Rabu, 30 Oktober 2013

Nyanyian Krakatau

Duduk-berdiri di atas sebuah kapal motor bertulis KM Timbul Cahaya itu, kau berkontemplasi pada riak laut yang bergerak pada tiup-tiup angin yang entah dari mana saja. Juga garisan cahaya mentari di penghujung suatu sore menabrak-nabrak wajahmu segenap beringas. Kau tak menepi, tetap tenggelam dalam alir pikiran yang mengalir sejauh matamu memandang dan horizon yang lekat-lekat di jauh sana. Kau mau kemana?

Gugusan Krakatau memanggilmu. Datang jauh dari pulau lain di seberang sana, tapi tanyamu tak pernah terjawab meski sudah sampai di sini. Kau carilah mereka di antara 1.001 cerita di sekitar. Itu pula tarian ikan-ikannya aneka warna menari bebas yang dapatlah kau lihat dari atas sini, atau pada pekik nyaring gerombol burung-burung laut yang sesekali lewat tadi. Berikut bayu basah redamkan ceritamu biar jangan kemana-mana. Tapi nyatanya kau tak puas. Marah sendiri karena pertanyaanmu tak kunjung terjawab kini. Kau mau apa?

Diam di sana, kau pejamkan mata. Baurkan semua tanya pada sore laut Krakatau yang mulai tenang menanti tenggelam surya kembali ke rumah. Semedikan 1.001 alasan yang terpikir, baringkan 1.000.000 penjelasan yang tak pernah terpikir, bahkan mungkin tak kan pernah kau mengerti. Seperti sesederhana jawaban: Kau tak mau apa dan kemana-mana! Toh lanjut kau bertanya lagi, kalau begitu kau hanya datang saja? Benarkah seperti itu? Seperti sebenarnya tak ada yang mengundangmu untuk datang melihat sang surya yang tinggal separuh ditelan laut Krakatau sore ini? Kau pasti tak sepakat!!!
Lampung-Cikarang, sepanjang 2013

Selasa, 29 Oktober 2013

Candaan BBM?

Saya senyum-senyum saja waktu membaca salah satu gambar yang di-post oleh seorang kawan di salah satu akun social-media miliknya. Kira-kira isinya begini: “tau gimana rasanya Balckberry Z10 di-ping sama Mito? Nyeri!!!”. Bagi yang belum tau, Blackberry Z10 adalah salah satu handphone termahal yang dikeluarkan oleh pabrikannya, sedang Mito adalah salah satu produsen handphone lokal dengan harga relatif lebih rendah dibanding yang lain. Dan yang dimaksud dengan di-ping adalah semacam di-poke sebagai bentuk sapaan singkat dalam aplikasi Blackberry Messenger (BBM). Begitulah kira-kira. Beberapa kawannya memberikan komen tertawa. Ah, tapi saya pikir itu sama sekali tak lucu. Apanya yang lucu?

Saya pikir saya dianugrahkan sense of humour yang baik. Sepertinya beberapa orang yang mengenal saya juga akan berpikir demikian. Tapi candaan BBM ini saya pikir sedikit “apaan sih lo?”. Saya pikir ada banyak candaan lain yang lebih segar dan tak menyerang. Banyak sekali malah. Jujur saja, saya hanya menangkap hinaan kepada para pengguna Mito dari postingan tersebut. Apa karena harga Mito yang lebih murah? Terus pertanyaan berikutnya adalah: “emang kenapa kalau harganya murah?”. Apa berarti kalo punya handphone berharga murah menjadikan siapapun pemiliknya jadi lebih rendah? Ah, saya pikir tidak. Saya yakin tidak malah.

Saya mengenal baik kawan yang memposting gambar tersebut. Dia bukan orang yang senang merendahkan siapapun, dan mungkin tak bermaksud untuk itu juga. Tapi candaannya yang ini sepertinya salah. Saya pikir begitu.
Cikarang, 29 Oktober 2013

Senin, 28 Oktober 2013

Pidi Baiq: Cerita Dilan

Sepertinya kebanyakan orang, termasuk saya, mengenalnya dengan nama Pidi Baiq. Entah siapa nama aslinya, tapi saya merasa cukup untuk memanggilnya dengan sebutan Kang Pidi. Dan seperti yang sering saya ucapkan sebelumnya, bahwa kemampuan berpikir orang ini memang di atas rata-rata. Benar! Dia tetap bisa terlihat cerdas di antara cerita-cerita konyol yang sering dia ceritakan, dia terlihat sangat menyenangkan dari tulisan-tulisan singkat yang dibuatnya di akun sosial media twit*ter miliknya, tentang apa saja. Ya, saya mengenalnya lebih banyak lewat kicauannya di sosial media itu saja. Juga dulu sekali, mungkin di tahun 2007 atau 2008, saya pernah sekali berada sepanggung dengannya. Saat itu di satu acara di PKM UPI, saya turun membacakan dua puisi tepat setelah Kang Pidi turun panggung menyanyikan beberapa lagu-lagu ciptaannya, waktu itu di antaranya adalah lagu “Jatinangor” yang terkenal itu, ah saya masih sangat ingat. Habis kami bertukar-sapa beberapa kalimat, lalu dia pergi lagi. Meski tak berarti pula saya terlalu mengagungkannya juga, saya juga mendengar dari seorang kawan baik bahwa salah satu kelemahan major dari Pidi Baiq adalah kadang dia terlalu menggurui, terlalu senang mengungkapkan pendapatnya saja, jarang mau mendengar selayaknya kawan. Wallahualam. Ah, tapi saya pikir bukan masalah juga. Setiap orang punya kelemahan kan ya? Biar saja. :)

Saya belum pernah membaca langsung buku-buku best-selling karyanya. Entah kenapa. Entah kenapa saya tak terlalu bersemangat membaca buku-buku orang yang saya nilai mungkin akan sedikit mirip dengan apa yang saya rasakan. Seperti Pidi Baiq, Andrea Hirata, atau yang lain. Pastinya, bukan berarti saya membandingkan diri saya dengan mereka, itu tak perlu. :D Saya hanya mendengar saja dari orang-orang tentang kedahsyatan karya-karya mereka. Bukan apa-apa, saya kadang hanya merasa sedikit khawatir. Khawatir originality pikiran dan tulisan saya akan terbawa –karena memang karya-karya hebat selalu bisa membawa; khawatir bila saya jadi berkecil hati memandang tulisan-tulisan saya sendiri –karena membandingkan tulisan mereka dengan tulisan saya itu sama saja seperti adu pengetahuan seorang profesor dengan anak SMA. Ahahaa.

Seperti setelah membaca tulisan yang ini. Berjudul “Dia adalah Dilanku” di laman blog ayahpidibaiq.blogspot.com. Entah kenapa tadi saya sedang merasa sangat ingin membaca tulisan ini. Seperti sedang ingin saja mungkin :D. Dan walhasil: benar. Habis membacanya, saya sedikit merasa kecil. Mulai berpikir bahwa tulisan-tulisan saya hanya seperti sebuah joke. Ahahaa. Tapi tak masalah. Biasanya saya hanya perlu beberapa hari saja untuk memulihkan kepercayaan diri, lalu jadi normal kembali baik-baik saja. :) Tapi secara keseluruhan, saya menilai tulisan ini sebagai tulisan yang sangat menarik. Isi yang menarik, gaya bahasa khas yang juga sama menarik, sensasi yang senang, ah keren pokoknya. Diajarkannya kita bahwa bersenang-senang itu bukan hanya perkara materi saja. Dan saya sangat-sangat bersepakat tentang itu. I couldn’t agree more! :)

Bagi yang mau, silahkan kunjungi blognya. Dan bila boleh, saya rate tulisannya: highly recommended.
Cikarang, 28 Oktober 2013

Minggu, 27 Oktober 2013

Kenapa Malu?

