Minggu, 02 Desember 2018

Titip Rindu buat Ayah

2014
Rasanya hatiku luluh, Nak, saat kudengar alunan lagu “Titip Rindu Buat Ayah” milik Ebiet G Ade dari seorang penyanyi jalanan berwajah tenang di siang Cikarang yang basah ini. Apakah kau tahu, Nak, bahwa aku merindukan lelaki kuat dan penuh kebanggaan di sudut Bengkulu itu. Dengan segenap cerita keseharian yang pernah kami jalani, atau bagaimana dia memarahiku saat aku berbuat salah, atau sesekali saat aku berhasil membuatnya bahagia dan tertawa terbahak bersama-sama, atau saat aku membuatnya sedih hingga menangis. Semuanya, Nak, semuanya. Dan aku melihatnya sebagai roman cerita yang selalu menyenangkan. Roman cerita yang mungkin nanti akan kuceritakan banyak padamu, tentang sosok lelaki sederhana yang kupanggil Ayah, dan orang yang sama saat kau menyebut Akas.

Aku sendiri sekarang adalah seorang ayah. Dapatkah kau bayangkan betapa luar biasa dan membanggakannya hal itu? Bila sekarang tidak, maka mungkin nanti. Untuk melihat bagaimana darah dagingku sendiri tumbuh dengan sehat, kuat dan prima. Untuk nanti membuat cerita keseharian kita sendiri, untuk memarahimu saat kau berbuat salah, atau mungkin untuk dibuat bahagia olehmu nanti, atau untuk dibuat sedih yang luar biasa hingga akhirnya menangis. Kupikir aku akan menjalani semua itu dengan bahagia dan rasa syukur yang banyak sekali. Dan semoga juga, kaupun begitu. Hingga nanti saat kau tumbuh besar dan dewasa, kuharap kau pun akan merindukan aku sebesar itu.

Waktu adalah suatu hal yang ajaib, Nak. Diajarkannya kita semua tentang makna hidup dan kehidupan itu sendiri. Baik sekilas lalu, atau dengan lembutnya seperti tiup angin di belakang rumah kami di seberang sana, atau sekeras karang-karang terkuat yang pernah ada. Dimana kita terlahir di rahimnya, hidup di antaranya, dan mati di atasnya.  

Cikarang, Desember 2018

Jumat, 16 November 2018

Hujan Raya Teluk Sarera



Musim penghujan sudah datang lagi. Dan bertiga kita berkumpul di kamar ini, di atas kasur besar yang nyaman, selimut bersih dan gelak tawamu yang memenuhi ruangan. Perlu apa lagi? Kiranya untai syukur yang sudah kita ucapkan di sepanjang hari ini bisa cukup terhaturkan pada-Nya saja, Nak. Agar terus mengalir rezeki-rezeki yang baik, nikmat sehat dan kebahagiaan yang melimpah, dan ketenangan dalam jumlah yang banyak.

Dan bila mampu, rasanya aku ingin menghentikan waktu di detik ini. Untuk terus memeluk ibumu sambil tertawa melihat gerakanmu yang tak terterka sambil berteriak entah tentang apa. Aku mencintaimu, Nak. Bahkan mungkin lebih besar dari aku mencintai diriku sendiri. Dan hal itu terkadang membuatku bingung sendiri. Untuk apa aku mencintai orang lain di luar diriku sendiri dan sebesar itu? Kadang aku bertanya-tanya sendiri di antara sela runangan malamku yang sakral. Dan sejauh ini, aku tak pernah menemukan jawabannya. Aneh memang. Aku bahkan merasa bahagia hanya dengan mengingat bagaimana kau bersendawa sehabis makan buah-buahan yang disiapkan eyangmu di sepanjang sore yang ini. Dan caramu menatapku di tengah malam saat kau terbangun dan mencari-cari ibumu yang sedang pergi ke kamar mandi itu, layaknya interaksi spiritual saja buatku.

