Rabu, 24 Juli 2013

Seingat Saya Ramadhan Itu Begini

Hari sudah genap habis setengah bulan Ramadhan ini. Terbayang dulu saat kecil, menikmati bulan ini seperti jauh lebih menyenangkan. Meski terasa lebih lapar, tapi tak pernah jadi soal. Dimulai dengan dibangunkan ayah di pagi butanya, lalu bergegas menuju masjid, berburu solat subuh. Sebenarnya bukan solat subuhnya yang bikin menarik, tapi bersama kawan-kawan berlarian di pinggiran jalan yang lengang, dengan kopiah hitam pekat juga kain sarung melilit-silang dari bahu hingga ke bawah. Bermain alat serupa mercon yang dibuat sendiri dari busi bekas, baut dan tali rapia, yang saat apinya menyeruak di lantai jalan, kami berteriak senang. Bahagia sekali rasanya waktu itu. Begitu seterusnya hingga langit jadi lebih terang, dan kami pulang.

Bila sekolah, itu menjadi khas. Kantin sekolah jadi tak berjualan. Kantin dari susunan papan sederhana dan sepasang jendela warna biru pudar itu tak semeriah biasanya. Kami para murid juga begitu. Rasa lapar mulai datang. Jarang mau berlarian di tengah panas saat jam istirahat tiba. Lapangan rumput belakang sekolah sepi. Kami lebih senang menghabiskan waktu di bawah atap bobrok muka belakang kelas. Melihat air jernih mengalir di saluran kecil itu, bermain kapal-kapalan kertas yang dihanyutkan lalu ditangkap lagi. Sedang angin-angin dari sawah meniup kami lebih segarlah dari biasa. Mengantarkan jam sekolah yang sudah habis, dan tiba waktunya kami pulang, lepas berjalan kaki menuju rumah.

Sedang sorenya itu dimulai selepas mandi, biasanya kisaran jam 4 sore. Bila ayah sedang ada waktu, biasanya diajak berkeliling jalan-jalan dengan sepeda motor tua yang besar itu, yang selalu diamankan di luar rumah dengan lilitan rantai besar di jari-jarinya. Berkelilinglah sorenya, menghirup udara sore yang apik, membelah pesawahan di kaki Bukit Basa yang membiru itu. Saya biasanya duduk di sebelah depan dekat tangki motor, sedang kakak di belakang memeluk ayah. Kecepatan motor kami sepertinya hanya 20-30 km/ jam saja, tak pernah lebih dari itu. Akan lebih senang karena itu berarti perjalanan sore kami hari itu akan menjadi lebih lama. Hingga akhirnya kami tiba di rumah lagi, dijemput Ibu yang duduk menunggu di teras rumah, dengan senyuman. Kami semua turun, kembali ke pelukannya.

Masjid kami bernama Al-Azhar. Saya masih ingat betul semua tetua-tetua kampung yang sering menjadi imam di masjid itu. Tarawihnya selalu 23 rakaat, entah sekarang, semoganya masih. Dengan karpet tipis hijau dan barisan kain putih memanjang rapi dijadikan sebagai alas kening saat sujud itu menyentuh lantai masjid. Selalu saja riuh rendah dengan degup lari dan tawa anak-anak yang berlomba dengan lantunan Al-Fatihah dari sang imam, tak pernah ada yang kalah. Hingga yang menjadi puncaknya adalah saat doa selepas witir habis dibaca dan diaminkan oleh jamaah, semua beranjak pulang, menuju rumah. Untuk terlelap menunggu hari di bulan Ramadhan yang berikutnya. Kami tetap pulang.
Selamat Ramadhan, :)
Cikarang, 24 Juli 2013

4 komentar:

  1. indah. indah sekali. rasa waktu itu. rasa kini juga. maneh percaya pan urang nu kasar berkata indah. hihi

    BalasHapus
  2. sebelum pulang tarawih, minta tanda tangan Pak Imam,,, :D

    BalasHapus
  3. Om Gelar, percaya pasti. Setiap orang mengungkapkan keindahan dengan caranya sendiri.
    Nah ini Liska Berlian minta tanda tangan. Sini ditanda tangan, tapi bayar. :p

    BalasHapus