Selasa, 26 Mei 2015

Pedang, Keris, Gada

Saya pikir semua orang memiliki beberapa sosok yang paling mempengaruhi pola pikirnya saat ini. Orang-orang tersebut dapat menginspirasi lewat tindakan, bicara, atau apapun. Mereka bisa mempengaruhi semuanya, sebut saja: sudut pandang, lama berpikir, bahkan cara bicara. Dan sosok tersebut bisa siapa saja: kawan sepermainan, kekasih, kolega, musuh masa kecil, orang tua, saudara sedarah, ah siapa saja. Mereka tak melulu berkonotasi positif. Bisa saja orang tersebut adalah sosok yang tak kita sukai. Sadar ataupun tidak, sebegitu kuat mereka mengakar, hingga akhirnya mempengaruhilah sampai lebih jauh.

Saya juga sama. Saya mengenal beberapa sosok yang sangat mempengaruhi. Di luar anggota keluarga, rasanya saya bisa menyebutkan dua nama. Dan untungnya, mereka berdua adalah dua kawan terdekat yang saya kenal dengan baik juga.

***
Namanya adalah Haikal. Saya mengenalnya di belasan tahun silam. Lebih tepatnya di tahun 1998. Seorang kawan sekelas yang ternyata sangat menyenangkan. Saya melihat dia berkembang dari seorang remaja tanggung penuh ide-ide ekstrim dan rasa humor yang natural, saya melihat dia berkembang dari seorang mahasiswa dengan idealisme tinggi dan kadang menyebalkan, saya melihat dia berkembang menjadi seorang suami dan bapak yang asik bagi istri dan anaknya, saya melihat dia terhanyut dalam diskusi malamnya yang panjang dan sepi.

Gelar Taufiq. 2005 itu saya mengenalnya di sebuah desa kecamatan di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Seorang pemuda berkulit kuning-terang berambut gondrong-lurus dan kacamata hitam bulat khas rock n roll di atas sebuah motor pinjaman yang menggerung. Gayanya nyentrik, tingkah lakunya kadang menyebalkan, tapi dia adalah kawan yang baik. Kecenderungan hidupnya adalah menolong, dan dia tidak terlalu menyukai uang. Dan saat ini dia banyak terlibat di kegiatan-kegiatan alam dan karya sastra. Sesuatu yang selalu berhasil membuatnya merasa tenang sekaligus gelisah di dalamnya.

Saya pikir, mereka berdua memiliki banyak kemiripan –tentunya itu hanyalah kemiripan pola. Saya nilai, mereka adalah orang-orang yang memiliki potensi laten dalam pemikirannya. Interaksi mereka pada sekitar juga bersifat laten. Bila berbicara pada orang lain, maka orang lain tersebut bisa saja menjadi sangat positif, atau malah menjadi sangat negatif, atau tak berefek sama-sekali. Hmm, saya pikir mereka berdua adalah tipe kepribadian ekstrimis. Dan mungkin mereka akan menyangkal pernyataan saya ini, hahaa, tapi saya pikir memang seperti itulah mereka.

Dan mengenal mereka adalah beberapa dari banyak hal yang paling saya syukuri. Awalnya saya mencoba mencontoh mereka. Hingga akhirnya tak lama kemudian, saya temukan bahwa saya berbeda dari mereka. Seiring waktu, saya bisa membedakan kepribadian mereka berdua. Saya suka menganalogikan kepribadian mereka serupa sebuah senjata yang sama-sama memiliki dua sisi tajam. Haikal itu serupa pedang, dia membelah pemikiran lawan bicaranya dan mengakibatkan hal yang bersifat fatal dan luas. Sedang Gelar serupa keris, dia menghujam di satu titik dan mengakibat hal yang bersifat fatal dan mendalam.

Saya lebih banyak berbeda dari mereka berdua. Saya pikir saya tak memiliki kemampuan untuk melukai seperti yang bisa mereka timbulkan. Sepertinya pemikiran saya lebih bersahabat. Walaupun, kami bertiga tentu saja sama-sama bisa disebut seperti senjata, saya tahu itu. Dan mungkin saya akan lebih mirip seperti sebuah gada. Saya pikir saya seringnya tak berbahaya, bahkan saat diletakkan di tengah kerumunan anak SD sekalipun. :)

Karena berkaca adalah bagaimana cara mata dan otak menerjemahkan gambaran pantul cahaya, dimana akhirnya kamu melihat raut wajah sendiri. :)
Cikarang, 25 Mei 2015