Sore tadi saat tengah iseng saja mengambil gambar satu bungkus rokok Dja*rum Coklat yang hampir habis kami hisap seharian ini, tiba-tiba seorang kawan yang ini bertanya: “foto buat diunggah di internet, A?”. Saya menggeleng, lanjut dia bicara lagi: “ah, kalau iya, jangan diunggah yang ini, A, malu-maluin aja, rokok yang mahalan donk yang diunggah mah, jadi keliatan keren”, disambungnya pula dengan tawa yang riang. Saya ikut tertawa mendengarnya. Saya tahu, kawan yang ini hanya sedang ingin bicara saja, tentang apa saja, dan saya mengenalnya dengan baik. Hingga saya akhirnya menjawab juga apa yang dia ucapkan, karena saya tahu dia ingin mendengarnya. Sambil senyum-senyum saya ucapkan: “kenapa malu? Toh ini bukan suatu yang salah, juga nyatanya memang rokok ini yang kita hisap seharian ini kan ya?” Lanjut kami tertawa saja sebentar, lepasnya dengarkan lagi baris iklan di televisi yang sepertinya tak habis-habis dan bergantian tak kenal lelah.

Hah. Hidup memang sebaiknya disederhanakan saja. Keren ataupun tidak tak akan pernah menjadi masalah yang terlalu besar. Biarkan saja hidup jadi rentetan waktu dan kejadian yang selalu menyenangkan, atau setidaknya mencoba untuk bisa seperti itu. Suka karena tak berminat untuk berusaha membuatnya menjadi lebih berat oleh hal-hal yang sebenarnya ringan-ringan saja.
Bandung, 28 Oktober 2013

Sabtu, 26 Oktober 2013

Koboi Paceklik

Ah, cape. Menjelang magrib di Metro
Akhirnya sampai lagi di sini. Di sebuah kos-kosan sederhana di daerah Geger Kalong Girang, setelah melewati satu hari yang panjang bersama seorang sahabat baik. Harinya tadi baru akan dimulai dengan janji bertemu di depan salah satu masjid paling terkenal di kota ini, Daarut Tauhid. Dan perjalanan kamipun mulailah. Melewati panjangnya jalanan Bandung hingga jauh ke utara sana. Kami habiskan sela waktunya dengan dialog-dialog yang selalu saja membuat kami tertawa, lalu diam, dan bicara lagi saat kami sedang mau. Hingga pagi Cikole hampiri kami di warung kopi sederhana di salah satu sudutnya tadi, juga di siang hingga sorenya yang sudah hampir sampai di penghujungan, di titik-titik kota Bandung hingga jauh ke selatan dan kembali lagi, kami lanjut bicara.

Hari ini dan sepertinya hari-hari yang kemarin juga, banyaknya kami bicarakan tentang saya. Menertawakan apa yang saya lakukan hingga terbawa, menambahkankan apa yang saya lamunkan kadang sampai saya merasa letih sendiri. Seperti saat di salah satu titik perumahan Metro yang tadi, pikiran saya sepertinya semakin jauh. Hingga saya melihat apa yang saya kenakan seharian ini, saya berpikir sendiri. Saya melihat koboi paceklik! Seorang muda dengan muka dekil penuh debu jalanan dan rambut kusut awut-awutan, tengah berpakaian semaunya, tak ada aturan, dan dia terlihat senang-senang saja menjalani semua cerita yang berjalan sehari-hari. Ya, itu saya. Seperti saya memperhatikan saya sendiri? Aneh, tapi benar seperti itulah kira-kira.

Kontras, saya melihat kemeja abu-abu yang kali ini tengah saya gunakan sebagai jaket ini. Kemeja yang bisa membuat saya terlihat sangat rapi-formal saat dikenakan di sebuah seminar ilmiah internasional di ballroom salah satu hotel terkenal di Ibukota, juga kemeja yang bisa membuat saya seperti petani terpelajar yang tak terlalu suka mengikuti apapun penilaian orang. Saya jelaskan sendiri: yang rapi itu saya, yang tak rapi itu juga saya, tak ada beda. Bertanya mana yang membuat saya lebih merasa nyaman? Saya jawab sama saja. Saya merasa nyaman saat terlihat rapi, juga merasa nyaman saat saya terlihat seperti apapun. Seperti saya menjalani cerita yang saya mau, saya menikmati sebagian penggalannya yang saya kehendaki. Seperti yang tadi. Persis seperti yang tadi.
Bandung, 26 Oktober 2013
*foto oleh Muhammad Haikal Sedayo 

Kamis, 24 Oktober 2013

Huruf Suka-Suka


Dan sekarang, di depan sebuah komputer lipat yang penampilannya sedikit koboi tapi kerjanya cemerlang ini, saya menulis. Menghubungkan beberapa kata menjadi untai kalimat dan paragraf yang sepertinya tak terlalu mengikuti kaidah penulisan yang benar. Tapi saya pikir isi tulisannya dapat dengan baik mengikuti apa yang saya pikir dan inginkan, maka cukuplah bagi saya. :) 

Dan saya sebenarnya tak pernah berniat juga ingin menentang kaidah apapun yang sudah disepakati dan dipikirkan sebagai yang terbaik bagi semua, dalam konteks apapun, termasuk menulis atau juga yang lain. Saya hanya merasa senang untuk melakukan hal yang saya pikir saya sukai, juga tak lupa untuk menyesuaikannya dengan yang lain. Biar saya nantinya tak jadi orang yang senang sendiri. Ah, dalam konteks apapun, yang namanya sendiri itu tak pernah asik memang ya, terlalu sepi. :)
Cikarang, 25 Oktober 2013

Belajar di Cipaku

Sore itu, sebelum akhirnya kami sampai di Gerbang Atas UPI dan bertemu Acong van Bram yang sedang asik bersantai di pinggir jalan sambil menikmati sebatang rokok kreteknya yang sudah hampir habis setengah, saya dan seorang kawan telah selesai membelah Bandung utara melewati suatu rute yang menurut saya tak biasa. Menurut saya, jalan di rute itu sedikit tak umum. Bahkan sepertinya tak semua orang tahu bahwa di dalam kota Bandung ternyata masih ada jalan yang seperti itu. Jalan sempit yang lebarnya pasti tak lebih dari 2 meter berikut rumput liar di pinggirannya yang sudah terlalu tinggi, kanan-kirinya berbatas tembok beton setinggi 2 meter-an, tanjakan-turunan ekstrim bersudut 45 derajat atau lebih dan berliku, memanjang sepi di bawah rimbun rumpun bambu dan pohon-pohon liar beraneka jenis. Langit sudah lebih gelap waktu itu, Bandung mendung dan baru sudah diguyur hujan raya, bikin lebih gelaplah jalanan itu. Saya berpikir cemas sendiri. Saya ucapkan berulang ke kawan yang tetap asik mengendalikan sepeda motor matic warna pink nya itu tentang apa yang saya pikirkan, tapi dia senyum-senyum saja. Tak terlihat raut cemas di wajahnya, ya, mungkin dia sudah biasa lewat di sini. Yang sayangnya, waktu itu saya tak sempat memfoto jalanan itu, karena batere kamera saya tersisa tak lebih dari 5 % saja. Lepas dari jalanan itu, akhirnya kami tibalah di satu tempat yang lebih terbuka. Saya tak terlalu sadar, bahwa ternyata saat itu kami sudah tiba di daerah puncak Cipaku. Seingat saya, dulu saya pernah ke sini sekali, tapi entah kapan waktu persisnya.

Dan di puncak itu, seiring sautan takbir menyambut Hari Raya Qurban di berbagai penjuru, kami berhenti sejenak. Saya buka dan keluarkan kamera dari dalam ransel hijau bertulis “deuter” itu. Niatnya, saya ingin tanggung habiskan saja batere kameranya, mengambil beberapa gambar dari puncak sini. Dan dapatlah beberapa. Tapi sepertinya saya lebih tertarik untuk mengunggah foto yang ini saja. Meski gambarnya tak terlihat fokus kemana-mana, ditambah arahan gaya yang kurang saya sukai sebenarnya (hahaa) dan rambut kering yang awut-awutan itu, tapi foto ini adalah foto pertama yang diambil oleh kawan tersebut. Ini adalah kali pertama dia belajar mengoperasikan kamera saya ini. Jadi saya pikir gambar ini menarik. Berikut pula cerita di belakangnya saat saya mengikuti semua arahan gaya yang dia berikan, dan dia terlihat senang sekali waktu itu. :) Tak masalah bagi kami hasil gambarnya akan jadi bagus atau tidak, itu hanya bonus! :)
Cikarang, 24 Oktober 2013
*foto oleh Gelar Taufiq Kusumawardhana

Rabu, 23 Oktober 2013

Menghormat: Sikap dan Sebutan

Saya pikir menghormati orang yang lebih tua adalah sesuatu yang baik. Caranya mudah. Memanggil dengan sebutan selayaknya yang muda pada yang tua adalah salah satunya saya pikir. Itu bisa kakak, mas, mbak, akang, teteh, bapak, ibu dan lain-lain. Terlepas dari siapa mereka, status mereka terhadap saya apa, atau pertanyaan-pertanyaan yang lain. Tapi saya selalu berpikir, ada alasan kenapa sebutan kakak, mas, mbak, dan lain-lain tadi ada di dalam perbendaharaan bahasa kita. Lalu kenapa tidak saya gunakan?

Mungkin saat kita bertemu dengan seseorang dengan status (yang kita rasa) berada di bawah kita, baik itu status di kantor, status di masyarakat, status ekonomi, atau status apa saja, beberapa dari kita mungkin akan sedikit malas (atau gengsi?) untuk menyebut panggilan hormat tersebut. Saya sering bertanya sendiri: kenapa kamu seperti itu? Saya benar kadang tak habis pikir. Apa dengan memanggil dengan sebutan hormat tersebut akan membuatmu merasa turun derajat?? Masa iya??

Memang, menghormati orang lain itu tak sesempit sebutan hormat. Akan lebih terasa nyata bila menunjukkan rasa hormat tersebut dalam bentuk sikap kan ya? Ya, saya sangat-sangat sepakat dengan itu. Meski pernyataan saya akan tetap saja sama: ada alasan kenapa sebutan hormat tersebut ada di perbendaharaan bahasa kita. Tentunya buat dipakai sebagai bentuk ungkapan yang mewakili sebuah ide. Saya pikir begitu.
Cikarang, 23 Oktober 2013

Selasa, 22 Oktober 2013

Gedung Sate dan Cerita Sekitar



Beberapa hari yang lewat, saya sempat berkunjung sebentar ke situ. Di depan sebuah gedung yang dulu, katanya, dibangun sebagai pusat pemerintahan kota Jawa Barat. Saat itu, sore menjelang pukul tiga. Suasana Bandung sedang cerah asik-asiknya. Langit biru. Tusuk satenya di atas sedang hikmat saja berdiam. Saya duduk sebentar di undak tangganya yang beberapa di seberang jalan. Saya memperhatikan. Melihat bangunan dengan arsitektur mirip dengan gaya masa renaiscance di beberapa titik, dan mulai membayangkan bagaimana bangunan yang terlihat sangat kokoh gagah berdiri ini dulu dibuat. Sepertinya rumit sekali.

Matahari masih asik-asiknya di arah barat. Saya kembali melihat sekeliling. Melihat gagah Tangkuban juga sepertinya sedang tafakur melihat Bandung dari utara jauh. Seperti saya sekarang. Memperhatikan banyaknya orang-orang yang datang berkunjung, mungkin sekedar abadikan moment berfoto-ria senang-senang dengan latar gedung itu. Ketika sepasang bapak-ibu paruh baya yang sepertinya datang dari luar kota meminta bantuan saya untuk mengambil beberapa foto berlatar Gedung Sate, dengan senang hati saya iyakan. Beberapa kali ambilan menggunakan kamera saku sederhana yang terlihat masih sangat baru itu, mereka ucapkan terima kasih. Saya tawarkan untuk beberapa kali ambilan gambar lagi. Kali ini saya meminta mereka berputar, untuk mengambil latar Tangkuban di belakangnya kini. Mereka mengikuti, dan jadilah.

Lepasnya, saya tanyakan beberapa hal. Ternyata bapak-ibu ini tadi baru saja tiba dari Ciamis dengan menggunakan sepeda motor yang sekarang sedang diparkir di pinggir jalan sana. Mereka akan bermalam di rumah saudaranya di daerah Sukajadi, bila tak terburu pulang hari ini juga. Tukar-bicara, ternyata mereka berdua hanya ingin berjalan-jalan saja. “sekali-kali pengen jalan-jalan di Bandung aja” begitu katanya. Saya candakan “sambil nyobain kamera baru Pak ya?”, mereka tertawa. Saya sambung, “kameranya bagus Pak, warna hasil gambarnya cerah sekali, bagus.”. Dengan semangat dia bercerita singkat tentang kamera itu. Lanjut saya sarankan mereka lanjutkan sore itu ke arah utara, tempat monumen perjuangan berdiam di ujung sana. Dan mereka pergi dalam ucapan terima kasih yang dalam.

Sore Bandung. Di sini benar tak pernah sepi cerita. Seperti lalu lalang ratusan pengunjung yang ramai melintas di hadapan, seperti mancur air di halaman Gedung itu yang selalu saja asik sendiri tontonkan kemolekannya sana-kemari.
Cikarang, 22 Oktober 2013

Senin, 21 Oktober 2013

Althea Aripin


Saya sedang tak terlalu enak badan hari ini. Ya, setiap baru pulang dari Bandung, biasanya saya akan merasakan sensasi ini. Masuk angin! Kepala berat dan sesekali nyut-nyutan. Tapi biasanya sensasinya akan segera hilang setelah nanti saya terbangun dari tidur malam yang pertama di kota ini lagi. Jadi saya tak pernah menganggapnya masalah. :p

Di tengah paginya yang tadi, saat sedang asik menikmati sensasi kepala yang terasa berat sekali, terdengarlah suara seorang kawan baik di ujung telepon. Suaranya semangat. Mengabarkan bahwa bayi perempuan yang ditunggu-tunggu itu sekarang sudah tiba, dan sangat sehat juga. Terdengar tawanya lepas sekali, sepertinya dia sedang sangat bahagia. Saya jadi ikut bersemangat, dan berjanji akan segera menemui dia dan anaknya sore ini juga. 

Mengajak beberapa kawan kantor untuk sorenya temani saya berkunjung ke rumah sakit, ternyata bukanlah hal yang mudah. Karena saya tak punya SIM, juga tak punya motor, tentunya saya jadi sedikit bergantung pada mereka. Tapi dipikir lagi, ah, kadung saya sudah meniatkan diri untuk pergi melihat langsung ekspresi kawan yang tengah bergembira itu hari ini juga. Hingga akhirnya seorang kawan yang lain ternyata bersedia saat diajak, kami berangkat di tengah langit sore Cikarang yang mendung, seperti mau tumpah hujan raya saat itu juga saja.

Kami tiba di Rumah Sakit Ibu dan Anak Dr. Djoko Pramono, Karawang. Di salah satu ruangannya, saya melihat seorang bayi perempuan. Saya eja namanya, Althea Khairullah Aripin. Ah, nama yang cantik ya? :) Lanjut saya perhatikan pelan-pelan di antara dua matanya yang tertutup, sepertinya dia sedang nyenyak tertidur. Saya perhatikan lebih lama, dia tak bergerak, diam saja begitu. Rasanya saya baru pertama ini melihat bayi yang baru saja lahir, saya sedikit bingung. Dia diam sekali. Hingga berulang kali saya tanyakan kepada kawan tersebut, “apa memang seperti ini normalnya?”. Kawan tersebut menjawab, “ya”, dan saya diam lagi lanjut memperhatikan.

Tak sempat begitu lama memperhatikan kawan kecil yang belum genap berusia 12 jam ini terlelap di tempat tidurnya, saya berpikir sepertinya sudah cukup dulu untuk sekarang. Hingga akhirnya kami beranjak meninggalkan, dan perjalanan pulangpun dimulailah. Teringat saat berpikir-ucap pada gadis kecil itu tadi: “sekarang kamu tumbuhlah dulu yang riang, Kawan, yang sehat. Kalau sudah besar, dan kalo kamu mau, nanti diajak jalan-jalan naik kuda di Ganesha” :). Begitu ya? Dan saat nanti tiba waktunya, di satu pagi yang cerah, Jalan Ganesha di tengah kota Bandung itu akan jadi tujuan kami bersenang-senang, saat Bandung tengah asik mandi cahaya di antara gemerlap garis mentari menembus dedaunan hijau di atasnya, Ganesha riang, gilang-gemilang.

Cikarang, 21 Oktober 2013

Jumat, 18 Oktober 2013

Galunggung

Kawah Galunggung dari puncaknya
Sebuah gunung yang mungkin tak terlalu eksotik. Saya sebut demikian karena aksesnya yang sedikit terlalu mudah untuk dikunjungi, dan terlalu ramai juga. Menurut saya begitu. Mungkin sebagian kawan yang lain tak akan terlalu bersepakat dengan ini, tapi ya, bukan masalah. Siapapun bisa menyewa ojek atau membawa mobil untuk bisa sampai langsung di tangga beton berundak sampai ke puncaknya, di 2.167 mdpl. Tapi tak ada salahnya juga, saya tetap saja datang berkunjung, sekedar melihat-lihat, bersenang-senang. Yang kebetulan waktu itu saya sedang berkunjung ke kotanya, Tasikmalaya. Maka mampirlah, saya berkenalan dengan gunung yang terkenal dengan letusan bersejarahnya di tahun 1882 itu.

Tapi sepertinya pikiran saya sontak berubah. Saat jutaan butir kabut tiba-tiba datang menyerang puncak Galunggung di siangnya yang semula cerah itu. Pekat, dan jarak pandang hanya menyisakan kisaran 5 meter-an saja. Menyingkirlah kebanyakan pengunjung, sebagian besar bersegeralah pulang selagi sempat, dan puncaknya jadi sepi. Dibuatnya semua orang merasa gentar kini, segera menyingkir, termasuk saya. Terpikir saat itu untuk pulang saja sebelum badai sampai di sini, tapi untungnya tidak. Saya waktu itu memilih menepi sajalah dulu, berlindung di antara diam dan sautan petir berikut gemuruhnya yang ramai. Di antara kabut-kabutnya yang tebal, Galunggung sepertinya tak bersepakat dengan sebutan “tak eksotis” yang sempat saya sematkan padanya, sepertinya begitu. Hingga selang 1 jam kemudian, badainya mereda, kabut-kabutnya mulai terangkat lagi. Dan sesaat sebelum kabut habis terangkat, saya sempatkan berfoto dulu di puncaknya sebagai pengingat, menjelang cerah Galunggung yang secepat itu pula datang lagi, jadi terang lagi.

Saya pikir Galunggung baru saja selesai pertunjukan. Ya, begitu. Sebuah pertunjukan singkat yang ditujukannya kepada siapapun yang pernah dengan lancang menganggapnya tak spesial, biasa saja. :)
Cikarang, 18 Oktober 2013

Kamis, 17 Oktober 2013

Di Pojok Sore (4)


Lagi. Tadi di pemandangan yang khas saat duduk di tempat yang biasa. Dan melihat satu-persatu kawan-kawan kantor berangkat pulang meninggalkan halaman komplek ini, lepas seharian kami bekerja. Mungkin mereka letih, sedang ingin merebahkan badan sesegeranya. Ya, tak masalah. Sedang saya sepertinya sedikit jarang seperti itu. Lepas bekerja, saya biasanya lebih memilih untuk melihat-lihat, memperhatikan apa saja. Walau sekarang badan sedang terasa pegal sekujur-kujur, mungkin karena kuantitas berolah-raga tadi malam yang sepertinya sedikit berlebihan dari yang seharusnya. Tapi bagi saya inilah penawarnya. Tidurnya bisa nanti, sekarang saya duduk sajalah dulu di sini.

Mobil-mobil yang seharian tadi parkir di halaman kantor, sekarang sudah sepi. Sepertinya semua orang sedang ingin cepat pulang hari ini. Hingga kini yang terlihat tinggal beberapa kawan-kawan satpam shift malam saja. Mereka masih asik hilir-mudik kesana-kemari, ya, menjalankan tugasnya. Saat tiba giliran salah satu dari kawan tersebut memantau keadaan di luar pagar, saya ajaklah berdialog sebentar. Tanyakan hal-hal ringan saja, seperti bagaimana keluarganya di rumah, tanyakan bagaimana keadaan kantor hari ini, ah, apa saja. Lanjut dia menjawab dengan semangat, saya mendengarkan dengan semangat. Kami tukar-bicara hingga habislah sorenya. Berpamit, saya memutuskan pulang dulu sekarang.

Saya benar tak berbicara tentang omong kosong. Saya menanyakan semua hal yang memang benar ingin saya ketahui, dan saya menjadi senang karenanya. Tak terkecuali dengan yang tadi. Saat obrolan-obrolan singkat yang mungkin sebagian orang menganggapnya hanya membuang-buang waktu, tapi saya pikir tidak begitu. Saya pikir dengan cara ini lah saya bisa belajar peka dalam merasa juga beremosi. Mendengarkan apapun yang ingin dia ceritakan, belajar meredakan semua gejolak yang saya rasakan. Di sini kami sama belajar, di sini kami sama senang, di sini kami sama gembira. :)
Cikarang, 17 Oktober 2013
*foto oleh Agung Heru Karsono

Rabu, 16 Oktober 2013

Angin-Angin Jayagiri

Jayagiri, apa kabarmu akhir-akhir ini?
Kudengar dinginmu masih seperti biasa.
Di antara kabut pagi yang biasa turun di sela dedaun pinusmu yang ramai.
Dan risalah para pencari rantingmu yang selalu berlomba dalam bergiat.
Sedang kau sama ramah menyapa.
Biarkan semua masukimu dalam genang cerita-cerita yang lumrah.

Melihatmu dari jauh lewat gambar-gambar pun selalu asik.
Kau katakan tak perlulah aku datang merayu padamu.
Dengan puluhan kata yang dirangkai kadang begitu susah payahnya.
Karena mendatangipun tak akan jauh berbeda dari mengingat, katamu begitu.
Tapi aku tetap saja datang memaksa, ingin bertemu.

Kau tahu, kadang aku bertanya sendiri.
Kiranya mengapa semilir anginmu tak bisa kurekam dalam bentuk-bentuk yang nyata.
Padahal tak bosan kau sampaikan, tak perlulah aku berkunjung untuk bersama habiskan sepanjang pagi.
Nyata tak pernah kau biarkan kubawa sedikit dinginmu lebih jauh.
Lepas pandangan, menjelma kembali, kau sebar pesona ke jauh-jauh.

Anehnya kau tak pernah terlalu lugas dalam jawaban.
Sengaja membuatmu semakin cantiklah dari balik tirai mentari yang beranjak meninggi.
Buat rebahku jadi memberat, betah menunggu lebih lama lagi.
Di atas rumputan hutan, mata-mata terpejam.
Dan seruling itu kau mainkan lagi.

Jayagiri, semoga setapak jalanmu masih tetap sama.
Semoga alir sungaimu juga begitu.
Serupa perjalanan terakhirku di penghujung pagi kala itu.
Saat kau menyambut kedatanganku dengan aroma hutan.
Ku tasbihkan suka di tiup angin pembawa nada-nada yang selalu saja renyah terdengar.

Cikarang, Akhir 2013

Senin, 14 Oktober 2013

Acong van Bram

Acong van Bram di penghujung sore gerbang atas UPI, 14 Oktober 2013
Bandung. Sebuah kota penuh cerita. Di dalamnya terdapat 1.000.000 hal unik baru yang tak pernah habis walau hingga hari ini sudah hampir masuki 11 tahun saya masih setia datangi tiap sudutnya. Di tulisan-tulisan terdahulu, saya sering menyebutnya sebagai sebuah “kota padat cerita dan kenangan”. Ya, saya pikir sepertinya tak terlalu berlebihan saya menyebutnya seperti itu, karena memang begitulah kota ini di dalam ingatan saya. Dan saya tak pernah berniat melebih-lebihkan. Buat apa juga saya lebih-lebihkan? :)

Seperti sore kemaren, saat berdua dengan seorang kawan baik membelah bandung utara melewati puzzle jalanan kampung kecil yang sempit-rimbun dan berliku itu. Hingga akhirnya sepeda motor matic warna pink itu ternyata tiba di perumahan Cipaku, lepas mengantarkan kami dari jalanan besar Ciumbuleuit yang tadi. Tujuannya kemarin adalah Taman FPEB UPI itu. Niatnya kami ingin menikmati kopi di tempat biasa kami niagakan sore dari dulu-dulu berbincang apa saja. Untuk kemudian akhirnya kami tibalah di gerbang atas UPI, tak sengaja kami bertemu satu kawan yang lain.

Saya tak pernah tahu nama aslinya siapa. Tapi saya mengenalnya dengan panggilan Acong, Acong van Bram. Dia adalah pedagang rokok asongan yang biasa beroperasi di dalam kampus kami. Rumahnya dekat dengan kos-kosan saya yang dulu, di kampung Cilimus di atas sana. Umurnya kini mungkin 40 tahun-an atau 50, saya tidak terlalu tahu pasti. Dengannya kami dulu biasa berbincang, sambil hutangi rokok yang dijualnya kesana-kemari. Ah benar, senang sekali waktu itu. Saya ingat sekali, dia sangat pandai bermain catur, dia akan dengan sangat mudah mengalahkan kami semua. Dengar cerita, kabarnya dulu dia biasa bermain dan berlatih bersama dengan master catur indonesia yang terkenal itu, tapi wallahualam. Cerita yang lain, Acong juga lumayan fasih berbicara bahasa jepang. Entah dari mana dia belajar bahasa ini. Memang cerita kehidupan itu aneh ya? :) Kami juga merasa sedikit aneh waktu itu, saat mengetahui Acong memutuskan untuk mengambil kuliah jurusan PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) di Universitas Pasundan. Tentu saja kuliahnya itu tak selesai, karena rutinitas berdagang rokok asongannya yang padat, dan tugas kuliah yang selalu saja tak pernah dia kerjakan sendiri. Dia biasanya meminta salah satu dari kami untuk mengerjakan tugas-tugas kuliahnya itu, dengan beberapa batang rokok sebagai imbalannya. Entah bertahan berapa semester kuliahnya saat itu, tapi (sepertinya) dia tak lulus.

Sisi yang lain darinya adalah cerita yang lebih banyak membuat tersenyum. Kami semua tahu bahwa pikiran kawan yang ini sedikit terganggu. Dan dia tak pernah terlalu sungkan untuk bercerita bahwa dia memang seperti itu. Dia masih rutin kontrol dan meminum obat dari rumah sakit jiwa –mungkin masih hingga sekarang, saya lupa bertanya kemarin. Di beberapa kesempatan, dia pernah bercerita tentang hal-hal aneh yang dia rasakan. Tak perlulah saya ceritakan di sini hal-hal itu apa saja. Tapi seperti itulah dia. Seorang kawan yang unik. Keunikan yang tak mungkin saya ceritakan semua di sini. Tapi yang selalu saya ingat adalah dia selalu berhasil membuat saya tersenyum. Seperti di sore entah tahun berapa itu, saat kami berdua saling mengerjai. Awalnya kami sedikit saling merasa kesal, tapi berikutnya kami sama terpingkal.

***
Acong van Bram. Salah satu cerita paling menarik dari semua. Diajarkannya saya untuk selalu mencoba merasa senang di tengah semua hal-hal rumit yang terus berlangsung dan memang tak pernah bisa terhindar.
Bandung, 15 Oktober 2013

Minggu, 13 Oktober 2013

Foto dan Sebuah Cerita


Hampir dua jam lebih tadi, saat saya belajar memotret dengan seorang kawan yang sangat menyenangkan. Lokasinya beberapa, tapi umumnya kami hanya mondar-mandir di sekitaran Gedung Isola yang legendaris itu. Kami mulai pelajaran hari itu dari kolam kecil di muka gedung itu hingga pelataran sisi lainnya yang tak kalah gemilang. Saya memotret beberapa, tapi sepertinya memang belajar itu perlu proses. Belum terlalu bagus memang hasilnya, tapi cukuplah membuat saya merasa senang.

Di satu kesempatan yang asik, foto ini diambil oleh kawan tersebut. Saya sampaikan kepadanya, saya suka foto ini. Saya suka sekali bentukan airnya yang terbentuk. Meski sayangnya, ada tiga anak perempuan yang secara tak sengaja tertangkap sebagai latar di belakangnya. Sedari tadi saya berpikir keras tentang bagaimana menghilangkan latar anak-anak ini. Karena saya pikir mereka “mengganggu”. Bolak-balik, saya coba crop, blur-kan, atau apa saja, hingga mereka, bagaimana saja caranya, jadi tak terlihat atau setidaknya tersamarkan.

Hingga akhirnya saya seperti terbangun. Bertanya sendiri: “mengapa saya harus menghilangkan mereka?”. Toh memang aslinya mereka ada di situ saat foto ini diambil. Dan bila saya menyukai foto ini, kenapa saya tidak terima saja semuanya sebagai sebuah cerita yang lengkap. Saya tersipu sendiri. :)
Maaf adik-adik, saya salah tadi-tadi. :)
Bandung, 13 Oktober 2013

Madu-madu


Melihat gambar ini, dan tiba-tiba teringat puluhan pengalaman silam. Terjadinya mungkin akan dimana saja, tak pandang waktu juga siapa. Tapi akhirnya yang tersisa hanya beberapa hal saja. Salah satunya mungkin seperti cerita singkat yang dibagikan oleh seorang kawan di siang teriknya Cikarang dan belasan mobil-mobil yang melintas. Berkisahlah dia tentang seorang kawannya yang lain yang, anehnya, tak pernah kenyang. Yang semakin banyak ia memakan semua, semakin lapar pula yang ia rasa. Hingga akhirnya ia ingin berhenti, tapi sayangnya sudah terlalu terbiasa untuk terus merasa lapar. Bingung kan ya? Atau sebuah cerita yang lain lagi. Saat sendiri memainkan makanan yang sebenarnya bukan punya saya, meski sepenuhnya sadar bahwa itu benar bukan milik, tapi saya tetap saja. Hingga akhirnya saya beruntung untuk merasa salah sendiri, saat melihat seorang kawan yang lain dengan asik menahan rasa lapar di tengah gelimang makanan milik orang lain yang ia jaga dengan segenap senang.

Ah memang ya. Hidup itu tentang berusaha menjalani sesuatu dengan nilai-nilai kebaikan. Tak pernah mudah memang. Tapi berusaha dengan segenap sungguh, selalu saja berimbal rasa tenang dan kecukupan. Mau apa lagi?
Bandung, 13 Oktober 2013

Jumat, 11 Oktober 2013

Ternyata Benar!

Tiba-tiba terpikir untuk mengunggah tulisan ini di tengah malam yang ini. Mangga. :)
Cikarang, 12 Oktober 2013
***
Ternyata Benar!

Ternyata benar!
Saat 1.000.000 langkah kakimu kau tinggalkan di ratusan persinggahan, belumlah semua hal berhasil kau rekam dalam bahasa mata dan ingatan.
Masih lupa terbawa kadang, atau mungkin tercecer di bus yang kau gunakan dalam perjalanan pulang.
Karena terlalu ringan melangkah, belum mengkaji dengan teliti.

Ternyata benar!
Jiwamu diuji saat pemahamanmu dibenturkan realitas kekinian.
Terlalu naif bila harus berlari, pun terlalu sungkan untuk duduk dengan cerdas di forum debat, panel, diskusi.
Mungkin pula berpuas saja melihat dari kejauhan, mencuri hikmah dari kesalahan.
Tapi tetap memilih, meski ragu juga malu-malu.

Ternyata benar!
Mencoba mengembalikan nilai-nilai luhur bukanlah dengan menyatukan 1.001 kitab berjubel.
Bukan pula dengan pemaksaan keinginan yang buta untuk menjadi landasan berpikir bagi yang lain.
Tapi perjalananmu mengajarkan nilai toleransi dan ketegasan yang sama ramah.
Menggambarkan kesetimbangan dinamika salah dan benar dengan jiwa besar.

Ternyata benar!
Kedewasaan berpikir itu bisa kau temukan dalam babak.
Dengan membaca baik-baik pengalaman dengan waktu yang sempurna.
Dengan ketelitian mengaji dalam kesederhanaan.
Garut - Bandung, tengah 2009

Kamis, 10 Oktober 2013

Singaparna, Tasikmalaya

Kelapa dan siluet sore Singaparna
Tiga hari itu asik sekali. Saat pagi pertamanya kami buka dengan raung tangis Sabian di awal-awal. Sabian Ananta Putri, begitu nama lengkapnya. Ya, malam itu saya menginap di kontrakan salah seorang kawan baik di daerah Cicarita, Bandung. Tempat dia beserta istri dan bayi perempuannya tinggal di waktu itu, Agustus 2008. Masih sedikit mengantuk pagi itu, saat istrinya bawakan kami dua gelas kopi susu panas. Lanjutnya kami mengobrol sebentar, lanjutkan obrolan seputar musik yang belum selesai dari tadi malam. Ya, kawan yang ini memang sangat menyukai musik, dia piawai memainkan drum, dan itu juga sebab anak perempuannya diberi nama Sabian, salah satu merk ternama dari produsen drum. :D

Lepas berpamit, dengan motor matic putih itu, kami memulai perjalanannya. Singgah sebentar untuk nikmati sarapan di pasar Geger Kalong, kami mulailah menuju tenggara jauh. Kami benar tak diburu waktu. Dengan Singaparna - Tasikmalaya jadi tujuan, kami berjalan pelan-pelan. Tak kurang dari 7-8 kali berhenti istirahat, kami menikmati perjalanannya dalam tawa yang riang. Saya masih ingat, Garut menghabiskan paling banyak waktu kami di perjalanan itu. Kadang baru 10 menit berjalan, kami sudah berhenti lagi. Ah senang sekali. Hingga akhirnya siang menjelang sorenya kami tibalah di satu daerah perkampungan yang sangat ramah. Disambutlah kami oleh pemuda-pemuda sebaya di kampung situ, diajaknya kami habiskan sore bercengkerama di warung kopi yang menyenangkan. Sebelum akhirnya rumah seorang saudara dari kawan yang tadi jadi tempat berlabuh kami malam itu.

Saya mengingat kampung itu dari petak-petak kolam yang banyak, baris pesawahan yang berlomba dengan jalan-jalan kampung yang sepi, dan tegak kelapa julang menjulang. Menikmati segar kelapa mudanya yang beberapa, sambil melihat sore dan dialog-dialog yang asik dan riuh. Saat di penghujungan akhirnya jernih pancuran di atas kolam tengah pesawahan itu membasuh semua rasa letih. Saya masih ingat betul, foto “terbuka” saat mandi di bawah langit itu jadi bahan tertawaan kami semalam-malam. :) Juga saat keesokan harinya tangga Galunggung menyambut kami di hadapan. Hingga turun juga ke kawahnya yang tenang dan berkelok. Seorang kawan yang lain mencuri beberapa tangkai jagung di sekitar tadi, kami bakar di bawah kawahnya, santaplah hidangannya menghadap pulau di tengah kawah yang misterius itu dalam kabut-kabut tebal yang turun menyambut.

Pulang ke Bandung bukanlah hal yang menyenangkan saat itu. Saya masih terlalu betah menikmati hujan di sore Singaparna yang memukau. Berikut giliran angin malamnya yang asik, saya mengenal kawan-kawan di sini. Berjanji saat itu untuk nanti berkunjung kembali, tukar cerita lagi. Yang sayangnya sampai saat ini masih belum, tapi bukan masalah. Nanti saya datang lagi, berbagi tawa kembali. :)
Cikarang, 11 Oktober 2013

Situ Patenggang

Tiba-tiba saja, di awal malam yang tadi, saya teringat danau itu. Salah satu tempat yang saya sukai di waktu yang silam. Sebuah danau cantik di kaki Gunung Patuha, namanya Situ Patenggang (Patengang, Patengan). Kalau tak salah ingat, dari cerita masyarakat setempat, nama danau ini berasal dari bahasa sunda pateang-teang, atau “saling mencari”. Legendanya bermula dari kisah cinta yang tak berjalan mulus antara Kian Santang dan Dewi Rengganis. Menangislah mereka, hingga terbentuklah danau ini. Juga di salah satu titiknya ada Batu Cinta, tempat dimana konon akhirnya keduanya bertemu dan tumpah asmara. Ceritanya kini, bila pasangan kekasih singgah di sini, maka cinta mereka tak akan mudah hilang. Ceritanya begitu, silahkan berkunjung bagi yang niat mencoba, :D

Terakhir saya berkunjung ke sini kalau tak salah ingat awal 2011. Saat itu saya menemani kawan-kawan mahasiswa angkatan 2010 kuliah lapangan di sini. Saya tak terlalu ingat detail kuliah lapangan kami waktu itu, tapi saya jelas masih ingat apa yang saya lihat di situ waktu itu. Kami sampai di danaunya sekitar jam 9 pagi, selepas perjalanan hampir 3 jam dari Bandung. Sambil memperhatikan mahasiswa yang sedang bekerja, saya menikmati paginya. Asik sekali. Duduk bersandar di bawah teduh pinus raksasa di teras danau. Hingga saat siangnya mendung tebal mengunjungi kami disini, dan kabut tebalpun turunlah sepekat-pekat. Tutupi muka danaunya sampai penuh, tapi semakin cantik. Dan saat akhirnya hujannyapun turun satu-satu hingga ribuan, kami berteduh di bawah saung kecil pinggir danaunya yang ramah. Kami menunggu pulang.

Situ Patenggang. Kabarnya kisahnya jadi sedikit biru saat akan pulang meninggalkan. Setidaknya menurut seniman senior tanah ini seperti itu. Tapi saya pikir mungkin memang benar juga. Mungkin hanya sebagai pengingat saja biar nanti ingatlah untuk datang lagi ke sini, berkunjung lagi. Ingatlah beserta dingin-segarnya bandung selatan di helaan nafas dari dulu-dulu.
Cikarang, 10 Oktober 2013

Rabu, 09 Oktober 2013

Di Antara Yang Lain

Saya selalu berpikir bahwa saya adalah seorang yang berbeda. Saya tak benar mirip dari kebanyakan yang lain. Itu dari cara berpikir, bertingkah laku, menjawab, gesture, tertawa, mendengarkan. Ya, begitu. Saya rasa beberapa teman akan setuju bahwa dimanapun, saya tak banyak dipengaruhi, saya mempengaruhi. Bukan pula berarti saya tanpa toleransi, malah saya pikir saya sangat bertoleransi. Ya, menurut saya karena itulah saya bisa mempengaruhi. Hingga saya lebih mudah diingat karena ke-khas-an bertingkah-laku, hingga saya didengar karena cara saya mendengarkan.

Saya selalu berpikir bahwa saya adalah bagian dari orang kebanyakan. Saya senang membaur dengan yang lain. Saya senang untuk bisa merasa seperti yang dirasakan oleh kebanyakan orang. Saya akan dengan senang berjalan ke arah utara, bila kebanyakan orang menuju ke sana. Saya akan dengan senang hati mengajak kekasih duduk malam minggu di taman pinggir jalan kampung itu, bila muda-mudinya memang sedang ramai nikmati suasana di situ. Dan dengan senang hati pula saya berjalan kaki dengan para buruh yang dikejar masuk shift malam dalam bergegas di bawah sinar lampu-lampu penerang jalan.

Saya bukan pengikut. Saya akan berjalan ke utara, saya duduk di taman itu, saya jalan bergegas di suatu malam, tapi saya benar tak mengikuti. Saya senang mengetahui apa yang dilihat oleh kebanyakan orang, dan saya akan menilainya sendiri. Seperti saat menuju Pantai Selatan, dan para tetua menyarankan untuk tidak berpakaian hijau karena, katanya, akan dibawa pergi oleh Nyi Roro Kidul ke istananya di pedalaman lautan. Dan saya tak akan memakai baju hijau di Pantai Selatan karenanya. Bukan karena saya percaya kleniknya, tapi karena saya menghormati kepercayaan mereka. Bila mereka bercerita bukti-bukti kleniknya, maka saya akan mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Tapi benar, saya tidak berpakaian hijau hanya karena saya mau dan saya pikir itu bukan hal yang buruk. Bila memang tak suka, saya tak akan terlalu segan untuk mempengaruhi yang lain beralih menukar arus, atau sendiri.

Saya suka membaur. Saya tak pernah melebur. Saya tak terlalu sukar ditemukan, di dalam sepi dan keramaian.

Untuk seorang kawan di jauh sana yang senang bertanya tentang hal ini. Selamat malam dari sini. Salam hangat. :)
Cikarang, 9 Oktober 2013

Selasa, 08 Oktober 2013

Baris Tawa Bawah Albasia

Sore di langit albasia hari itu
Setelah melalui hari itu dengan cerita yang asik, akhirnya saung di tengah kebun albasia kecil-kecilan itu jadi tujuan di awal sorenya yang cerah. Bersama seorang kawan baik yang sangat senang tertawa, saya menjalani harinya. Hingga akhirnya langkah kami benar sampai di bawah teduh baris albasia, dan seduh kopi-kopi yang masih panas. Membuka sedikit perbekalan dan seorang kawan yang lain tiba-tiba saja mampir sejenak memberi kami makanan seadanya lalu pergi lagi. Itu tape ketan hitam, satu sisir pisang ambon, aneka kerupuk, dan dia pergi lagi. Saya tersenyum melihatnya, kiranya rejeki itu datang dari cerita-cerita yang tak terduga memang. Selepasnya pergi, saya melamun sejenak. Untuk kemudian tersadar dan bangun lagi saat tawa si kawan baik memecah sore di sini. Kami bicara lagi.

Saya pikir saya suka bercerita dan mendengarkan, dan tentang apa saja. Terlebih dengan kawan yang ini. Saya sangat suka mendengar dia menertawakan saya sampai terpingkal. Juga senang saat dia mendengarkan cerita saya tentang apapun. Kadang penting, kadang sama sekali tidak, tapi saya pikir dia menganggap itu bukan masalah, jadi saya senang-senang saja. Bikin saya semakin senang bercerita. Atau mengingat cerita-cerita jenaka dulu saat kami masih jauh lebih muda dari sekarang ini. Kami berlomba saling menertawakan. Seperti saat ini, saat sore yang ini sudah hampir masuk di penghujungan, dan kami masih duduk bersantai mendengar jerit jangkrik yang mulai terbangun serta desau angin sore yang mulai sepi menggesek dedaunan. Kami masih tak putus cerita, seperti lalu takjubnya dia melihat tangkai dedaun albasia mulai menutup, seperti layu, padahal tidak. Kemudian dia berkomentar, “wah canggih sekali tanaman ini!”, saya tertawa. Hingga detik berikutnya kami mulai merasa hari sudah terlalu sore. Kami melangkah juga, pulang ke rumah.
Bandung,6 Oktober 2013

Minggu, 06 Oktober 2013

Gedung Teropong – Taman FPEB UPI

Taman FPEB UPI, tempat Gedung Teropong dulu berdiri
Duduk di sini lagi setelah sekian lama. Di hadapan sebuah lokasi dimana dulu Gedung Teropong UPI diam berdiri, sedang sekarang berganti dengan sebuah taman kecil dengan tulisan FAKULTAS PENDIDIKAN EKONOMI DAN BISNIS. Ah. :) Menghirup udara malam sedalam-dalam di bawah gagah Kisabun yang selalu megah dari dulu-dulu ini. Saya berdiam saja bersama dua orang kawan yang asik sekali obrolkan hal-hal berbau filsafat, yang saya sendiri tidak terlalu paham mendengarnya. Tapi benar bukan itu tujuan saya datang ke sini. Saya hanya datang untuk sekedar berkunjung ke satu tempat dimana saya dulu biasa habiskan hari-hari belajar memperhatikan. :)

Saya selalu mengingat tempat ini sebagai salah satu tempat terramah yang pernah saya kunjungi. Di sini saya pernah mengenal banyak kawan yang beragam. Beragam asal, beragam agama, beragam cita-cita, bukan masalah. Di pagi, siang, sore, dan malamnya kami belajar banyak hal, menikmati banyak hal, berpikir banyak hal, mendengar banyak hal. Meski kini bangunan itu nyatanya tak ada lagi, sesekali saya tetap saja melihatnya bila kebetulan saja sedang melintas. Saya tetap melihat plang JANTERA UPI di atas pintu masuknya yang lebar, atau melihat wall kuning tua dan pointsnya yang beberapa sudah hilang di pinggir sana, atau asap putih yang tengah asik beterbangan dari api yang membakar dedaunan kering Kisabun di depannya. Sesekali saya masih melihat semua itu dengan jelas, seperti saat ini.

Dan tibalah malam ini, saat dengan bersama kawan baik yang ini, saya duduk di bawah rumput malam di bawah teduh pinus dan cahaya malam. Saya merekam sekitar, mendengar aliran air dari sungai kecil yang gemericik, giliran sivitas kampus yang seperti tak pernah lelah hilir-mudik di hadapan, juga lampu-lampu pekerja proyek yang kini entah tengah membangun apalagi. Ya. Kampus kami tengah bergiat membangun belakangan ini, biar lebih baik dan menterenglah nantinya. Digantikannya bangunan-bangunan tua yang dianggap sudah tak layak lagi, dileburkannya hal-hal terdahulu menjadi serba baru. Seperti yang ini, waktu gedung itu tersulap jadi taman kecil penghias dan sebuah kursi kayu yang mulai dimakan cuaca.

Sekilas-balik, saya mengingat sebuah tulisan yang dulu pernah saya tulis menjelang gedung itu akan dirobohkan di penghujung 2009. Kabarnya dulu kawan-kawan akan menerbitkan sebuah buku tentang gedung ini, tapi sepertinya itu belum sempat. Hingga tulisan ini akhirnya saya unggah saja sekarang, dari pada dia hilang jadi terlupa.
Bandung, 5 Oktober 2013

***
Sebuah Reuni
(Tribute Teropong)

Selamat malam kawan-kawan lama!
Saat malam ini aku tiba sedikitlah terlambat dari niatku kemarin-kemarin.
Tapi bukanlah suatu masalah karena kedatangan ini sepenuh hati.
Dengan itu, aku yakin cukuplah untukku, cukup pula untukmu.
Untuk memulai reuni hati, senandung ini-itu.

Selamat malam kawan-kawan lama!
Untuk membuka obrolan-obrolan sederhana yang sarat hikmah, nilai-nilai.
Antusiasme terbuka tukar berita, barter cerita, transaksi pengalaman.
Meski tak perlulah terlalu formal.
Karena yang terpenting bisalah dimengerti dan terpahami.

Selamat malam kawan-kawan lama!
Menaburkan pelajaran hidup yang kian panjang tak ada habisnya.
Menuntut kita memilahnya dari sekedar guyon khas kawan lama, kilasan memori bersama serba semua, eksplisit kalimat penuh pengharapan juga doa.
Semoga nanti sampailah pada pendewasaan tingkah laku dan pola pikir.

Selamat malam kawan-kawan lama!
Rehat sejenak tuan rumah kini tawarkan pesta sederhana ala kadarnya.
Biar bisa lepas sejenak semua mimpi-mimpi, keinginan, dan cita-cita.
Berganti hidangan nasi liwet khasmu dulu, sambal pedas, kangkung, aneka gorengan.
Bikin semua berpuas diri, puas dahaga, juga senyuman.

Selamat malam kawan-kawan lama!
Untuk kenduri nilai yang super segar.
Menukarkan suaka cinta dan masa depan.
Kiranya bisa betahlah hingga nanti saat semua serba jauh, sulit bertemu.
Semoganya masih bisa diingat dalam kilasan senyum dan kejujuran.

