Senin, 24 September 2018

Ada yang Mati

Ah, Nak, hari ini aku melihat video itu. Video salah seorang suporter sepak bola Persija Jakarta mati dikeroyok oleh oknum bobotoh di halaman stadion kebanggaan Persib Bandung di ujung sana. Juga lantunan kalimat tauhiid yang mereka teriakkan seraya mencabut nyawa orang lain, bagaimana bisa? Perasaanku campur aduk. Aku marah sekaligus sedih, Nak. Lama aku berdiam diri, menghirup kopiku sedalam-dalam, memandang lurus menuju sinar mentari Cikarang yang panas dan benderang dari balik jendela kaca. Seketika batinku menembus dimensi lain.

Dari videonya, aku melihat para pelaku dan saksi mata pembunuhan keji itu. Mereka hanyalah anak-anak umuran tanggung yang mulutnya penuh sumpah serapah dan kemarahan. Mudah sekali aku menemukan yang mirip seperti itu saat aku ikut menonton Persib berlaga di stadion itu. Sudah sedari dulu. Tapi tidak dengan yang ini. Ini berbeda, Nak, berbeda sekali. Aku tidak merasakan ada manusia yang mengelilingi dan memukuli geletak tubuh di video ini. Lalu mungkin kau akan bertanya: “lantas mereka ini apa, Yah?”. Entah apa, tapi mereka bukan seperti kita, Nak. Bukan seperti kita.

Akan ada hal-hal yang sangat kau sukai, Nak. Mungkin saja itu klub sepak bola, grup band remaja, tokoh agama, apa saja. Dan aku mungkin tak akan menghalangi apapun yang kau sukai. Tapi baiknya kau bisa senantiasa eling, Nak. Bila kau merasa mulai tumbuh bibit rasa benci dalam benakmu, meski sedikit saja, maka kau harus berani untuk berhenti sejenak dan mulai mempertanyakan segala hal. Segalanya, Nak, pertanyakan segalanya. Karena pada akhirnya nuranimu akan menjawab semuanya. Nurani tak memandang perbedaan, Nak. Dia tak memandang perbedaan klub sepakbola, dia tak memandang perbedaan agama, dia tak memandang perbedaan apapun. Nurani hanya akan melihat kesamaan-kesamaan.

“Nah, Ayah, lantas mengapa tadi kau berkata bahwa pelaku pembunuhan itu berbeda dari kita?”, mungkin itu adalah pertanyaanmu berikutnya. Ya, Nak, karena memang bukan nuraniku yang tadi mengatakan hal itu. Emosiku sedang mengambil alih kemudi. Dan hal itulah yang akhirnya memintaku untuk berhenti dan mulai berdialog denganmu, atau sebenarnya dengan diriku sendiri?, ah, siapa yang tahu.

Dan jangan mulai mencari siapa yang salah dalam hal ini. Seperti beberapa komentar netizen yang mengatakan bahwa ada kaitan antara ulama negeri ini yang kini tengah terlalu sibuk bermain politik dan tidak memperhatikan kalangan akar rumput yang semakin hari semakin hilang kendali. Tidak, Nak, tak perlu kau cari siapa yang salah. Cukup kau biarkan nuranimu mengambil alih, yang sayangnya, ini adalah hal yang tersulit, dan semua hal yang di luar itu kau tarik mundur dahulu.

Kau juga tak perlu mengikuti semua tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh politik, idola musik atau siapapun untuk membiarkan nuranimu mengambil alih semuanya. Kau adalah miniatur semesta yang sebenarnya, Nak. Meski dalam perjalanannya, kau nyatanya tak pernah hidup sendiri. Toh, “persamaan dan perbedaan” itu sendiri berarti tak ada yang sendiri, bukan? Hiduplah dengan rasa bahagia sebisanya, Nak, itu saja. Dan kini, saat melihat bagaimana pembunuhan suporter bola tadi terjadi, apakah kau merasa bahagia, Nak? Lantas bagaimana? Tanyakan itu semua dalam perenunganmu yang mungkin tak akan pernah menemui titik akhir. Bahkan sampai nanti, sampai waktumu pun akhirnya habis, menuju ketiadaan.

Salam sayang Ayah,
Cikarang, 24 September 2018