Bahkan hingga kini aku tak pernah bisa cukup memahami diriku sendiri. Dan kini kau masuk ke dalamnya dan membuat egoku bertambah limbung. Tak banyak yang bisa kukatakan, tapi memang seperti itu yang kurasakan. Entah bagaimana, kau datang menekan egoku hingga ke batas-batas yang menurutku aneh. Dan entah juga, apakah itu akan baik untukmu. Ah kan, lagi-lagi. Yang anehnya lagi, aku melakukannya dengan senang hati dan kesadaran penuh. Rasanya, sebelum ini aku tak pernah membiarkan siapapun mendominasi pikiran dan kehadiranku. Tapi badai kedatanganmu seolah terlalu besar untuk kuhadapi sendiri. Dan pada akhirnya, mencoba bertahan adalah satu-satunya yang bisa kulakukan. Meski di sisi yang lain aku seperti sengaja membiarkannya. Dan nyata saja, hal itu membuat kebingunganku semakin bertambah, lagi.

Nak, menjadi kuat dan tak bergantung adalah tugasku agar kau menjadi lebih kuat dariku. Pun memelihara ego adalah kewajiban besarku untuk dapat berdialog terbuka denganmu di jauh setelah ini. Kupikir kita berdua akan sangat membutuhkannya, entah untuk jalan yang satu atau yang lainnya. Seperti saat tadi kau bergeming mendengar gemuruh petir membelah langit sore yang ini, dan kau ulurkan tanganmu menyentuh jatuhan hujan, sementara ibumu sibuk melindungimu dari derap anginnya yang kuat, basah dan tanpa ampun.

Jakarta, November 2018

Senin, 01 Oktober 2018

Langit Jingga - 365



Setahun sudah, Nak. Dan sebegitu banyak cerita yang kusimpan di selang waktu tiga ratus enam puluh lima hari ini, yang semoganya akan terus berlanjut sampai jauh, kuharap begitu. Juga diiring doa-doa agar kau senantiasa sehat, berteriak yang kuat, tidur yang lelap, makan dan minum yang banyak. Walau kadang nanti tak akan terus seperti itu, tapi bukan masalah. Sedih, marah, sakit, tak akan seburuk yang kau bayangkan. Semuanya adalah cerita keseharian yang tetap harus kau jalani dan syukuri segenap hati. Untuk kemudian kau bisa kembali prima, siap tertawa lagi. Menyadari bahwa hidup ini jauh lebih besar dari rasa sedih, marah atau sakitmu yang sekali-kali.

Kita bertemu di selang waktu tiga puluh satu tahun semenjak aku dilahirkan di penjuru Bengkulu. Dan ternyata, aku harus menunggu rasa bahagia yang sebesar itu selama tiga puluh satu tahun pula. Seperti juga nanti milikmu, jalan hidupku dipenuhi intrik dan rasa bahagia yang banyak, Nak. Tapi menjumpaimu di satu tahun yang lalu itu adalah hal yang benar berbeda. Ternyata pada akhirnya aku bertemu sesuatu yang lebih sempurna dari diriku sendiri. Berulang kali, di jauh malam, saat memandang lelapmu yang diam-diam, aku merasa tak habis pikir. Bagaimana bisa Tuhan menciptakan satu mahluk sebagus ini? Bagaimana bisa? Timbang-menimbang, dan pertanyaan itu berputar dan mengantarku menuju ke alam tidur menyusulmu.

Sedang hembus angin yang masuk ke dalam rumah kita ini adalah nafas Tuhan yang tengah bahagia-bahagianya, Nak. Dihantarkannya gelombang teriakanmu itu sampai ke telingaku dengan ringannya. Saat aku melihat ke arah datangnya, ternyata kau sedang senyum-senyum yang tak kuketahui karena apa. Sesekali aku menyambutnya dengan pertanyaan-pertanyaan singkat, tapi seringnya, aku hanya diam saja memperhatikanmu tanpa bertanya. Berikutnya kau ulangi lagi teriakan serupa, dan aku mulai tertawa. Tawa yang juga tak kupahami timbul karena apa. Tapi siapa peduli, aku tak pernah berniat memahami semuanya. Aku hanya berusaha menikmati hidupku dengan bahagia.  Itu saja.

Dan pagi ini adalah sebuah cerita lanjutan dari persinggungan jalan yang kita lewati. Kupahami saja itu sebagai titik singgung yang mungkin memang ditakdirkan bertemu jauh sebelum aku dan kau terlahir dengan gembira di planet ini. Maka kita rayakan saja sekarang. Keluarkan teriakanmu yang paling kuat, dan akan kujawab dengan tarian berputar mengelilingi kamu juga ibumu. Begitu sampai habis harinya nanti, terus lelah, lalu terlelap.

Selamat pagi dan ulang tahun, Nak.

Untuk Langit jingga dan mainan pesawatnya yang merah dan istimewa
Cikarang, 2 Oktober 2018

Senin, 24 September 2018

Ada yang Mati

Ah, Nak, hari ini aku melihat video itu. Video salah seorang suporter sepak bola Persija Jakarta mati dikeroyok oleh oknum bobotoh di halaman stadion kebanggaan Persib Bandung di ujung sana. Juga lantunan kalimat tauhiid yang mereka teriakkan seraya mencabut nyawa orang lain, bagaimana bisa? Perasaanku campur aduk. Aku marah sekaligus sedih, Nak. Lama aku berdiam diri, menghirup kopiku sedalam-dalam, memandang lurus menuju sinar mentari Cikarang yang panas dan benderang dari balik jendela kaca. Seketika batinku menembus dimensi lain.

Dari videonya, aku melihat para pelaku dan saksi mata pembunuhan keji itu. Mereka hanyalah anak-anak umuran tanggung yang mulutnya penuh sumpah serapah dan kemarahan. Mudah sekali aku menemukan yang mirip seperti itu saat aku ikut menonton Persib berlaga di stadion itu. Sudah sedari dulu. Tapi tidak dengan yang ini. Ini berbeda, Nak, berbeda sekali. Aku tidak merasakan ada manusia yang mengelilingi dan memukuli geletak tubuh di video ini. Lalu mungkin kau akan bertanya: “lantas mereka ini apa, Yah?”. Entah apa, tapi mereka bukan seperti kita, Nak. Bukan seperti kita.

Akan ada hal-hal yang sangat kau sukai, Nak. Mungkin saja itu klub sepak bola, grup band remaja, tokoh agama, apa saja. Dan aku mungkin tak akan menghalangi apapun yang kau sukai. Tapi baiknya kau bisa senantiasa eling, Nak. Bila kau merasa mulai tumbuh bibit rasa benci dalam benakmu, meski sedikit saja, maka kau harus berani untuk berhenti sejenak dan mulai mempertanyakan segala hal. Segalanya, Nak, pertanyakan segalanya. Karena pada akhirnya nuranimu akan menjawab semuanya. Nurani tak memandang perbedaan, Nak. Dia tak memandang perbedaan klub sepakbola, dia tak memandang perbedaan agama, dia tak memandang perbedaan apapun. Nurani hanya akan melihat kesamaan-kesamaan.

“Nah, Ayah, lantas mengapa tadi kau berkata bahwa pelaku pembunuhan itu berbeda dari kita?”, mungkin itu adalah pertanyaanmu berikutnya. Ya, Nak, karena memang bukan nuraniku yang tadi mengatakan hal itu. Emosiku sedang mengambil alih kemudi. Dan hal itulah yang akhirnya memintaku untuk berhenti dan mulai berdialog denganmu, atau sebenarnya dengan diriku sendiri?, ah, siapa yang tahu.

Dan jangan mulai mencari siapa yang salah dalam hal ini. Seperti beberapa komentar netizen yang mengatakan bahwa ada kaitan antara ulama negeri ini yang kini tengah terlalu sibuk bermain politik dan tidak memperhatikan kalangan akar rumput yang semakin hari semakin hilang kendali. Tidak, Nak, tak perlu kau cari siapa yang salah. Cukup kau biarkan nuranimu mengambil alih, yang sayangnya, ini adalah hal yang tersulit, dan semua hal yang di luar itu kau tarik mundur dahulu.

