Rabu, 31 Juli 2013

Chemistry of Life

Menarik! Kemarin seorang kawan bercerita, kurang lebihnya begini: “tadi hingga di awal-awal pagi, saya kerja bakti pembangunan masjid di dekat rumah, dengan kawan-kawan di sekitar situ. Kerja kuli, mengaduk semen, mengecor lantai 2 masjid, dan lain-lain. Selepasnya, disambung makan sahur sederhana, nasi uduk dengan lauk seadanya saja. Dan menunggu waktu subuh datang, kami saling bercerita, minum kopi, tertawa. Nikmat. Indah sekali”. Saya senyum-senyum saja mendengar ceritanya. Saya dengarkan sampai habis, hingga dia merasa selesai dulu untuk babak cerita yang itu. Kemudian saya berkomentar: “ah Kang, benar sekali. Itu yang sering saya sering ceritakan di tulisan-tulisan blog saya tentang ‘mencapai orgasma dalam menjalani cerita sehari-hari’, hahaa. Sepertinya saya mengerti apa yang Akang ceritakan. Saya mengerti. Walau mungkin, tak akan semua orang mengerti tentang kejadian yang Akang rasakan. Saya pikir kita beruntung”. Yang kemudian dia lanjut lagi bercerita dalam semangat: “ya, waktu itu saya letih, tapi saya tidak letih. Saya senang! Seperti sesuatu yang mencapai puncak. Ah begitulah :)“.

Ya, saya pikir banyak hal yang tak kan bisa kita ceritakan. Hanya bisa dirasakan saat itu dalam hanyutan ceritanya yang khas. Dan selanjutnya kita hanya bisa mengingatnya saja. Sebagai suatu perasaan yang sangat menyenangkan, lengkap dengan detail ingatannya. Saya tahu, bisa seperti itu karena kita seolah berada di titik sensitifitas maksimum. Benar. Yang sayangnya, itu tak pernah mudah untuk jadi bahan diskusi- mungkin karena kekompleksannya tadi. Tapi saya pikir itu berbeda dengan saat kita tengah jatuh cinta ke seseorang juga berikut pesonanya, atau saat tengah hanyut menikmati suatu karya seni yang membuat seolah ada sesuatu yang melompat-lompat di kepala, atau hal-hal indah yang lain. Semuanya tak sama, tapi tetap sama menarik.  Tetap saja sama menarik. :)

Seperti gambar itu. Bila mereka menggambarkan kondisi “Love” sebagai kondisi dimana neurotransmitter* dopamine-serotonin-oxytocin berada di perbandingan ‘jumlah’ tertentu dan pas. Dan saya percaya, bahwa beberapa keadaan menyenangkan seperti jatuh cinta, menikmati seni, orgasma pikir, dan yang lain memiliki komposisi dopamine-serotonin-oxytocin-norepinephrine-epinephrine yang khas di setiap masing-masingnya. Ya, saya pikir setiap rasa-yang-menyenangkan terlalu khas untuk dipukul rata seperti di gambar itu. Itu berbeda! Saya bisa merasakannya!

*bahan kimia endogen tertentu yang digunakan sebagai sinyal di sistem saraf.

Cikarang, 31 Juli 2013

Catatan: Saya sengaja tidak menyantumkan sumber gambar di atas karena sudah terlalu umum di internet. Susah melacaknya.

Senin, 29 Juli 2013

Oleh-oleh dari Depok

Lagi, cerita yang ditulis oleh seorang kawan. Ditulisnya atas kejadian hari itu, 27 Juli 2013, menjelang buka bersama di Mesjid Al-Marjan, Kota Depok. Silahkan membaca, ;)

***
Ihsan, Nama seorang anak yang menurut saya luar biasa. Baru duduk di kelas dua SD, mungkin berumur sekitar 8 tahunan. Dan alhamdulillaah saya dipertemukan oleh Allah SWT dengannya, dan memetik hikmah dari kejadian tersebut.

Sebelumnya saya tidak mengira kalau dia adalah seorang anak yatim. Sangat aktif, dominan dibandingkan anak-anak lain, bahkan dengan anak-anak kompleks perumahan itu sendiri. Komunikatif, pandai berbicara, tidak canggung atau malu berhadapan dengan orang dewasa, periang, punya juga rasa keingintahuan yang tinggi, dll. Jujur saja, saya belum pernah bertemu sosok anak yatim sepertinya.

Pertanyaan dalam hati saya adalah, "bagaimana cara atau pola pendidikan yang diberikan oleh ibunya?" Dalam keadaan yang serba kekurangan si ibu bisa mendidik Ihsan sehingga memiliki karakter yang menurut saya luar biasa. Karena pertemuan dengan sang ibu yang singkat, hanya kurang dari lima kata saja yang terucap dari beliau. Maka, pertanyaan itu masih menggantung. Sangat membuat penasaran.

Saya flashback beberapa saat sebelum Ihsan menjadi perhatian saya:

Pada saat penyajian materi "Anak Hebat Indonesia" Ihsan tidak mau diam, bergerak terus, kadang bernyanyi, berlari-lari, kadang bercanda ria dengan anak-anak lainnya, apa saja dia lakukan. Dalam hati saya berkata, "ini anaknya siapa? Kok dibiarkan berisik dan gaduh, sedikit menganggu konsentrasi saya saat itu. Saya harus berbuat sesuatu!", Saya menghampirinya dan saya sebut namanya (sesuai tulisan di dada sebelah kirinya). Saya pegang kedua pipinya dengan lembut sambil berbisik, "nak, diam ya, duduk manis nanti pak Asep kasih hadiah." Alhmadullillah ternyata cukup efektif. Waktu terus berjalan. 


Pada saat sesi pertanyaan untuk anak-anak, Ihsan pada saat itu belum dapat giliran menjawab, dan sepertinya dia ingin sekali hadiah yang saya janjikan. Ihsan maju ke depan tanpa saya minta sambil mengacungkan tangan kanannya, seraya berkata "Pak Asep saya mau jawab pertanyaan dan mau hadiahnya". "Ok, siap jawab pertanyaan saya Ihsan? Dek Ihsan tahu nggak makanan rendang? Nah, makanan itu menurut mu harum atau bau?", Ihsan menjawab "harum Pak, dan saya suka rendang!" Diperolehnyalah hadiah itu dan terlihat gembira. Akhirnya sesi materi selesai dan dilanjutkan acara berikutnya sampai buka puasa bersama. Saya lebih memilih air putih dan empat buah kurma, sedang sosok Ihsan hanya lewat saja tanpa ada hal-hal yang berarti.

