Rabu, 16 Oktober 2013

Angin-Angin Jayagiri

Jayagiri, apa kabarmu akhir-akhir ini?
Kudengar dinginmu masih seperti biasa.
Di antara kabut pagi yang biasa turun di sela dedaun pinusmu yang ramai.
Dan risalah para pencari rantingmu yang selalu berlomba dalam bergiat.
Sedang kau sama ramah menyapa.
Biarkan semua masukimu dalam genang cerita-cerita yang lumrah.

Melihatmu dari jauh lewat gambar-gambar pun selalu asik.
Kau katakan tak perlulah aku datang merayu padamu.
Dengan puluhan kata yang dirangkai kadang begitu susah payahnya.
Karena mendatangipun tak akan jauh berbeda dari mengingat, katamu begitu.
Tapi aku tetap saja datang memaksa, ingin bertemu.

Kau tahu, kadang aku bertanya sendiri.
Kiranya mengapa semilir anginmu tak bisa kurekam dalam bentuk-bentuk yang nyata.
Padahal tak bosan kau sampaikan, tak perlulah aku berkunjung untuk bersama habiskan sepanjang pagi.
Nyata tak pernah kau biarkan kubawa sedikit dinginmu lebih jauh.
Lepas pandangan, menjelma kembali, kau sebar pesona ke jauh-jauh.

Anehnya kau tak pernah terlalu lugas dalam jawaban.
Sengaja membuatmu semakin cantiklah dari balik tirai mentari yang beranjak meninggi.
Buat rebahku jadi memberat, betah menunggu lebih lama lagi.
Di atas rumputan hutan, mata-mata terpejam.
Dan seruling itu kau mainkan lagi.

Jayagiri, semoga setapak jalanmu masih tetap sama.
Semoga alir sungaimu juga begitu.
Serupa perjalanan terakhirku di penghujung pagi kala itu.
Saat kau menyambut kedatanganku dengan aroma hutan.
Ku tasbihkan suka di tiup angin pembawa nada-nada yang selalu saja renyah terdengar.

Cikarang, Akhir 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar