Senin, 29 Juli 2019

Malam di Jababeka - Sebuah Penutup


Jumat, 26 Juli 2019
Mentari di penghujung Juli tengah terik-teriknya, juga lambai dahan mahoninya yang kini gagah menahan angin-angin yang lewat, tetap diam saja dalam anggunnya. Dan sepanjang 8 tahunan belakangan, rasanya aku tak pernah merasa segelisah ini. Berjalan gontai seorang diri dari warung kopi tempat aku biasa habiskan siang atau malamnya yang terasa asik sekali, untuk sekedar tandaskan segelas teh manis panas yang disajikan sepenuh hati oleh pemiliknya yang ramah, atau sekedar melihat kawan-kawanku tertawa selepas mungkin di tengah permainan hitung-berhitung yang biasa kami lakukan. Tapi saat ini rasanya aku begitu tak penuh, dan sepertinya semua kawan-kawanku bisa merasakannya. Sebagian berusaha menanyakannya, sedang lainnya memilih tidak. Dan mungkin puncaknya adalah hari ini, siang ini. Berjalan perlahan menuju bangunan biru muda yang sudah kuingat betul itu, di antara laju mobil dan bus yang berseliweran di antaranya.

Hawatir. Kurasa itu adalah kata yang paling dekat untuk menggambarkan apa yang kurasakan belakangan ini. Untuk kembali menyadari bahwa ini adalah hari terakhirku di tempat ini, setelah windu yang luar biasa. Teringat kini semua hal yang terjadi di selang waktunya, sekilas bagaimana dulu pertama kali menjejakkan kaki di tempat ini, tentang perjumpaan dengan beberapa kawan terbaik, atau untuk lahirnya mimpi-mimpi yang mungkin terlalu muluk untuk bisa kubayangkan dulu. Dan di detik ini kusadari seberapa besar tempat ini sudah mempengaruhi hidupku sejauh ini, atau bahkan masa depan. Semangatku mulai mengambil alih, tapi rasa hawatir itu tetap di situ, menjalar pelan di belakang punggungku.

Kupikir aku sudah terlalu terbiasa untuk berjalan di tempat ini. Dan beranjak pergi darinya terasa seperti pertama meninggalkan rumah. Untuk kemudian kembali menetapkan hati, melambaikan tangan tanda perpisahan juga ucapan sampai bertemu laginya dan senyum-senyum. Bersyukur untuk bisa menutup chapter perjalanan yang ini dengan gemilang dan suka-suka. Memutuskan untuk saling melupakan semua kekurangan kemarin-kemarin, dan menggantinya dengan doa-doa terbaik yang bisa terucap. Kurasa cukup seperti itu, semoga saja.

***
Dan hari sudah beranjak ke penghujung malam, saat akhirnya aku beranjak meninggalkan kota ini. Kupandangi baris mahoni itu sekali lagi, meniupkan napas-napas terpanjang, serta ucapkan terima kasih yang banyak bagi semua, dan rasa hawatir itu akhirnya sirna. Aku tertawa sendiri setelahnya. Kusampaikan rasa hormatku untuk gedung biru muda itu sedalam-dalam, kuhirup udara malamnya yang sudah kuhapal betul, aku pergi.

Cikarang, 26 Juli 2019