Setelah shalat magrib berjamaah, kami diarahkan ke gedung Islamic Center- Ground Floor bangunan masjid untuk makan bersama panitia, undangan dan anak-anak. Saat itu kami duduk dengan para orang tua, panitia dan sesepuh lingkungan tersebut. Tiba-tiba sosok Ihsan mengagetkan saya dengan menepuk punggung bagian kanan dan berkata "Pak Asep, kemana saja? Tadi saya cari-cari. Oh ya, Pak Asep tadi beli dulu nasi padang (pake rendang, red) ya?" sambil mengambil posisi persis di samping kanan saya. "Iya" jawab saya. Dia menyambung, "Bapak ingat nggak, saya kan suka rendang pak", "oh iyaaa, Ihsan mau?" tanya saya. Dia langsung menjawab, "mau pak, tapi sedikit saja dan sekalian lalap daun singkongnya, sambelnya jangan karena saya nggak terlalu suka pedas. Dan ini sambal ayam bakar punya saya untuk Pak Asep saja". Hahaa. Ini mulai menarik. Dia berbicara bak orang dewasa. Kalimatnya mengalir. Saya mulai takjub. Pada saat makan inilah ter-expose Informasi tentang dia adalah yatim, tinggal di mana, ibunya kerja apa, sosok ayahnya bagaimana, kelas berapa, sampai yang membuat saya miris adalah: dia bercerita spontan tentang perilaku kasar dan tidak baik almarhum ayahnya terhadap ibunya selama hidup. Seakan-akan dia merekam semua kejadian itu dan keluar dari mulut kecilnya ketika berbicara dengan seseorang. Saya tidak tahu, kepada siapa saja anak ini bercerita pengalaman hidupnya ketika ayahnya masih hidup?. 

Kejadian ini bisa menjadi peringatan bagi para orang tua yang berlaku kasar kepada anak-anak mereka. Coba tebak? Apa yang dilakukannya terakhir sebelum acara makan itu selesai? Dia mencoba menghibur saya dan teman saya Kang Irfan. Emhh, dia memasukkan sebanyak-banyaknya nasi, ayam dan sayuran ke mulutnya. Kemudian dia mengarahkan telunjuk kanannya mengarah pada wajahnya sambil berkata-kata yang tidak jelas. Saya bertanya, "Kenapa Ihsan? kamu bicara apa?". Kemudian dia memperjelas ucapannya, "Pak, seperti ini lah kalau bapak saya makan", sambil berusaha tertawa kemudian tersedak dan trus ambil minum. Ternyata dia masih menyimpan kenangan manis dari sang ayah yang pernah menghiburnya pada saat makan, walau kesehariannya lebih banyak mendapat contoh perbuatan yang kurang baik.

Memori anak lebih dahsyat dari super komputer manapun! Sekecil apapun gerakan, ucapan dan tindakan orang tua, akan mereka rekam semua tanpa kecuali. Semua diserap tanpa ada filter dan pemilahan mana yang baik, mana yang tidak baik? Maka kawan, ketika kita tengah berada di depan anak-anak kita, berusahalah berucap, bertindak, berakhlak baik dan menjadi figure yang baik.

Teman-teman, saya minta doanya semoga Ihsan akhirnya bisa tumbuh dan mendapat pendidikan yang bagus sehingga bisa menjadi Anak Hebat Indonesia. Dan jika ada kawan-kawan yang tertarik untuk membantunya, silahkan menghubungi DKM Mesjid Al-Marjan, Permata Depok Regency, Ratu Jaya, Cipayung, Depok. Insya Allah DKM akan diberikan alamat rumahnya.

Semoga kita bisa mengambil hikmah dari apa-apa yang diperlihatkan oleh Allah SWT kepada saya hari itu. Dan semoga kita digolongkan menjadi orang-orang yang selalu berpikir.


Ditulis oleh: Asep Aripin.

Minggu, 28 Juli 2013

Sirsak dan Cerita Kami

Sekarang duduk di hadapan semangkok es sirsak yang tadi dibeli untuk berbuka puasa sore menjelang magrib ini. Sambil menunggu  adzan yang rasanya datang cepat sekali. Ingatan saya melayang, kembali ke belasan tahun yang lewat:

Saat itu saya masih duduk di sekolah dasar, namanya SD Negeri 41 Curup-Bengkulu. Entah apa nama SD ini sekarang, karena beberapa tahun terakhir ini banyak pemekaran daerah yang dilakukan, dan nama-nama sekolah pun jadi berubah. Sekolah kami ini terdiri dari 9 bangunan kelas ditambah ruang guru-kepala sekolah, juga sebuah perpustakaan sempit. Semua bangunan terbagi menjadi tiga blok utama yang menghadap ke lapangan utama sekolah, juga taman-taman di depan masing-masing kelas berukuran kisaran 3x3 meter. Setiap hari jumat, selepas acara senam pagi, murid-murid akan membersihkan taman kelasnya masing-masing, ditemani wali kelasnya masing-masing. Saya masih sangat ingat, sebagian besar dari kami sangat menyukai kegiatan ini.

Di salah satu sudut blok sekolah yang menghadap ke arah timur, itu kelas saya. Kalau tidak salah waktu itu saya duduk di kelas 6. Di taman depan kelas kami, banyak tumbuh bermacam tanaman cantik. Yang paling menonjol adalah rimbunan bougenvil beraneka warna: ungu, putih, merah, membentuk taman sederhana yang menarik. Beberapa tumbuhan lain seperti cocor bebek, kumis kucing, dan sebagainya juga ada di sana. Di sana juga tumbuh sebuah batang sirsak besar –sebagian orang di kampung kami menyebut buah ini dengan sebutan “Nangko Belando”, atau bila dibahasa-Indonesiakan menjadi “Nangka Belanda”, saya tak terlalu mengerti mengapa mereka menyebutnya demikian. Pohon sirsak kami ini rajin sekali berbuah, dan buahnya juga banyak, dan besar-besar. Bila ada buah sirsak yang mulai matang, saya dan kawan-kawan akan lebih berhati-hati mengawasi hari-ke-hari. Hingga saatnya tiba, dan buah sirsak tersebut matang, saya dan kawan-kawan akan membuat janji untuk berkumpul sepulang sekolah.

Siang itu lonceng dari tembaga milik sekolah berdentang pertanda waktu pulang sudah tiba. Salah satu dari kami akan memanjat pohon sirsak tersebut dan memetik buahnya yang matang. Setelah dimasukkan ke dalam tas, kami berjalan pulang. Sebenarnya kami tak akan langsung pulang. Di satu jalan, kami akan berbelok ke kiri, masuk ke lingkungan kompleks tentara Yonif 144 Jaya Yudha. Di sana memang tempat kami biasa bermain sepulang sekolah. Kadang cuma sekedar untuk melihat tentara yang berlatih fisik, atau kami ikut mencoba juga, atau kadang cuma lewat saja biar perjalanan pulang menjadi sedikit lebih lama, seperti saat itu. Di dekat rimbunan semak dan lapangan bola ini, kami semua duduk bersila, sebagian tidur-tiduran, bebas saja. Sirsak dikeluarkan. Kami mulai berbagi. Menikmati sirsak tadi yang bercampur rumput lapangan yang hijau. Di bawah terik matahari dan sepoi angin kami bercanda, berbagi senang dan cerita. Berkomentar apa saja, mulai dari pelajaran sekolah yang membosankan hingga manisnya rasa sirsak segar ini, atau janji bertemu lagi selepas pulang ke rumah untuk memulai cerita yang lain.