Selamat malam kawan-kawan lama!
Untuk guyuran angin dari utara yang menarikan Kisabun di atas, tempat saat ini kita berlindung dan belajar.

Sebuah penghormatan terakhir untuk Gedung Teropong XX Astronomi UPI
Bumi Siliwangi, pertengahan 2009

Kamis, 03 Oktober 2013

Belajar Memotret

Shutter speed 1/160, F 4.5, ISO 400. Asal-asalan saja dulu, namanya juga belajar, :p
Sore yang ini, selepas jam kantor habis di penghujung hari. Seperti biasa, saya keluar dulu dari komplek kantor untuk sekedar menghirup sore dan seduhan kopi yang biasa. Melihat sore dari sudut ini, sudut yang biasa sebenarnya. Lalu teringat, bahwa hari ini saya membawa kamera Sony Alph*a Nex-5T putih yang saya beli beberapa hari yang lewat di kota itu. Dengan lensa standar 16-50mm, saya pikir cukuplah buat saya belajar tentang fotografi. Tujuannya seperti inilah, untuk mengawetkan beberapa ketika yang saya lihat dan lantas terpikir untuk menulis. Ah, memang sedikit berlebihan bila saya membeli barang semahal ini hanya untuk melengkapi cerita-cerita saya yang biasa-biasa saja. Tapi saya pikir tak ada yang salah juga.

Seperti yang ini. Saat saya belajar mengoperasikan kamera ini dengan setting manual. Sebenarnya saya belum terlalu paham tentang pengaturan diafragma, shutter speed, ISO dan tetek-bengeknya ini. Tapi ya namanya juga belajar. Saya pikir, jika saya benar belajar, nanti saya mungkin bisa mengerti. Semoganya benar bisa begitu. Tapi kalaupun tidak, saya pikir juga bukan masalah. Bukankah belajar bukan berarti akhirnya harus selalu berhasil sepenuhnya? Ya. Saya pikir bukan begitu.  ;)
Cikarang, 3 Oktober 2013

Rabu, 02 Oktober 2013

Ditilang

Barusan selesai mendengar Doel Sumbang nyanyikan lagu baladanya berjudul “Polisi Noban”, saya jadi teringat kalau hari minggu kemarin saya ditilang polisi di Bandung. 

***

Awal sore itu dengan mengendarai motor pinjaman dari seorang kawan di Geger Kalong, saya menuju Jalan Purnawarman. Perjalanannya sudah sampai di Cihampelas, dan saya baru tersadar ada yang terlupa. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk pulang lagi dulu ke Geger Kalong. Di salah satu simpang jalannya, saya berbelok ke kiri. Tiba-tiba seorang polisi keluar dari tempat persembunyiannya di balik pohon kota dengan setengah melompat. Sigap sekali dia menghentikan laju motor saya yang perlahan. Saya benar tertawa waktu melihat polisi tersebut tiba-tiba keluar dari balik pohon itu, ahahaa, benar-benar salah satu tingkah paling jenaka dari polisi kami, :D. Singkatnya saya ditilang, karena di belokan itu belok kiri tak bisa langsung.

Saya diminta menemui seorang polisi lain yang sedang duduk di bawah dekat taman yang terlindung, sepertinya dia di sini bertindak sebagai administrator (baca: kasir :D). Ya, seperti biasa, polisi tersebut menyebutkan kesalahan saya dalam pasal-pasal. Saya diam saja memperhatikan. Dia mengambil buku tilang, seperti mau menuliskan surat tilang, tapi benar tak jadi-jadi karena saya diam saja. Sampai akhirnya dia bertanya sendiri, “ini mau damai di sini atau ikut pengadilan tanggal 11 Oktober?”. Saya jawab, “Damainya berapa pak?”. Dengan bijaksana dia berucap, “saya kasihan aja ke kamu, 35 ribu, cukup”. Saya mengeluarkan dompet, dan tiba-tiba dia menyambung, “aduh mas, coba ngeluarin dompetnya sambil duduk aja, ga enak diliet orang lain dari jalan”. Saya ikuti, duduk sambil lanjut memeriksa dompet, ”Pak, saya cuma bisa bayar 15 ribu aja, sisa uangnya mau saya jajanin”. Tak terlalu suka, dia menjawab dengan selidik “saya ga percaya kamu ga punya uang (sambil memperhatikan saya dari ujung kaki ke ujung rambut)”. Saya jawab, “Ya sudah kalau tidak percaya mah Pak”. Ketus dia menjawab, “(sambil menyerahkan slip tilang warna merah, :p) SIM kamu ke pengadilan!!”.

Di atas motor itu lagi saya bicara sendiri, “ah, benar sore yang bagus ya”, saya tertawa di atas laju motor ke arah barat laut, saya pelan-pelan menikmati Bandung sore yang baru saja akan dimulai. :)
Cikarang, 3 Oktober 2013

Kehabisan Nafas

Aku kehabisan nafas tadi kala tertawa di bawah urai dedaun mahoni kering yang jatuh di lantai jalan raya. Terlalu gembira melihat matahari mata-sapi di belakang sana tak sengaja tertutup awan jadi tinggal setengah. Panasnya nyata tak jadi sampai di sini. Cukup sampai di atas sana, entah tertumbuk apa hingga jadi begitu.

Aku kehabisan nafas tadi kala angin sore tanpa permisi masuk sebegitu derasnya ke dalam kepala. Jadinya berat, tak bisa leluasa bernyanyi lagi ikuti senandung orang yang bernyanyi di balik kantong seragam kantor yang kebetulan saja yang ini. Aku diam saja. Sambil melihat laju puluhan kendaraan dan pejalan kaki lalu-lalang entah mau menuju kemana saja. Entah apa lagi.
Cikarang, 2 Oktober 2013

Di Pojok Sore (3)

Sepertinya mulai hampir sebulan terakhir ini. Selepas jam kantor habis, saya akan beranjak menuju luar pagar kantor dengan menenteng segelas kopi nesc*afe classic yang pahit dan panas. Saya memang tak terlalu menyukai rasa manis di regukan kopi. Menurut saya rasa manis mengaburkan rasa kopinya jadi hambar. Jadi seperti inilah, kawan-kawan yang sesekali mampir sejenak jarang ada yang mau mencoba kopi ini, mereka sebut ini terlalu pahit. Yah, mungkin hanya masalah selera saja mungkin ya? :)

Dan hampir sebulan terakhir ini juga, saya hanya habiskan sore sendiri saja. Duduk di pinggiran pagar besi hitam redup yang kekar, di bawah pucuk-pucuk mahoni yang menghijau-muda, kiranya begitulah ritual pohon jalanan ini menyambut peralihan musim-musim. Duduklah. Saya akan lebih memilih menghadap timur, selalu begitu. Tepat membelakangi matahari Cikarang yang bulat kuning tua dihalangi awan sedikit-sedikit. Mungkin yang seperti ini yang kang Doel Sumbang sebut dengan "matahari mata-sapi" di lagu “Kali Merah”nya itu mungkin ya? :)

Saya tak pernah keberatan untuk menghabiskan waktu-waktu yang menyenangkan seperti ini sendiri. Saya tahu, saya sudah terlalu terbiasa sendiri. Dan akan mengadaptasi situasinya lebih cepat dari yang orang-orang pikirkan. Meski saya tidak pernah menyangkal juga kalau saya akan lebih senang bila tidak sendiri. Ya! Saya benar akan lebih senang untuk duduk melihat-lihat apa yang saya sukai dengan seseorang atau beberapa orang yang duduk di sebelah menemani. Tak peduli untuk hanya saling diam, atau sambil tukar bicara, sama saja. Sambil menikmati, saya tak akan mengajaknya banyak berbicara bila dia tak suka bicara, dan saya akan mengajaknya berbicara hingga dia lelah bila memang dia senang berbicara. Seperti itu. Hingga nanti akhirnya salah satu dari kami memutuskan untuk pulang dulu sekarang, maka kami akan pulang. Sudahi dulu untuk hari ini. Mungkin besok-besok disambung lagi. :)
Cikarang, 2 Oktober 2013