Rabu, 20 Mei 2015

Takut

Potongan gambar Cambuk Zikir yang saya beli di Jogjakarta di 2007 silam. Saat melihatnya di toko pengrajin kayu itu, saya terpikir tentang keberanian yang tak melulu berarti keras. Lantas saya beli, 35 ribu rupiah. :)
Seorang kawan tiba-tiba saja menunjukkan kesan yang membuat saya mengernyitkan dahi dalam-dalam. Di antara obrolan kami yang pendek-pendek, saya menangkap bahwa dia merasa takut pada seseorang yang posisinya lebih tinggi dibandingkan dirinya. Selain saat itu, kawan tersebut memang pernah beberapa kali bercerita bahwa atasannya sedikit mudah marah. Kabarnya marahnya tersebut adalah yang meledak-ledak. Sejauh itu, biasanya saya hanya akan mengangguk-angguk saja mendengarkan, atau sesekali tertawa pendek. Tapi untuk yang ini, saya pikir kawan tersebut sudah melewati batas. Saya coba katakan padanya: “Jangan takut, Kawan! Bahkan pada matahari dan malam hari pun tak perlu kamu takuti. Apalagi pada orang yang (cuma) merasa memiliki kuasa atas dirimu. Sebenarnya dia tak lebih hanya sekedar penjahat Power Ranger!”. Saya katakan itu tentu di antara tawa yang panjang. Tapi sepenuhnya yakin, kawan tersebut pasti tahu, bahwa saya sedang serius.

***
Rasanya semua orang, termasuk saya, sepakat bahwa rasa takut adalah sebuah anugrah. Karena hanya di saat itulah insting terbaikmu akan keluar secara natural. Ajaib memang. Tapi sepertinya semua orangpun akan sepakat, bahwa di saat yang sama, insting terburuk pun dapat terekspresi menjadi sebuah tembakan meleset dari para penembak pemula. Dan untuk itu, saya pikir menjadi takut adalah sebuah kesempatan yang kurang menarik untuk dipakai di hal-hal yang tak genting. Sedang untuk hal yang di luar itu, saya pikir saya lebih memilih untuk tidak merasa takut. Karena saya sama-sekali tak memerlukan insting terbaik di setiap saat. Saya hanya perlu mengasahnya sedikit-demi-sedikit lewat dimensi kejadian sehari-hari.

Atau mungkin saya jadi teringat saat Iwan Fals nyanyikan lagu “Serenada”-nya yang terkenal itu: “kenapa harus takut pada matahari/ kepalkan tangan dan halau setiap panasnya/ kenapa harus takut pada malam hari/ nyalakan api dalam hati usir segala kelamnya”. Ungkapan yang bagus sekali kan ya? Hahaa. Saya pikir memang begitu. Rasanya saya tak bisa lebih sepakat lagi dari ini.

Atau mungkin saya jadi teringat saat lelaki paruh baya dari rumah merah jambu itu berkata di satu hari kami yang biasa. “Jangan merasa takut pada seseorang tanpa didasari rasa segan dan hormat, karena bila tidak, maka itu adalah sebuah penyakit. Sembuhkan!”. Tentunya saat itu dia berbicara dalam bahasa daerah kami. Tapi begitulah kira-kira bila terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

***
Dan saya merasa beruntung, untuk bisa berusaha tidak merasa takut. Dan saya merasa beruntung, untuk banyak mengenal beberapa sosok yang saya segani dan saya hormati di sepanjang perjalanan saya hingga detik ini. Dan saya pikir, kami berinteraksi dengan sangat sehat. Kami tahu bahwa kami tak saling tunduk, juga tahu bahwa kami tak saling berkuasa satu sama lain. Dan saat ini saya tidak sedang ber-teori. Saya mencoba memraktekkannya di kehidupan sehari-hari, dan saya pikir ini asik sekali. Rasanya hubungan kami sehat sekali, saat kami tak merasakan tekanan untuk saling mengingatkan saat salah satu dari kami melakukan kesalahan. Ini menyenangkan.

Hmmm, dan saya pikir ada satu lagi: Saat kamu merasa takut pada seseorang, maka seseorang tersebut (entah bagaimana) akan dapat merasakan rasa takutmu itu. Dan percayalah, seseorang tersebut akan lepas kendali semakin pongah, dengan rasa kuasa-takut yang kalian ciptakan bersama-sama. Yakinlah hal tersebut tak baik untuk siapapun, terlebih untukmu sendiri. Lantas kini, berhentilah bertingkah seperti itu!!!

Untuk seorang kawan yang identitasnya tak mungkin saya sebutkan. Salam Bang Napi!
Cikarang, 20 Mei 2015
*Foto oleh Haikal Sedayo