Cikarang, 28 Juli 2013

ANOMI

Siang ini saya membaca majalah Tempo, Edisi 15-21Juli 2013. Di rubrik Tempo Bahasa!, saya menemukan satu kajian bahasa yang saya pikir menarik, berjudul “Anomi dan Anomali” tulisan Kasijanto Sastrodinomo, seorang staf pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Saya hanya akan menuliskan sari tulisan tersebut untuk kata anominya saja, karena saya pikir kita sudah lebih familiar terhadap kata anomali.

Dalam bahasa Latin, anomia identik dengan lawless alias nirhukum. Diserap dalam bahasa Inggris, anomy atau anomie, yang berarti lack of the usual social standard in group or person. Sedang Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan: (1) perilaku tanpa arah dan apatis; (2) keadaan masyarakat yang sinis atau negatif terhadap sistem norma, hilangnya kewibawaan hukum, dan disorganisasi hubungan antar manusia; dan (3) gejala ketidakseimbangan psikologis yang dapat melahirkan perilaku menyimpang. Intinya, anomi merujuk pada keadaan (sistem) sosial yang berkonotasi kacau dan membingungkan.

Beberapa pakar sosiologi juga membahas anomi sebagai suatu konsep. Emile Durkheim, menggambarkan anomi pada masyarakat Eropa era industrialisasi abad ke-19, dan menilai bahwa diferensiasi sosial akibat  pertumbuhan industri berkembang lebih cepat ketimbang aturan sosial yang berlaku. Saya pikir apa yang diungkapkan oleh Emile Durkheim ini akan lebih mudah dipahami jika saja kawan-kawan pernah menonton film “Lawless” yang dibintangi Tom Hardy dan Shia LeBouf di tahun 2012. Sedikit berbeda, Robert Merton, sosiolog lain, menggambarkan anomi terjadi saat struktur sosial (keseluruhan hubungan interpersonal) tidak bersesuaian dengan struktur kultural (keseluruhan sistem nilai dan norma). Saya pikir yang digambarkan Merton sedikit lebih mudah saya cerna karena lebih nyata dan bisa saya bandingkan dengan lingkungan tempat saya saat ini, berikut contoh-contoh lain yang bisa saya lihat dari jauh.

Tapi saya pikir garis merahnya jelas. Bahwa anomi merupakan suatu perilaku menyimpang yang menimbulkan “kecemasan eksistensial” suatu kelompok atau perorangan.

Cikarang, 28 Juli 2013.

Sabtu, 27 Juli 2013

Cerdas Cermat

Sering kita di cerita sehari-hari bertemu masalah. Ah, masalah biasa saja, apa saja. Kadang konflik kepentingan dengan orang lain, kadang dengan sendiri, dan lain-lain. Saya pikir sama saja. Seperti halnya saat kamu dan kawan-kawan sedang berupaya menyusun suatu acara yang menurutmu baik dan bagus untuk semua. Menyusun acara yang kamu sebut kecil, cerdas cermat SD tingkat desa. Yang kemudian datanglah seseorang dari antah berantah menilai hasil kerja kerasmu seadanya, menilai buruk semaunya, tak sesuai harapan, juga segenap kompleksitas cerita. Orang tersebut memandang terlalu sebelah mata. Bikin kau kesal? Ah, wajar saja kalau kalian kesal. Iya kan? :) Lalu kalian bertekadlah dalam hati, “Baiklah kawan-kawan, acara kita ini harus tetap berjalan dan sukses, kita akan bekerja dengan baik. Biar orang itu melihat apa yang bisa kita lakukan”.

***
Apa yang terpikir kini? Mungkin memang pikiran saya akan seolah (terlalu) menyederhanakan masalahnya, karena saya tidak terlibat langsung, hanya mendengar dari cerita saja. Tidak langsung merasakan bagaimana saat orang tersebut menyentak-nyentak dengan gaya bahasa yang jauh dari kata enak didengar. Juga tak merasakan sendiri bagaimana letihnya mereka sudah coba mengerjakannya dari awal, dan sampai kini. Ah, tapi itu cuma kemungkinan saja kan ya? Bisa saja nyatanya tidak, dan saya memang mengerti. :) Jadi bagaimana?  

Saya tak pernah melihat acara cerdas cermat tingkat desa jadi sesuatu yang kecil. Karena memang saya pikir itu tidak kecil. Bagaimana saya bisa mengatakan itu hal yang kecil kalau nyatanya cerita versi (sedikit) lengkapnya saja sudah seperti itu. Bahkan sampai kalian jadi bertekad dalam hati untuk membuktikan kemampuan kalian ke orang tersebut? Tentunya itu bukan hal yang kecil, bukan? :) Juga melombakan 6 tim cerdas cermat SD dari 1 desa untuk kemudian didapatkan satu pemenang. Dan memenangkan sesuatu itu bukan perkara yang kecil kan ya? :) Mungkin untuk orang lain itu perkara kecil karena cuma memandang itu hanya kejuaraan tingkat desa, tapi saya pikir tidak untuk pemenangnya saat itu, bukan begitu?

Saya jadi teringat obrolan di suatu malam dengan seorang kawan, salah satu dari kami bicara “bahkan di dalam kesederhanaan kita akan menemukan kompleksitas yang super ruwet. Juga sebaliknya.” Kami setuju malam itu, lalu masing-masing terdiam lagi, menerawang jauh ke langit malam lagi. Dan malam ini, saat cerita cerdas cermat ini datang, saya teringat lagi semuanya. Saya catatkan kini.

*Meski saya sebenarnya tak terlalu sepaham dengan motif “pembuktian diri” nya itu, tapi tidak masalah, biarkan saja. Mungkin akan saya ceritakan di postingan yang lain nanti-nanti. :)
Cikarang, 27 Juli 2013

Rabu, 24 Juli 2013

Seingat Saya Ramadhan Itu Begini

Hari sudah genap habis setengah bulan Ramadhan ini. Terbayang dulu saat kecil, menikmati bulan ini seperti jauh lebih menyenangkan. Meski terasa lebih lapar, tapi tak pernah jadi soal. Dimulai dengan dibangunkan ayah di pagi butanya, lalu bergegas menuju masjid, berburu solat subuh. Sebenarnya bukan solat subuhnya yang bikin menarik, tapi bersama kawan-kawan berlarian di pinggiran jalan yang lengang, dengan kopiah hitam pekat juga kain sarung melilit-silang dari bahu hingga ke bawah. Bermain alat serupa mercon yang dibuat sendiri dari busi bekas, baut dan tali rapia, yang saat apinya menyeruak di lantai jalan, kami berteriak senang. Bahagia sekali rasanya waktu itu. Begitu seterusnya hingga langit jadi lebih terang, dan kami pulang.

