Jumat, 24 Agustus 2018

Langit Jingga - Perelek


Sore di sini tengah cerah-cerahnya. Sedang aku masih juga duduk berdiam di depan komputer kantor selepas mengolah data-data hasil penelitian yang kudapat seharian ini. Agar kau tahu, Nak, aku senang sekali mengerjakan pekerjaanku ini. Yang syukurnya lagi, kesenangan ini aku lakukan sekaligus untuk menghidupi kita: aku, kau dan ibumu. Menyenangkan sekali, bukan? Dan semoga berkah untuk itu semua, semoga senantiasa bahagia dan tenang-tenang kita di kesehariannya.

Seperti biasa, hari ini kulewati dengan membayangkan kiranya sedang apa kau di rumah. Melirik jam, dan aku akan memperkirakan. Ah, sepertinya kau sedang tertidur, atau, ah, sepertinya kau sedang berjalan mondar-mandir di dalam rumah, atau, ah, kau pasti sedang makan buah, atau, ah, kau sepertinya sedang bermain sambil mengoceh seperti biasa, atau apa saja. Dan hanya dengan membayangkan itu, aku jadi bahagia. Tak sabar untuk segera pulang, untuk menemani apapun aktivitas yang kau kerjakan, seperti yang biasa kita lakukan.

Tapi kau tak perlu mengharapkanku selalu ada di situ. Dan kurasa aku bahkan tak terlalu menginginkannya seperti itu. Aku sendiri ingin mengerjakan hal-hal lain yang kusukai, Nak, tentunya selain bermain bersamamu. Seperti sore ini, saat aku memutuskan untuk bermain dengan kawan-kawan kantorku di warung pojokan sana. Aktualnya, tak banyak yang kami lakukan di sana, hanya minum segelas besar teh panas, bertukar cerita tentang keseharian, bermain gapleh, atau apa saja yang membuat kami bisa tertawa bersama. Dan aku menyukainya. Hingga nanti saat malam beranjak lebih jauh, aku kembali pulang padamu juga ibumu.

Tak sabar rasanya untuk bisa mengenalkanmu pada kawan-kawanku. Agar kau tahu bagaimana ayahmu menghabiskan waktu, agar kau melihat bagaimana lepasnya aku tertawa, dan mungkin sekali kau juga akan menyukainya, siapa yang tahu. Seperti juga nanti kau akan bertemu kawan-kawanmu sendiri. Apakah kau akan merasa senang berada di antara mereka, dan apakah mereka akan merasa sama senangnya saat kau ada di antara mereka. Dan di titik itu, mungkin kau akan mengerti mengapa di sore yang ini aku memutuskan untuk tidak segera pulang menemuimu.

Beberapa hari yang lewat, salah seorang kawan terbaikku berkata bahwa ternyata waktu berjalan jauh lebih cepat dari yang dipikirkan. Kurasa aku setuju, dan hal itu kadang membuatku sangat hawatir. Terlintas apakah nanti aku akan menyesali begitu banyak waktu yang tak kuhabiskan bersamamu. Apakah kau tahu, banyak sekali waktu kuhabiskan untuk merenungkan hal itu. Kurenungkan itu di jauh malam sambil menatap lelapmu yang begitu tenang, atau saat ibumu berusaha menenangkan tangismu yang tiba-tiba.

Tak seperti ibumu, kita berdua memiliki perjalanan hidup sendiri-sendiri, Nak. Aku menantang matahari dengan tinju, sedang kau mungkin mengajaknya menari di bawah purnama. Aku memandang lautan dari balik tirai, sedang kau mungkin menyelaminya sampai ke dasar. Dan mana yang lebih baik? Kurasa tak ada, sama saja. Dan hal itu pulalah yang meyakinkanku bahwa kita tak akan kehilangan apapun dalam hidup ini, termasuk waktu. Selama kita selalu tahu kemana arah jalan pulang, tempat dimana ibumu duduk menunggu dengan tenang-tenang. Dan semuanya akan baik-baik saja.

Cikarang, akhir Agustus 2018