur semua hal untuk jadi sempurna. ;)

Cikarang, 4 Agustus 2015