Kau juga tak perlu mengikuti semua tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh politik, idola musik atau siapapun untuk membiarkan nuranimu mengambil alih semuanya. Kau adalah miniatur semesta yang sebenarnya, Nak. Meski dalam perjalanannya, kau nyatanya tak pernah hidup sendiri. Toh, “persamaan dan perbedaan” itu sendiri berarti tak ada yang sendiri, bukan? Hiduplah dengan rasa bahagia sebisanya, Nak, itu saja. Dan kini, saat melihat bagaimana pembunuhan suporter bola tadi terjadi, apakah kau merasa bahagia, Nak? Lantas bagaimana? Tanyakan itu semua dalam perenunganmu yang mungkin tak akan pernah menemui titik akhir. Bahkan sampai nanti, sampai waktumu pun akhirnya habis, menuju ketiadaan.

Salam sayang Ayah,
Cikarang, 24 September 2018

Jumat, 24 Agustus 2018

Langit Jingga - Perelek


Sore di sini tengah cerah-cerahnya. Sedang aku masih juga duduk berdiam di depan komputer kantor selepas mengolah data-data hasil penelitian yang kudapat seharian ini. Agar kau tahu, Nak, aku senang sekali mengerjakan pekerjaanku ini. Yang syukurnya lagi, kesenangan ini aku lakukan sekaligus untuk menghidupi kita: aku, kau dan ibumu. Menyenangkan sekali, bukan? Dan semoga berkah untuk itu semua, semoga senantiasa bahagia dan tenang-tenang kita di kesehariannya.

Seperti biasa, hari ini kulewati dengan membayangkan kiranya sedang apa kau di rumah. Melirik jam, dan aku akan memperkirakan. Ah, sepertinya kau sedang tertidur, atau, ah, sepertinya kau sedang berjalan mondar-mandir di dalam rumah, atau, ah, kau pasti sedang makan buah, atau, ah, kau sepertinya sedang bermain sambil mengoceh seperti biasa, atau apa saja. Dan hanya dengan membayangkan itu, aku jadi bahagia. Tak sabar untuk segera pulang, untuk menemani apapun aktivitas yang kau kerjakan, seperti yang biasa kita lakukan.

Tapi kau tak perlu mengharapkanku selalu ada di situ. Dan kurasa aku bahkan tak terlalu menginginkannya seperti itu. Aku sendiri ingin mengerjakan hal-hal lain yang kusukai, Nak, tentunya selain bermain bersamamu. Seperti sore ini, saat aku memutuskan untuk bermain dengan kawan-kawan kantorku di warung pojokan sana. Aktualnya, tak banyak yang kami lakukan di sana, hanya minum segelas besar teh panas, bertukar cerita tentang keseharian, bermain gapleh, atau apa saja yang membuat kami bisa tertawa bersama. Dan aku menyukainya. Hingga nanti saat malam beranjak lebih jauh, aku kembali pulang padamu juga ibumu.

Tak sabar rasanya untuk bisa mengenalkanmu pada kawan-kawanku. Agar kau tahu bagaimana ayahmu menghabiskan waktu, agar kau melihat bagaimana lepasnya aku tertawa, dan mungkin sekali kau juga akan menyukainya, siapa yang tahu. Seperti juga nanti kau akan bertemu kawan-kawanmu sendiri. Apakah kau akan merasa senang berada di antara mereka, dan apakah mereka akan merasa sama senangnya saat kau ada di antara mereka. Dan di titik itu, mungkin kau akan mengerti mengapa di sore yang ini aku memutuskan untuk tidak segera pulang menemuimu.

Beberapa hari yang lewat, salah seorang kawan terbaikku berkata bahwa ternyata waktu berjalan jauh lebih cepat dari yang dipikirkan. Kurasa aku setuju, dan hal itu kadang membuatku sangat hawatir. Terlintas apakah nanti aku akan menyesali begitu banyak waktu yang tak kuhabiskan bersamamu. Apakah kau tahu, banyak sekali waktu kuhabiskan untuk merenungkan hal itu. Kurenungkan itu di jauh malam sambil menatap lelapmu yang begitu tenang, atau saat ibumu berusaha menenangkan tangismu yang tiba-tiba.

Tak seperti ibumu, kita berdua memiliki perjalanan hidup sendiri-sendiri, Nak. Aku menantang matahari dengan tinju, sedang kau mungkin mengajaknya menari di bawah purnama. Aku memandang lautan dari balik tirai, sedang kau mungkin menyelaminya sampai ke dasar. Dan mana yang lebih baik? Kurasa tak ada, sama saja. Dan hal itu pulalah yang meyakinkanku bahwa kita tak akan kehilangan apapun dalam hidup ini, termasuk waktu. Selama kita selalu tahu kemana arah jalan pulang, tempat dimana ibumu duduk menunggu dengan tenang-tenang. Dan semuanya akan baik-baik saja.

Cikarang, akhir Agustus 2018

Sabtu, 21 April 2018

Langit Jingga - Dari Teluk Sarera sampai Tak Terhingga



Pagi masih di awal, dan matamu kutemukan liar melihat gerak dedaunan di depan halaman rumah kita yang ramah. Dengan angin-angin yang meniup perlahan, temani lelap ibumu di atas sofa pendek di dalam sana. Atau mendengarkan sekilas dialog Eyangmu dan Mbak Sum dalam bahasa Jawa yang sekarang sedikit-sedikit mulai bisa kupahami. Aku bahagia sekali pagi ini, Nak. Dan yang tak perlu kau ragukan lagi, tentu aku bahagia atasmu. Untuk melihatmu tertawa di sela ramah tegur sapa tetangga, dan tatapan lurus menuju dedaunan jarak, pisang, kemboja di sepanjangnya serta tanganmu yang mencoba menggapai mereka dalam pertanyaan yang mungkin banyak sekali. Dan kau kenalilah mereka dengan baik, Nak. Akrabi dengan rasa bahagia dan ketenangan yang berlimpah. Katakan pada mereka bahwa rumah di ujung itu adalah rumahmu dengan segenap rasa bangga.

Hampir semua orang yang pernah kita kunjungi berkata bahwa kau sedikit pendiam bila berada di tempat lain, tak seperti jika sedang berada di rumah sendiri. Jago kandang katanya, hahaa. Aku tertawa, dan terus terang saja, sebenarnya aku senang mendengarnya. Kupikir itu adalah pertanda yang sangat baik, bahwa aku dan ibumu sejauh ini sudah berhasil membesarkanmu dengan gemilang. Bahwa kau tahu kau ada di rumah. Bahwa kau tahu ini adalah rumahmu. Bahwa kau tahu kau adalah tuan rumah di sini dan berpolah selayaknya tuan rumah. Dan aku percaya, seiring waktu, hal itu akan menuntunmu pada tumbuh dan berkembangnya rasa percaya diri dan kebanggaan dalam dirimu hingga nanti tiba di lingkup yang lebih besar. Itu bagus, Nak, bagus sekali.

Kini dan jauh nanti, kau akan terus belajar mengindrai semua hal, Nak. Tentang apa saja mainan yang kau miliki, tentang baju apa yang kau kenakan, tentang berapa uang yang ada di sakumu, tentang apa yang kau makan tadi pagi, tentang siapa ayah-ibumu, di mana rumahmu, dari mana asal-usulmu, apa saja. Temukan semuanya dalam perjalanan hidupmu, dan katakan jawabannya dengan jujur dan penuh kebanggaan. Kukatakan padamu sekali lagi, Nak, bahwa kau terlahir sebagai definisi kesempurnaan! Yakinkan dirimu bahwa kau memang seperti itu, dan katakan itu pada siapapun yang melihatmu dengan tatapan ragu.