Bila sekolah, itu menjadi khas. Kantin sekolah jadi tak berjualan. Kantin dari susunan papan sederhana dan sepasang jendela warna biru pudar itu tak semeriah biasanya. Kami para murid juga begitu. Rasa lapar mulai datang. Jarang mau berlarian di tengah panas saat jam istirahat tiba. Lapangan rumput belakang sekolah sepi. Kami lebih senang menghabiskan waktu di bawah atap bobrok muka belakang kelas. Melihat air jernih mengalir di saluran kecil itu, bermain kapal-kapalan kertas yang dihanyutkan lalu ditangkap lagi. Sedang angin-angin dari sawah meniup kami lebih segarlah dari biasa. Mengantarkan jam sekolah yang sudah habis, dan tiba waktunya kami pulang, lepas berjalan kaki menuju rumah.

Sedang sorenya itu dimulai selepas mandi, biasanya kisaran jam 4 sore. Bila ayah sedang ada waktu, biasanya diajak berkeliling jalan-jalan dengan sepeda motor tua yang besar itu, yang selalu diamankan di luar rumah dengan lilitan rantai besar di jari-jarinya. Berkelilinglah sorenya, menghirup udara sore yang apik, membelah pesawahan di kaki Bukit Basa yang membiru itu. Saya biasanya duduk di sebelah depan dekat tangki motor, sedang kakak di belakang memeluk ayah. Kecepatan motor kami sepertinya hanya 20-30 km/ jam saja, tak pernah lebih dari itu. Akan lebih senang karena itu berarti perjalanan sore kami hari itu akan menjadi lebih lama. Hingga akhirnya kami tiba di rumah lagi, dijemput Ibu yang duduk menunggu di teras rumah, dengan senyuman. Kami semua turun, kembali ke pelukannya.

Masjid kami bernama Al-Azhar. Saya masih ingat betul semua tetua-tetua kampung yang sering menjadi imam di masjid itu. Tarawihnya selalu 23 rakaat, entah sekarang, semoganya masih. Dengan karpet tipis hijau dan barisan kain putih memanjang rapi dijadikan sebagai alas kening saat sujud itu menyentuh lantai masjid. Selalu saja riuh rendah dengan degup lari dan tawa anak-anak yang berlomba dengan lantunan Al-Fatihah dari sang imam, tak pernah ada yang kalah. Hingga yang menjadi puncaknya adalah saat doa selepas witir habis dibaca dan diaminkan oleh jamaah, semua beranjak pulang, menuju rumah. Untuk terlelap menunggu hari di bulan Ramadhan yang berikutnya. Kami tetap pulang.
Selamat Ramadhan, :)
Cikarang, 24 Juli 2013

Minggu, 21 Juli 2013

Langit Cerah

Siang ini melihat profile picture di jejaring sosial milik seorang kawan, berikut pula dengan beberapa komentar-komentarnya. Seorang kawan dengan kepribadian yang baik, dengan pengalaman yang menarik. Dan dia memang sudah keren dari mulanya, jadi tulisan kali ini tak akan membahas tentang dia. Dan yang ini, saya hanya semacam tertarik dengan komentar-komentar dari foto tersebut saja. Tanpa bermaksud menyerang siapapun, saya hanya akan mengungkapkan apa yang ada di dalam kepala saya saja.

Komentar1: Langitnya cerah banget dimana tuh?
Yo: Hahaha. Nyobain pake hp baru. Di Windsor itu. :D
Komentar1: Iya nih, pantesan kirain di Indo, mana bisa dapat yang begitu di sini kecuali di Papua.

Membacanya saya jadi ingin berkomentar sedikit. Dengan segenap hormat, saya hanya sedikit kurang sependapat dengan komentar1 tersebut saja. Ah, saya pikir tidak juga. Banyak sekali langit serupa itu di sini. Sama bagus, sama cerah, sama dramatis. Walau mungkin, itu semua juga relatif. Terlalu banyak perasaan yang akan terlibat, untuk bisa menyebutnya bagus, cerah, dramatis. Tapi saya pikir juga tak ada salahnya membuat sedikit penilaian ala pribadi, terutama para penikmat latar langit, siapapun. Bukan begitu? :)

Saya masih ingat betul dulu, di satu siang tahun 2007, tiba-tiba saya menerima pesan singkat dari seorang kawan. Isinya kurang lebih begini: “Hei Kutil, sekarang di tv ada acara si Bolang dari daerah Curup, Bengkulu. Cepetan nonton!” Bergegas saja saya menyalakan tv. Dan benar saja. Saya melihat satu tempat yang saya kenal betul. Juga bahasa yang anak-anak itu pakai saat berdialog dengan kawan sebayanya itu seolah melengkapi. Itu kampung saya! Saya senang sekali waktu itu. Saya tonton dengan seksama. Setelah selesai, saya menerima lagi pesan singkat dari kawan tersebut. “Langit yang super cerah, di atas bukit rumput hijau dan langit biru luar biasa”. Untuk kemudian saya membalas pesan tersebut, “Ya, saya tumbuh di bawah langit yang itu! :)

Ah mungkin itu terlalu jauh. Dan mungkin terlalu sentimentil untuk saya pribadi saja. Mungkin ada baiknya juga untuk duduk saja di siang-sore Kaliadem, Jogjakarta. Jalanan aspal menanjak yang sepi menuju puncak Merapi. Di situ biasa tersaji matahari kuning-besar berikut angin semilir dan langitnya yang romantis. Coba kajilah. Atau bila masih terlalu jauh, coba kunjungi pagi di lapangan sipil ITB. Di bawah batang tanaman jati yang menjulang, berteduh melihat langit yang megah-penuh dengan pesona. Masih terlalu jauh, mari ke lapangan bola sederhana di Jalan Industri Selatan, Cikarang. Sore kisaran jam 5 coba duduk di kursi kayu panjangnya menghadap barat di penghujung musim kemarau. Akan terhidang langit sore jernih super memukau. Sekali-kali diselingi pula dengan guguran daun Mahoninya yang terbang hingga jauh sekali. Hingga jauh sekali.

Ah, saya pikir semua ke-indah-tenang-ceria-an itu ada dimana-mana. Tak perlulah mencari terlalu jauh. Cukup saat tengah merasa senang, hati yang sumringah di hari-harinya, semuanya akan terbuka. Disajikan bentukan alam yang kadang hanya terlewatkan saja di cerita kita sehari-hari. Yang kadang hanya membutuhkan sedikit ketenangan untuk menunggu dalam teliti saja, juga keterbukaan dalam segenap cerita. :)

Terima kasih untuk Mbak Yo, untuk mengizinkan fotonya saya pakai di tulisan ini :)
Cikarang, 21 Juli 2013

Sabtu, 20 Juli 2013

Ngabuburit

Sore ini, setelah habiskan waktu hampir satu jam mencuci sprei juga album Greatest Hits dari LimpBizkit yang seolah tak pernah cape berteriak. Saya berpikir, “sekarang mandi sore biar segar, terus ngabuburit”. Terdengar seperti rencana  yang bagus. Saya mandi, sambil nyanyi. Kalau tidak salah tadi lagu Padi, tapi lupa yang mana. :D

16.55. Saya berangkat dari kosan, jalan kaki. Keluar ngabuburit, menikmati suasana sore sebelum waktu berbuka puasa tiba. Berjalan mengelilingi jalan raya Kedasih-Kasuari, sampai lengkap. Di sepanjangnya melihat banyak orang sedang ngabuburit juga. Mereka belanja jajanan pinggir jalan ini, pilih-pilih, mana yang suka. Sedang saya belum belanja. Hanya tengah asyik melihat saja, sambil berjalan pelan, biar jalan ini tak cepat selesai. Saya coba merekam apa saja. Hingga akhirnya, secara tak sengaja, saya memperhatikan beberapa ibu-ibu, bapak-bapak, anak-anak, meminta-minta.

Rasanya saya sudah hafal wajah-wajah para peminta-minta yang biasa ada di sepanjang jalan raya ini. Sebut itu yang duduk di emperan toko, atau yang berjalan, beroperasi lebih lincah. Ibu-ibu, bapak-bapak, anak-anak. Atau bahkan rasanya saya hafal beberapa nama mereka, mungkin sekitar seperempatnya. Tapi sore ini, Ramadhan ini, sedikit berbeda. Saya banyak bertemu dengan wajah-wajah baru. Saya tahu. Mereka tak biasa ada di sini. Saya catat tak kurang dari 14 ibu-ibu baru, 3 orang bapak-bapak baru, 8 anak-anak laki-perempuan baru. Sedang yang sudah biasa ada di sini juga tetap ada. Sebagian tetap ada di emperan toko tertentu, sebagian tetap lincah seperti biasa.

Setelah membeli 4 potong gorengan di dalam kantong plastik putih, saya duduk sendiri di bawah pohon palem besar di taman pemisah jalan, melanjutkan melihat keramaian yang aktif bergerak. Tak lama berselang, seorang ibu-ibu peminta-minta hampiri saya. Dengan daster sederhana dan kain batik itu dia buka bicara:

Ibu : "Aa minta a. Buat buka a. Kasihan."
Saya : (diam melihat ke arah matanya, yang sayup, sedikit lebih lama).
Ibu : (lebih mendekat) "Kasihan a. Buat buka."
Saya : "Sini, Bu, duduk dulu. Saya punya gorengan empat."
Ibu : (duduk di atas lututnya sambil terus mendekatkan kantong permennya).
Saya : "Ibu dari mana? Saya jarang lihat ibu di sini."
Ibu : (Sedikit kaget, bergegas pergi)

Rasanya sekitar 5 menit, saya tetap duduk di situ. Melihat jauh ke arah Ibu peminta-minta yang tadi hilang ditelan keramaian yang lalu-lalang. Hingga lalu saya putuskan berjalan lagi. Ke arah pulang. Berhenti sebentar di warung kelontong kecil tempat saya biasa membeli atau berhutang rokok batangan. Mengobrol sebentar, lalu pergi lagi ke seberang. Pesan ketupat betawi ke Ibu-ibu penjualnya. Dengan wajah dan pembawaan yang ramah dan tenang, umur 40-an, kerudung putih, dia bertanya: “A, tadi ada yang nanya nyari kos-kosan di daerah sini yang ga terlalu mahal dimana?”. Saya tersenyum. :)
Cikarang, 20 Juli 2013

Rabu, 17 Juli 2013

Hakikat Perjalanan

Seorang kawan bertanya, mengapa saya lebih suka berjalan sendiri di sekian banyak perjalanan yang pernah saya jalani? Ah, bagusnya pertanyaan ini. Seolah mengajak saya berpikir ulang tentang hakikat perjalanan itu sendiri. Juga mengajak mengaji lagi tentang mengapa saya bepergian seolah tak jelas tempat juga tujuan. Atau mengapa saya ada di sini saat ini, bukan di tempat yang lain. Hingga akhirnya memaksa saya menjawab pertanyaan terakhir paling sederhana: siapa saya?

Saya tak pernah berkeinginan untuk berjalan seorang diri, kemanapun. Itu sepi, jauh sekali dari kata suka-suka. Tapi memang hidup itu tentang menjalani. Kadang suka, kadang tidak, kadang juga biasa saja. Sama halnya dengan setiap perjalanan yang ada. Karena akhirnya saya akan tahu, bahwa hidup itu tak hanya tentang menjalaninya saja, tapi juga menikmati sebisanya. Memulainya bukan selalu berarti senang. Terlalu banyak intrik. Tapi yang menjadi menarik adalah saat saya mencoba menyulapnya menjadi sedikit lebih asik buat pribadi. Lalu mulai berpikir tentang orang lain. Lalu kembali lagi ke diri pribadi. Hal yang saya pikir bisa didapatkan dari sebuah seri perjalanan.

Saya pikir, suatu perjalanan jadi menjemukan saat saya mulai merasa terlalu nyaman. Seperti halnya hidup. Bukan pula berarti saya hanya mencari ketidaknyamanan dalam hidup, bukan itu! Kenyamanan, ketenangan, itu sebuah tujuan. Dan tujuan akan selalu dicapai dengan melalui suatu jalan. Bisa instan, tapi kebanyakannya tidak. Di sinilah saya merasa dan memandang bahwa kegelisahan dan interupsi hanyalah sebuah proses. Proses yang seolah memberitahukan bahwa saya hidup, dan merasa hidup di dalamnya.

Hmmm, saya pikir perjalanan itu bukanlah sesempit bepergian di gunung, pantai, samudra, kota-desa. Itu semua hanya nama-nama tempat biasa. Tak ubah seperti saat seorang kawan berjalan menuju rumah di kota sebelah, atau saat saya pergi ke depan membeli sarapan. Tapi perjalanan adalah saat dimana saya menyadari bahwa ini adalah sebuah perjalanan. Membutuhkan proses merasa dan berpikir di dalamnya, lalu berhasil memetik beberapa buah pikir di sepanjangnya. Itu tak pernah saling lepas dari rangkaian proses-tujuan. Dan saya tak pernah jauh darinya. Maka jangan sempitkan semua jadi barisan nama-nama saja. :)

Hingga akhirnya semua akan kembali ke pertanyaan super mendasar: "Siapa saya?" Tak pernah mudah menjawab pertanyaan ini. Karena senantiasa berubah seiring waktu. Bahkan mungkin sampai nanti saya tak lagi ada di sini. Tapi saya pikir semua perlu jawaban sementara. Jawaban yang akan terus membimbing saya menuju jawaban yang semestinya. Seperti di ajak merasakan apakah ini hal yang seharusnya, atau mempertimbangkan untuk pergi saja. Mungkin sedikit aneh kalau saya berkata bahwa ini adalah dialog internal di dalam diri. Hahaa, tapi benar saya pikir itu perlu. Semacam sendiri membuat diri tetap eling.  Ya, begitu.

Saat ini saya bertanya lagi, "Siapa saya?" Untuk kemudian menjawab: “Saya Guntur Berlian Bin Cik-Yan-Lis. Saya besar di pelukan seorang gadis bernama Kartiniwati. Saya sering diciumnya di kening, lalu diucapkannya untuk senantiasa baik dan mengingatnya. Saat ini berada di tanah asing bernama Cikarang, mengumpulkan cerita-cerita lain, untuk nanti bisa saya bagikan pada keluarga, tetangga, dan saya pada akhirnya.” :)

Cikarang, 17 Juli 2013

Minggu, 14 Juli 2013

Malam Ini Saya Iri

Mungkin saya sedang merasa iri saja pada para Eropa. Atau mungkin merasa minder dan kecil saja. Membaca dan tahu bila seseorang berada di Menara Eiffel- Paris dan komentar seputar camp malam di bawahnya, atau seorang kawan yang bertanya tentang DAAD- Jerman dan suasana kota di sana, atau kawan lain yang bercerita habiskan malam di bar malam di satu titik kota Inggris. Untuk kemudian saya menulis status di jejaring sosial:

“Sahur tengah malam dulu, ah sederhananya hidup, di antara tiup malam dan canda-tawa sehari-hari kampung ini. Kami bersyukur atas semua kebaikan yang dijalani. Tak perlu hal-hal yang lebih besar dari itu. :)”

Saya tak berucap komentar apapun. Lebih memilih diam saja. Kali ini benar merasa minder mungkin. Pengetahuan saya malam ini masih sebatas novel pendek berbahasa sunda dengan judul “Payung Butut” tulisan Ahmad Bakri saja. Hahaa. Saya terpaksa tertawa sendiri. Tawa yang mungkin terlalu bias untuk bisa disebut ikut senang. Saya iri. Saya tersenyum saja saat ini. Hanya layang mata memandang ke kejauhan gelap Jalan Kedasih- Cikarang.

Malam ini dingin. Banyak nyamuk menghampiri dari segala penjuru. Berpikir apakah banyak nyamuk juga di Eropa malam ini? Dan hal-hal sederhana lainnya. Yang diam dan menusuk ke dalam-dalam. Seiring derik jarum jam kuning itu beredar di 01.30 WIB. Saya melihat lurus ke atas. Menghantam keras langit-langit kamar yang putih. Apa yang dicari?

Hingga membuat tersadar, bahwasanya hidup ini hanya perlu dijalani. Segenap rasa syukur tentu pulalah jadi penguat rasanya. Seiring sujud di sajadah kecil di ujung malam, saya berujar: "Ah, Gusti, hidup saya adalah sebuah anugrah yang besar. Saya berusaha merasa besar di dalamnya, tak mudah merasa kecil di hadapan siapapun. Bila satu-dua kesalahan pikir telah dilakukan, maka ampunilah. Beri rezeki yang baik juga jalan yang menarik. Berkontemplasi pada renungan-renungan panjang yang biasa membawa saya ke puncak rasa tenang. Saat semua belum cocoklah dengan keinginan, maka cukupkan hati ini dengan hal-hal baik yang lain. Hal-hal baik lain yang sama menenangkan. :)"

Cikarang, 15 Juli 2013

Rabu, 10 Juli 2013

Selamat Datang, Bujang Lanang!

Selamat datang, Bujang Lanang!
Sekarang temuilah dulu ayah-ibu mu
Kau ejalah dalam hati-hati di kedua mata mereka
Dalam bahasa damai, dan kau akan mengerti
Bahwa tak ada yang lebih tahu arti mengerti dari mereka
Bahwa tak ada yang lebih paham makna terjaga dari mereka

Selamat datang, Bujang Lanang!
Bergeraklah kau dalam irama
Dalami hilir-mudik udara sekitar rumah
Dalam nada-nada yang semoganya selalu membuatmu tenang, dan kau tahu
Bahwa kau berada di rumah, bukan di mana-mana
Bahwa kau menjelmalah jadi sang tuan rumah

Selamat datang, Bujang Lanang!
Tiupkanlah nafas-nafas terpanjangmu di angin-angin yang lewat
Nanti kan kuceritakan ribuan kisahku dengan ayahmu
Tentang makna kami belajar, dan semoga kelak kau kan mengerti
Bahwa jari-jemarimu akan jauh lebih kuat dari itu
Bahwa kuatmu akan melengkapi perjalanan yang mungkin saja belum tuntas sampai nanti-nanti

Selamat datang, Bujang Lanang!
Ketika Ramadhan yang ini adalah sebuah cerita suka-suka
Akan kuceritakan tentang mata ayahmu membentur sesuatu yang belum pernah ku kenal sebelum ini
Belum pernah kulihat sebelumnya ayahmu menatap seperti itu
Terlalu menari dalam pikiran
Terlalu gelisah dalam diamnya

Selamat datang, Bujang Lanang!
Semoga nanti kau juga akan mengenalku
Melihatku sebagai kawan yang tak membosankan berbagi cerita
Menilaiku lewat cerita-cerita sederhana yang akan kubagi dalam derai hujan dan purnama
Persis seperti saat kubagi ceritaku dengan ayahmu
Di ribuan tempat dan suasana yang terlalu panjang untuk kau ketahui sekali waktu.

Untuk Bumi Biru Kelana, Selamat Datang!
Cikarang, 11 Juli 2013

Sebaiknya Percaya

Apakah percaya? 
Bahwa pada akhirnya kita hanya akan mempedulikan sesuatu yang membuat senang saja. 
Sedang sisanya hanya akan pergi seringan angin. 
Mirip halnya, meski dalam konteks berbeda, saat kita tak pernah tertarik mengingat hal buruk dari seorang kawan, cuma mau mengingat baiknya saja, meski kecil, tapi bikin senang. 
Begitu kan?

Sebaiknya percaya. 
Bahwa pada akhirnya kita hanya akan mempedulikan sesuatu yang membuat senang saja. 
Sedang sisanya: akhirnya pergi diiring angin, baiknya begitu.
Karena kita tahu, bahwa mereka tak perlu disimpan dalam memori. 
Biarkan pergi.

:) -ditulis di tengah dentam lagu "Supremacy" di kanan-kiri, Muse berteriak riang
Cikarang, 10 Juli 2013

Minggu, 07 Juli 2013

Dunia Canda Tawa

Banyak orang yang kita jumpai. Kadang memang yang kita kenal betul secara dekat, kadang orang-orang yang tidak terlalu kita sukai, kadang juga orang yang kita kenal sekali lewat. Saya pikir semuanya sama saja. Karena akhirnya kita hanya perlu bersikap baik selayaknya. Kadang itu tidak terlalu mudah memang. Kadang kita perlu dipaksa terlebih dahulu, untuk bisa seperti itu. Tapi toh nyatanya kita wajiblah untuk bisa seperti itu. Beritikad baik, sesederhana menatap matanya saat berbicara, maka jadilah.

Toh di dalam hidup, kita hanya akan dikenang dari hal-hal baik yang pernah kita lakukan. Atau bahkan hal-hal baik yang baru kita usahakan. Ya, begitu. Tidaklah melulu menjadi soal yang pelik bila nanti orang lain malah bersikap sebaliknya, tapi saya pikir cukuplah buat kita. Meski tak terlalu berlebihan rasanya, bila kita juga mengharapkan orang tersebut bersikap manis. Bikin kita merasa diberi arti. Bikin kita merasa sedikit lebih baik dalam merasa.

Tapi nyatanya setiap orang itu berbeda. Atau juga setiap orang bisa berubah. Saat kita bertemu di dimensi waktu yang berbeda, nyatanya sekarang mereka lebih tinggi, lebih pandai, lebih ada, lebih semuanya, dari dulu saat bertemu. Saya pikir tak ada yang salah bila kita merasa lebih kecil di hadapan mereka. Yang jadi salah adalah saat mereka yang merasa lebih besar, banding-membanding. Saya pikir begitu. Meski nyatanya, tetap saja tak ada yang bisa memaksa. Biarkan saja, itu jadi urusan mereka.

Ah, seperti kata-kata di Kitab itu juga. Bahwasanya dunia ini hanya soal canda dan tawa. Kenapa kita mesti memaksa. Biarkan saja pribadi masing-masing kita memutuskan jalan yang mana.

Cikarang, 7 Juli 2013

Sabtu, 06 Juli 2013

Malam minggu dan Sudjiwo Tedjo

Ah, malam minggu. Sudah berapa kali malam minggu sekarang? Sudah banyak. :D

Tiba-tiba teringat twit yang sering di re-post oleh si mbah Sudjiwo Tedjo tentang ini: “Malam minggu adalah saat ketika para kekasihmu pulang ke rumah tangganya masing-masing”. Kadang saya berpikir kalimat ini terlalu kuat. Terlalu menembak tepat sasaran. Khas sekali dari Sudjiwo Tedjo. Kadang bikin saya jadi malu. Tapi ya, saya pikir biarkan saja. :)

...

Tadinya saya mau bercerita panjang-lebar. Tapi ingat postingan tersebut, bikin saya mau diam saja. Sekarang putuskan membaca buku “Si Kabayan Tapa” karya Min Resmana saja, hasil pinjaman dari seorang kawan minggu kemarin. Hahaa. Selamat malam minggu, Kawan-kawan. Selamat senang-senang.

Cikarang, 6 Juli 2013

Kamis, 04 Juli 2013

Persib dalam Aransemen

Kali ini saya mendengarkan beberapa lagu: “Persib!” karya Doel Sumbang, “Hariring Persib” gubahan Kang Ibing feat Ansambel Gamelan Kyai Fatahillah, juga lagu “Jung Maju Maung Bandung” punya Kang Ibing. Saya masih belum menemukan banyak literatur tentang asal-muasal semua lagu-lagu ini. Saya hanya akan coba mengulasya secara pribadi, dari kacamata saya saja. Semoga tidak menjadi cemoohan bila nyatanya tulisan ini dianggap kurang berbobot atau terlalu miskin sitasi. Semoga begitu.
Berdasarkan beberapa sumber, disebutkan bahwa lagu “Persib!” Doel Sumbang merupakan suatu aransemen ulang dari lagu-lagu Persib karya Kang Ibing. Yang dibuat sebagai bentuk tribute terhadap masterwork tersebut, selepas sang maestro meninggal dunia di 2010. Maka jadilah sebuah lagu berjudul “Persib!” dengan dentuman aransemen yang megah dan membangunkan. Saya pikir, secara isi, lagu ini memang memiliki kemiripan yang sangat kuat dengan lagu “Jung Maju Maung Bandung” karya Kang Ibing. Sebut saja saat Doel Sumbang menyebutkan “Dina pertandingan, eleh-meunang mah biasa”, sedang Kang Ibing menyebut “eleh-meunang olahraga mah biasa). Terjemahan bebas keduanya kira-kira menyebut: kalah dan menang itu adalah hal yang wajar. Juga makna lirik Doel Sumbang “Persib, cadu eureun ngome nasib”, saya nilai sangat mirip dengan ungakapan “pratandang geura sing meunang”. Keduanya mengungkapkan rasa optimis yang kental, dan mirip! Atau saat Kang Doel berujar “lamun Maung Bandung eleh kuciwa biasa”, sedang Kang Ibing berucap “eleh-meunang urang Bandung moal pundung”. Sama-sama berujar bahwa masyarakat Bandung tak akan pernah mempermasalahkan hasil akhir Persib selama sudah bertanding secara kesatria (ungkapan Kang Ibing). Dan masih banyak lagi. Begitu saya menggambarkan bahwa karya Kang Doel yang ini memang terinspirasi oleh “Jung Maju Maung Bandung” Kang Ibing.
Tapi bila melihat dari sisi aransemen, lagu “Persib!” Doel Sumbang ini memiliki kemiripan yang lebih kuat dengan lagu “Hariring Persib”. Tentang alat-alat musik khas sunda yang terlibat, nada-nada penguat yang dihasilkan,  harmoni yang terbentuk setelah masing-masing mengungkapkan kalimat pamungkasnya, memiliki kemiripan yang terasa di beberapa saat. Akan tetapi, dari sisi isi, lagu “Persib!” dan “Hariring Persib” berbeda. Salah satu yang paling mudah ditangkap adalah saat “Hariring Persib” mengungkapkan “Persib meunang, duh hate senang, Persib eleh, aing ngalehleh (TB: Persib menang, saya senang, Persib kalah, saya (bobotoh)  lemas), sedang Doel Sumbang berujar “mun dipareng eleh, tong ngalehleh komo leweh (TB: kalau kalah, bobotoh jangan  lemas)”. Kata ngalehleh mengacu pada ungkapan lemas - yang bukan secara fisik, tapi lebih secara mental&kejiwaan. Juga penghilangan kata "Viking" dari lagunya. Di sini, saya pikir, sebuah credit tersendiri untuk Doel Sumbang saat berani dengan frontal mengkritisi lirik lagu karya maestro sekelas Kang Ibing. Hal yang menunjukkan bahwa Doel Sumbang juga memiliki karakter yang kuat dengan pemahaman dan sikap yang sangat jelas. Salut!
Secara pribadi, saya menilai, di satu sisi Doel Sumbang berhasil melewati karya Kang Ibing lewat aransemen dan kerenyahan bahasa yang ditawarkan. Meski di sisi yang lain, Kang Ibing jauh lebih unggul dalam kedalaman makna dan emosi. Dua seniman yang sama hebat saya kira. Meski mungkin, saat ini, dengan panjang pengalaman yang berbeda. Ah, beruntungnya Sunda memiliki seniman-seniman hebat seperti mereka berdua. :)
Cikarang, 5 Juli 2013

Selasa, 02 Juli 2013

PERSIB : Sebuah cinta atau perkara bisnis?

Rasanya itu sekitar hampir dua minggu yang lewat, saat terjadi keributan lagi di ranah persepakbolaan Indonesia. Bus yang ditumpangi para pemain Persib menuju stadion GBK diserang oleh oknum-oknum dari Jakarta hingga rusak berat. Kaca-kaca bus hampir hancur semua. Atau bahkan ada satu pemain Persib yang berfoto memegang sebuah batu sebesar tiga kepal lengan dewasa yang masuk ke dalam bus. Hingga akhirnya bus tersebut memutuskan untuk kembali ke Bandung saja. Tidak melanjutkan ke GBK karena terlalu bahaya.

Sesampainya di Bandung, bus Persib dijemput oleh ribuan bobotoh (bukan hanya Viking) di pintu tol Pasteur. Sebagai bentuk “perhatian” yang menunjukkan bahwa mereka tak sendiri, bahwa Persib itu jauh lebih besar dari sekedar puluhan crew yang berada di dalam bus itu saja! Para permain Persib disambut. Bandung menyambut. Memang itu kenyataannya. Meski ada beberapa hal yang disayangkan seperti aksi sweeping terhadap kendaraan plat B (asal Jakarta) yang dilakukan beberapa oknum bobotoh, tapi tidak parah. Hanya kecil saja. Dan saya pikir itu wajar. Kemarahan sesaat yang saya pikir masih wajar. Masih sangat wajar.

Beberapa hari berikutnya, seorang kawan berkomentar di status jejaring sosialnya, bahwa The Jak-mania dan Bobotoh sebaiknya berhenti tolol-tololan karena ini hanya soal bisnis. Ah, saya jadi ingin berkomentar. Melihat masalah ini dari kacamata saya sendiri saja. Kacamata yang terbentuk dari ribuan lembar kesan dan pengalaman di hampir satu dekade saya hidup di sana. Ah, entahlah. Tapi saya sendiri kurang sepaham dengan istilah “hanya soal bisnis” ini. Saya pikir, saya menolaknya. Mungkin memang ada sebagian orang dari manajemen Persib dan warga Bandung yang memang hanya melihat ini sebagai perkara bisnis. Tapi saya juga yakin, di massa yang jauh lebih besar lagi, Persib bukan hanya perkara bisnis. Bukan!

Kita selalu tahu, bahwa salah satu cara untuk menilai suatu budaya yang hidup di suatu tempat adalah dengan menelisik lebih teliti akan karya-karya para seniman-budayawannya. Bukan melihat dari tingkah lakunya, tapi melihat dari nilai karya yang mereka lahirkan. Bukan begitu? Kang Ibing, salah satu seniman terbesar (kalau tidak boleh saya sebut sebagai yang terbesar) asal kota Bandung, mengungkapkan di lagu “Jung Maju Maung Bandung”, bahwa pemain Persib itu adalah Jalu Bandung (Laki-laki Bandung). Saya pikir, ini menggambarkan suatu simbol. Simbol yang terlalu besar untuk diintimidasi dan berharap tak ada reaksi besar yang dihasilkan. Seperti petikan lagunya “Hey Persib Bandung, jung padungdung geura tarung, geura tandang diiring pidu’a abah/ hey ulah rek keueung, sing reugreug  teuneung ludeung...” (terjemahan bebas: Hey Persib Bandung, pergilah bertarung, dan akan diiringi oleh segenap doa dari abah (sebutan orang tua) / hey, jangan takut! Kuatkan hati...). Coba resapi pelan-pelan, bagaimana sebegitu kuatnya mereka mengakar. Saat mereka dianggap sebagai seorang anak laki-laki yang berangkat dari rumah diiring doa dari sang ayah, kakek, keluarga. Bagaimana bisa menyebut ini hanya sebatas bisnis?

Atau pernahkah sekali-kali datang ke Stadion Siliwangi atau ke Si Jalak Harupat, meleburkan diri bersama para bobotoh (bukan hanya Viking), melihat langsung para pemain Persib bermain bola? Juga melihat pasangan kakek-nenek dengan baju bertuliskan "Pangeran Biru" di antara keramaian dan sorak sorai saat Eka Ramdani mencetak gol dari luar kotak penalti? Dan rasakan emosinya. Saya pikir ini bukan hanya soal bisnis!

Atau seorang kawan yang rela bolos kerja satu jam dan akhirnya dipecat dari tempat kerja karena terlalu ingin melihat Persib menang main bola lawan Persija Jakarta di Si Jalak Harupat? Bagaimana dia tidak seperti itu, nyatanya dia pernah berkisah, dulu saat masih duduk di bangku SD dan diajak oleh sang kakek untuk melihat langsung pertandingan Persib vs Petrokimia Putra di Senayan dan sekaligus jadi juara di Liga Indonesia pertama tahun 1994/1995. Sesampai di Bandung, jalanan Bandung dipenuhi gaungan lagu Kang Ibing di setiap sudut. Para pemain dan (bahkan) suporter yang menonton langsung di Gelora Senayan disambut bak pahlawan menang perang. Kawan tersebut bercerita “mungkin kamu tidak tahu bagaimana perasaan seorang anak kecil dengan genggaman tangan kakek menyaksikan Bandung, kota kami, sebegitu gembira”. Dan lagi-lagi, saya pikir ini bukan hanya soal bisnis!

Ah, masih terlalu banyak! Rasanya ini bisa jadi sebuah buku bila saya tuliskan semua apa yang ada di kepala saya, bahwa saya meyakini ini bukan hanya sesederhana perkara bisnis saja, setidaknya menurut saya itu bukan. Atau mungkin sebaiknya ditutup dengan ini saja, di petikan terakhir, seniman terbesarnya berujar:

"Persib, Maung Bandung.
Persib, Jalu Bandung.
Persib, Urang Bandung.
Persib nanjung mawa ngaran urang Bandung!"

Cikarang, 2 Juli 2013