Jayagiri, apa kabarmu akhir-akhir ini?
Kudengar dinginmu masih seperti biasa.
Di antara kabut pagi yang biasa turun di sela dedaun
pinusmu yang ramai.
Dan risalah para pencari rantingmu yang selalu
berlomba dalam bergiat.
Sedang kau sama ramah menyapa.
Biarkan semua masukimu dalam genang cerita-cerita yang
lumrah.
Melihatmu dari jauh lewat gambar-gambar pun selalu
asik.
Kau katakan tak perlulah aku datang merayu padamu.
Dengan puluhan kata yang dirangkai kadang begitu susah
payahnya.
Karena mendatangipun tak akan jauh berbeda dari
mengingat, katamu begitu.
Tapi aku tetap saja datang memaksa, ingin bertemu.
Kau tahu, kadang aku bertanya sendiri.
Kiranya mengapa semilir anginmu tak bisa kurekam dalam
bentuk-bentuk yang nyata.
Padahal tak bosan kau sampaikan, tak perlulah aku
berkunjung untuk bersama habiskan sepanjang pagi.
Nyata tak pernah kau biarkan kubawa sedikit dinginmu
lebih jauh.
Lepas pandangan, menjelma kembali, kau sebar pesona ke
jauh-jauh.
Anehnya kau tak pernah terlalu lugas dalam jawaban.
Sengaja membuatmu semakin cantiklah dari balik tirai
mentari yang beranjak meninggi.
Buat rebahku jadi memberat, betah menunggu lebih lama
lagi.
Di atas rumputan hutan, mata-mata terpejam.
Dan seruling itu kau mainkan lagi.
Jayagiri, semoga setapak jalanmu masih tetap sama.
Semoga alir sungaimu juga begitu.
Serupa perjalanan terakhirku di penghujung pagi kala
itu.
Saat kau menyambut kedatanganku dengan aroma hutan.
Ku tasbihkan suka di tiup angin pembawa nada-nada yang
selalu saja renyah terdengar.
Cikarang, Akhir 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar