Jumat, 28 Februari 2014

AP 20 No 1

Malam ini tengah melihat seorang kawan asik sendiri. Tertawa sendiri dia memandang beberapa lembar kertas yang dibiarkannya berjajajar di atas lantai kos-kosan kami yang putih. Di atas lembarannya itu, tergeletak pula sekumpulan kunci entah apa saja disimpul bergantung pada sebuah potongan plastik putih bertulis kode singkat AP20/1. Ya, tadi siang dia baru saja mengambil kunci rumah barunya di Perumahan Citra Indah, di daerah Bogor timur. Dan kode tadi adalah alamat rumahnya: Blok AP 20, No. 1. Lanjut dalam semangat dan senyumnya yang lebar, dia bercerita perihal kertas-kertas itu. “Yang ini adalah surat Akta Jual Beli, yang ini adalah biaya yang harus saya bayar per bulannya, yang ini adalah surat yang akan dipakai untuk mengambil SHMnya nanti kalau semua cicilannya sudah lunas. Nah, kalau yang ini adalah jadwal dan tujuan feeder bus Citra Indah yang ke arah Blok M dan sekitarnya, dan yang ini, hmmm, saya sendiri kurang paham ini kertas apa” lalu dia tertawa sambil menunjukkan satu persatu kertas yang disebutkannya tadi. Dengan antusias saya mencermati lembarannya. Atau memperhatikan kunci-kunci yang tergeletak itu. Saya hitung, semuanya ada 7 anak kunci. Dan saya tanyakan satu-persatu: “ini kunci apa? Kalo yang ini? oh yang ini kuncinya bagus, besar”. Dia menjawab semua pertanyaan-pertanyaan itu dengan tangkas. Saya iyakan. Lalu beberapa kali menemaninya tertawa lepas adalah bagian yang paling asik. Rasanya dia senang sekali. Rasanya saya senang sekali.

Kamu tahu? Saya sangat-sangat menyukai dialog-dialog serupa ini. Untuk sekedar memperhatikan rasa senang yang sedang dialami oleh seorang kawan, ahh, saya suka saja. Itu seperti sebuah candu, yang seringkali saya dibuat mabuk di antaranya. Saya pikir, rasanya tak ada yang lebih baik dari bisa merasa seperti ini. :D

Ahahaa. Selamat, Kawan! Saya ikut senang. Saya ikut senang. ;)
Cikarang, 28 Februari 2014

Rabu, 26 Februari 2014

Malam di Ganesha

Malam di atas ITB dan bendera
Malam itu saya tiba dari Cikarang. Dengan menumpang seorang kawan yang lain, lepas menuju kota yang selalu berada di ujung mata itu. Bandung. Perjalanannya lancar saja waktu itu, dan dua jam berikutnya kami sudah sampai di pelataran sebuah masjid dengan bentuk kubah terbalik di atasnya, Masjid Salman, begitu orang-orang mengenalnya. Kami turun, saya ucapkan terima kasih kepada kawan tersebut atas tumpangannya yang menyenangkan. Lalu berjalan sebentar lewati taman di selasarnya, saya menuju utara. Dengan sekarang Ganesha jadi tujuan. Di sana seorang kawan baik sedang menunggu dengan segelas kopinya yang pasti sudah habis karena setidaknya dia sudah menunggu di situ setengah jam lebih.

Dan saya tiba. Di depan sebuah gerbang besar yang benderang. Waktu di dinding itu menunjukkan 8.12, saya menuju sebuah bangun tiang bendera yang menarik. Saya dekati. Saya perhatikan yang lama. Menatap tulisan besar di dasar tiangnya yang membulat dan besar sekali. “INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG”, begitu tulisannya berbunyi. Berikut lambang sang dewa ilmu asal India itu sedang duduk bersantai tak kenal waktu dan cuaca. Saya perhatikan warna, saya perhatikan bentuk, saya perhatikan benderanya yang sudah pulang karena hari sudah malam. Menarik. Saya pikir begitu. Hingga saya memutuskan untuk mengirim sebuah pesan singkat ke kawan yang pastinya sedang menikmati kopinya di baris lapak penjaja pinggir jalan seberang sana. Tak lama kemudian, dia datang menghampiri.

Rencananya waktu itu kami akan menuju perumahan Metro di timur sana untuk menemui seorang kawan baik yang mungkin sedang bermain dengan putranya yang tengah menginjak 7 bulan. Tapi saya pikir saat itu sudah terlalu malam untuk bertamu, hingga akhirnya kami memutuskan untuk menikmati malam di Ganesha saja. Pesankan dua gelas kopi susu, duduklah di atas gugusan batu-batu tua yang terpecah, menempel di pasir-pasir, membentuk pembatas taman yang sederhana. Melihat Ganesha yang seperti berasap, menghirup debu Kelud yang jauh-jauh datang dari timur sana. Sambil berkisah tentang cerita lewat, kami pikir ini adalah ide terbaik.

Kadang saya bertanya sendiri, kiranya apa yang membuat kawan tersebut mau menemani saya duduk di tempat ini, di tengah suasana yang sedikit aneh saat hampir semua orang berusaha untuk menghindar? Tapi pertanyaan itu tak kunjung saya ajukan, karena saya pikir saya sudah tahu jawabannya. Saya pikir, kadang kami hanya saling mengerti saja tanpa perlu terlalu banyak bertanya hal-hal yang mendalam. Ya, bagi saya pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang rumit. Walau kadang bisa saja selesai dengan jawaban “karena saya mau!”, tapi saya pikir ada hasil olah pikir yang rumit untuk bisa menghasilkan jawaban serupa itu. Seperti pertanyaan lain: “kenapa tetap meminum kopi ini walaupun tahu kopinya penuh dengan debu Kelud?”, dan lantas menjawab “pusing amat sama debu, tinggal minum aja kok susah bener!”. Saya sepertinya tak sepakat bila ada orang lain yang beranggapan bahwa jawaban itu adalah jawaban yang tak berpikir panjang. Bagi saya itu adalah jawaban dengan kerumitan berpikir yang mengular. Walau saya tahu sebagian orang mungkin tak mampu berpikir sejauh itu.

Kami diam dan tertawa lepas bergantian. Sambil memeragakan ceritanya biar terkesan lebih hidup, kami saling mendengarkan. Seperti juga saat kawan tersebut berkomentar, “ah, kita mah jangan membahas terlalu dalam, A, nanti pusing. :D”. Kami tertawa hingga malam beranjak larut. Dan di antara jatuhan debu Kelud yang mulai berkurang, kami mulai memikirkan perjalanan pulang menuju barat laut.
Debi Krisna asik difoto. :D
Cikarang, 26 Februari 2014

Senin, 24 Februari 2014

Di Pojok Sore (7)

Jalan Industri Selatan 5, Jababeka 2, Cikarang
18.34. Saya masih di kantor. Kawan-kawan sudah pulang. Dan sendiri di ruangan besar ini sebenarnya membuat saya sangat nyaman. Sambil mendengarkan Alexi Murdoch nyanyikan lagu-lagu balada kontemplatifnya yang khas dan detak jam yang teratur, saya tercenung sendiri. Seolah dipaksa memikirkan sejenak apa yang sedang saya lakukan sekarang ini, dari mana saja kemarin-kemarin. Ah, segar sekali. Saat melihat dari balik tirai pelindung menuju langit gelap di luar sana, saya tahu. Malam segera tiba.

***
Usia saya akan menginjak 28 tahun sebentar lagi. mungkin hampir selama itu juga saya melihat sore di antara tiup-tiup angin yang datang silih berganti. Seperti sore yang tadi. Saat bersama dua kawan, kami dermakan sore bicarakan tentang apa yang kami lakukan, apa yang kami rencanakan, apa yang membuat kami tertarik. Meski kadang saya berpikir bahwa mungkin kami berpikir terlalu jauh. Bahwa nyatanya hidup tak pernah sejauh itu. Tapi tetap saja, saya suka bicarakan itu. Saya tak masalah bila ternyata itu salah. Biarkan saja.

Atau di beberapa hari yang lewat. Saat di awal suatu sore, bercengkrama dengan seorang kawan lama di Kota Kembang itu. Sepertinya kami terakhir kali niaga cerita di kisaran sepuluh tahun yang lewat. Saat seperti biasa dulu kami berdialog tentang apapun di atas sebuah rumah panggung tinggi di salah satu sudut kota kecil kami. Saya dengarkan kemarin dia bicara singkat di antara teh tawarnya yang hampir tandas, saya perhatikan tawanya yang tak berubah sedikitpun dari apa yang saya ingat dulu. Saya tertawa sendiri sebenarnya, menyadari siapa kami hari ini. Siapa yang tahu, bila setelah waktu yang begitu lama, kami bicara lagi tepat seperti dulu, meski kini tempatnya berbeda. Ya, saya pikir begitulah hidup. Kita tak pernah tahu apa itu waktu dan kejadian, kita hanya berjalan di antaranya.

Dua kawan Office Boy datang menyapa tepat di detik ini. Saya balas senyuman mereka sebiasa mungkin, dan biarkan mereka melanjutkan pekerjaan yang ingin mereka lakukan. Saya pikir sebenarnya sayapun tak jauh beda. Seperti saat mengetik tulisan sederhana ini, saya melakukan apapun yang saya perlukan. Seperti juga laju sebuah truk yang lewat di depan kantor kami tadi, dia berjalan dalam sebuah kejadian yang diperlukan. Terserah saya mengerti atau tidak, tapi ya seperti itulah. Persis juga seperti saat melihat Bandung dari sisi timurnya yang tinggi, dan celoteh khas seorang kawan baik di sore cerah hari kemarin.

***
19.13. Waktu dalam satuan tahun adalah jeruk yang saya makan hari jumat kemarin. Bagiannya adalah sari-sari yang saya pikir manis dan senang sekali. Dan kejadian adalah bulirnya yang sebenarnya sama, meski tak sesama itu juga, saya pikir begitu, maka jadilah cukup seperti itu.
Cikarang, 24 Februari 2014

Kamis, 20 Februari 2014

Warna-warna

Braga. Meja dekat Jendela
*
Kisahmu itu seperti warna.
Beragam yang lain senang melihat.
Kuasnya menari, warnanya apa saja.
Coraknya tak tentu, beberapa mengerti.

*
Kamu berjalan, pematang sawahnya panjang dan hijau.
Sebentar berhenti, pejamkan mata, duduk ke timur.
Buka lepas memandang penjuru, lalu dutiup.
Inderamu merasa, pikirmu terlentang.

*
Kaba di belakang sana.
Burangrang-Manglayang tak kemana-mana.
Seperti sebuah delman yang berjalan, padahal tidak.
Gelak riang kawan sepermainan.

*
Seorang gadis hampirimu, tersenyum, berputar dia.
Kamu melihat dalam tegun.
Dibelainya kepalamu lekat-lekat.
Kamu lepas jatuh tertidur.

*
Ada salju-salju yang turun.
Dan cahaya malam yang perlahan.
Sebilah lengkungnya terselip d balik genggam.
Dagunya merunduk, matanya sembunyi.

*
Waktumu itu seperti kanvas.
Di seling ibu memanggil biar berhenti.
Atau hujan yang tiba-tiba datang.
Cikarang, 21 Februari 2014

Selasa, 18 Februari 2014

Di Pojok Sore (6)

 

Jam kantor sudah lepas 30 menit. Saya berjalan turun dari ruangan besar di atas sana. Sebuah bangunan tiga lantai dengan kombinasi warna biru muda dan putih menghias di bagian luarnya. Menuju sebuah undak pembatas trotoar yang sederhana, tempat biasa saya duduk, lepaskan lelah, habiskan sore dan hari ini. Duduk bebas, beberapa tegukan kopi, menyesap tembakau yang tak banyak, diamlah mengamati sekitar. Dan pertanyaan-pertanyaan itu datang lagi. Memandang gedung biru muda-putih itu, saya berdialog sendiri.

Adalah sebuah pertanyaan yang selalu saja datang berulang. Pertanyaan sederhana yang susah-susah-mudah untuk dijawab. Ya, banyak susahnya, sedikit mudahnya. Meski akhirnya saya akan selalu dibuat gelisah karenanya, tapi entah kenapa saya tetap selalu senang pada pertanyaannya. Itu adalah saat bagian dari diri saya bertanya: “sedang apa kamu di sini?”. Saya tak pernah bisa mudah langsung menjawab. Saya melihat sekeliling, lagi, membentur bangunan besar itu, juga angin-angin yang membawa banyak kabar dari mana-mana. Biasa lalu menjawab: “ya, saya sedang di sini saja”. Dan dialognya tumbuh semakin menarik.

Menghirup sore di lewatan mobil karyawan dan truk-truk besar yang sesekali adalah sebuah latar. Belum lagi puluhan pekerja wanita muda yang berhamburan keluar dari pabrik seberang kantor, beserta beberapa penyedia jasa ojek yang sabar sekali menunggu. Sering kali saya bertanya pada mereka, bahwa kiranya sedang apa mereka di sana? Tak akan ada yang menjawab. Terang saja begitu, toh pertanyaan itu hanya saya ucapkan di dalam hati.

Matahari di belakang sana sudah mulai pulang. Suasananya jadi lebih sendu sekarang. Melihat garis-garis cahaya merah-kuning-putih dari lampu-lampu kendaraan yang entah tengah menuju kemana saja. Atau melihat bendera Merah-Putih yang sedang diturunkan oleh kawan-kawan sekuriti. Saya hampiri, bertanya kenapa benderanya diturunkan sekarang kalau nyatanya besok pagi akan dinaikkan lagi. Kawan tersebut tertawa mendengar pertanyaan itu. Saya ikut tertawa. Sudah. Begitu saja.

Lagu-lagu di headphone ini terus berputar, nyanyikan apa saja yang ada di dalamnya, kadang saya tak terlalu mengerti juga kiranya lagu ini ceritakan apa. Atau sesekali melihat tembakan sinar menuju lambang kantor kami ini di atas sana, saya semakin gelisah. Mengingat semua hal yang sedikit-banyak sama, memperhatikan beberapa kawan yang asik mengobrol di pojok situ entah tentang apa, saya menarik nafas panjang. Kiranya cerita hidup adalah persinggungan banyak kisah sederhana yang kadang bertumpang-tindih di dalam dimensi waktu dan kejadian. Seperti juga turun naiknya bendera tadi. Melihat sore Cikarang dan renungannya yang panjang, membentur kilat cahaya redup dan azan magrib yang mulai berkumandang di tengah perkampungan di barat sana. Ini adalah sore yang panjang.
Cikarang, 18 Februari 2014

Selasa, 11 Februari 2014

Berkawan dan Cerita Joseph

Kayu, bambu, tali di Kepulauan Seribu
Memang cara orang-orang dalam berekspresi itu bermacam-macam ya. Kadang bisa membuat orang lain hilang antusias, atau bahkan membuat dirinya nyaman sendiri. Tapi memang seperti itulah. Maka sebagai lawan bicara, maka sebaiknya kita coba saling mengerti saja. Bila tak bisa untuk saling, maka salah satunya saja saya kira juga sudah cukup.

Sepengalaman saya, berdialog adalah awal dari suatu perkawanan. Dan saya sangat menyukai memulai sebuah perkawanan. Maka tak heran bila saya sangat suka berdialog karenanya. Dialognya itu tentang apa saja, apa saja yang salah satu dari kami suka. Seperti memulai cerita mengenai silsilah keluarga dari seorang kawan bernama Joseph di sebuah warung kopi di depan terminal itu. Saya baru pertama kali itu bertemu dengannya. Dan langsung menyukainya karena cerita silsilah itu. Berbatang-batang rokok dan dua gelas kopi saya tandaskan, dan kami mulai saling mengenal. Kami berbicara lebih banyaklah saat itu, layaknya dua orang kawan baik tengah niaga cerita lepas.

Sudah hampir 5 tahun mungkin dari pertemuan kami di depan terminal itu. Saya masih bisa mengingat jelas ceritanya yang berapi-api itu, dan coba terus mengingat bagaimana raut mukanya yang ramah dengan tawa yang khas. Saya selalu coba mengingatnya, agar nanti saat kami bertemu lagi, saya akan mengenalinya lebih dulu. Dan saya juga selalu yakin bahwa nanti kami akan bertemu lagi. Bila nanti benar terjadi, saya akan memintanya untuk bercerita sekali lagi tentang silsilah keluarganya itu. Saya suka mendengarnya. Biar saya tak lupa juga.

Dan malam ini. Ingatan saya tentang Joseph dipacu oleh satu cerita sederhana yang lain. Untuk sekedar membuat saya semakin tersadar, bahwa saya memang sangat menyukai dialog. Meski tak selalu juga saya menemui orang-orang yang bersahabat, tapi saya selalu berusaha untuk begitu. Hah, kamu. Sebenarnya saya hanya ingin berkawan. Saya sama sekali tak berkeberatan bila ternyata kamu tak mau. Meskipun akan jadi sebuah kebohongan bila saya katakan saya tak sedikit berkecil hati saat ini, tapi tenang saja, saya akan menemukan Joseph yang lain besok atau lusa.

Mungkin tulisan ini tak terlalu mudah dipahami, tapi biar aja. :)
Cikarang, 11 Februari 2014