Dan bila nanti masih ada waktu untukku berbagi denganmu, kurasa aku bisa menunjukkan bagaimana rasa humor dan kepedulian akan membantu menyeimbangkan semuanya, Nak. Tertawalah yang banyak, merasa sedih dan perbaikilah sesuatu yang keu anggap salah semampumu, jadilah kawan yang baik bagi kawan-kawanmu, jangan pernah takut untuk menjadi berbeda, tapi seiring itu, hargailah semua perbedaan yang kau temui, juga sekali lagi, tertawalah yang banyak di antaranya. Dan ah, sekarang aku sepertinya menjadi orang tua yang terlalu suka memberi nasihat ya, padahal aku pun tahu, bahwa anak muda tak pernah suka diberi nasihat.

Sudah lebih siang, Nak. Kurasa ibumu sudah bangun juga. Sekarang waktunya kau makan bubur dan minum air putih yang banyak. Habiskan makanannya, bergerak yang lincah, terus terlelap yang nyenyak. Minta ibumu menjagamu di selang waktunya.

Jakarta, April 2018

Rabu, 14 Februari 2018

Dan Agama Adalah Salah Satunya

Kamu tahu, Nak, ada orang yang terlalu banyak berbicara tentang agama. Biasanya mereka menganggap merekalah satu-satunya orang yang paling mengerti. Bukan hanya mengerti agamanya sendiri, tapi juga menganggap mengerti agama orang lain. Mereka saling menilai orang lain seenaknya, lalu tanpa ampun dan ragu menyebarluaskannya. Lucu ya? Tapi ini nyata, Nak. Tertawalah.

Kau juga pasti tahu, Nak, bahwa ayahmu bukan seorang yang sangat agamis. Solat yang lima waktu saja ayahmu ngos-ngosan sampai ke ujung kepala. Tapi satu yang mungkin bisa kau syukuri, bahwa ayahmu menyadari dia belum begitu paham tentang apapun, termasuk agama. Yang jangankan agama orang lain, bahkan agama sendiripun dia masih begitu. :D Tapi sekali waktu, guru mengaji kami dulu pernah berujar, bahwa beberapa di antara kami ada yang bisa belajar mengaji dengan cepat, sedang sebagian lagi lebih lambat, dan beberapa bahkan susah sekali, cenderung bebal. Menurut beliau, sebenarnya itu sama saja, semuanya belajar. Dan aku, hingga sekarang, sepertinya masih setuju.

Di sela regukan kopiku yang akhir-akhir ini semakin jarang, aku masih menyempatkan berdialog dengan diriku sendiri, Nak. Temanya macam-macam, meski kini banyaknya adalah tentangmu. Selain itu, terkadang aku juga memikirkan hal yang lain, seperti yang tadi. Banyaknya aku hanya tertawa bila melihat komentar dan postingan mereka berseliweran sahut menyahut. Kadang aku berpikir mereka mulai gila. Gila pemahaman, mabuk akan hasrat untuk selalu menang, candu membenci. Kurasa begitulah, penyakit yang umum sekali di hari ini.

Seiring waktu, kau akan mendengar bahwa ayahmu juga agak sedikit tak waras, Nak. Mungkin kau akan mendengarnya dari kenalan-kenalanku, atau bahkan mungkin dari simpulanmu sendiri. Aku senang berdiam, bicara dan tertawa sendiri, bahkan ibumu kemarin-kemarin berkata bahwa apa yang kuanggap lucu itu biasanya berbeda dengan orang lain, hehee Tapi tidak, Nak. Percayalah bahwa aku sama sehatnya dengan yang lain. Atau di beberapa kondisi dan tekanan tertentu, bahkan aku bisa jauh lebih eling dari yang lain. Seperti halnya tadi: tentang pemahaman untuk selalu menang lalu membenci. Ah, itu salah, Nak. Tapi biar saja, karena akupun hanya sebatas berusaha untuk tidak menjadi seperti itu. Aku berdiam, bicara dan tertawa sendiri untuk menjaga kewarasan dan rasa bahagiaku yang lebih pribadi. Dan agama adalah salah satunya. Hanya itu.

Pewayangan Sunda, mengisahkan suatu tempat yang sangat ideal bernama Karang Tumaritis. Di sana, hiduplah semua warga desa 
dalam harmoni yang rukun tentam di tengah peluk-ayoman Lurah Ki Semar yang hidup bersama anak-anak lelakinya. Nah, sepertinya tempat itu menyenangkan sekali, bukan? Ya, menyenangkan, atau bahkan lebih dari itu. Tapi nyatanya, tempat seperti itu tak akan pernah ada, Nak. Di satu saat mungkin kau akan merusak harmoni bagi yang lain, sedang di lain waktu, kau memperbaikinya untuk orang lain, atau tidak sama sekali. Dan seberapapun berseberangannya, jangan membenci, Nak. Nikmati saja hidupmu, menari dan tertawalah dalam renungan kebahagiaan yang sehari-hari, dan siapa yang tahu, mungkin lanjutnya kau bisa memberikan manfaat bagi orang lain.
Jakarta, Februari 2018

Jumat, 02 Februari 2018

Dari Sampang, Madura

Semenjak mendengar dan mempelajari berita itu dari berbagai media, aku gelisah sekali, Nak. Aku berusaha mencernanya dari berbagai sudut pandang, tapi tak kunjung kutemukan kesimpulan yang berbeda. Itu, Nak, tentang seorang guru kesenian di sebuah SMA di Sampang Madura sana yang terbunuh karena “dianiaya” oleh muridnya. Aku gelisah, Nak. Gelisah sekali.

***
Saat itu, kami, murid kelas 1-G SMP Negeri 1 Curup tengah belajar mata pelajaran Muatan Lokal. Di sana, kami belajar tentang budaya leluhur kami di tanah Rejang, belajar sejarahnya atau menulis huruf tradisional Ka-Ga-Nga. Guru kami itu bernama Pak Iskandar, sosok kecil berkulit putih yang ramah dan berkumis. Dan siang itu, aku bersama seorang kawan sebangkuku sibuk saja mengobrol dan tertawa tanpa memperhatikan pelajarannya sedikitpun, meski sudah berulang kali ditegur. Guru kami itu menjadi kesal, aku dilemparnya dengan penghapus kapur papan tulis. Aku terdiam, dia lanjut mengomeliku di depan kelas tanpa ampun. Seingatku, aku sempat sekali menjawab pelan omelannya itu, dan itu membuatnya menjadi lebih marah dan meninggalkan kelas.

Keesokan sorenya, entah bagaimana, Ibuku tahu kejadian itu. Aku dipanggilnya, kami berbicara di dalam kamar. Rasanya belum pernah aku melihat Ibuku menatapku dengan pandangan seperti itu. Dia malu terhadap ulahku. Dia mebuatku berjanji untuk menemui Pak Iskandar sesegera mungkin untuk meminta maaf dan berjanji tak akan mengulanginya lagi. Meski ibuku tak pernah tahu bahwa janji itu tak pernah kutepati, tapi kurasa aku berhasil membuat janji pada diriku sendiri untuk mencoba lebih menghargai mereka.

***
Aku benci membayangkan jika nanti kau memang sedang berbuat salah tapi berani melawan gurumu, baik itu sekedar menjawab tak hormat, apalagi sampai berani menantang, bahkan berkelahi. Ah, jangan, Nak. Kau tak akan pernah mendapat pembelaanku sedikitpun. Atau bahkan, kurasa kau akan kutendang di depan gurumu sampai kau menangis. Aku benci membayangkannya, tapi kurasa aku akan melakukannya tanpa ragu jika itu benar terjadi.

Ibuku seorang guru, Nak. Sedang aku, ayahmu, menimba ilmu untuk bekal hidup kita di tempat para guru ditempa. Banyak dari teman terbaikku berprofesi sebagai seorang guru. Dan kurasa cukuplah itu semua untuk membuatmu lebih menghargai guru yang kau temui nanti-nanti di sepanjang hidupmu. Hargai dan hormati mereka selayak kau menghargai dan menghormati aku dan ibumu. Dan yakinlah, tak ada orang yang lebih layak kau hormati lebih dari aku, ibumu, dan gurumu.

Jakarta, Februari 2018

Minggu, 14 Januari 2018

Langit Jingga - Sebuah Perkenalan


Dan ini adalah hujan pertama di beberapa minggu belakangan, Nak. Hampir sepanjang sore, meski tak sekaligus airnya tumpah, dan udara di sekitar rumah kita menjadi lebih basah dari biasanya. Mungkin kau bertanya: "bagaimana bisa, Ayah?"

Segelas penuh susu yang sudah disiapkan ibumu tadi sudah tandas, tenggelam dalam reguk panjang dan tatap matamu menghajar langit-langit kamar kita yang tenang. Sambil gumamkan dua lolongan panjang yang belum kupahami artinya, kau tetap saja bersemangat di sela gelak tawa yang singkat-singkat. Kiranya kini kau tengah belajar tertawa, Nak? Ah, bagus sekali. Yang disambutlah tawamu itu dalam peluk erat aku dan ibumu yang ikut tertawa. Kiranya kau tahu, Nak, aku bahagia sekali saat ini.

Dan hujan-hujan yang turun di halaman rumah kita di luar sana akhirnya datang menyapa. Bahwa baik sekali, jika seandainya berdua kita bisa membalas sapaannya dalam dendangan yang kuserukan pelan di telingamu. “Itu hujan, Nak. Air dari langit. Seperti namamu juga. Darinya datang dan kembali jutaan berkah dari Tuhan yang Maha Agung. Hingga nanti akhirnya kau sadari, bahwa kita berdua sebenarnya dipertemukan olehnya. Nah sekarang, kau kuperkenalkan dulu padanya, jangan takut.” Dan benar saja. Tepat setelah derai tumpahannya dari genting itu menyentuh jemarimu dengan deras, matamu mengerjap cepat. Kurasa sensasi yang kau rasakan tadi adalah takut, Nak, mungkin. Tapi tak apa, ada aku di sini, dan kau sama sekali tak perlu merasa takut.

Nah setelah ini, kau akan mengenalnya sendiri lebih mendalam, Nak. Untuk mengetahui bahwa rasa takut itu bermula dari ketidak-tahuan. Atau bahkan, kau akan mengenalnya lebih baik dariku. Kudoakan saja semoga benar seperti itu. Yang selama kau mengenali apa atau siapa dia, dan kau akan menjelma jadi seorang yang lebih besar dariku, lebih besar dari siapapun. Serupa tatapanmu yang kini menembus cahaya putih suram di mega-mega menjelang malam yang akhirnya datang, dan suara penyeru Tuhanmu yang menggema di sudut langit. Sang Barat sudah datang.

Jakarta, Januari 2018

Kamis, 04 Januari 2018

Gurindam Dua Belas, Pasal Keempat


Kau sudah tiga bulan sekarang, Nak. Sedang pikiranku sudah melayang terlampau jauh. Tentang apakah nanti aku kan punya waktu untuk mengajarimu membaca Kitab Suci dan mencoba memaknainya, atau bertukar pikiran sejenak tentang bijaksananya Gurindam Dua Belas dari tanah leluhur kita di ujung sana. Ah.

***

Bismillahirrahmanirrahim,

(Pasal Keempat)

Hati itu kerajaan di dalam tubuh
Jikalau zalim segala anggotapun rubuh
Apabila dengki sudah bertanah
Datanglah dari padanya beberapa anak panah

Mengumpat dan memuji hendaklah pikir
Di situlah banyak orang yang tergelincir
Pekerjaan marah jangan dibela
Nanti hilang akal di kepala

Jika sedikitpun berbuat bohong
Boleh diumpamakan mulutnya itu pekung
Tanda orang yang amat celaka
Aib dirinya tiada ia sangka

Bakhil jangan diberi singgah
Itulah perampok yang amat gagah
Barang siapa yang sudah besar
Janganlah kelakuannya berbuat kasar

Barang siapa perkataan kotor
Mulutnya itu umpama ketor
Dimana tahu salah diri
Jika tidak orang lain berperi
Jakarta, Januari 2018